Pembaca buku ketika membaca halaman demi halaman, ia melepas sejenak kediriannya untuk masuk kedalam si tokoh yang dalam buku itu, jika buku yang dibaca adalah bukan fiksi, maka ia sedang memasuki cara pikir penulisnya, mencoba untuk mendeteksi arah pikirannya. Ia tahu betul bagaimana memperlakukan buku yang sedang ia baca tanpa perlu repot-repot untuk menutupnya lebih cepat. Lalu melemparkannya diatas sofa tanpa pernah memikirkan bagaimana penelitian dan lamanya penulis menuntaskan bukunya. Ia mencintai bukunya untuk masa depannya sendiri, bagaimana melatih untuk terbuka pada pemikiran lain, tanpa perlu untuk menelan mentah-mentah semua pemikirannya, semuanya bisa diwakili oleh caranya sendiri merespon buku yang sedang dibacanya. Pendekatan membaca dengan meninggalkan kedirian seperti itu menimbulkan efek untuk bisa memberi jeda pada diri sendiri, menyerap maksud dari kalimat yang dibacanya, dan peka terhadap maksud-maksud penulis. Ia mampu menerka apa isi kepala seorang penulis tanpa perlu menagihnya terang-terangan. Semuanya bisa dilatih, seperti asalnya membaca buku adalah bentuk ketrampilan yang dimiliki oleh semua orang. Membacanya saja butuh waktu untuk menelaah setiap maksudnya, apalagi untuk mengerti bagaimana harus memperlakukan setiap kalimat yang telah disusunnya susah payah. Semuanya membutuhkan ketekunan di atas rata-rata.
Seorang pembaca sedang mewariskan ilmu telepati yang didapatinya dari seorang penulis. Ia mendapatkan dari duduk-duduk berjam-jam sambil menelusuri setiap jejak pikirannya, kemana maksud kalimat itu, bagaimana mengira dimana memasang jebakan, bom waktu, isian kaldu, isian kebab, juga segudang ide yang digelontorkan tanpa tedeng aling-aling. Semuanya membuat penginderaan semakin lengkap dan makjleb ketika menemukan satu bahkan lebih dari maksud-maksud penulis. Sebagai pembaca sepatutnya berterimakasih kepada penulis yang telah rela menghabiskan (menuliskan) satu buku dalam waktu yang tidak singkat, mereka harus berbagi peran dan terus membakar diri dengan bacaan lain-sebab penulis pun harus terus membaca karya orang lain, jika tidak ia akan kehilangan sumber, dan mulai terjebak pada narsis berlebihan tentang kemampuan diri dan seterunya. Mereka para penulis lebih suka membaca banyak-banyak buku, mungkin yang dibutuhkan hanya tiga sampai empat paragraf dalam buku yang akan dirampungkannya. Detail adalah hal lain, jika kita ingin menjadi pembaca 'lain' yang tidak hanya sekadar untuk menampilkan diri sebagai pembaca, tetapi juga sebagai penafsir dari sekian juta kata dari masing-masing bacaan. Penafsir dimaksudkan untuk mengetahui seberapa dalam pemikiran pembaca, bukan untuk terus menangis seberapa dalam penulis menuangkan ide, gagasan, dalam bentuk kata. Melainkan untuk mencoba memahami seberapa besar pembaca tak perlu repot-repot untuk mempertanyakan ulang tentang ide atau maksud tersebut. Sebagai pembaca tahu diri akan memposisikan diri sebagai pengeluh atau sebagai seorang pendaki kata yang akan menaklukan setiap puncak kalimat dan buku sekaligus.
Pada intinya setiap dari kita memerlukan kecerdasan untuk memaknai dari setiap kejadian yang sudah ada atau belum ada. Sebagai pembaca, perlu memisahkan diri dari keengganan untuk mengakui karya orang lain memang ciamik, memang yahud, memang bombastis, memang 'killer' agar nantinya apa yang persiapkan bisa jadi katro buat orang, bisa jadi dungu, bisa jadi lawas, dan seterunya. Hingga pada ujung pembacaan yang terus menerus akan menemukan dirinya sebagai humble reader yang bisa memasung sejuta makna ulang dari tiap buku yang dikunyah nya pelan-pelan sampai terasa lembut dan menyenangkan. Ada kegembiraan besar ketika bacaan itu terus melekat dalam ingatan dan berujung pada kemandirian untuk bertransformasi menjadi 'kutukan' perbaikan diri terus menerus. Sampai pada level guru itu terus mencari metode mendidik (pedagogik) dan terus memperbaharui ilmu kependidikan (pedagogi), serta tak berhenti untuk terus mencari pendekatan dalam mendidik untuk semua murid tercinta (pedagogis).
Pada wilayah lain, seorang pendidik cara kerjanya persis yang dikerjakan oleh pembaca. Pembaca menangguhkan diri sejenak dari keakuannya, sementara Pendidik terus meninggalkan diri dari keegoisannya merasa cukup dengan ilmu yang ada. Ia terus mendatangi (studi banding) kepada sekolah-sekolah yang terus bertumbuh dan mencitrakan diri sebagai sekolah yang terus mengedepankan pada peda pendampingan luwes sebagai Muhammad mendidik para sahabatnya. Pendidik akan terus menanggalkan sejenak ketika berkunjung ke sekolah lain, ia meniggalkan sejenak peran sebelumnya (di sekolah) untuk menjadi peran lain agar atmosfir guru yang diobservasi dapat dipindahkan ke dalam dirinya, lalu diterapkan kepada murid-muridnya dengan keluwesan tertentu. Ia meninggalkan kedirian sebagai guru berkunjung ke sekolah lain, dan memakai mode guru yang sedang dikunjungi hingga ia tak lagi terjebak pada merasa pintar saja tak cukup. Ternyata ada banyak tangga yang bisa dilaluinya, tanpa pernah lelah untuk mengejar ketertinggalan, meski usia tak muda lagi.
Pada titik ini keduanya saling menjaga untuk menjalankan misi peradaban dan keberlangsungan pendidikan sepanjang hayat, dan ada pula yang menjadi tulang punggung perjuangan marwah seorang guru, dan agar tindakan saling melengkapi satu sama lain, dan tulang pertumbuhan tawa menjadi pilar-pilar asasi generasi rabbani.
0 Comments:
Posting Komentar