Rabu, 05 Desember 2012

Restu Sang Nenek


Tangisanku belum juga reda dari 1 jam yang lalu, masih meninggalkan sisa tangisan yang menyayat hati. Perjodohan di kalangan masyarakat di desaku terus mengakar kuat dan tampak tak tergoyahkan. Tekanan kuat untuk segera menerima perjodohan adalah dari nenek yang begitu kukuh mendesakku. Ibuku tampak tidak berdaya kalau nenek sudah berkehendak. Berkali-kali ibu membelaku dengan linangan air mata agar diriku bisa melanjutkan study ke jenjang Perguruan Tinggi.
            Kini aku duduk di ruang tamu. Masih dalam keadaan diam tak bicara. Aku seperti sedang di sidang di ruang pengadilan untuk menanti vonis hukuman. Aku tak berani memandang wajah nenekku. Wajah yang terlampau tegas dan kuat memegang keinginan. Kakak dan adik semuanya membisu, seperti baru terkena serangan zombi yang menakutkan. Ini hari terakhir aku di beri waktu oleh nenek. Aku tidak mengerti nenek begitu saja mengiyakan pihak keluarga laki-laki itu, sementara keputusan dan pendapatku seakan hanya buih di lautan, tak punya daya dan upaya. Tapi aku tidak akan menyerah dengan apa yang ku yakini dan apa yang ku cita-citakan. Untuk itulah aku terus bersikukuh untuk terus menolak perjodahan, meski aku kini kehilangan kemanjaan dari nenek.  
            “ Amy!, nenek pengin kamu bahagia dengan Sarman. Dengan begitu kita tidak akan susah lagi, dan punya hutang sana-sini.” Nenek kembali mempertanyakan hal yang sama. Entah sudah beberapa puluh kali nenek berkata seperti itu, aku sendiri sampai hafal intonasinya.
“ Jadi nenek menganggapku seperti barang dagangan, yang kalau laku bisa menyelesaikan masalah. Aku punya perasaan nek, punya pilihan dan punya keinginan.”  Aku menjawab dengan bibir gemetar sambil nafas  tersengal-sengal. Aku memberanikan diri untuk menatap wajah nenek yang tampak murka mendengar keputusanku yang tak di duga-duga. Ibuku tampak tidak percaya dengan perkataanku barusan, sesuatu yang jarang di ucapkan olehku. Ibuku tampak berubah cerah mukanya, aku seperti mendapat sinyal kalau ibu memang setuju dengan pendapatku ini.
Tanpa di duga sama sekali olehku. Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku yang putih. “ Plak!, cucu tidak tahu diri. Orang kaya mau melamar, kok malah di undur-undur. Amy!, kamu maunya apa sekarang!,”.  Nenek menggertakku keras mirip petugas satpam yang marah pada tamu yang tidak sopan. Tangan kanannya yang sudah berumur lebih dari setengah abad masih bertenaga ketika menamparku. Panas dan terasa perih, kupingku sampai berdenging.  
Kini tangisanku benar-benar mereda. Berganti dengan rasa panas dan perih pada pipiku. Dadaku naik turun menahan emosi yang meluap-luap. Aku menatap sejenak wajah nenek yang sedang murka begitu menakutkan. Di tambah  mulutnya  mengunyah daun sirih yang menyisakkan warna bibir dan gigi merah menyala. Di padu kulit nenek yang memang putih berkerut-kerut. Di tangan kirinya terdapat cawan untuk menampung sisa-sisa sirih yang di lepehkan. Aku melirik Ibu yang duduk di dekat nenek, kini wajahnya kelihatan tegang dan pucat. Baru kali ini anaknya di tampar dengan keras oleh neneknya sendiri. Semua menunggu melihat apa yang akan ku ucapkan.
“Amy Zahra!, ayo katakan apa maumu hah!, apa kamu jadi bisu sekarang!.” Nenek membentakku sekali lagi, sambil melepehkan sisa-sia sirih ke cawan yang ada di tangan kiri.
Aku mengumpulkan keberanian untuk berkata. Setelah  tamparan keras tadi, sepertinya aku kehilangan kemampuan untuk mengungkapkan perasaanku. Aku begitu shok, begitu juga dengan Ibu, kakak, dan kedua adikku. Bertahun-tahun aku di manja oleh nenek dengan penuh kasih sayang. Tidak ada kata-kata keras ataupun bentakkan. Sekarang nenek seperti manusia dari planet lain. Begitu dingin dan berbeda.
“Aku pengin kuliah nek, aku pengin mengangkat harkat martabat keluarga kita dengan pendidikan. Aku tidak mau terus menerus keluarga kita terjerat lintah darat yang tak punya perasaan itu nek. Keluarga kita harus berubah nek, nenek mau...cucunya sendiri di jadikan “budak” bagi laki-laki kaya itu. “Budak” yang selalu melayani semua kebutuhan tanpa ada celah untuk memberi pendapat apapun.” Nenek tampak diam mendengar bantahanku yang terasa jelas dan masuk akal, rasanya penjelasan ku mampu merubah keyakinan nenek tentang perjodohan ku dengan Sarman. Aku melanjutkan bantahanku.
“ Nek?, keluarga kita memang miskin nek. Hampir semua pohon sudah digadai dengan sejumlah uang. Aku yakin nek.., kemiskinan yang mendera keluarga kita ini dapat di lawan dengan perubahan. Salah satunya dengan pendidikan.” Lagi-lagi nenek diam sambil mengunyah sirih. Mungkin nenek tak mengira bahwa cucunya yang manja ini sekarang sudah punya pikiran cermerlang. Ibuku tampak tercengang mendengar sanggahanku yang begitu membuka pikiran. Sekarang aku ingin mendengarkan pendapat nenek yang terasa berubah sejak sebulan ini. Sejak perjodohoan itu nenek banyak berubah. Aku sebenarnya kangen dengan nenek yang dulu. Tapi rupanya desakan ekonomi dan hutang yang menumpuk membuat seseorang bisa berubah, termasuk nenekku.
“ Dasar anak keras kepala.!” Nenek menggebuk pinggiran meja yang di lapisi taplak merah marun. Aku kaget, begitu juga dengan Ibu dan saudara-saudaraku.
  “Kamu harus tanggung jawab apa yang kamu ucapkan. Buktikan ucapanmu itu!.” Nenek melepeh sirih yang terasa makin hambar. Sehambar ucapannya yang makin tak aku mengerti di mana sisi hati bijak yang dulu nenek ajarkan. Lalu melangkah ke kamar meninggalkanku dalam kebisuan yang semakin mendalam. Satu persatu saudaraku meninggalkan ruang tamu yang layaknya taman penjara. Di susul dengan Ibu yang menepuk bahuku dengan lembut. Lalu tersenyum getir. Senyum penuh dengan keterpaksaan.
                                                          ***             
Sarman pulang kerumah dengan wajah yang kusut. Sekusut hatinya yang terluka akibat keputusanku yang menolak “halus” perjodohan antara aku dengannya. Aku sengaja mengundangnya sendirian ke rumah tanpa keluarga besarnya. Ku utarakan keinginanku untuk melanjutkan studyku ke jenjang Perguruan tinggi. Hal ini aku bicarakan berdua di ruang tamu. Sarman sangat kaget dan tidak percaya mendengar keputusanku yang sepihak.  Hal yang sama yang di lakukan oleh Nenek terulang lagi hari ini. Sarman menggebrak meja dengan keras bahkan lebih keras dari nenek. Hanya saja Sarman tidak menamparku, aku masih lega karena Sarman masih bisa menahan diri untuk tidak menamparku.
 Sementara Ibu dan Nenek hanya mendengarkan keputusanku ini di dalam kamar. Aku heran, keajaiban apakah yang membuat nenek tak lagi ikut campur dalam keputusanku. Hanya satu malam nenek sudah berubah, dan semakin diam tak banyak cakap. Satu lagi “keanehan” yang kerap menjadi kepribadian nenek yang periang, pemarah dan egois, sekarang berubah menjadi lebih banyak diam, bahkan lebih diam dari pada orang yang pendiam sekalipun. Aku tak mengerti perubahan yang begitu cepat, secepat nenek menampar pipiku dengan keras kemarin sore.  
Di ruang tamu sekarang tinggal kelengangan yang ada. Hatiku sunyi tapi penuh dengan kemenangan dan ketenangan. Pengganjal terbesarku sekarang adalah sikap nenek yang tampak takku mengerti perangai dan sifatnya akhir-akhir ini. Apakah umur menjadi salah faktor pengubah kepribadian, atau khawatir bila cucu-cucunya di tinggalkan dengan kelemahan yang ada, akibat lilitan rentenir bertahun-tahun menjerat keluarganya.   
***
“ Ibu Kulsum Amy pamit dulu ya..., aku berkata sambil mengelap tanganku yang masih basah.
“ Iya My..., dan ini gaji bulan sekarang. Silahkan di terima ya...?, O ya My kapan kamu pergi ke Jakarta. Dan dengan siapa kamu pergi kesana.” Ibu Kulsum menyerahkan amplop putih sambil menanyakan kapan ku pergi ke Jakarta.
“ Terimakasih bu, kalau tidak ada halangan, besok pagi dengan Pak Ihsan yang kerja di Yayasan anak Yatim Piatu di Jakarta.” Aku menjawab sambil memasukkan amplop putih itu ke saku bajuku yang kedodoran.
Akupun langsung pamit untuk kembali kerumah. Sudah 3 bulan ini aku jadi pembantu di rumah Ibu Kulsum. Hasil jerih payahku selama 3 bulan akan aku gunakan untuk biaya perjalananku ke Jakarta. Sebagian aku akan kasih kepada Ibu untuk nambah belanja sehari-hari. Aku tak memperdulikan cibiran tetangga tentang pekerjaanku sebagai pembantu. Sebagian salut, tapi kebanyakan “menertawakan” apa yang ku lakukan. Sudah terlalu banyak kepedihan yang kurasakan, maka aku tak sempat membalas cemoohan sebagian tetangga yang tak suka dengan keluargaku. Yang kulakukan sekarang adalah membuktikan apa yang sedang ku cita-citakan. Karena menurutku yang mempan membungkam mulut-mulut comel itu hanya dengan bukti yang teramat nyata.
Sampai di rumah. Aku langsung masuk kamar dan merebahkan diri di Amben (tempat tidur dari bambu) yang nyaman. Mataku terpejam, tapi hatiku gundah gulana. Pikiran mengajakku untuk berdialog dengan hati. Kini anggota keluarga sudah merestui keberangkatanku ke Jakarta, tinggal nenek yang belum mengatakan apapun soal keinginanku ke Jakarta. Meski sudah bisa komunikasi kembali, tapi kini nenek lebih banyak diam dan mengurung di kamar tidur. Hal inilah yang semakin membuatku belum bisa tidur.
 Hari ini aku pulang sampai larut malam. Sengaja agar pekerjaan yang menumpuk di rumah Ibu Kulsum bisa terselesaikan. Makanya tenagaku begitu terkuras ketika selesai mencuci baju yang menumpuk, menyetrika mengepel, hingga mencuci piring bekas ibu-ibu arisan tiap akhir bulan.  Aku belum bisa tidur, walau raga sudah teramat letih. Pikiranku yang masih di liputi dengan perasaan bersalah kepada nenek. Belum lagi masalah hutang, perjodohan, menambah aku terjaga sampai selarut ini. Dalam kesendirian seperti ini aku jadi ingat dengan Ayahku yang sedang merantau ke negeri orang. Lalu aku beranjak dari tempat tidur untuk menulis surat. Dalam isi surat yang kutulis itu, aku minta doa restu kepada Ayah tentang keinginanku untuk melanjutkan study. Masalah perjodohan sama sekali tak aku singgung dalam surat yang ku tulis. Aku tidak ingin membuat Ayah tidak konsentrasi dalam bekerja. Tidak ingin membuat Ayah kepikiran mengenai kondisi keluarganya yang di tinggal merantau. Alamat Yayasan aku tuliskan dengan huruf kapital, supaya Ayah mudah membacanya. Aku merebahkan badan sejenak, agar badan terasa lebih nyaman. “Nyanyian” belalang di luar rumah, suaranya terdengar jelas. Hewan inilah yang sering mengantar tidur malamku setelah teriringi dengan doa.
***
Pagi menyambutku dengan ceria. Kewajibanku sebagai seorang muslimah sudah kutunaikan. Kini giliran menanti waktu keberangkatanku. Sebuah kepastian dan harapan akan segera memenuhi cita-citaku. Aku bertekad akan meminta restu dari nenek apapun resiko yang akan terjadi. Walau bagaimanapun nenek pada dasarnya adalah seorang yang hatinya lembut dan perasa. Desakan ekonomi membuat jiwa nenek sempat goyah dari situasi yang ada. Tanpa restu dari sang nenek maka hatiku tidak tenang, langkahku akan terasa pincang dan terseok-seok.
Keluar dari kamar semua anggota keluarga sudah menanti di ruang tamu. Kecuali nenek. Satu persatu aku menyalaminya dan memeluknya. Semuanya meneteskan air mata. Bahkan Ibu kerap kali mengusap air mata dengan punggung tangannya yang kukuh. Di depan rumah, Pak Ihsan sudah menunggu dengan angkot sewaannya yang akan mengantarkanku dan keluarga Pak Ihsan sampai ke terminal. Aku memberanikan diri untuk menemui nenek. Berkali-kali aku minta doarestu dan maaf atas sikap yang tidak patuh kepada sang nenek. Nenek sama sekali tak menatapku, dan itu yang sangat menyakitkan. Nenek hanya memandangi butiran-butiran tasbih  yang sedang di genggamnya. Melihat sikap nenek yang seperti itu, air mataku mulai turun. Lalu di susul dengan suara tangisanku yang menghiba. Sambil  memeluk nenek, aku meminta restu dan maaf.    
Melihat tidak ada respon, aku pelan-pelan melepaskan pelukan. Dan mulai berdiri meninggalkan nenek yang tengah duduk di kamar sendirian. Mungkin perjalananku kini akan terasa pincang dan tak tenang. Sebuah suara yang lama ingin ku dengar tiba-tiba menyadarkanku dalam kesedihan. Aku pun membalikkan badan. Dan nenek sudah berdiri menatapku dengan linangan air mata yang menyedihkan. Akupun langsung menghampirinya dan memeluknya dengan erat. Sebuah suara lembut menyapa telingaku. “Maafin nenek ya..My, dan sekarang kejarlah cita-citamu itu.” dan nenek makin memelukku dengan erat. Itulah nenek kalau marah serasa bagai gunung meletus, tapi kalau sudah sadar akan kesalahan. Baiknya minta ampun. Kini aku dapat berjalan dengan ringan menuju angkot. Restu nenek akan memberikan nafas perjalanan perubahan hidupku yang semakin meyakinkan.
Semua anggota keluarga termasuk nenek melepasku di halaman rumah. Wajah Ibu begitu sembab oleh air mata. Aku melambaikan tangan kepada mereka. Lewat jendela angkot yang terbuka. Sebelum kepergian ibu menyelipkan kertas di tanganku. Angkot perlahan-lahan meninggalkan rumah kelahiranku. Tiba-tiba Ibu berlari mengejar angkot yang ku naiki. “Mas berhenti dulu.” Perintahku sambil menggenggam erat lipatan kertas dari ibu.
“ Jangan lupa tulis surat sama Ibu ya My, dan ini ada titipan dari Ibu Kulsum. Hati-hati My. Soal hutang biar Ibu dan nenek yang mengatasinya.” Aku menganggukkan kepala. Tak terasa air mata turun juga dari sudut mataku. Ibu terus menatap angkot di susul dengan kakak dan kedua adikku, sampai hilang tertutup pohon-pohon besar. Inilah langkahku, langkah yang akan mengawali suatu perubahan. Aku mengahapus air mataku dan menatap lurus kedepan. Setelah restu nenek ku dapat, hatiku kuat mencengkram cita-cita.   
Aku menghapus air mataku dengan saputangan merah jambu. Aku tidak ingin membuat keluarga Pak Ihsan sedih melihat keadaanku. Aku harus menunjukkan kalau aku memang sudah siap untuk menjejakkan kaki di negeri orang. Ku kakatakan pada mereka berdua kalau aku tidak apa-apa. Ku lihat langit di sana mendung pertanda mau hujan. Sementara angkot terus membelah jalanan desaku, pohon-pohon seakan melambai-lambai padaku agar tetap semangat dan tak putus asa. Tunggulah desaku, tunggulah kedatanganku dengan perubahan yang ku bawa. Akan ku tunjukkan pada dunia bahwa takdir bisa berubah. Aku percaya bahwa ada takdir-takdir yang bisa di ubah dengan usaha maksimal dan tanpa kenal lelah, karena Tuhan yang mengajarkan seperti itu. Aku sangat percaya hal itu...

0 Comments:

Posting Komentar