Empat Puluh Tiga
Kebahagian kami tak terlukiskan setelah Nara melahirkan anak yang pertamanya. Nara mengalami kontraksi setelah mengunjungi makam Anis dan Hasan si sipir pendiam. Keduanya di makamkan berdekatan di komplek makam pahlawan. Keduanya tercatat sebagai orang yang telah menyelamatkan situs yang bersejarah. Kami pun bertemu kembali dengan Polisi Saryo. Dia begitu rendah hati mengunjungi rumah kami dengan sepeda motornya sendirian tanpa pengawal.
Sekarang Polisi Saryo mendapatkan kepercayaan lebih dari atasan soal keamanan di Kota Purbalinnga. Sinar pagi belum muncul dari peraduan, tetapi Polisi Saryo sudah bertandang kerumah kami. Semua keluarga merasakan keteduhan dari tatapan bayi yang mungil itu. Tiky dan Wiro tak henti-hentinya berebutan untuk menggendong. Ibuku dan Ibu mertua terlihat jelas pancaran kebahagiaan seperti lukisan pelangi.
Beberapa jam kemudian ruangan kamar yang di huni oleh bayi mungil kami kembali tenang. Semuanya kembali beraktivitas masing-masing. Wiro dan Tiky kembali ke rumah, Ibuku menyuruh Wiro dan Tiky untuk memberi makan pada ayam-ayam peliharaannya. Ibuku sedang memasak untuk makan siang nanti. Sedang Ibu Baroroh terlihat sibuk untuk siap menumbuk padi dalam lumpang kayu.
Kami berdua dikejutkan oleh salam dari pintu depan. Aku bergegas membukanya. Betapa tidak kagetnya diriku menatap wajah yang sangat ku kenal. Bondan tengah berdiri memakai baju kemeja panjang cokelat dengan celana hitam. Kami berdua langsung berpelukan, tak terasa pipiku sudah terasa hangat oleh air mata, demikian juga Bondan.
Dia langsung ku ajak masuk kamar menemui Nara yang sedang menemani bayinya yang baru lahir.
“ Bondan Apa kabar?.” Nara mengawali pembicaraan.
“ Baik, kamu sendiri,”
“ Aku telah melahirkan bayi yang mirip bapaknya."
Kami bertiga tertawa. Makin tertawa ketika bayi kami ikut tersenyum. Entah apa maksudnya, mungkin menertawakan kami bertiga yang begitu “bodoh” menghadapi dunia ini.
“ Terimakasih sekali lagi untuk persidangan itu, kalau kamu tidak menyembunyikan kesalahanku maka aku ikut mendekam di penjara bersama Polisi Marno, Farah, dan Arkon lebih lama lagi. Satu lagi aku meminta maaf segenap nafas atas peristiwa di awal pagi itu.
“ Jadi kamu jauh-jauh dari Ambon hanya untuk mengatakan itu, sudahlah... semuanya tinggal kita ambil pelajarannya.” Nara tersenyum sambil mengelus bayinya yang mulai tertidur.
“ Bagaimana dengan Ibumu Na?. Apakah sudah terbukan pintu maafnya. Waktu selesai persidangan ibu kamu masih terlihat marah tidak mau menatap wajahku. Aku jadi merasa bersalah.”
“ Sudah ku maafkan Nak Bondan. Masa jauh-jauh dari Ambon tak ku beri permintaan kau. Macam mana pula awak ini.” Ibu Kinarsih muncul dari belakang di iringi ibuku. Logat Ambon di buat-buat oleh Ibu Baroroh, suasana makin ceria dan indah.
Sebelum pamit untuk mengunjungi sanak saudaranya di Jakarta. Bondan memberikan kenang-kenangan sebuah Jaket Hitam kepada Marko. Marko menerima dengan senang gembira. Sebuah Mobil Pick Up membawa Bondan menuju terminal untuk meneruskan perjalanannya ke Jakarta.
Sampai di rumah aku memperlihatkan jaket hitam itu kepada Nara yang sedang menjahit celana ku yang robek.
“ Na aku di kasih hadiah oleh Bondan, Lihat ini.”
Wajah Nara seperti mengenang sesuatu.
“ Kenapa Na, ada yang salah dengan baju ini.”
“ Jaket ini adalah jaket yang pernah di pakai oleh Bondan ketika melakukan fitnahnya padaku.
“ Lalu.”
“ Sudahlah lupakah itu, kalau kamu senang dengan jaket itu, kamu boleh pakai sesering mungkin.”
“ Aku jadi ingat sesuatu.”
“ Ingat apa Na.”
“ Sebuah Kertas yang diberikan oleh Anis ketika menjelang kematian.”
“ Kertas. Aku tak mengerti apa makudumu Na.”
“ Bisa minta tolong Mas, ambil kotak kayu kecil yang tersimpan di balik baju.”
Segera ku penuhi permintaan Nara. Baru saja ketenangan itu hadir di hatiku ini. Sudah mulai terusik dengan peninggalan dari orang yang sudah mati. Apakah begitu penting hingga tak di ceritakan ketika masih hidup. Apakah misteri hidup harus berpola seperti bola-bola yang tentu arah. Terselip kecemasan dalam hatiku ketika mulai memeriksa satu persatu baju yang tertata rapi di lemari. Kotak kayu kecil itu tersembunyi di balik baju-baju yang pernah menemani Nara dalam penjara, di sampingmya ada juga baju Anis yang terakhir di pakai ketika tertembak oleh Polisi Marno. Begitukah cara Nara mengenang peristiwa getir yang pernah di alaminya.
Aku mengambil kotak kayu kecil itu dan menyerahkan pada Nara. Pelan-pelan ia membukanya. Seperti membuka barang berharga yang tidak ingin terkoyak, tangan kanannya mengeluarkan sebuah kertas dari dalam kotak kayu yang mungil itu.
Aku sedikit terpana melihat kertas yang terlipat ada bercak darah yang menyisakkan warna merah. Kami berdua mulai membacanya.
Nara Wina sahabatku yang baik. Kamu adalah pelita di saat gelap. Pahlawan di saat semua orang membeciku karena perceraian orang tuaku. Kamu juga yang melindungi ketika cemoohan orang-orang yang mengatakan aku adalah anak haram. Kamu tak henti-hentinya membelaku. Tetapi ketika pahlawanku menghilang aku seperti kehilangan arah.
0 Comments:
Posting Komentar