Minggu, 07 April 2019

Pak Tua Penjaga Bengkel

BAB
Empat Puluh Enam
Lanjutan


Aku tak bisa berpikir lama-lama karena Nara sudah dalam keadaan yang membahayakan. Dia terpojok di antara lumpur-lumpur sawah. Aku berlari kearahnya dan menerkam tubuh orang itu kuat-kuat. Keberanianku muncul bila sudah terpojok begini. Ku tonjok mukanya, tetapi ia tidak bergeming, mungkin pukulanku terlalu lemah atau dianya yang sudah terlatih. Ia malah mencengkram leherku kuat-kuat, aku tak berkutik, nafasku sesak. Sorot matanya merah bernafsu ingin membunuhku. Ku lihat Tato yang sama bergambar burung Rajawali yang pernah ku lihat ketika berkelahi dengan salah seorang maling. Mungkinkan orang yang sama. Dalam sesak nafas yang berat ku lihat orang yang satunya lagi sudah kembali berdiri. Ku lirik Nara sibuk mencari-cari sesuatu. Apa yang sedang ia lakukan.

Pandanganku mulai berkunang-kunang. Tiba-tiba dengan cepat tangan kanan Nara menghantan kepala orang yang sedang mencengkram leherku dengan batu di tangan kanannya, darah segar meluncur dari keningnya. Cengkaramnya mulai lunak dan aku membebaskan diri dari tangan kekarnya. Orang itu ingin bangkit kembali, tetapi Nara sudah menendang orang itu kebelakang. Syukurlah Nara masih waras tak menghantam kembali dengan batu di tangannya. Temannya kaget melihatnya tersungkur kebelakang. Ia terkapar, sementara darah mengucur dari keningnya. Nafasnya tersengak-sengal. Ia tak lagi memegang pentungan. Mungkin terlempar dan hanyut di sungai kecil.


Ia berlari ingin menghajar Nara. Tetapi yang di dapatkan adalah aku mendahuluinya dengan terkaman. Aku berusaha memukul wajahnya yang keras. Tepatnya bagian mata. Sedikit berpengaruh. Aku ingin melanjutkan, tetapi Ia telah membuatku terhuyung-huyun ke belakang. Pukulannya begitu keras dan berat. Laki-laki bertopeng begitu mudah membuatku sesak nafas, dengan menggunakan lututnya ia berhasil mengenai dadaku. Ku lihat Nara begitu panik. Keadaan menjadi begitu genting. Orang berbadan besar berjalan kerahaku. Ingin menuntaskan perkelahian yang membosankan. Aku berusaha berdiri. Belum tegak betul ku berdiri, ia sudah menerkamku. Mirip aksi The ROCK. Kemudian ia memukul wajahku, seketika mataku berkunang. Aku menahan pukulan dengan memegang lengannya. Tenaganya terlalu kuat, ia mungkin rajin fitnes. Syukurlah pertolongan datang. Kembali Nara menghujamkan batu yang di pegangnya ke arah kepalanya. Darah langsung mengucur dari kepalanya. Bila batok kepalanya yang di pukul tamatlah riwayat laki-laki bertopeng itu. Nara seperti banteng marah, ia menendang rusuk laki-laki sampai melenguh seperti sapi hendak di sembelih. Aku dapat bernafas lega. Nara memang terlihat berbeda selepas dari penjara, lebih berani dan nekad. Kehidupan penjara begitu berpengaruh pada emosinya.

Dari arah bukit, Dua penjaga sudah lompat dan menghampiri kami berdua. Perkelahian keras mengakibatkan mereka sampai terkena pukulan di wajahnya. Kedua penjaga itu memang terlatih. Tetapi lawannya tangguh. Satu lawan dua adalah perkelahian yang berat. Aku duduk lemas di pematang sawah. Beberapa petani malah lari ketika melihatku berkelahi. Mungkin trauma perang masih membekas di kepalanya.

“ Kalian tidak apa-apa.”

“ Hampir mati Pak. Kalau saja keberanian itu tidak muncul. Semua itu Allah yang mengaturnya.”

“ Maafkan kami, aku dan temanku juga keteter melawan mereka. Tetapi syukurlah mereka berempat sudah kami atasi. Mereka sudah terborgol dalam batang-batang pohon.”

“ Siapa sebenarnya mereka Pak.”

“ Mereka suruhan dari oknum Polisi yang berpengaruh, aku dengar kalian mengetahui kebobrokan para penghuni kastil lewat sahabat kalian yang bernama Anismara.”

“ Betul Pak, mungkin mata-mata mereka pernah melihat Anis dengan Nara sewaktu di penjara, dan mereka tidak ingin dunia hitam mereka terbongkar, makanya mereka menumpas para saksi kunci.” Nara menjawab dan nampak kelelahan. Iapun membuang batu itu ke sungai kecil setelah menjawab.

“ Apakah oknum Polisi yang kalian maksud adalah Polisi Marno.” Tanya ku sambil kembang kempis nafasnya.

“ Bisa iya, bisa tidak. Karena oknum Polisi yang berpengaruh dapat mengendalikan strateginya dari balik jeruji besi.” Jawab salah seorang penjaga.

“Untuk apa ada penjara, kalau orang jahat di dalamnya masih bisa melakukan kejahatan dengan terencana.” Aku berkata keras kepada mereka. Ku tunggu reaksi mereka, tetapi hanya diam sebagai jawabannya.

Kedua penjaga itu lalu membawa dua orang bertopeng, dan memborgolnya. Darah segar masih merembes dari kepalanya. Salah satu penjaga itu membuka topeng mereka masing-masing. Setelah terbuka, aku terkejut dan terkaget-kaget.

“ Kenapa Mas.” Salah seorang penjaga bertanya.

“ Orang ini adalah Pak Tua penjaga bengkel sepeda di dekat Alun-alun Purbalingga itu pak. Dan satunya lagi adalah maling yang pernah berkelahi denganku 4 tahun yang lalu. Lihat saja Pak ada Tato burung Gagak dan burung Rajawali di lingkar pergelangan tangannya.”

“ Aku juga sering melihatnya Pak, ketika perjalanan pulang dan pergi ke pasar. Aku yakin kalau mereka adalah suruh Polisi Marno atas rengekan Farah.” Nara Ikut memberi informasi.

“Terimaksih atas informasinya, kami akan menyelidiki lebih lanjut. Kalian pulanglah. Sudah kami kirim berita ke Markas lewat Handy Talky, nanti di perjalanan ada orang dua orang yang akan mengawal kalian. Kami berdua akan membawa mereka untuk di penjarakan, dan langsung di bawa ke Nusa Kambangan.” Begitu komentar penjaga tersebut.

Aku dan Nara memutar arah tak memanjat kearas bukit ilalang. Sampai di tempat di mana kami berdua terjungkal. Tak jauh lelaki bertopeng berjumlah 4 orang itu sudah duduk lemas sambil tangannya terborgol pada batang pohon yang solid. Susah payah aku mengambil sepeda dan keranjang dengan menembus ilalang. Sampai di jalan semula, aku sudah berada di atas sadel sepeda dan Nara langusung membonceng. Kedua penjaga memberi isyarat untuk cepat-cepat pergi dari area ini. Para warga sudah mulai berdatangan. Untuk melihat apa yang terjadi. Mereka tampaknya penasaran dengan suara ribut dan perkelahian, mungkin petani yang kabur itu berteriak kepada warga yang ada di temui di jalan.

Sepeda ku kayuh menembus bulak panjang. Di ujung jalan tampak dua orang penjaga menyambut kami. Kotak P3K sudah mereka slempangkan di bahunya. Keduanya mengobati kami berdua dengan hati-hati. Matahari sudah menyala. Di bawah pohon besar yang tumbuh menjulang di pinggir jalan, kami berdua memutuskan untuk istirahat sebentar. Setelah merawat luka kami berdua, perjalanan di lanjutkan tepat selepas sholat dzuhur. Ku lihat lampu sepeda pecah, tapi pircesnya masih bisa menyala. Ku kayuh sepeda dengan kecepatan sedang. Tangan kiri Nara di perban. Tangan kanannya, ia lingkarkan ke pinggangku. Aku sendiri menahan perih dan nyeri pada wajah yang terkena pukulan.

Beberapa warga desa yang berpapasan dengan kami mematung berdiri di pinggir jalan, karena melihat pemandangan yang ganjil baginya. Dua orang Penjaga yang berseragam Polisi tengah mengiringi kami berdua dari belakang. Kali ini kedua penjga itu sepertinya ingin menampilkan jati dirinya. Bisa menguntungkan bisa juga merugikan tergantung untuk Polisi menampilkan seragamnya. Aku dan Nara sih tidak masalah di kawal penjaga Polisi yang keren dan gagah itu, peristiwa ini bakal menjadi sejarah yang tak kan terlupakan seumur hidupku. Roda sepeda terus berputar sebagaima takdir yang ku jalankan bersama Nara.

0 Comments:

Posting Komentar