Kamis, 04 April 2019

Svetlana Alexievich

“ Ini cara saya melihat dunia, melalui suara –suara individual yang berbunya secara bersamaan,” katanya.

Di dalam wawancara dengan Dalkey Archive Press, Alexievich mengungkapkan bisa menghabiskan tiga hingga sepuluh tahun untuk melakukan penelitian sebelum menulis novel. Keahlian sebagai wartawan amat berguna untuk mewancara dan malakukan investigasi sebagai bahan tulisan.

Pada 1983, ia menamatkan novel pertamanya berjudul The Unwomanly Face Of War. Novel itu mengupas kisah satu perempuan Soviet yang terlibat langsung dalam perang dunia II. Meraka berusia 15 hingga 30 tahun dan tidak gentar berada di garis depan peperangan sebagai serdadu, pengemudi tank, bahkan pilot pesawat tempur. Akan tetapi, jasa-jasa para perempuan itu dilupakan begitu perang usai.

“ Kaum laki-laki seenaknya mengubur pengorbanan yang telah dilakukan para perempuan ini,” ujar Alexievich.

Menurut Alexievich, seusai perang, hidup para perempuan itu semakin rumit. Di masa damai, para perempuan harus merahasiakan keterlibatan mereka dalam peperangan agar para lelaki mau menikahi mereka. Ketidakadilan penulisan sejaran inilah yang membuat Alexievich terdorong untuk menceritakan kembali sejarah dari mulut orang-orang yang mengalaminya.

TAK DISUKAI 

Masyarakat Soviet tidak menyukainya. Alexievich dianggap memutarbalikkan fakta dengan menulis bahwa keberhasilan Soviet di Perang Dunia II adalah akibat kontribusi perempuan. Ia dinilai sebagai penulis disiden (yang tidak sepakat dengan pendapat seseorang atau kelompok) dan penentang ideology komuisme.

Anggapan ini tidak membuat Alexievich ketar-ketir dan tetap aktif menulis. Pada 1991, The Boys of Zinc terbit dengan premis pertikaian Timur dan Barat untuk suatu hal yang sia-sia. Judul tersebut diambil dari peti jenazah seng yang membawa pulang jenazah para serdadu muda yang tewas di pertempuran itu.

Presiden Alexander Lukashenko naik pita dan menuduh Alexievich menghina ideology komunis dan militer Soviet. Hidup Alexievich pun mulai diwarnai tuntutan hokum dari pemerintah Belarus. Dua buku menyusul terbit pada 1993 dan 1997,yaitu Enchanted With Dead tentang orang-orang yang bunuh diri akibat runtuhnya Soviet,dan Voice From Chernobyl yang menyuarakan derita para korban bencana ledakan nuklir.

Sejak saat itu, Alexievich dianggap sebagai musuh pemerintah. Kehidupan pribadinya disadap dan diikuti para agen. Ia juga dilarang tampil di acara-acara public. Tahun 2000, International Cities Of Refuge Network menawarkan suaka politik kepada Alexievich sehingga ia pindah ke Paris, Prancis.

Setelah itu, ia berpindah-pindah ke Jerman dan Swedia. Beasiswa penulis menjadi penunjang hidupnya. Pada 2011 meskipun masih ada tekanan dari rezim pemerintahan baru, Alexievich kembali ke Belarus dan terus menulis. Novel terbarunya, Second-hand Time, terbit pada 2013.

Kegigihannya bertahun-tahun untuk menyuarkan mereka yang terbungkam suaranya mengantarkannya pada Nobel Sastra 2015.

“Ini cara saya melihat dunia, melalui suara-suara individual yang berbunyi bersamaan.”

• Karya:
o The Unwomanly Face Of War (1985)
o The Last Witnesses (1985)
o The Boys Of Zinc (1991)
o Enchanted With Death (1994)
o Voices from Chernobyl (1997)
• Penghargaan:
o Nobel Sastra (2015)
o Prix Medicis Essai (2013)
o Peace Prize of The German Book Trade (2013)
o Ryszard kapuciski Award for Litarary Reportage (2011)
o Oxfam Novib/PEN Awar (2007)
o National Book Critic Circle Award (2005)
o HerderPrize (1999)
o Friedrich-Ebert-Stiftung-Preis (1998)
o Leipziger Book Prize on European Understanding (1998)
o Andrei Snyavasky (1997)
o Tuchholsky-Preis (1996)

Penulis: Laraswati Ariadne Anwar
Sumber : Kompas, selasa, 13 Oktober 2015

0 Comments:

Posting Komentar