BAB
Empat Puluh Empat
Nara terlihat anggun dan bersahaja. Sejak peristiwa di penjara dan ruang bawah tanah yang menyimpang sejuta misteri. Nara memutuskan untuk berkerudung. Alasannya karena sebagai wujud rasa syukur kepada Allah Swt. Kegiataan berdagang pun masih terus di lakukan setiap pagi. Aku mendukungnya, karena itu adalah perintah dari Allah. Begitu guru ngaji mengajarkan kepadaku saol berkerudung yang wajib bagi wanit muslimah.
Sorenya aku dan Nara memutuskan untuk mengantarkan surat Anis kepada Polisi Saryo untuk di jadikan alat bukti untuk menyelidiki tentang kebenaran berita di balik kastil dalam penjara Purbalingga itu, surat itu bagai beban berat yang harus di simpan dengan baik.
Sebelum keberangkatan aku terkejut mendengar cerita dari Nara kalau Kang Dirman pernah menyatakan cinta kepadanya. Tetapi Nara menolaknya dengan alasan sudah ada yang melamar. Kata Nara Kang Dirman jatuh cinta ketika Nara memberi makan pada Kudanya. Tetepi penolakan Nara tak membuat Kang Dirman membalasnya dengan kejahatan seperti yang di lakukan oleh Farah padaku. Di pernikahan kami berdua saja kang Dirman sudah menggandeng Istrinya. Sikapnya yang ramah dan baik itu tak juga berubah sampai sekarang.
Sepeda ku kayuh santai. Suasana sore yang sejuk dan nyaman membuatku tak mau lepas dari sepedaku ini. Memang paling asik jalan sore-sore. Terdengar lagu Qosidahan yang di setel di salah satu rumah Carik yang kaya. Nara membonceng di belakang dengan memeluk pinggangku. Anak kami bersama neneknya di rumah.
Sampai di Alun-Alun Purbalingga, terlihat pohon beringin besar mengapit jalanan besar menuju pendopa Bupati Purbalingga. Kendaraan roda empat dan roda dua mulai sering terlihat di Alun-alun ini. Mungkin meraka keturuan orang kaya dari kota yang sedang pulang kampung membawa mobil-mobilnya.
Jalan masuk ke ruangan bawah tanah itu kini di bangun lebih indah. Tampak dua penjaga berdiri mengawasi. Entah mengapa wajahku dan Nara masih tergantung di ruang musium. Kedua penjaga itu melambai ke arah kami berdua. Aku dan Nara membalas lambaian mereka. Beberapa orang yang berpapasan denganku juga melakukan hal yang sama. Menegur dan menanyakan hendak kemana. Selama ini sebelum peristiwa ruang bawah tanah itu aku dan Nara tidak di kenal oleh masyarakat. Di luar sana orang-orang kelihatan ramah, tetapi tetanggaku sendiri memperlihatkan kecemburuan yang melahirkan sikap tidak suka dan selalu mencari-cari kesalahan.
Aku tak kesulitan mencari rumah Polisi Saryo, karena sering berkunjung ke rumahnya untuk berdiskusi masalah Nara ketika masih terperangkap dalam penjara, maka kali ini aku kembali mengunjuginya untuk urusan yang sangat penting menyangkut soal Masa depan Purbalingga.
Sebelum sampai di halaman rumahnya aku berhenti sebentar, merenung sejenak. “Apakah masih ada orang yang membuat Nara agar tetap di penjara. Karena setelah Nara menemukan ruang Rahasia berisi mayat-mayat bersejarah dan menjadi kunci pembunuhan Bupati Purbalingga, masalahnya semakin pelik. Memang dalang di balik penangkapan Nara adalah Farah , Geng Fark, dan Arkon. Tetapi setelah Nara melihat dengan mata pikiran sendiri bagaiman Polisi Marno memindahkan mayat bersejarah, mayat bupati Purbalingga, benda-benda bersejarah yang di taksir bisa membeli Pulau. Hatiku belum sepenuhnya tenang, aku menemukan hubungan-hubungan persolan ini ketika ngobrol terakhi kalinya dengan Polisi Saryo.”
“Jadi masuk ngga, kok malah bengong Mas?.” Suara Nara mengagetkanku.
Aku mengusap kepala Nara lembut. “ Ayo kita masuk dan selesaikan masalah ini secepatnya.” Aku menjawab sambil tersenyum.
Ku lihat Polisi Saryo sedang membersihkan rumput-rumput di halaman depan. Aku dan Nara sengaja untuk mengujungi Polisi pada hari Minggu. Karena dia sendiri yang menawarkan bila ada yang ingin di sampaikan secara khusus agar datang pada hari minggu.
“ Assalamualaikum”.
Terlihat Polisi Saryo mencari sumber suara, agaknya dia terlindung dari daun-daun. Dia berdiri lalu menengok kerah kami.
“Waalaikumsalam. Tamu jauh rupanya, silahkan masuk.” Polisi Saryo segera membersihkan kedua tanganya. Dan mempersilahkan kami berdua masuk. Aku dan Nara masuk keruang tamu. Tak ada kursi busa yang empuk, sebuah karpet tebal tergelar dengan rapi. Aku dan Nara masih berdiri menunggu Polisi Saryo keluar dari kamar mandi.
“ Lho Kok malah berdiri saja, monggo silahkan duduk.”
Aku dan Nara memutuskan untuk duduk.
“ Ada bisa yang saya bantu.”
Aku dan Nara diam.
“ Lho kok malah diam, ngga usah takut ngga ada yang denger. Anak-anak lagi pada jalan-jalan sama Ibunya, jadi kalian bebas saja ngomognya.”
0 Comments:
Posting Komentar