Minggu, 14 April 2019

Pertempuran

BAB
Empat Puluh Delapan
Lanjutan

Lima menit kemudian, semua tawanan di buka topengnya. Aku terpana melihat leher mereka yang di hiasi Tato burung Gagak dan Rajawali. Aku melihat tawanan itu sampai yang terakhir. Mataku terbelakak melihat tawanan paling ujung, aku seperti mengenalinya. Kakiku cepat menghampiri orang yang ku kenal di masa lampau. Reaksiku membuat Polisi Saryo heran.

“ Marko ada apa.”

Aku tak menjawabnya. Setelah sampai di sana. Amarahku makin meluap. Tawanan paling ujung itu ternyata Arkon alias Narman. Teman dari masa lampau sekaligus musuh dalam selimut. Wajah Narman terlihat kacau. Aku tak bisa lagi menahan marah. “ Dasar Bajingan!.” Narman segera ku tonjok. Tetapi kulit Narman seperti badak yang keras dan kasar. Mukanya seperti di lapisi besi lunak hingga ketika ku pukul tak ada bekas lebamnya. Ilmu apa lagi yang ia punya.

“ Ha..., kasihan kau Marko.” Tawanya mengejek.

“ Marko hentikan.” Polisi Saryo menghentikan pukulanku berikutnya.


“ Arkon. Wajah Polisi Saryo juga terkejut. Karena setahu kami Arkon masih meringkuk di penjara dengan penjagaan ketat. Teka-teki apalagi ini.

“ Bawa mereka semua ke Markas. Pastikan kalau Arkon ada di penjara!.”

Kami bertiga masih dalam keadaan penasaran. Situasi ini benar-benar telah menguras pikiranku. “ Pak, sebenarnya apa yang sedang terjadi dalam penjara.”

“ Aku tak tahu Marko. Kadang kami para Polisi sudah menangkap para gembong penjahat. Tetapi lusa bisa bebas dengan bersyarat.”

Sebuah teriakan dari salah seorang pasukan Polisi Saryo mengagetkan semua pasukan, termasuk aku dan Nara.

“ Pak, lihat kesini!.” Teriaknya kencang.

Polisi Saryo langsung lari kesebuah semak di ikuti Sniper dan beberapa pasukan. Aku dan Nara tak ingin ketinggalan. Aku penasaran, bukankah semak itu yang tadi aku tembaki bersama Nara.

Sampai di sana.

“Ya Tuhan!.” Pekik Polisi Saryo.

Aku dan Nara tak bisa berkata-kata. Rasa terkejutku mengalahkan kecemasanku selama ini. Topeng kedua musuh di buka, di bawah kakiku ada dua mayat yang sangat ku kenali. Terlihat jelas wajah Farah dengan luka tembak di kepala dan dada, sementara pamannya Polisi Marno tertembus peluru di Matanya dan keningnya. Keringat dingin mengucur dari dahiku. Antara senang dan terkejut melihat orang yang bertanggung jawab atas kejahatan tewas oleh tembakanku dan Nara. Ku harap wajah yang ku lihat di depanku adalah wajah Farah dan Polisi Marno yang sebetulnya.

Perhatian di alihkan ke hal yang lain. Kami memasuki gerbang utama kami di suguhkan dengan pemandangan “menakjubkan.” Ada hamparan batang pohon ganja tertanam rapi menyambut kami. Begitu Polisi Saryo memberi tahu. Seorang musuh tertatih di ikuti salah seorang pasukan elit dari belakang. Musuh itu yang berhasil kena peluru di pahanya. Ada rasa bangga bercampur takut. Bangga karena seorang pemuda desa mampu memegang senjata dengan benar dan menggunakannya di saat yang tepat.

Sebagian prajurit elit menjaga para tawanan, sedang yang lain mengikuti Polisi Saryo mulai masuk kedalam kastil yang misterius. Aku sempat kagum dengan bangunan Kastil ini. Sebuah kota kecil Purbalingga di balik tembok penjara menjulang tingga ada Kastil yang eksotik sekaligus menyeramkan. Dari luar tampak mirip bangunan yang di diami oleh bangsa-bangsa jin kelas VIP, dedemit kelas elit. Aku tak bisa membayangkan kalau saja ada seorang wartawan yang mengabadikan tempat ini dan menyebarluaskan ke santero jagat maka kota Kecil Purbalingga akan menggema lebih keras ke penjuru dunia lengkap dengan isinya.

Lebih dalam masuk kedalam kastil tampak bangunan mirip struktur bangunan jaman belanda, kastil ini lucu. Dari luar tampak bangunan seperti kerajaan, tetapi ketika masuk kedalam bangunannya persis peninggalan rumah zaman Belanda. Misalnya saja dari jendela, tiang-tiangnya, dan dindingnya. Tak banyak kamar yang ada di dalam kastil. Di beberapa sudut terhampar karpet tebal yang kelihatan empuk. Aku tak ingin mencobanya. Kami terus merengsek masuk kedalam, memasuki lorong-lorong yang rapih terbuat dari bata merah. Tidak seperti ruangan bawah tanan tepat di bawah penjara Purbalingga yang kelihatan menyeramkan.

Polisi Saryo berhenti. Ia keluarkan sebuah senter dari saku celananya. Dan ia mengamati sebentar ruangan sekeliling. Mungkin memastikan tak ada keganjilan. Ia menunjuk ke sebuah pintu yang terlihat kokoh seperti baja. Sekilas tak mirip pintu. Hanya saja membentuk empat persegi panjang. Aku dan Nara mulai memperhatikan pintu itu yang tak ubahnya seperti hiasan dinding saja. Lorong ini memang kelihatan sudah buntu dan meninggalkan sebuah pintu yang masih teka-teki dan sulit di buka.

“ Ini adalah satu-satunya pintu yang pernah ku coba untuk di buka. Aku menyimpulkan setelah memukulnya beberapa kali, dan terdengar bunyi nyaring.” Jelas Polisi Saryo.

“ Apakah tak ada pintu lain.” Nara bertanya.

“ Kau lihat sendiri sebelah kananmu lorong itu sudah buntu tertutup oleh dinding bata yang kokoh.”

Nara berpikir sejenak.

“ Kita cari jalan lain.”

“ Tidak ada jalan lain, saya dan pasukan sudah kelilingi tempat ini dan tak ada jalan lain selain ini.” Polisi Saryo kekeh menjelaskan.

Nara melangkah maju mendekati lorong buntu yang terbuat dari bata merah. Aku mengikutinya dari belakang. Sampai di lorong buntu. Nara mulai mengamati sekeling dinding pembatas itu, Ia mirip Arkeolog yang sedang mencari fosil zaman prasejarah. Matanya yang indah mulai mencari-cari kemungkinan untuk dijadikan analisa felingnya. Aku juga mengamati. Polisi Saryo dan Prajurit elit ikut bergabung. Nara semakin serius mengamati dinding bata merah. Dengan bantuan senter yang di pinjamnya dari seorang Sniper itu, Nara semakin menghayati perannya. Ia kelihatan seperti gadis pintar dan cerdas ketika sedang meraba dinding dengan teliti.

Nara belum menemukan tanda kalau dinding pembatas mempunyai kelemahan untuk di buka. Aku sendiri ikut meneliti. Tangan kanan menemukan lubang setengah yang membentuk kotak.

0 Comments:

Posting Komentar