Jumat, 18 Juli 2025

Perjalanan Sang Demonstran

BABAK 11
Roti Vatrushka 
Elang melangkah kedua kakinya lecet-lecet, ada darah yang sudah mengering di area pelipis. Nafasnya ngos-ngosan. "Cepat!" kata seorang pemuda yang melilitkan kepalanya dengan kain coklat. "Tunggu!" kata Elang, menghentikan langkah-langkah sibuk antara kuda-kuda pendek, kekar, dan jangkung, dan juga onggokan tubuh yang sudah tidak bisa berbicara lagi.

"Kau ragu?" katanya, giginya putih. Tak ada bekas nikotin, bisiknya dalam palung hati yang terdalam. Ini bertolak belakang dengan Elang, jika kalian ingin mendengar, meskinya kalian sudah tahu, siapa Elang ini. Keseharian sebelum sampai di sini, hanya keseharian yang sama sekali tak mencolok; makan di warung lalu bayarnya sampai bulan depan. Keliling sebagai tukang cukur, joki pemancing, kernet bus, dan kadang-kadang sebagai tukang vermak baju dan seterusnya. Ia tidak berijazah, tetapi isi pikirannya sering merepotkan para penduduk istana. Yang kerjaannya semakin hari semakin memusingkan kepala. Mungkin karena pikiran ini terlalu picik dan mental blok, tetapi hilang sejenak seperti menjelang sumpah pemuda. Bahkan medium cetak, eropa sebagai caranya sendiri untuk bertumbuh.

"kau bisa membaca ini, yang kunginkan bukan hanya nyiyir tetapi sebuah kapasitas sebagai orang Indonesia." Tanya Elang.

Sebuah koran yang diambil dari pembungkus Roti Vatrushka yang terbungkus buru-buru. Dan ia duduk sambil menyeruput teh hijau yang dihidangkan oleh salah seorang rekan perjalan pulang. "Inilah perjalanan yang paling sakra mengantarkan mayat sejumlah pejuang dan harus di antarkan kepada orang-orang yang kita cintai," katanya.

"Kau kelihatan sekali sedang berbohong, dalam agamamu berbohong adalah penghianatan." kata Elang

"aku sedang berbicara dengan 'mayat' yang lain." jawabnya.

Keduanya tertawa. Mereka melanjutkan perjalanan.

0 Comments:

Posting Komentar