Minggu, 14 April 2019

Pertempuran

BAB
Empat Puluh Delapan
Lanjutan

Aku mengusap-usap lubang kotak itu, tetapi tidak ada respon. Aku kehilangan ide. Ku lihat Nara yang sedang meneliti di temani dengan Polisi Saryo dan Seorang Sniper.

“ Na, coba kau kesini sebentar. Ada sesutu di sini.” Nara menghampiriku di susul dengan Polisi Saryo dan Seorang Sniper. Sebagian pasukan yang ikut berjaga-jaga di belakang.

“ Aku menemukan lubang kotak ini, Na!.” Aku berteriak senang.

Ku lihat Nara diam sesaat. Wajahnya yang ikut terkena bias cahaya senter menyiratkan kalau ia sedang berpikir. Mimik dan gerak-geriknya kini memang berbeda setelah keluar dari penjara, sebenarnya apa yang dilakukan selama di penjara sana.

Nara kelihatan ingin menyerah. Sejenak ia seperti teringat sesuatu. Buru-buru ia mengeluarkan kotak itu dari tas cangklongnya yang di beri dari Polisi saryo. Nara mengamati kotak tersebut dengan cermat.

“ Apa yang akan kau lakukan dengan kotak itu.” Tanyaku penasaran.

“ Entahlah, sepertinya aku...”. Tiba-tiba Nara semangat.

“ Betapa bodohnya aku.” Nara memukul jidatnya sendiri.

“ Kau menemukan sesuatu.” Tanya Polisi Saryo, diikuti Seorang Sniper.

“ Sepertinya iya.” Nara kemudian mengambil kotak tersebut dan menempelkan bagian bawahnya ke lubang yang ada di dinding tersebut.

“ Lihat kotak ini pas sekali dengan lubang persegi empat ini.” Nara begitu senang. Tetapi kemudian tak terjadi apa-apa. Kotak itu menyisakan sebagian dan menonjol ke luar.


Polisi Saryo mencoba mendorong kesisi kanan dan kiri, tetapi tak terjadi apa-apa. Hanya meninggalakn keluhan. Nara mencoba mendorongnya keatas dan ke bawah tetapi tak ada reaksi.

“ Na, apa yang di sukai dari Anis.” Tanyaku.

“ Untuk apa, bukan waktu yang tepat untuk membicarakan orang yang sudah meninggal.” Jawabnya agak sedikit ketus. Cemburukah.

“ Sudah, jawab saja. Kau cemburu pada teman sekaligus orang yang sudah meninggal.”

“ Aku tidak cemburu.”

Polisi Saryo berdehem. Mungkin bilang: “Jangan kau cemburu pada orang yang sudah meninggal.”

“ Emm, Anis suka sekali dengan jam klasik pemberian neneknya. Katanya neneknya mendapatkannya dari kompeni.”

“jam klasik ya.” Aku bisa membayangkan jam klasik itu seperti apa. Mandor bangunan pernah membawa jam tersebut ketika ingin di servis. Di belakang jam itu seperti ada tuas untuk memutarnya. Tetapi tidak semua jam klasik memiliki tuas.

“ Apakah jam klasik itu memiliki tuas.”

“ Sepertinya punya. Aku pernah melihat Anis memutar jam tersebut ketika aku menginap di rumahnya.”

Mendengar jawaban tersebut, aku mencoba untung-untungan. Ku putar kotak kayu seperti memutar tuas pada jam klasik. Beberapa detik kemudian. Pintu kokoh terbuat dari baja terbuka. Kami saling pandang. Ada kegembiraan di hatiku. Aku tak menyangka bisa melakukan hal-hal ajaib di luar dugaanku.

“ Ayo kita masuk.” Perintah Polisi Saryo.

Kami berempat masuk kedalam melalui pintu itu di iringi sebagian pasukan dengan derap langkah sepatu mereka. Kami langsung di sambut dengan sebuah anak tangga yang mengubungkan dengan ruangan. Ku perlihatkan ada kotak-kota tebal mirip lemari yang berdiri saling berhimpitan. Satu persatu di periksa oleh seorang Sniper dengan menggunakan senter. Polisi Saryo melakukan hal yang sama. Aku dan Nara mengikuti dari belakang.

“ Butuh beberapa kunci untuk membuka kotak tebal ini.” Kata Sniper memecah keheningan. Konsentrasi kami langsung tertuju kepada kunci-kunci yang di simpan Nara dalam tasnya. Nara mengambil kunci dari dalam tasnya. Ada 13 kunci. Aku melepaskan kunci itu dari pengaitnya. Masing-masing mendapatan 3 kunci. Setelah itu kunci di masukan kedalam lubang kunci yang terdapat di kotak-kotak tebal itu, bergantian kami memasanganya. Karena seluruh ruangan gelap dan pekat, sedangkan senter hanya ada dua. Pasukan elit di bawah komando Polisi Saryo mengawasi dari belakang.

Setelah mendapatkan aba-aba dari Polisi Saryo. Kami berempat memutar kunci seperti membuka lemari baju. Beberapa detik kemudian, kami menunggu dengan cemas. Sebuah ruangan di atas kami terbuka. Makin lama makin lebar. Daun-daun kering diatasnya serta lapisan tanah ikut terbawa jatuh kebawah. Cahaya matahari leluasa masuk kedalam ruangan bawah tanah ini. Senter di matikan, tetapi barang haram itu belum di temukan.

Nara melonjak dan kaget ketika dari bawah muncul sebuah kotak mirip brangkas penyimpanan uang. Berdiri tegak dan menantang. Aku mendekat dan melihat brangkas itu, terlihat ada sebuah lubang kunci di bagian depan. Buru-buru Nara mengerti apa yang ku maksud. Ia mengambil kunci paling unik, bentuknya panjang seperti trisula kecil. Berwarna perak. Polisi Saryo dan Sniper mengikuti gerak-gerik kami. Mungkin terkesima melihat hal-hal aneh yang bisa kami pecahkan.

Ku masukan kunci unik itu kedalam lubang kunci yang ada di brangkas tersebut. Ku putar seperti membuka lemari baju. Setelah bunyi klik. Tiba-tiba seluruh ruangan bergemuruh seperti ada tsunami menghantam benteng-benteng kokoh. Dinding di belakang kami terbuka membelah jadi dua, sedikit demi sedikit seperti layar terkembang. Cahaya matahari membantu terang ruangan tersebut. Pelan tapi pasti. Tak begitu lama kami berempat terbelalak. Kami berempat di perlihatkan sebuah ruang 1000 meterpersegi lengkap dengan barang-barang bertumpuk. Polisi Saryo langsung masuk dan memastikan barang-barang tersebut. Ia terlihat senang barang yang dicarinya betul ada. Polisi baik hati itu melambaikan tangan kepadaku dan Nara.

Sampai di di hadapannya.

“ Inilah yang di namakan Narkoba, jangan pernah kau mencobanya. Dan ini uang palsu yang pernah di selipkan oleh Bondan ketika di suruh oleh Polisi Marno.”

Aku dan Nara terkesima melihat tumpukan uang kertas palsu dan Narkoba dalam jumlah jutaan ton. Polisi Saryo lalu menghubungi lewat kotak hitam yang menimbulkan suara brisik. Seorang Sniper tampak sibuk memeriksa.

0 Comments:

Posting Komentar