Aku di takdirkan mendapat garis keturunan
yang keras, bapakku seorang tentara yang sering bergerilya dari hutan satu ke
hutan yang lainnya. Ibuku juga mantan relawan dokter pada pasukan yang di
pimpin suaminya sendiri. Bertahun-tahun bergerilnya memimpin perjuangan melawan
rezim diktaktor yang di pimpin oleh temannya sendiri, mengkibatkan di lema
sendiri bagi Ayahku. Ketika dalam satu aksi baku tembak sedang berlangsung,
pasukan yang di pimpin oleh Ayahku berhasil memukul mundur pasukan pemberontak
yang di pimpin oleh temannya sendiri.
Dalam situasi yang menegangkan Ayahku berhasil menodongkan pistolnya tepat di kepala temannya. Adu argumen terjadi, sedang yang lainnya mengawasi dialog antar pemimpin itu. pistol yang Ayah pegang pelan-pelan di turunkan dan menghadap ke tanah. Di luar dugaan, tangan pemberontak itu menusukkan belati ke leher ayah dan kemudian menyayatnya secara melintang. Kejadiannya begitu cepat, salah satu anak buah Ayah langsung tanpa komando menusukkan bayonetnya ke punggung pemimpin pemberontak itu. bukan hasil kemenangan yang di dapat, tapi kesedihan yang kemudian melanda pleton yang di pimpin Ayahku. Begtulan kesimpulan yang selalu ku ingat. Kisah ini berhasil aku rekam dalam ingatanku. Hasil obrolan panjang dengan ibuku pada satu malam larut.
Kini takdir pun bersabda. Di bawag
gerimis hujan dan suasana mencekam. Aku tiarap sambil mengarahkan senjataku
pada jalan yang sering di lalui oleh musuh. Aku terpilih menjadi seorang sniper
yang bertugas mematikan lawan tanpa negosiasi. Aku sering berjam-jam menunggu
musuh yang ingin masuk kedalam perbatasan. Kini aksi yang ku jalankan sudah
memasuki angka 280. Aku terpilih menjadi sniper sejak usia 20 th. Kini usiaku
sudah genap 35 tahun. Aku juga hampir kehilangan pendengaran ketika menghindari
granat yang di lemparkan secara membabi
buta kearah ku. Tapi Tuhan masih berkendak lain, aku berhasil sembuh dengan
bantuan medis hasil team yang di bentuk oleh ibuku yang sudah sepuh.
Udara di atas tebing seperti ini memang
dingin. Di tambah lagi dengan gerimis yang terus menerus. Fokus pada target
adalah prinsipku sebagai seorang sniper. Arlojiku yang kupakai menujukkan pukul
3 pagi. Tapi pergerakan dari musuh belum juga kelihatan.
Menjelang pagi, satu pergerakan terjadi. Akupun
mengarahkan senjataku pada arah pergerakan itu. ku Zoom bayangan hitam itu. ku teliti
satu persatu kostum yang di pakai oleh musuh itu. dari senjata yang di
pegangnya ternyata dia juga seorang sniper.
Aku terhenyak kaget, di balik kostum yang di pakai oleh sniper itu. aku sangat
mengenalnya dengan baik. Ada gelang akar yang di pakai oleh sniper itu. aku
berusaha mengingat gelang itu baik-baik. Aku berusaha de ja vu sebentar pada
masa laluku.
Mataku melotot, adrenalinku terpacu. Gelang
itu adalah gelang yang kuberikan pada adikku ketika baru lulus sekolah ,
sebagai hadiah dari kelulusannya. Ku ambil
kesimpulan bahwa yang ku bidik sekarang adalah adikku sendiri. Sebagai al gojo
sniper yang masih menjunjung tinggi darah keturuanan, aku jadi bimbang sendiri.
Dalam kebimbangan dan keraguan itu, aku
melakukan gerakan yang salah. Dalam sekejap, peluru sudah mulai melesat cepat
di sampingku. Dalam kekalutan itu, aku memutuskan untuk keluar dari sarang. Sementara
peluru tetap saja mengitari setiap langkah mundurku. Tetapi bukan peluru yang
sedang ku pikirkan, tetapi kenapa lawanku sekarang adalah adikku sendiri. Yang beberapa
puluh tahun yang lalu, ku ajari cara menggunkan senjata dan membidik lawan
sesuai sasaran.
Aku menuruni tebing yang berbukit, dengan
perasaan yang tercabik-cabik. Adikku yang polos itu sekarang berubah menjadi
pembunuh bayaran yang tak kenal ampun....
0 Comments:
Posting Komentar