Minggu, 07 April 2019

Pak Tua Penjaga Bengkel

BAB
Empat Puluh Enam

Bengkel sepeda tampak sepi. Aku ngeri melihat tampang penjaga yang pernah menyembelih kucing itu ketika ku pulang kerja. Aku memperhatikan ban depan, aku senang tidak kurang angin. Hujan atau tidak aku selalu membawa payung. Aku tidak ingin melihat istriku Nara basah kuyup.

Seorang penjaga menjajari laju sepeda, wajahnya tampak tegang.

“Mas Marko bisa kau kayuh sepeda lebih cepat lagi!.” Seorang penjaga memberi intruksi.”

“ Ada apa Pak!.” Aku cemas.

“ Lihat di belakangmu!.”

Aku dan Nara menengok kebelakang 3 detik. Gerombolan orang berjumlah 6 orang tengah membuntuti kami. Mereka semua bertopeng. Jaraknya masih 15 meter. Mereka membawa pentungan yang terselip punggung lewat kaos dalamnya. Ku kayuh sepeda secepat-cepatnya melewati jembatan kali klawing. Aku beradu cepat dengan mereka, aku heran kemana Para Polisi yang biasa jaga di perampatan. Toko-toko rata sepi tak di buka. Skenario apalagi yang akan kuhadapi. Hal mengerikan apalagi yang harus aku dan Nara hadapi.


Dua orang penjaga memberi instruksi agar terus mengayuh sepeda dengan cepat. Melewati desa kembaran kulon-bleng- ototku sudag tegang. Apalagi harus melewati jalan bulak panjang sepi. Rasanya kedua betisku mengeras seperti batu. Gerombolan itu makin dekat. Aku panik. Mereka mulau mengeluarkan pentungannnya satu persatu.

Kami sampai pada jalan lurus yang kanan kiri di penuhi oleh pohon jagung. Lalu di belakang ada semak lebat dan sawah membentang luas. Jalanan tampak sepi dan lengang seperti habis di lalui oleh sekawanan zombi. Gerombolan yang berjumlah 6 orang itu tahu betul di mana harus mencabut pentungannya. Di tempat ini sering terjadi perampokan. Dua penjaga sudah berteriak beradu pukulan denagn 4 orang. Satu orang melawan dua orang. Dua penjaga itu mencabut gasper untuk melawan pentungan itu, kenapa mereka berdua tak membawa senjata laras pendek untuk melindungi dirinya, aneh.

Aku membelokkan sepedaku menuju jalan kecil cepat dan menukik kerana menghindari pentungan yang di arahkan ke arah kepala. Hasilnya aku dan Nara terjerembab munuju semak lebat dan bangkit menerobos ilalang menghampiri Nara. Ada memar di bagian sikunya. Keranjang kosong ikut terpental beberapa meter. Aku dan Nara lari menghindari dua orang bersenjatakan pentungan itu menorobos semak-semak ilalang yang tinggi. Keluar dari semak-semak kami di sambut dengan bentangan sawah yang baru di bajak tepat di bawah kaki kami, kira-kira 10 meter. Cukup menggetarkan. Lalu Aku dan Nara memutuskan untuk terjun bebas dari bukit ilalang. Di bawah kami ada sawah yang baru di bajak. Kedau kaki langsung menjejak menghantam lumpur sawah. Ada rasa ngilu di tulang engkelku, tapi ku tahan.

“Na!, kamu baik-baik saja!.”

“ Ya, jangan khawatir!" Tetapi wajahnya tegang tetapi waspada. Mungkin dia teringat anaknya di rumah. Perasaan seorang Ibu terlalu halus bila sudah berkaitan dengan anak-anaknya.

Aku dan Nara berlari menuju sungai kecil yang sudah butek oleh sekawanan bebek. Ada dua bauh belik mata air yang sudah di tutupi oleh eceng gondok tebal. Tanpa pikir panjang aku dan Nara menceburkan diri pelan-pelan dan menahan nafas dalam-dalam. Di dalam mata air sangat bening. Aku memberi isyarat agar bernafas di antara tumpukan eceng gondok bila sudah tak kuat.

Aku dan Nara bernafas di antara tumpukan eceng gondok. Dari celah eceng gondok itu aku bisa melihat dua orang sedang mencari-cari kami berdua. Kelihatan mata yang marah, topeng yang di gunakan menambah kesan yang seram. Badannya sangat besar dan tinggi. Kelihatan seperti prajurit tempur bukan maling yang pernah ku hajar dulu. Aku dan Nara memutuskan untuk menghindari beradu pukulan. Tetapi kalau tersudut aku bertekad akan melawan walaupun aku akan mengalami kekahalan yang telak. Suasana menegangkan. Seekor Ular air sebesar lengan orang dewasa melintas di atas kepala kami. Jantung kami berdua seperti tercerabut. Syukurlah Ular itu tak macam-macam. Dua orang itu tetapi mencari dengan teliti. Sepatu mereka tepat di sisi kepalaku. Bila ketahuan sebuah pentungan akan melayang ke kepalaku, lalu tamatlah riwayatku. Aku terkejut melihat sepatu Cats yang pernah di pakai oleh PakTua penjaga bengkel,

Mungkinkah dia.” aku berspekulasi

Hampir 10 menit aku berendam dalam belik. Ku putuskan untuk keluar dari belik bersama Nara. Ku kira para pembawa pentungan itu sudah pergi karena kesal tak menemukan kami. Tak kuduga keduanya sudah muncul kembali lagi dan tersenyum kearah ku. Badannya lebih besar dari yang ku lihat. Keduanya mendekatiku dalam jarak tangkap. Nara juga kelihatan sudah lelah. Apalagi ia sedang puasa Senin Kamis, puasa kesukaan Nabi Muhammad. Inilah mungkin akhir dari hidupku dan Nara yang baru merenda dalam semangat. Proof of Life.

Sebuah pentungan di arahkan kepadaku. Aku menangkisnya dengan tangan kosong. Rasa sakit sampai ketulang. Ku lihat orang yang satunya lagi mulai mendekati Nara. Matanya mulai liar menatap Nara, karena bajunya lepek oleh air. Aku bersumpah akan melakukan hal yang mengerikan bila ia sampai menyentuh istriku Nara.

Penjaga itu mengarahkan pentungannya lagi. Tak kuduga aku bisa menangkis pentungan itu dan memegang dengan keras. Tenaga orang bersepatu cats begitu kuat, terjadi terika menarik. Aku mencengkaram pentungan kuat-kuat begitu juga dia. Puncaknya aku lepaskan tongkat itu dan ia terjungkal kebelakang. Sempat ku lihat pergelangan tangannya ada tato burung gagak. Sebuah Tato sama yang di miliki laki-laki tua pemilik bengkel. Dalam kepanikah aku menegaskan kalu laki-laki bertopeng yang terjungkal itu tak lain adalah Pak Tua penjaga bengkel.

0 Comments:

Posting Komentar