BABAK 10
Escape From Personality
Perutku mules tiada tertahan, sementara suamiku entah dimana. Apakah serdadu-serdadu yang telah dikirim penguasa berhasil meringkusnya?, tidak ia lelaki yang pandai dan cermat membaca situasi, tak mudah untuk menangkapnya. Atau jangan-jangan ia tengah meringkuk bersama hewan-hewan pengerat yang jorok, kudisan, dan kelaparan.
Aku memanggil ibu yang tengah memasak. Ia berlari sambil mengelap keningnya yang telah lama keriput. Cengkaramannya tangannya masih sekokoh dulu, meski ditingkahi dengan helaia nafas dan cepat-cepat gemetar.
Ibuku memapah ke rumah tetangga yang memiliki becak. Sambil menahan kontraksi yang menyakitkan dan guncangan jalan yang tak pernah diperhatikan oleh para penguasa, kecuali jelang masa-masa pencalonan. Realita sangat menyebalkan. Aku bisa apa dengan kondisi seperti ini, aku tak cukup kuat dan kata-kataku seringkali sumbang dan tak jelas arahnya. Penguasa itu benar-benar memiliki kemampuan untuk menyetop otakku agar tak berpikir di luar kendalinya.
Sampai di rumah bidan, suamiku benar-benar tak datang. Bahkan sampai malam ketika bayi dalam kandunganku sudah tak sabar bertemu dengan bapaknya. Orang yang sedang dalam masa paceklik dicari oleh penguasanya sendiri, gara-gara dituduh memimpin demonstrasi para buruh.
“Pembukaan Sembilan, mana suamimu,” tanya bidan sambil terus mengintip bagian kewanitaanku.
“Ia sedang ada urusan penting,” jawabku sekenanya. Sakit ini seperti mau membunuhku.
“Semua laki-laki memang sama, mau enaknya dong, giliran ‘begini’ mereka tak ada dengan seribu alasan.”
Ketika intruksi dorong, ambil nafas, dan seterusnya. Seseorang menggengam erat tanganku. Rasa sakit yang luar biasa ini telah menguarangi mawasku terhadap kehadiran suamiku sendiri. Bibirnya pucat dan mata kanannya bengkak, ada noda darah disana. Tapi nanti saja kutanyakan, keselamatan bayiku lebih utama. Maaf ya…
Ia mengelus dahi dan rambutku. Tak ada kata-kata yang terucap dari mulutnya. Ia yang terbiasa membaca puisi ternyata gagu menghadapi istrinya yang tengah berjuang melahirkan buah cintanya. Rasanya cukup meski tak ada kata-kata penyemangat yang kelur mulutnya.
Detik-detik yang menegangkan itu terbayar lunas oleh seonggok daging yang terasa ringan keluar dari alat kelaminku. Suara tangis lembut dan manja menandakan aku telah menjadi ibu, sementara Lukman, suamiku yang kini telah jadi ayah sekaligus buron penguasanya sendiri.
Mungkin kalian lebih tertarik pada kisah suamiku dari pada kisahku yang melahirkan. Peristiwa kelahiran mungkin terlalu biasa untuk diceritakan. Ini semacam intermezo dari kisah suamiku yang akhir-akhir ini kurasakan akan terjadi sesuatu yang menyakitkan.
Untuk sejenak dalam posisi yang menurut kalian tidak menguntungkan. Sekali lagi aku mohon kerendahan hati kalian untuk mendengarkan kalimat-kalimat sederhana, dari seorang ibu rumah tangga yang suaminya kini pontang-panting lari menghindari dari serdadu pemerintah. Tangkap hidup atau mati adalah slogan yang pernah ku dengar dari orang-orang yang pernah menonton film-film wajib.
Suamiku adalah guru yang paling jujur dalam menerima penindasan dari para penguasa, negerinya sendiri. Penguasa ketika beretorika atau berpidato seakan ia malaikat yang suci kejahatan. Bahkan mereka mungkin tak pernah sujud secara mendalam seperti para malaikat, meski ia tak berdosa. Sujud-sujud para penguasa seringkali pupus kedamaian ketika sepuluh langkah dari masjid.
Bagi yang mengalami pengejaran atau buron sepanjang waktu, hal itu menjadi petaka yang membuat kalian bisa saja gantung diri di tali jemuran. Suamiku menolak patah, ia ingin menunjukkan kalau raganya sekuat gatot kaca. Otot kawat balung besi. Meski mungkin suatu saat akan kehilangan nyawanya. Dan ia akan meninggalkanku sendirian bertahan dalam status janda. Status yang tidak mudah di negeri timur ini.
Lihat tindakan para penguasa itu kawan. Di saat rakyat mengantri beras dengan kaki-kaki borok tanpa perban, para penguasa itu sedang nyaman menghisap cerutu ditemani segelas kopi impor yang mendunia. Mereka tak peduli dengan keadaan rakyatnya, meski seringkali pidatonya mengatasnamakan kesengsaraan rakyat dan bla-bla-bla. Meski bajunya yang aduhai tak bisa menutupi pidatonya yang tak bertenaga.
Kawan sejatinya kini meringkuk di penjara, tanpa proses seperti biasanya. Mereka bak kadal yang enak untuk santapan ular kobra pagi hari. Aku heran sendiri kenapa suamiku masih bebas melenggang kangkung menghindari para serdadu. Mereka melakukan penyemaran beranek ragam bentuk dan profesinya. Elang seperti mendapati mereka satu-persatu. Tapi sampai kapan Elang bisa membaca situasi, aksennya yang cadel mudah sekali untuk dikenali. Kuharap ia akan baik-baik saja selama jauh dari pelukanku.
Yang berani justru harus menjadi buron atau meringkuk di penjara bersama para tikus-tikus ganas yang siap membuat kalian jadi pecundang bila tak kuat-kuat pendirian. Menurut kawan baik Lukman, sekolah terbaik adalah penjara. Para penguhuni bisa menjadi lebih baik atau buruk. Bahkan menurut kabar, seorang ulama jauh dari negeri kita yang wafat di tiang gantungan telah meninggalkan warisan berupa puluhan jilid tentang semangat perjuangan dan ketaatan kepada Tuhan.
Suamiku akan meninggkan warisan apa, ia tak bersekolah tinggi. Putus sekolah karena masalah klasik rakyat jelata. Ia harus berbagi bangku sekolah dengan adik-adiknya. Tak pilih jenis pekarjaan, yang penting bisa menghasilkan uang dan operasional keluarga bisa berjalan. Ia akan mewariskan kebaranian dan semangat pantang menyerah, yang akan dikenang oleh anak cucunya. Mungkin hanya kumpulan syair juga tak apa, meninggalkan harta bisa menjadi petaka yang bisa mengancam jiwa. Tapi ilmu akan menaungi benak dan raga kita.
Aku tak pandai merangkai kata seperti yang kalian harapkan. Setidaknya cara ini bisa mengurasi depresi akut atas suamiku yang kini jarang pulang. Makan dan minum di mana. Mungkin sekarang sedang meringkuk di mushola milik orang-orang muslim. Meski ia sendiri tak sembahyang. Sebelum ia pergi menjauh dari para serdadu ia pernah mengingatkanku agar tak salah menilai orang-orang muslim. Mereka orang-orang yang baik, katanya.
Aku berdoa agar ia cepat-cepat menemukan teman perjalanan yang berani dan satu pemikiran dengannya. Hingga suamiku bisa tertawa renyah. Ia tak bisa tertawa pada saat para penguasa mencoba menghibur rakyatnya dengan mengetes nama-nama ikan, menghadiahkan dengan sebuah sepeda, atau sekaranjang jagung kering yang bisa bertahan selama satu bulan. Jika Lukman cepat menemukan sahabat baru yang sejalan dengan idealismenya. Ia dapat bertahan dalam mental prima, meski kepungan bahaya telah lama mengancamnya.
Kopi yang kusajikan di pagi ini telah lama dingin. Bahkan telah tercebur satu ekor lalat. Kuambil lalat itu dengan sendok, lalu pelan-pelan mulai kuminum seteguk demi seteguk. Lambungnya terguyur pahitnya kopi, dan kedua mata mulai hujan.
Sore yang teduh ini membuatku tenang. Ada burung prenjak yang mengoceh sambil menikmati ulat-ulat yang bergelantungan pada banyak ranting dan daun. Kulihat kakinya yang teramat ramping memudahkan burung berpindah dari dahan satu ke dahan lainnya.
Burung itu terbang ketika melintas di bawahnya. Ia meninggalkan pohon kopi pada saat hewan penerima ilham itu hinggap di atas bunga kopi yang putih. Dengungannya hampir tak terdengar, mungkin karena ia sendirian. Tak banyak membawa teman seperti biasanya. Aku iri dengannya, ia diberi ilham oleh Tuhan pemilik semesta ini. kata-kata itu kudengar dari salah seorang tetangga yang gemar ke masjid dan memberikan petuah bijak selepas subuh.
Kutuju rumah diujung desa, kalian pikir itu jauh. Kami hanya menyebutnya ujung desa agar orang-orang dari luar desa ini tak ingin kesana. Seperti ingin menyembunyikan rumah yang kini sudah lapuk, jompo, dan bila angin berkecepatan sedang mungkin bisa merobohkannya.
Ingin kuketuk rumah berbilik bambu yang aroma rayap tersebar di mana-mana. Sebuah suara sudah mendahuluiku. Berulangkali kuingin menghindari rumah yang satu ini, pada saat yang sama kedua kaki ini seperti diarahkan penyihir untuk melangkah ke rumah ini.
“Baumu sudah tercium dari jarak 25 meter, ada apa kau kesini.”
“Melihatmu.”
“Aku tak ingin bercakap-cakap dengan pembohong, ayo pulang!”
“Sebentar lagi aku akan jadi janda, apa kau tak merasa kasihan.”
“Kau tak pandai bersandiwara, sekarang pulanglah.”
Perempuan paroh baya itu menutup pintu setelah mendorongku agak kasar. Pengucilan dari orang-orang terdegkatnya membuatnya menjadi kacau. Ia bahkan menyumpahi dengan serapah kotor menyebutku binatang ternak dan seterusnya.
“Mas Elang belum pulang beberapa hari ini Mbok, apa dia pernah kesini?”
Pintu itu dibuka dan membawa bakulan berisi pisang emas yang masih mengkel. Ia memandangku lekat-lekat seperti dukun beranak.
“Anak itu memang bandel, sudah kubilang jangan pernah ikut demo-demo, dicap ini itu, bahkan ibunya sendiri tak tembus juga kata-katanya.”
Ia masuk kedalam dan keluar lagi, tangan kanannya sudah merapalkan sirih dan kemenyan. Mulutnya mengunyah dengan kasar, mengecap, menghela, pada detik yang tak diduga ia menyemprotkan sirihnya berkali-kali secara mengagumkan.
Kuseret wadah kinang, mengambil satu persatu bahan yang dibutuhkan. Lalu pelan-pelan kuisi daun sirih hijau itu dengan aneka rupa; tembakau, cengkih, wuwur, kemenyan, kapur, daging jambe, dan beberapa bahan misterius yang ketika kutanyakan pada si mbok hanya gerutuan yang kudapat.
Pada saat mentalku kuat mengadapi hal-hal yang tak terduga, kunjungan ke rumah si mbok adalah hal yang paling kuhindari. Tapi, di saat genting seperti rumah si mbok bagai dokter jiwa yang patut kukunjungi.
Si mbok bercerita tentang perpindahan dari perahu ke perahu lain untuk menemukan suaminya yang hilang pasca huru hara di kota. Para serdadu itu katanya, menjalankan tugas hanya dari yang didapatkan dari kantong celana para tahanan. Kebetulan nama suaminya ada pada kertas kumal itu, hanya kebetulan. Soalnya suamiku habis belanja barang dagangan pada salah seorang pemilik, dan ia berhutang di hari itu.
“Aku tak mengira kau mengalami nasib yang sama, kau harus kuat agar anak-anak tak meninggalkanmu. Kau tahu itu sangat menyakitkan. Darah dagingku telah membuatku lebih gila, mungkin hanya kematianku membuat mereka tak menganggap ibunya sebagai perempuan dengan ganguan kejiwaan.”
Senja mengakhiri pembicaraan kami. Aku tak mencari solusi, hanya berbagi beban. Si Mbok menutup dengan mata curiga, peristiwa pencidukan tengah malam pada masa lampau membuatnya tak benar-benar percaya pada siapapun, tak terkecuali denganku, mantunya sendiri.
Kuludahkan ke sisi-sisi pematang sawah, warna sirihnya yang pekat tampak seperti darah dari luka sayat. Kuberhenti sejenak memandangi sepasukan orang-orang sawah yang gagah berdiri. Mereka adalah tembok terakhir dari sebuah ukuran bernama keegoisan. Di saat para petani sedang terlelap diatas amben, mereka tampak kokoh berdiri menghalau kawanan bul-bul yang militan dan Spartan.
Kurindukan pundak suami begeng menyisakan tonjolan tulang dan bau panili. Suaranya yang tak lazim membuatnya gampang untung dikenali dari jauh. Ia seperti siulan burung kematian yang menguik-nguik pada siang bolong. Berada di puncak pohon yang tinggi, seolah-olah ia pemberi kabar yang tahu tentang sebuah perasaan.
Di tempat lain yang jauh.
Elang tergesa-gesa mencari telpon pinggiran. Ia ingin menelpon istrinya yang jauh tertinggal langkahnya. Lukman menunggu sumber suara yang banyak dirindukan pada malam-malam panjang, sendiri di negeri sendiri. Setelah menunggu beberapa saat, wajahnya cerah. Beberapa kali ia mengelus rambut ikalanya. Sudah sepekan rambutnya tak terbilas sampo.
“Bagaimana kabarmu.”
“Sehat, kau sendiri apa tak kangen rumah.”
“Kangen sekali, tapi serdadu itu langkahnya semakin dekat, daya penciumannya semakin tajam.”
“Sekarang kau dimana, suaramu terdengar kecil.”
“Sudut terpencil kota Jakarta, mungkin aku akan pergi lama.”
“Bagaimana dengan mahluk penghisap darah, apakah lebih ramah.”
“Nyamuk disini lebih parah dibanding di kampung. Amat rakus dan tak mempan obat nyamuk bakar, sopel, ataupun semprotan peptisida. Baginya obat-obat itu seperti tembok rapuh yang mudah diterjang.”
“Serdadu-serdadu sekarang lebih berani, kadang seharian berdiri seharian meyamar sebagai pedagang Es Legen, tak ada pedagang yang bisa tegak berdiri selama itu, sebenarnya kau melakukan apa kok hingga penguasa begitu membecimu.”
“Aku hanya membentak dan menghardik ketika mulut tepat didepan megapon, mereka bersumbu pendek dan sedikit-sedikit angkat senjata, tak diskusi-diskusi hangat seperti yang tertera pada tulisan para cerdik pandai. Mereka gagap menerjemahkan antara sikap hukum dan hukum itu sendiri. Hawa nafsu telah melelehkan akal budi pekertinya.”
“Omonganmu tak terdengar lagi seperti pendeta, kamu mirip guru agama di mushola.”
Terdengar suara tawa dari ujung telepon istrinya. Marsi mengucek matanya dalam-dalam.
“Titip anak-anak, dan kamu sehat-sehat ya.”
Komunikasi terputus, hanya dengungan yang terdengar ditelinga Marsi. Ia meletakan gagang telponnya. Menggangguk pada tetangga yang memandangnya seperti musafir tersesat. Senyumnya teralalu dalam dan rahangnya telah termakan usia. Ia satu-satunya orang yang memiliki telpon rumah yang bisa sesibuk wartel, apalagi jelang lebaran.
“Telepon dari suamimu, Si?”
“Iya Juragan.”
“Bilang sama suamimu, jadi orang jangan sok, ini negeri siluman, pendekar paling saktipun bakal goyah menghadapi, apalagi suamimu yang kerempeng, modal puisi doang, maaf tapi ya, begitulah.”
“Terimakasih, mari juragan?”
Marsi mengelap pipinya cepat-cepat. Tak ingin air matanya jatuh mencium bumi. Cukup matanya saja yang sedih. Bumi tempat berpijak tak perlu ikut-ikutan.
Aku seperti merasakan hembusan suamiku. Nafasnya belum terjamah kopi hitam pagi hari. Aku ingin menanyakan apakah ia sudah sarapan pagi, dan meminum kopi barang seteguk dua teguk. Mungkin ia sengaja mematikannya, atau di sana sedang ada pemadaman listrik. Yang palig ingin kukonfirmasi ulang, apakah ia rajin-rajin untuk menggunakan obat tetes pada mata kirinya yang terus memerah sampai sekarang.
Aku mungkin jenis perempuan yang keberaniannya belum sekaliber pahlawan-pahlawan itu, tetapi setidaknya kuberanikan diri untuk menghadapi wajahku ketika bercermin mematut diri. Meski gila menurut sebagian orang adalah karunia, aku tak lekas-lekas mengikuti jejaknya. Aku cukup kuat untuk hal selanjutnya yang lebih buruk, mungkin hanya pada pukulan pertama. Pukulan berikutnya aku bisa terjengkang, terperosok, dan tersandung pada statusku beserta anak-anaku nantinya.
Sampai di rumah, Ibu sedang mendengarkan lagu-lagu dangdut. Kepalanya ditengklengkan ke kiri dan kanan. Badannya bergoyang lemah, meski musik yang didengarnya gegap gempita. Ia mengecilkan suara radionya. Musik dangdut itu terdengar berbisik. Ibu memandangiku cemas.
“Dimana suamimu!”
“Di Jakarta, sampai kapan ia akan pulang aku tak pernah tahu.”
“Oalah gusti pangampurane?”