Minggu, 07 April 2019

PUTU WIJAYA

Bagian 2


Namun hanya pengarang yang sudah mahir dengan realisme belaka mampu melakukan akrobatika semacam itu. Demikianlah Putu Wijaya. Novelnya Bila Malam Bertambah Malam (yang ditulisnya pada usia 19 tahun, namun baru terbit 1971, dan kelak dijadikannya pula naskah drama) adalah kisah tentang keluarga bangsawan Bali dengan alur yang lurus dan penokohan yang kokoh serta latar belakang yang gamblang. Ketegangan yang terbina dengan baik sepanjang kisah menyembunyikan solusi tak terduga di bagian akhir. Adapun Pabrik (ditulis 1967, terbit 1975) adalah realisme dengan sturuktur yang longgar, dan kelonggaran inilah yang membuat semua peserta konflik menampilkan diri bergantian dengan kejutan masing-masing. Seperti mengejek sikap berpihak yang biasa diamalkan kaum sastrawan kita, Putu mengungkai sisi gelap kaum buruh seraya menelanjangi kaum majikan. Dengan gaya pencitraan yang patah-patah, staccato, justru berhasil menjaga kelancaran cerita.

Naskah drama Putu Wijaya, yang mendasari pentas teaternya, bersitumpu pada situasi dramatik murni, di mana bahasa selalu tak memadai sebagai alat percakapan. Seakan terbangun oleh Improvisasi, naskah drama Putu adalah tarik-menarik antara lisan dan tulisan. Kalimat-kalimat tak berujung pangkal dalam Dag-Dig-Dug (1974) adalah tanda kepikunan suami istri berusia lanjut dengan segenap kesulitan mereka berkomunikasi dengan sekeliling maupun riwayat mereka sendiri. Tokoh-tokoh dalam Aduh (1973) yang hanya disebut "salah seorang", "salah satu" atau "entah siapa" juga menguar tanpa tujuan, hanya supaya peristiwa terselenggara di pentas. Anu (1974) mempermainkan tokoh-tokohnya sendiri, yang pada dasarnya tak mampu menyatakan diri, dengan kata "anu" di sepanjang naskah untuk menyampaikan apa yang terungkapkan. Adapun Edan (1976) adalah penghadap-hadapan dua kelompok yang tak tahu apa yang sesungguhnya mereka kerjakan.

Sumber: Penghargaan Achmad Bakrie 2007

0 Comments:

Posting Komentar