Tangisanku belum juga reda dari 1 jam yang lalu, masih meninggalkan
sisa tangisan yang menyayat hati. Perjodohan di kalangan masyarakat di desaku
terus mengakar kuat dan tampak tak tergoyahkan. Tekanan kuat untuk segera
menerima perjodohan adalah dari nenek yang begitu kukuh mendesakku. Ibuku
tampak tidak berdaya kalau nenek sudah berkehendak. Berkali-kali ibu membelaku
dengan linangan air mata agar diriku bisa melanjutkan study ke jenjang
Perguruan Tinggi.
Kini aku duduk di ruang tamu. Masih
dalam keadaan diam tak bicara. Aku seperti sedang di sidang di ruang pengadilan
untuk menanti vonis hukuman. Aku tak berani memandang wajah nenekku. Wajah yang
terlampau tegas dan kuat memegang keinginan. Kakak dan adik semuanya membisu,
seperti baru terkena serangan zombi yang menakutkan. Ini hari terakhir aku di
beri waktu oleh nenek. Aku tidak mengerti nenek begitu saja mengiyakan pihak
keluarga laki-laki itu, sementara keputusan dan pendapatku seakan hanya buih di
lautan, tak punya daya dan upaya. Tapi aku tidak akan menyerah dengan apa yang
ku yakini dan apa yang ku cita-citakan. Untuk itulah aku terus bersikukuh untuk
terus menolak perjodahan, meski aku kini kehilangan kemanjaan dari nenek.
“ Amy!, nenek pengin kamu bahagia
dengan Sarman. Dengan begitu kita tidak akan susah lagi, dan punya hutang
sana-sini.” Nenek kembali mempertanyakan hal yang sama. Entah sudah beberapa
puluh kali nenek berkata seperti itu, aku sendiri sampai hafal intonasinya.
“ Jadi nenek menganggapku seperti barang dagangan, yang kalau laku
bisa menyelesaikan masalah. Aku punya perasaan nek, punya pilihan dan punya
keinginan.” Aku menjawab dengan bibir
gemetar sambil nafas tersengal-sengal.
Aku memberanikan diri untuk menatap wajah nenek yang tampak murka mendengar keputusanku
yang tak di duga-duga. Ibuku tampak tidak percaya dengan perkataanku barusan,
sesuatu yang jarang di ucapkan olehku. Ibuku tampak berubah cerah mukanya, aku
seperti mendapat sinyal kalau ibu memang setuju dengan pendapatku ini.
Tanpa di duga sama sekali olehku. Sebuah tamparan keras mendarat di
pipiku yang putih. “ Plak!, cucu tidak tahu diri. Orang kaya mau melamar, kok
malah di undur-undur. Amy!, kamu maunya apa sekarang!,”. Nenek menggertakku keras mirip petugas satpam
yang marah pada tamu yang tidak sopan. Tangan kanannya yang sudah berumur lebih
dari setengah abad masih bertenaga ketika menamparku. Panas dan terasa perih,
kupingku sampai berdenging.
Kini tangisanku benar-benar mereda. Berganti dengan rasa panas dan
perih pada pipiku. Dadaku naik turun menahan emosi yang meluap-luap. Aku
menatap sejenak wajah nenek yang sedang murka begitu menakutkan. Di tambah mulutnya mengunyah daun sirih yang menyisakkan warna
bibir dan gigi merah menyala. Di padu kulit nenek yang memang putih
berkerut-kerut. Di tangan kirinya terdapat cawan untuk menampung sisa-sisa
sirih yang di lepehkan. Aku melirik Ibu yang duduk di dekat nenek, kini
wajahnya kelihatan tegang dan pucat. Baru kali ini anaknya di tampar dengan
keras oleh neneknya sendiri. Semua menunggu melihat apa yang akan ku ucapkan.
“Amy Zahra!, ayo katakan apa maumu hah!, apa kamu jadi bisu
sekarang!.” Nenek membentakku sekali lagi, sambil melepehkan sisa-sia sirih ke
cawan yang ada di tangan kiri.
Aku mengumpulkan keberanian untuk berkata. Setelah tamparan keras tadi, sepertinya aku kehilangan
kemampuan untuk mengungkapkan perasaanku. Aku begitu shok, begitu juga dengan
Ibu, kakak, dan kedua adikku. Bertahun-tahun aku di manja oleh nenek dengan
penuh kasih sayang. Tidak ada kata-kata keras ataupun bentakkan. Sekarang nenek
seperti manusia dari planet lain. Begitu dingin dan berbeda.
“Aku pengin kuliah nek, aku pengin mengangkat harkat martabat
keluarga kita dengan pendidikan. Aku tidak mau terus menerus keluarga kita
terjerat lintah darat yang tak punya perasaan itu nek. Keluarga kita harus
berubah nek, nenek mau...cucunya sendiri di jadikan “budak” bagi laki-laki kaya
itu. “Budak” yang selalu melayani semua kebutuhan tanpa ada celah untuk memberi
pendapat apapun.” Nenek tampak diam mendengar bantahanku yang terasa jelas dan
masuk akal, rasanya penjelasan ku mampu merubah keyakinan nenek tentang
perjodohan ku dengan Sarman. Aku melanjutkan bantahanku.
“ Nek?, keluarga kita memang miskin nek. Hampir semua pohon sudah
digadai dengan sejumlah uang. Aku yakin nek.., kemiskinan yang mendera keluarga
kita ini dapat di lawan dengan perubahan. Salah satunya dengan pendidikan.”
Lagi-lagi nenek diam sambil mengunyah sirih. Mungkin nenek tak mengira bahwa
cucunya yang manja ini sekarang sudah punya pikiran cermerlang. Ibuku tampak
tercengang mendengar sanggahanku yang begitu membuka pikiran. Sekarang aku
ingin mendengarkan pendapat nenek yang terasa berubah sejak sebulan ini. Sejak
perjodohoan itu nenek banyak berubah. Aku sebenarnya kangen dengan nenek yang
dulu. Tapi rupanya desakan ekonomi dan hutang yang menumpuk membuat seseorang
bisa berubah, termasuk nenekku.
“ Dasar anak keras kepala.!” Nenek menggebuk pinggiran meja yang di
lapisi taplak merah marun. Aku kaget, begitu juga dengan Ibu dan
saudara-saudaraku.
“Kamu harus tanggung jawab apa yang kamu
ucapkan. Buktikan ucapanmu itu!.” Nenek melepeh sirih yang terasa makin hambar.
Sehambar ucapannya yang makin tak aku mengerti di mana sisi hati bijak yang
dulu nenek ajarkan. Lalu melangkah ke kamar meninggalkanku dalam kebisuan yang
semakin mendalam. Satu persatu saudaraku meninggalkan ruang tamu yang layaknya
taman penjara. Di susul dengan Ibu yang menepuk bahuku dengan lembut. Lalu
tersenyum getir. Senyum penuh dengan keterpaksaan.
***
Sarman pulang kerumah dengan wajah yang
kusut. Sekusut hatinya yang terluka akibat keputusanku yang menolak “halus”
perjodohan antara aku dengannya. Aku sengaja mengundangnya sendirian ke rumah
tanpa keluarga besarnya. Ku utarakan keinginanku untuk melanjutkan studyku ke
jenjang Perguruan tinggi. Hal ini aku bicarakan berdua di ruang tamu. Sarman
sangat kaget dan tidak percaya mendengar keputusanku yang sepihak. Hal yang sama yang di lakukan oleh Nenek
terulang lagi hari ini. Sarman menggebrak meja dengan keras bahkan lebih keras
dari nenek. Hanya saja Sarman tidak menamparku, aku masih lega karena Sarman
masih bisa menahan diri untuk tidak menamparku.
Sementara
Ibu dan Nenek hanya mendengarkan keputusanku ini di dalam kamar. Aku heran,
keajaiban apakah yang membuat nenek tak lagi ikut campur dalam keputusanku. Hanya
satu malam nenek sudah berubah, dan semakin diam tak banyak cakap. Satu lagi
“keanehan” yang kerap menjadi kepribadian nenek yang periang, pemarah dan
egois, sekarang berubah menjadi lebih banyak diam, bahkan lebih diam dari pada
orang yang pendiam sekalipun. Aku tak mengerti perubahan yang begitu cepat, secepat
nenek menampar pipiku dengan keras kemarin sore.
Di ruang tamu sekarang tinggal
kelengangan yang ada. Hatiku sunyi tapi penuh dengan kemenangan dan ketenangan.
Pengganjal terbesarku sekarang adalah sikap nenek yang tampak takku mengerti
perangai dan sifatnya akhir-akhir ini. Apakah umur menjadi salah faktor
pengubah kepribadian, atau khawatir bila cucu-cucunya di tinggalkan dengan
kelemahan yang ada, akibat lilitan rentenir bertahun-tahun menjerat
keluarganya.
***
“ Ibu Kulsum Amy pamit dulu ya..., aku berkata sambil mengelap
tanganku yang masih basah.
“ Iya My..., dan ini gaji bulan sekarang. Silahkan di terima ya...?,
O ya My kapan kamu pergi ke Jakarta. Dan dengan siapa kamu pergi kesana.” Ibu Kulsum
menyerahkan amplop putih sambil menanyakan kapan ku pergi ke Jakarta.
“ Terimakasih bu, kalau tidak ada halangan, besok pagi dengan Pak
Ihsan yang kerja di Yayasan anak Yatim Piatu di Jakarta.” Aku menjawab sambil
memasukkan amplop putih itu ke saku bajuku yang kedodoran.
Akupun langsung pamit untuk kembali kerumah. Sudah 3 bulan ini aku
jadi pembantu di rumah Ibu Kulsum. Hasil jerih payahku selama 3 bulan akan aku
gunakan untuk biaya perjalananku ke Jakarta. Sebagian aku akan kasih kepada Ibu
untuk nambah belanja sehari-hari. Aku tak memperdulikan cibiran tetangga tentang
pekerjaanku sebagai pembantu. Sebagian salut, tapi kebanyakan “menertawakan”
apa yang ku lakukan. Sudah terlalu banyak kepedihan yang kurasakan, maka aku
tak sempat membalas cemoohan sebagian tetangga yang tak suka dengan keluargaku.
Yang kulakukan sekarang adalah membuktikan apa yang sedang ku cita-citakan. Karena
menurutku yang mempan membungkam mulut-mulut comel itu hanya dengan bukti yang
teramat nyata.
Sampai di rumah. Aku langsung masuk kamar dan merebahkan diri di Amben
(tempat tidur dari bambu) yang nyaman. Mataku terpejam, tapi hatiku gundah
gulana. Pikiran mengajakku untuk berdialog dengan hati. Kini anggota keluarga sudah
merestui keberangkatanku ke Jakarta, tinggal nenek yang belum mengatakan apapun
soal keinginanku ke Jakarta. Meski sudah bisa komunikasi kembali, tapi kini
nenek lebih banyak diam dan mengurung di kamar tidur. Hal inilah yang semakin
membuatku belum bisa tidur.
Hari ini aku pulang sampai larut
malam. Sengaja agar pekerjaan yang menumpuk di rumah Ibu Kulsum bisa terselesaikan.
Makanya tenagaku begitu terkuras ketika selesai mencuci baju yang menumpuk,
menyetrika mengepel, hingga mencuci piring bekas ibu-ibu arisan tiap akhir
bulan. Aku belum bisa tidur, walau raga
sudah teramat letih. Pikiranku yang masih di liputi dengan perasaan bersalah
kepada nenek. Belum lagi masalah hutang, perjodohan, menambah aku terjaga
sampai selarut ini. Dalam kesendirian seperti ini aku jadi ingat dengan Ayahku
yang sedang merantau ke negeri orang. Lalu aku beranjak dari tempat tidur untuk
menulis surat. Dalam isi surat yang kutulis itu, aku minta doa restu kepada
Ayah tentang keinginanku untuk melanjutkan study. Masalah perjodohan sama
sekali tak aku singgung dalam surat yang ku tulis. Aku tidak ingin membuat Ayah
tidak konsentrasi dalam bekerja. Tidak ingin membuat Ayah kepikiran mengenai kondisi
keluarganya yang di tinggal merantau. Alamat Yayasan aku tuliskan dengan huruf
kapital, supaya Ayah mudah membacanya. Aku merebahkan badan sejenak, agar badan
terasa lebih nyaman. “Nyanyian” belalang di luar rumah, suaranya terdengar
jelas. Hewan inilah yang sering mengantar tidur malamku setelah teriringi
dengan doa.
***
Pagi menyambutku dengan ceria. Kewajibanku sebagai seorang muslimah
sudah kutunaikan. Kini giliran menanti waktu keberangkatanku. Sebuah kepastian
dan harapan akan segera memenuhi cita-citaku. Aku bertekad akan meminta restu
dari nenek apapun resiko yang akan terjadi. Walau bagaimanapun nenek pada
dasarnya adalah seorang yang hatinya lembut dan perasa. Desakan ekonomi membuat
jiwa nenek sempat goyah dari situasi yang ada. Tanpa restu dari sang nenek maka
hatiku tidak tenang, langkahku akan terasa pincang dan terseok-seok.
Keluar dari kamar semua anggota keluarga sudah menanti di ruang
tamu. Kecuali nenek. Satu persatu aku menyalaminya dan memeluknya. Semuanya
meneteskan air mata. Bahkan Ibu kerap kali mengusap air mata dengan punggung
tangannya yang kukuh. Di depan rumah, Pak Ihsan sudah menunggu dengan angkot
sewaannya yang akan mengantarkanku dan keluarga Pak Ihsan sampai ke terminal. Aku
memberanikan diri untuk menemui nenek. Berkali-kali aku minta doarestu dan maaf
atas sikap yang tidak patuh kepada sang nenek. Nenek sama sekali tak menatapku,
dan itu yang sangat menyakitkan. Nenek hanya memandangi butiran-butiran tasbih yang sedang di genggamnya. Melihat sikap nenek
yang seperti itu, air mataku mulai turun. Lalu di susul dengan suara tangisanku
yang menghiba. Sambil memeluk nenek, aku
meminta restu dan maaf.
Melihat tidak ada respon, aku pelan-pelan melepaskan pelukan. Dan
mulai berdiri meninggalkan nenek yang tengah duduk di kamar sendirian. Mungkin
perjalananku kini akan terasa pincang dan tak tenang. Sebuah suara yang lama
ingin ku dengar tiba-tiba menyadarkanku dalam kesedihan. Aku pun membalikkan
badan. Dan nenek sudah berdiri menatapku dengan linangan air mata yang
menyedihkan. Akupun langsung menghampirinya dan memeluknya dengan erat. Sebuah
suara lembut menyapa telingaku. “Maafin nenek ya..My, dan sekarang kejarlah
cita-citamu itu.” dan nenek makin memelukku dengan erat. Itulah nenek kalau
marah serasa bagai gunung meletus, tapi kalau sudah sadar akan kesalahan.
Baiknya minta ampun. Kini aku dapat berjalan dengan ringan menuju angkot. Restu
nenek akan memberikan nafas perjalanan perubahan hidupku yang semakin meyakinkan.
Semua anggota keluarga termasuk nenek melepasku di halaman rumah.
Wajah Ibu begitu sembab oleh air mata. Aku melambaikan tangan kepada mereka.
Lewat jendela angkot yang terbuka. Sebelum kepergian ibu menyelipkan kertas di
tanganku. Angkot perlahan-lahan meninggalkan rumah kelahiranku. Tiba-tiba Ibu
berlari mengejar angkot yang ku naiki. “Mas berhenti dulu.” Perintahku sambil
menggenggam erat lipatan kertas dari ibu.
“ Jangan lupa tulis surat sama Ibu ya My, dan ini ada titipan dari
Ibu Kulsum. Hati-hati My. Soal hutang biar Ibu dan nenek yang mengatasinya.” Aku
menganggukkan kepala. Tak terasa air mata turun juga dari sudut mataku. Ibu
terus menatap angkot di susul dengan kakak dan kedua adikku, sampai hilang
tertutup pohon-pohon besar. Inilah langkahku, langkah yang akan mengawali suatu
perubahan. Aku mengahapus air mataku dan menatap lurus kedepan. Setelah restu
nenek ku dapat, hatiku kuat mencengkram cita-cita.
Aku
menghapus air mataku dengan saputangan merah jambu. Aku tidak ingin membuat
keluarga Pak Ihsan sedih melihat keadaanku. Aku harus menunjukkan kalau aku
memang sudah siap untuk menjejakkan kaki di negeri orang. Ku kakatakan pada
mereka berdua kalau aku tidak apa-apa. Ku lihat langit di sana mendung pertanda
mau hujan. Sementara angkot terus membelah jalanan desaku, pohon-pohon seakan
melambai-lambai padaku agar tetap semangat dan tak putus asa. Tunggulah desaku,
tunggulah kedatanganku dengan perubahan yang ku bawa. Akan ku tunjukkan pada
dunia bahwa takdir bisa berubah. Aku percaya bahwa ada takdir-takdir yang bisa
di ubah dengan usaha maksimal dan tanpa kenal lelah, karena Tuhan yang
mengajarkan seperti itu. Aku sangat percaya hal itu...
0 Comments:
Posting Komentar