Kamis, 04 September 2025

TUGAS FIKSI

ia mengemban tugs selayaknya para pejabat

lurah, petani, calo karcis, juga guru 

layaknya mata pisau yang mengiris bawah putih bawah merah juga cabai

ia membangunkan kesadaran para pembaca yang tulus tekun lagi tanpa ria


Ia menyalakan api tekad yang telah lama mati

meski mati yang sunyi lagi sepi


ia memang tidak seperti kitab suci yang turunnya dari tempat suci

ia datang untuk menghidupkan harapan dasar manusia


bergerak, bertumpu, juga bermimpi

tugas fiksi ia memeluk mimpi sekaligus mencari

dimana sebenarnya fiksi

ia hadir untuk tidak sekadar memantik kesadaran


ia hadir untuk menyela di saat hiruk pikuk aliansi

ia hadir menyemai arus kesadaran

meski tertatih dan terbuai luka

ia hidup sekaligus mati

Yang Tersembunyi dari Sebuah Pandangan

Siapa yang menundukkan pandangan dari apa yang diharamkan Allah, maka allah akan mengaruniakan hikmah pada lisannya, yang dengan itu ia memberikan petunjuk kepada orang-orang yang mendengarkanNya. siapa yang menundukkan pandangan dari syubhat, maka Allah akan menempatkan cahaya dalam hatinya. Cahaya yang menerangi menunjukkan keridhaanNya. (Abul Husein Al Warraq, jurnal buku saku pribadi, 2008)

Akses terbesar dari hati manusia pada dunia luar adalah melalui pandangan mata. maka kondisi yang ada didalam sangat tergantung pada apa yng dikonsumsi melalui mata. Apakah ketaatan atau kemaksiatan. Celakanya syaitan akan selalu mempunyai rencana-rencana keji bersamaan dengan setiap pandangan mata yang diarahkan seseorang. ( Salim A. Fillah, Jurnal Buku Saku Pribadi, 2008)

Senin, 01 September 2025

Orang-Orang Atas

Sekembalinya dari pertarungan. We, menemukan dirinya dalam keadaan diam tak bergerak. Tetapi ia bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh orang-orang atas, sangat lantang suaranya tetapi tidak memekakakkan telinga. Kain yang membekukan dirinya terasa lebih hangat, setelah beberapa jam lalu ia masih diliputi oleh kesakitan. Darah merembes dari tulang patah. Sejumlah karet keras yang telah dilapisi oleh teknologi canggih, juga sebongkah mesin dan sebentuk perlangkapan pilih tanding telah mengirimkannya kedalam tanah. Saat untuk terakhir kalinya matanya menatap seonggok pesanan yang belum sempat diantarkan. Semuanya berjalan begitu cepat, secepat dulu ia berlari mengindari kejaran mandor tebu yang kehilangan beberapa bilah tebu berkualitas ajib. Tanpa sempat berpamit pada orang-orang terdekat, rupanya seri kehidupannya telah tamat, seperti dalam 'gambaran' sewaktu ia kecil, lengkap dengan ceriat sampai 36 cerita. Orang-orang atas meneriakinya agar ia tetap kuat, tubuhhnya terasa lebih ringan. Ia tak mengira kalau orang-orang atas begitu mencintainya, kupikir mereka hanya memperdulikan diri mereka sendiri, tanpa mau untuk berterus terang."Nak bangun!" begitu teriak seorang Ibu yang kemarin tengah memperlihatkan aksinya dengan gagang sapu berbobot lima ratus gram. Citra Ibu tengah meledak ditingkahi hujan yang semakin sering. Membuat perih luka-luka lecet karena desakan yang tak lagi stabil.

Tubuhku terasa makin ringan ketika sekelompok pemuda yang kuyakini sebagai orang-orang atas tengah menggotongku dengan cekatan dan tenaganya kuat sekali. Aku saja hampir tak pernah membawa beban, kecuali beberapa kilo saja untuk mempertahankan masa otot agar tak menggelambir nanti di usia senja. Kata seorang petarung manusia bumi tak mengalami prima untuk yang kedua kalinya. Setelah itu tinggal masa senja yang tampak melelahkan untuk dijalani. Semuanya perlu dijalani sebagai manusia seutuhnya, orang-orang atas yang sibuk untuk dirinya sendiri (minimal), kini mereka bersatu pada untuk menggunakan logikanya menaruh sebongkah impian untuk negera tercintanya.

Aku tak bisa lagi mememdam luka. Rasa sakit yang kuderita semakin lama semakin mengendur. Pandangan yang semakin gelap seiring nafasku yang terakhir. Setalah pandangan terakhir, pandangan lain muncul, warnanya lebih terang, makin hangat, dan ada banyak pemandangan yang membuatku betah. Meski orang-orang atas mulai menerikku agar lebih lama bertahan dalam luka. Aku tidak memerdulikan teriakan mereka. Aku sudah mantap di sini, melihat dari dekat apa yang pernah diimpikan oleh orang-orang atas, dan diceritakan sangat sering oleh para pemuka agama.

Aku tak lagi bisa menjawab omongan kedua orangtuaku yang sedari tadi terus melelehkan air mata lewat kedua matanya. Ibu tak berbicara setelah tandu itu membuatku lebih gembira. Mungkin telah habis air matanya. Sementara ayah, aku ingin memeluknya tetapi aku sudah berjanji agar tak kembali, pada pemilik-Nya akau sudah melihat yang dijanjikan. Dan ayah kelihatan sangat terpukul, sekali lagi aku ingin memeluknya, tetapi keindahan itu telah menawanku hingga langkahku terus maju.

Pada detik-detik terakhir orang-orang atas bergerombol mengantarkanku pada tempat terakhir. Dimana mereka tak ingin ikut masuk kedalam meski mereka kenal dan dekat denganku, itu tidak mengapa. Mereka masih perlu meneruskan misinya, sementara misi telah selesai dan aku sudah mendapatkan apa yang ingin dilihat oleh mereka. Satu persatu orang-orang atas mulai meninggalkan. Aku takut setelah mereka pergi, dan orang terakhir pun telah pergi datang sesosok yang sering diceritakan oleh guru ngaji sebagai mahluk galak lagi bengis. Yang kutakutkan tidaklah terjadi aku justru bisa mengobrol dengan mereka sambil sesekali melihat sungai-sungai yang lagi menawaan. Belum pernah aku melihat pemandangan seperti ini. Kuharap ini surga pembuka sebelum kehidupan surga setelahnya. Sampai detik ini orang-orang atas tak pernah lagi menoleh kebelakang, bahkan salah satu dari orang-orang atas bisa kembali tertawa dan makan dengan lahap, siap untuk menapaki kehidupan berikutnya.

Rabu, 27 Agustus 2025

Cinta Yang Tersembunyi di Perpustakaan

Satu sore di sekolah SMP Bina Mulia, tepatnya di kantin, ada segerombolan laki-laki menghampiri seorang siswi yang Bernama Naomi.

“Vel, itu kan cewek yang lu suka kan, (wkwk). Kata temannya.

“Halo Naomi”. Ucap salah seorang temannya.

“Apaan sih, nggak jelas banget lu!, orang guwe nggak suka sama cewek itu”. Lugas Marvel memberi reaksi, kata-katanya terdengar jelas di telinga Naomi.

Matanya panas oleh kata-kata Marvel. Naomi tetap membalas sapaan itu dengan senyuman, meski senyuman palsu. Kebetulan Naomi itu menyukai Marvel. Karena mendengar kata-kata menyakitkan yang diucapkan oleh orang yang dia sukai.

Sejak saat itu kesukaan Naomi adalah menyendiri dan pergi ke perpustakaan untuk menenangkan hatinya.

Di perpustakaan, Naomi membaca buku novel favoritnya yang berjudul “Aku, kamu, dan perpustakaan”. Selang beberapa menit Naomi sedang asyik membaca punggungnya memberi jawaban kalau ada seseorang yang menghampirinya.

“Maaf ya Naomi,” Suara itu di kenalnya. Naomi menengok ke sebelah kanan, dan ternyata laki-laki itu adalah Marvel, laki-laki yang dia sukai itu meminta maaf atas apa yang dia lakukan tadi di kantin. Naomi tiba-tiba saja menunduk menatap barisan huruf, sesuatu yang jarang terjadi.

“Sebenarnya aku juga sama kamu Nao, tapi aku gengsi dengan teman-teman ku” ucapnya datar ditingkahi dengan tangannya menarik-narik ujung bajunya sendiri. Sontak Naomi terkejut dan membeku selama beberapa menit.

“Mimpi aja lo! Nggak Level.” Ucap Naomi lantang. Menjadi pusat perhatian pengunjung perpustakaan.

Marvel menangis keras dan guling-guling di perpustakaan.

Arsenal

Naya adalah seorang anak yang tinggal berdua dengan ayahnya. Ibu Naya pergi meninggalkan Naya setelah melahirkan Naya. Semenjak kepergian ibu, ayah bekerja dengan giat mulai dari pagi hari hingga larut malam, hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan yang di inginkan oleh Naya.

Pagi hari, ayah Naya sudah berangkat pergi bekerja. Namun saat Naya bangun, Ia mendapati sarapan dan bekal yang sudah di siapkan oleh ayahnya sebelum ayahnya berangkat bekerja. Setelah sarapan dan memasukan bekalnya ke dalam Tas, Naya segera berangkat pergi kesekolah.

Setibanya di sekolah, Naya bertemu dengan Zala. Zala adalah salah satu teman Naya yang dekat dengan Naya. Zala adalah seorang anak yang sangat popular disekolah dan terkenal, karena Ia memiliki ayah yang menjadi kepala sekolah disitu, Zala juga dikenal dengan anak yang kaya raya. Zala sering menggunakan barang baru yang sangat bagus, dan mewah. Seperti hari ini misalnya, Zala menggunakan Tas baru dengan warna merah muda yang cantik dan anggun, Ia terlihat sangat indah dengan tas merah mudanya.

“Kamu terlihat cantik dengan Tas merah muda mu itu” puji naya. Dalam hatinya Naya juga sangat menginginkan Tas cantik seperti yang Zala gunakan. “Terima kasih, Naya. Ayahku baru membelikannya di Jepang, ini adalah Tas dengan merk terkenal di jepang” sahut Zala.

“Wah, kamu sangat beruntung, kalau aku tidak mungkin bisa membelinya, karena harganya pasti sangat mahal” timpal teman yang lain.

Pulang sekolah, Naya mendapati ayahnya yang sedang duduk dan menonton tv di ruang tengah. Naya pun berjalan menuju kamarnya, tidak peduli dengan keberadaan ayahnya yang sedang menonton TV.

“Eh anak Ayah udah pulang, gimana tadi sekolahnya?” Tanya Ayah

“Apa sih, ga usah sok peduli sama aku” sahut Naya dengan nada yang lumayan tinggi

Ayah merasa hatinya sangat sakit setelah mendengar jawaban yang disampaikan oleh anak perempuannya yang Ia sayangi.

“Nak,” gumam ayah dengan mata berkaca-kaca ingin menangis

Ayahpun menghampiri Naya dan mengajaknya makan malam bersama diluar. Kelihatan Ayah sedang mempunyai uang lebih karena mendapatkan bonus dari bosnya di kantor.

“Ap sih, nggak usah! Berisik!, ganggu tau gak!” sahut Naya dari dalam kamar dengan nada yang tinggi

Ayah terkejut dengan jawabannya. Ayah memberanikan diri untuk memanggil Naya sekali lagi.

“Naya coba keluar dulu sebentar, ayah ingin bicara,” panggilnya lembut

“Apa!” sahut Naya kesal

“Ayah tadi dapet rezeki? kita pergi makan malem keluar yuk?” ajak Ayah kepada Naya

“Ya sudah iya!” Naya keluar sambil membanting pintu kuat-kuat.

Mereka pun bersiap siap untuk pergi makan malam keluar.

Saat sampai di restoran dan sudah ingin makan. Ayah mengecek handphone nya terlebih dahulu sambil menunggu pesanan datang. Ayah pamit untuk ke kamar mandi. Sebuah pesan singkat melalui WA muncul di layar. Tangan Naya begitu saja meraih dan membukanya. Mumpung Ayah lagi di kamar mandi, pikirnya. DOKTER ARLAN: Putrimu Arsenal, setelah saya cek lagi, kankernya sudah masuk stadium 4.”

Mataku langsung gelap, tubuhku terasa ringan. “Bertahanlah Nak, kamu akan baik-baik saja.” Itu suara ayah tetapi kenapa kecil sekali.

BIONARASI

Alin, adalah nama pena dari Alzena Badzlin, lahir Tangerang Selatan. Saya duduk di bangku SMP kelas 7, sehari-hari Alin mengabdikan diri sebagai siswa kelas 7 di SMP Permata Madani Islamic School. Salah satu hobi Alin adalah menyanyi dan membaca buku.

Jumat, 15 Agustus 2025

Adik Yang Aku Tunggu

Hana duduk di teras rumah menikmati sarapan. Ditemani kicau burung-burung yang bersemangat saling menyapa. Sementara Zara kakaknya, lebih suka duduk di ruang makan. Usia mereka hanya terpaut satu tahun. Hana yang tahun ini genap berusia 11 tahun, sementara kakaknya nanti di bulan Agustus tahun depan genap berusia 12 tahun.

Mereka berdua berpamitan berangkat ke sekolah. Ibunya mengantar sampai halaman. Perutnya yang buncit, wajahnya agak pucat.

“Kak, Ibu sendiri tidak apa ditinggal sendiri?.” Tanya Hana.

“Khawatir sih, tetapi kamu tahu, sifat Ibu bagaimana?” jawab Zara.

Mereka berdua naik angkot. Angkot biru yang biasa mereka naiki menuju sekolah.

***

Pulang sekolah mereka berdua bergegas untuk langsung pulang saja, tanpa bermain sebentar dengan teman-teman seperti biasa. Teriakan dari teman-temannya mereka tak gubris, ketika angkot biru berhenti di depannya.

Sampai di rumah mereka mendapati bundanya di kamar dalam keadaan yang lemas.

"Bunda tidak apa apa?" tanya Hana

"Tidak apa-apa,” jawab Bunda

Ada sedikit kelegaan di wajah mereka. Hana dan Zara pun masuk ke kamar dan berganti baju. Setelah berganti baju mereka makan siang, tanpa celoteh riang seperti yang sering mereka lakukan. Dari dari dalam dapur bundanya sering berteriak untuk tertib ketika makan.

Sampai senja bunda belum beranjak dari kamar. Ia hanya tidur-tiduran, dan sesekali minta bantuan.

“Pucet banget bun,” pekin Hana ketika ia masuk ke kamar bundanya.

“Kau telpon paman, suruh ia kesini?” Pinta bundanya.

“Ayah kemana?” Tanya Zara.

“Sedang lembur di kantor, jangan kau telpon-telpon ya?” ucap Ibunya.

Zara mengangguk.

***

"Bunda gimana Paman?" tanya Zara

"Bundamu mengalami keguguran, sabar ya?” Jawab Paman.

Hana dan Zara terlihat terpukul sekali. Adik yang mereka tunggu-tunggu sudah tidak ada. Zara menghampiri bunda yang sedang terbaring di ranjang. memeluknya dan menangis.

Hana berdiri memberi jarak pada keduanya. Ia tak ingin melihat merekanya menangis. Keesokan harinya bunda sudah di bolehkan pulang ke rumah. Seringkali ia melintasi kamar yang sudah disiapkan oleh ayah untuk adiknya berdiri dan menutup wajahnya. Menahan tangis.

“Harusnya pagi ini aku sudah melihat adikku tertidur pulas,” ucapnya lirih.

Ibunya sempat menangkap wajahnya yang sembab. Ia cepat-cepat menghapus dan berjalan ke dapur untuk membantu Ibu memasak.

Oleh: Aulia Achya Fadhila Alumni SMPIT Permata Madani

Sabtu, 09 Agustus 2025

Mengobati Luka Pengasuhan

BABAK 96
Seorang guru sekali waktu pulang dari sekolah mengaduh kesakitan. Ada luka gigitan pada salah satu kakinya. Ia pergi ke UKS untuk mengobati lukanya. Petugas UKS merasa khawatir ada luka penyertanya, yaitu ada lebam dan kebiruan-biruan. Sang guru tak menceritakan detil ceritanya. Ia hanya meringis ketika petgas UKS mengusapnya dengan cairan khusus anti tetanus. "Apakah ini luka gigitan hewan?" tanyanya. Sang guru hanya menggeleng. "ini hanya luka biasa." jawabnya. Petugas itu membalut luka dan memberinya beberapa obat anti biotik. Guru itu keluar dari ruang UKS sambil menutupi wajahnya sekilar. Lalu tersenyum pada seorang anak yang sekarang bersama ibunya.

"Maaf saya harus memberi Ibu."

"Tak apa, aku berterima kasih. Bagaiman lukamu."

"Its OK, Everithing is OK."

"Saya minta maaf, saya akan..."

"Aku pikir, putra ibu tak perlu diberi hukuman yang terlalu keras, ini hanya kejadian yang sama sekali tidak terduga. Sebuah kecelakaan yang tiba-tiba terjadi, maaf saat ini aku tidak bisa berbicara dengan teratur, mungkin saya perlu istirahat saja."

"Anda tak perlu khawatir, saya akan "menghukumnya" dengan cara lain."

"Yah, itu lebih baik."

Esok paginya guru datang kembali ke sekolah. Jalannya sedikit pincang, murid-muridnya sudah di kursinya masing-masing. Ada ketegangan yang bisa dirasakan olehnya. "Good Morning, how are you today?" sapanya. Mata sang guru mencari seorang siswa dan matanya bertubrukan dan ia tersenyum. Ia berdiri dan berjalan ke arahnya. Lalu ia menyodorkan selembar kertas dan tiga tangkai bunga yang dipetiknya dipinggir jalan.

IAM SORRY, begitu isi kertasnya. Dan sang Ibu Guru memeluknya anak kecil yang baru beberapa hari duduk di bangku kelas satu. Adegan itu membuatnya mengucek mata lebih pagi di banding hari biasanya.

Ia merasa lega, Ibunya telah mengajarinya dengan baik. Bahwa hukuman bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah. Kadang penjelasan dan diskusi yang sederhana dapat menyelamatkan si kecil dari luka, karena mungkin bentakkan yang tak logis, dan sederet nasihat yang jatuhnya intimidasi.

Ketegasan kalau membawa luka mendidih yang berkepanjangan. Apalagi dengan minus pendampingan yang tidak efektif. Mungkin cocok bagi yang satu tetapi belum cocok untuk yang lain. Ketika ketegasan yang menitikberatkan pada kognitif terlalu ketat akan menghasilkan individu yang mudah terserang oleh rasa bosan, meskipun sifantnya kasuistis, tetapi itu sering terjadi.

Ketegasan memang diperlukan, jika memang itu dibutuhkan, khusus pada peraturan tertentu, tetapi ketika masuk dalam ranah pembelajaran wilayah ketegasan itu menjelma dalam bentuk yang lain misalnya, pola keteraturan yang terus diulang-ulang, dengan variabel yang bisa sangat beragam.

Contoh lain, penyeragaman dalam menghafal dan capaian hafalan itu sendiri merupakan bagian personal yang melibatkan unsur pengalaman sendiri, tentu saja dengan melibatkan semua unsur yang dalam tubuh seseorang.

Kamis, 31 Juli 2025

Imajinasi Penderitaan

  • Penderitaan kadang bermula dari imajinasi yang berlebihan. Penderitaan yang dimaksud disini adalah penderitaan hasil dari pikiran liar yang sulit dikendalikan. Ia bisa membayangkan segala jenis penindasan yang belum jadi kenyataan yang membuatnya selalu dalam keadaan cemas. Padahal kecemasan itu datang dirinya sendiri, tanpa pernah belajar berprasangka baik pada orang lain. mungkin niatnya baik, cuma caranya saja yang kurang tepat.

Rabu, 30 Juli 2025

Soal Kreatifitas

Ia sangat fleksibel, hingga membutuhkan wadah agar ia tetap bisa hidup sebagai kalian hidup. Supaya nanti ke fleksibelannya itu bisa dinikmati kapan saja dimana saja. Tanpa perlu mengulik lebih jauh membuat kita terus terjaga akan hadirnya nalar-nalar ide pada saat bersamaan.

Ia hinggap pada daun talas dan menaburinya dengan segenggam semangat dan tak perlu buru-buru untuk mengeksekusinya cepat-cepat. Meski itu sulit, tetapi menjaga asa adalah sebentuk cerita yang nantinya akan dihadirkan.

Karena ia mahluk yang amat cair meski ia butuh wadah solid, agar nantinya bisa ditulis dalam bentuk yang semestinya dan selayaknya. Meski itu butuh bakat story telle, meski juga tak selalu begitu.

Lamunan bisa menjadi penjagaan atas nama semua kreatifitas. Dan bisa membual semahir pencuri uang yang licin ditangan para penjaga keadilan. Itu semua bisa menjadi keterbakatan, dan keterkuasaan, dan jangan-jangan kita enggan melahirkan kreatifitas karena wadah itu sudah rusak sebelum digunakan.

Selasa, 29 Juli 2025

Tetap Menulis, Meski Dunia Membisu

Keberanian adalah pucuk-pucuk utama untuk terus menggulirkan bilur-bilur ide yang mengalir tanpa henti, meski waktu akan terus menggorogoti si pengarangnya. Keberanian menghasilkan isu-isu penyair-penyair lama dan baru untuk menghadirkan budaya lama dan mengangkatnya kembali dalam wajah baru, sebagai usaha untuk memproduksi gerak menimba khazanah lokal dan non lokal, sebagai cadangan untuk menghindari kemelut-kemelut tentang bagaimana mengatasi mood. Mood yang sering digunakan untuk menjadi pemebenaran untuk menahan gejolak untuk menuangkan satu gagasan menjadi satu karya yang mumpuni, meski tidak cemerlang.

Kata Martin Surya Jaya, menulis itu tidak sulit, yang dibutuhkan hanya kesunyian. Kesunyian menyimpan informasi-informasi penting tentang satu hal yang didapati dari beragam banyak buku, hingga ketika menungkan ada banyak sumber ide yang bertebaran, tinggal menangkap dan menyelesaikannya dalam bentuk tulisan. Kesunyian menghasilkan keseragaman cara pikir tentang bagaimana menerapkan satu catatan penting agar tidak hilang dimakan zaman. Keasikan menulis menghasilam kegandrungan lain, seperti mengamati manusia dari gerak yang paling sederhana misalnya bagaimana merespon ketika perutnya mules untuk BAB. Hal-hal seperti menjadikan kegiatan menulis terus berkembang, bertumbuh, sampai mencapai titik puncak kecemerlangan dengan sudut pandang tertentu. Kadang bagus tidaknya tulisan itu, tergantung seberapa besar sudut subjektifnya berlaku. Hal ini tidak bisa lepas dunia bacaan.

Menulis bisa menjadi cara pembaca dalam melihat dunia. Dunia yang dibayangkan sebagai perang, keharmonisan, bencana, sampai dunia menemukan dirinya dalam pembacaan yang diminatinya. Menulis sebagai kebutuhan ekspresi menjadikan kekuatan sekaligus keberanian untuk menentukan sejauh buku yang ditulis menjadi lebih terasa realistis. Meski ada slogan buku yang bagus adalah yang selesai, tetapi tidak sekadar selesai, didalamnya ada banyak bentuk penceritaan yang separasinya bisa beragam. Tidak monoton, bahkan kata Martin jangan sampai menjadi Diktat ataupun Dogma. Karena Novel bukan Dogma, tetapi dari sana bisa menghasilkan jutaan Dogma tanpa ribet-ribet untuk didaktik yang amat kaku.

Menulis bisa jadi hasil dorongan dari sekian banyak jenis buku, bisa menjadi wajib (dorongan diri sendiri bukan hasil paksaan). Karena banyaknya buku yang dibaca, sehingga dorongan untuk menulis menebal dan ada kebutuhan untuk menyalurkan hasil bacaan menjadi satu tulisan. Sebagai orang yang gandrung dengan bacaan, menulis bisa menjadi alternatif agar menulis menjadi salah satu sumber kreatifitas yang beralas pada kebutuhan berekspresi setiap orang, yang pada gilirannya dunia merespon atau tidak, itu bukan wilayah yang harus diperdebatkan. Karena menulis sebagai langkah awal mengikat makna agar tak hilang oleh waktu dan tutupnya usia.

Jumat, 25 Juli 2025

Tantangan dan Jawaban MQA

Tantangan dan Jawaban MQA

Edisi 25 Juli 2025

Guru

1. Kemampuan untuk menejemen kelas, hingga bisa mengatur dan membagi masing masing murid kedalam sitem waktu yang memungkinkan untuk mentalaqikan baris ustmani tanpa merasa ‘terbebani’ oleh durasi yang tersedia

2. Kecepatan untuk menganilisa murid dalam pembacan awal. Maksudnya seorang guru bisa menilai secara tepat pada sejak huruf pertama di baca.

3. Saling tukar informasi secara bersamaan dan pada saat berganti peran. Guru menilai bacaan murid, pada saat yang sama guru menjadi murid (mencoba menjadi murid dalam waktu yang cepat agar bisa menilisik isi pikiran murid terhadap kemampuannya sendiri) lalu kembali menjadi guru setelah si murid selesai membaca. Tetapi murid, cukup kesulitan dalam waktu yang bersamaan untuk menjadi guru dan membaca isi pikirannya. Kecuali mungkin pada pendidikan menengah keatas dan perguruan tinggi. Keduanya bisa berganti-ganti peran, dan bisa satu sama lain saling mengisi pikiran.

4. Menggunakan panduan mengajar sebagai cara pikir sebagai guru quran pada saat mengajar, atau sekadar diktat/dogma yang dibaca ketika kesulitan dari tiap halaman. Memperlakukannya sebagi teks semata tanpa repot-repot untuk meniti tiap halaman sebagai pandu jalan ia mendampingi anak per anak.

5. Tahu posisi dan memposisikan diri.

Siswa

Alif 6C kesulitan untuk menetapkan panjang pendek dalam durasi yang telah ditentukan oleh Ilmu Tajwid, Mad Jaiz, Tertukar huruf dan harokat Ghifari 6B, kesulitan untuk memahami konsep hamzah wahsol, dan juga mad

Hatim 6B, Kelancaran kalimat, konsep tasydid, dan huruf pilihan untuk mamahami huruf yang bertumpuk (Huruf Ja)

Jawaban dari siswa, belum siap untuk ujian, karena belum ada informasi sebelumnya, hingga ketiga siswa hari ini belum siap secara psikologi. Ini cukup menganggu kefokusasn mereka saat ujian.

Informasi cukup tentang persiapan materi, dan hari apa akan diuji kemampuan mereka, menambah kepercayaan diri mereka untuk bertemu dengan yanda atau bunda untuk melakukan test bacaan.

Pertanyaan dari para murid, bukan ada halaman yang perlu diperbaiki nggak yan?, atau yang semisal. Tetapi kebanyakan dari peserta ujian, “Lulus nggak Yan?” sebagai bentuk pernyataan mereka sudah ujian dan layak lulus. Sekilas wajar, tetapi cara mereka berbahasa adalah cerminan mereka belum siap 100 persen ujian.

Gerald 6E, Konsep dengung agar pembacaa stabil pada tiap kalimat dalam halaman buku ustmani

Arsyad 6E, Konsep mad turunan seperti mad jaiz dan mad wajib, konsep dengung hingga lebih stabil.

SASTRA SEBAGAI PENDIDIKAN KARAKTER

1. Bahwa cerita sebuah peristiwa yang mendatangkan ketenangan sekaligus kegelisahan pada waktu yang sama. Ia layak mendapatkan tempat tertinggi dalam sebuah rangkian bernama pendidikan. Apakah ketika sudah berada dalam puncak popularitas sebagai baju (pendidikan) lalu berhenti alias terpaku tak lagi tertarik melakukan pemikiran mendalam atas sebuah metode, pendampingan, penyelesaian konflik, dan seterusnya.

2. Sastra sebagai perangai pikir dari beragam gejala yang muncul sewaktu-waktu, tetapi bisa dipastikan sebagai cara yang metodik dan bisa dijadikan ajang peretas pikir yang bermanfaat sekaligus penawaran tak gagal nalar (dungu).

3. Satra adalah seperangkat metode untuk membedah sekaligus mengunakannya sebagai cara pandag terhadap sesuatu. Juga sebagai pagar agar kedunguanya tak berlarut.

4. Penghargaan terhadapi ilmu, maka kau akan bermartabat...

5. Dan seterusnya...

Kamis, 24 Juli 2025

"Therapy"

BABAK 95
Saat hujan turun deras. Ayah masih memelototi buku yang baru saja di beli lewat toko maya. Kadang ayah juga berkendara sejauh 3 kilo meter untuk membeli buku di loakan. Katanya buku-buku diloakan membuatanya nyaman, kalau ayah pusing ia akan pulang telat, biasanya sampai rumah ketika azan maghrib berkumandang. Kalau kondisi lagi teratur si kecil lagi nyaman dengan ibunya. Ayah akan mengajak adikku yang nomor 3, Qeis Nurmagomedov. Kalau tidak diajak, Qeis akan ngambek, suasana rumah bisa kacau karena tangisan minta nyusul ayah ke Masjid belakang rumah. Selesai sholat ayah akan menggendong adikku yang nomor 4, dia baru berusia 8 bulan. Adikku yang nomor 4 ini, sedang berjuang. Di banding dengan kedua kakaknya yang lahir utuh. Qoqo Nurmagomedov, Allah beri hadiah yaitu lahir tak punya anus. Aku sempat kasihan ngliat ayah dan bunda yang terpukul sekali, tetapi mereka tampak kuat dan menerima Qoqo dengan lapang dada. "Ini rezeki dari Allah, dan tak perlu menyalahkan siapa-siapa," begitu ucapan ayah ketika tengah malam. Aku pura-pura tidur, agar ayah bunda tenang dalam ngobrol. Aku lebih senang mereka ngobrol daripada diskusi nggak jelas, lalu berujung berantem.

Ayah dan Bunda masih berantem, tetapi berantem mereka agak lucu, cepat meledak, cepat juganya reda. Bila sedang berantem aku agak khawatir, takut ayah nggak bisa kontrol. Syukur Alhamdulillah aku belum pernah melihat ayah pukul bunda, jangan sampai. Justru aku sering ribut sama ayah, kadang ayah main "fisik" tetapi masih terkontrol. Ayah tak pernah menyubit. Tendangannya sangat jika mendarat di pantat. Ayah sudah mengukurnya. Aku sudah kelewat batan. Mengganggu saat solat. Emang aku yang salah juga. Kalau ayah sudah main "fisik biasanya aku sudah melampuai batas. main "fisik" aku yakin ayah masih ngukur-ngukur, kalau nggak pasti berabe. Ayah dulun dari SMP sampai sekarang punya anak 4, masih latihan beladiri. Apalagi waktuku kecil, sering kutemui ayah sedang nonton MMA hampir tiap hari, jadi lebih ngeri lagi. Di tambah kedua adikku diberi nama belakang Nurmagomedov, satu nama petarung dari Rusia-desa Dagestan. Membuatku senang sekaligus cemas, kalau lagi marah ayah mengerikan. Sejauh ini ayah lebih sering berdebat di banding main "fisik". Itu melegakan buatku. Aku sebenarnya kasihan kalau ayah marah, ia kelihatan sedih banget ketika setelah marah-marah, nafsu makannya turun dan langsung tidur biasanya. Beberapa hari kemudian pasti mengeluhkan sakit badannya. Kejadian main "fisik" itu bisa dihitung, setahun bisa dua atau tiga, tidak tiap hari. Lagi-lagi kalau aku sudah melampaui batas. Bila tak menghadap selepas mahgrib untuk mengaji, main game kelamaan, tidak bantu bunda, sholatnya ditunda-tunda. Pernah ayah marah-marah sambil berucap. "Itu semua buat kamu, bukan buat ayah, ayah nanti tua dan nggak bisa berbuat banyak. Kamu harus lebih bertanggung jawab dong!"

Paling 'senang' kalau ayah pergi beberapa hari untuk pendampingan murid kemah. "Jaga rumah, bantu ibu, kalau ada orang ketuk pintu, lihat dulu dari jendela, jaga adik-adikmu!" Aku menjawabnya sambil cengengesan dan pegang HP, mobile legend yang sedang kumainkan. Ayah melirik saja. "Jangan lupa solat, ayah berangkat?" begitu katanya. Lalu ceremonial peluk-peluk dengan bunda dan ketiga adikku. Qeis biasanya akan mengantar sampai gerbang garasi rumah. Adikku yang ketiga memang agak lain, lebih intim, mungkin ayahku sudah lebih siap ketika ada Qeis dan Qoqo. Aku dan QQ kebagian pendidikan semi militer, mungkin untuk jaga-jaga. karena Adikku masih kecil.

Kemudian selain beladiri ayah hobi koleksi buku-buku kesayangannya. Jika waktu senggang ayah akan ngelap-ngelap buku dari debu. Biasanya buku yang sudah dibaca akan ditata lebih rapi, yang belum dibaca akan diletakkan di rak paling atas. Makin ayah suka dengan buku itu, makin sering bolak-balik mengambil buku. Entah itu sedang makan, gendong Qoqo, atau lagi mules di kamar mandi. Di kamar mandi ayah lebih suka membawa buku untuk dibacanya. Aku kadang heran, bunda saja nutup hidung kalau lagi BAB, kalau ayah malah betah untuk membaca dua atau tiga halaman. Pernah adikku QQ mendapati Novel Ayah yang baru di beli-24 Jam bersama Gaspar kehujanan. Sepulang mengajar wajahnya sedih sekali tetapi lucu. Tangannya menerima buku dan langsung di jemur sebentar. Malamnya novel itu di kipasi 24 jam sampai novel itu benar-benar kering tiap halamannya.

"Apa enahknya sih membaca yah? kataku ketika suasana sedang enak.

"Senang aja, kayak kamu main hujan. Kalau kamu main ujan senang nggak?"

"Seneng."

Ketika hujan deras dan tak ada petir ayah sering mengizinkan aku dan QQ untuk main hujan, ia pernah juga main hujan. Rasanya nyaman banget. Semua beban lepas, seperti sekolah nggak ada PR. Enteng dan santai. Mungkin ayah nggak larang aku dan QQ main hujan karena ia tahu betapa asiknya main, hujan deras nan lebat membuatku tetap kuat. Aku seperti minum vitamin banyak. Kalau soal batukku, kayaknya aku kurang istirahat dan selalu minum dingin. Belakangan tiap malam jika ayah tak lupa, ia akan memberiku sesendok madu untuk memulihkan tenaga dan mengurangi batuk. Kalau ayah dengan buku, aku lebih suka dengan hujan, dan juga main game. Ayah 'nggak pernah' main game, mungkin sesekali saja. Lebih banyak bantu bunda dan masak. Buku, bikinin masakan, jaga anak, bantu bunda, ngajar, cari ilmu adalah kesukaan ayah yang membuatnya terus tampak kuat dan sehat. Kata orang pinter itu namanya therapi. Ayah hanya sesekali sakit itu pun hanya flu saja. Nggak lama. Sehari-harinya ayah masih menyempatkan olahraga, biasanya kulihat ada barbel besar, pushup, situp, dan kadang-kadang main bola.

#Diary Ayah 13#

Keberanian Kreatif

BABAK 94
Seorang guru apapun alasannya ketika mengajar, di kantongnya sudah ada gudang ide untuk ia pakai ketika ingin pembelajaran sesuai yang di inginkan. Entah itu idenya bisa berjalan baik atau tidak, yang jelas ide itu bisa membersamai kegiatannya dan bisa mendukung tercapainya rencana pembelajaran. Kreatifitas itu seperti jet tempur yang bisa melesat melampaui rencana pembelajaran, karena yang namanya rencana kadang bisa dilaksanakan kadang tidak, itu sangat situasional. Tetapi jangan juga menggampang rencana pembelajaran, karena ia bisa jadi semacam petunjuk untuk sebuah pelakasanaan pembelajaran. Memungkinkan semua rencana dapat berjalan maksimal, meski ada saja yang terlewat, setidaknya rencana pembelajaran membuat terencana sebuah kegiatan.

Ketika kreatifitas dibendung karena terlalu ketat dalam rencana pembelajaran, yang terjadi bisa saja terpendamnya kemampuan siswa dalam mengeksplor sebuah kegiatan. Ia tidak mendapatkan kunci gembok imajinasi, karena terlalu kaku dengan pijakan dari gurunya agar ini dan itu. Maka dari itu guru memperoleh wisdom untuk mendobrak keraguan siswa terhadap suatu hal yang menunjang kemandirian dalam satu pelajaran. Memunculkan sikap berani untuk berkreasi seperti menipun balon raksasa dengan impian kecil-impian kecil di ruang kelas. Balon raksas sebagai pilar kemandirian, anggap saja begitu, akan menampung jutaan udara berisi keberanian-kebaranian untuk berkreasi.

Adegan pembuka dalam film Vanilla Sky (2001), yang dibintangi oleh Tom Cruise dianggap sebagai sebagai salah satu yang paling menakjubkan dalam sejarah sinema modern, sekaligus salah satu yang paling mahal dalam setiap detik pengambilan gambarnya, fokusnya pada adegan pembuka saja ya. Yang saya temukan dalam IG milik wissenlab yang diakses hari ini untuk kebutuhan penulisan. Di sana ada pengorban untuk melahirkan sejuta kreatif yang memungkinkan film bisa jadi epik sepanjang masa. Karena bisa memperlihatkan 20 Blok di jantung New York dalam keadaan kosong mlompong kayak kota mati. Meski harus mengeluarkan 1 juta USD untuk biaya logistiknya. Ini menandakan ada keberanian luar biasa dari tim film, tentu saja dengan perencaan yang super detil. Keberanian kreatif ditunjukkan oleh semua kru dengan lanskap tugas-tugasnya, hingga yang lahir kemudian sebuah pekerjaan sinema yang mempertunjukkan sebuah craftsmanship luar biasa. Sebagai pendidik layak untuk menarik kesimpulan dari sebuah pekerjaan besar, yang diniatkan untuk mengampil gagasan besar yang tumbuh (insight) untuk kemudian di perbaharui menjadi satu lesson plan yang mendekati sempurna. (dalam hal ini saya pun masih babak belur ketika membuat lesson plan, setidaknya ini menjadi alas untuk selalu dalam mentalitas pejuang-pendidik yang dibarengi keberanian kreatif)

Ada banyak cara menuju Mekkah, ada banyak cara juga dalam mendidik yang bisa diamalkan melalui sejuta keberanian untuk selalu memperbaharui caranya mengajar dan tak berhenti untuk membuka wawasan pedagogik dan turunannya, agar nanti muncul satu peradaban yang mendulang kreatifitas tanpa perlu melacurkan keyakinan dan tetap cinta dengan Tuhan-Nya sebagai goals terbaiknya. Tanpa merasa diawasi oleh Tuhan seringkali kreatifitas akan mencapai pamor puncak dengan menerabas semua jenis norma. Bukan bermaksud untuk membatasi hak, tetapi sekadar untuk mengingatkan ada banyak jembatan penyebrangan yang bisa dipakai tanpa perlu merusak tiang-tiangnya. Ada banyak gagasan yang bisa diamalkan tanpa perlu susah payah untuk jadi firaun berikutnya. Tidak juga rigid dan menafikan semua jenis kreatifitas, sepanjang siswa/i bisa bertumbuh, maka disitu ada potensi untuk mengembangkan imajinasi, dan siswa dapat menikmati semua momen kreatifitas tanpa kehilangan telos di setiap jejak kreatifnya.

Rabu, 23 Juli 2025

Ketika Pembaca dan Pendidik Saling Jatuh Cinta

BABAK 93
Pembaca buku ketika membaca halaman demi halaman, ia melepas sejenak kediriannya untuk masuk kedalam si tokoh yang dalam buku itu, jika buku yang dibaca adalah bukan fiksi, maka ia sedang memasuki cara pikir penulisnya, mencoba untuk mendeteksi arah pikirannya. Ia tahu betul bagaimana memperlakukan buku yang sedang ia baca tanpa perlu repot-repot untuk menutupnya lebih cepat. Lalu melemparkannya diatas sofa tanpa pernah memikirkan bagaimana penelitian dan lamanya penulis menuntaskan bukunya. Ia mencintai bukunya untuk masa depannya sendiri, bagaimana melatih untuk terbuka pada pemikiran lain, tanpa perlu untuk menelan mentah-mentah semua pemikirannya, semuanya bisa diwakili oleh caranya sendiri merespon buku yang sedang dibacanya. Pendekatan membaca dengan meninggalkan kedirian seperti itu menimbulkan efek untuk bisa memberi jeda pada diri sendiri, menyerap maksud dari kalimat yang dibacanya, dan peka terhadap maksud-maksud penulis. Ia mampu menerka apa isi kepala seorang penulis tanpa perlu menagihnya terang-terangan. Semuanya bisa dilatih, seperti asalnya membaca buku adalah bentuk ketrampilan yang dimiliki oleh semua orang. Membacanya saja butuh waktu untuk menelaah setiap maksudnya, apalagi untuk mengerti bagaimana harus memperlakukan setiap kalimat yang telah disusunnya susah payah. Semuanya membutuhkan ketekunan di atas rata-rata.

Seorang pembaca sedang mewariskan ilmu telepati yang didapatinya dari seorang penulis. Ia mendapatkan dari duduk-duduk berjam-jam sambil menelusuri setiap jejak pikirannya, kemana maksud kalimat itu, bagaimana mengira dimana memasang jebakan, bom waktu, isian kaldu, isian kebab, juga segudang ide yang digelontorkan tanpa tedeng aling-aling. Semuanya membuat penginderaan semakin lengkap dan makjleb ketika menemukan satu bahkan lebih dari maksud-maksud penulis. Sebagai pembaca sepatutnya berterimakasih kepada penulis yang telah rela menghabiskan (menuliskan) satu buku dalam waktu yang tidak singkat, mereka harus berbagi peran dan terus membakar diri dengan bacaan lain-sebab penulis pun harus terus membaca karya orang lain, jika tidak ia akan kehilangan sumber, dan mulai terjebak pada narsis berlebihan tentang kemampuan diri dan seterunya. Mereka para penulis lebih suka membaca banyak-banyak buku, mungkin yang dibutuhkan hanya tiga sampai empat paragraf dalam buku yang akan dirampungkannya. Detail adalah hal lain, jika kita ingin menjadi pembaca 'lain' yang tidak hanya sekadar untuk menampilkan diri sebagai pembaca, tetapi juga sebagai penafsir dari sekian juta kata dari masing-masing bacaan. Penafsir dimaksudkan untuk mengetahui seberapa dalam pemikiran pembaca, bukan untuk terus menangis seberapa dalam penulis menuangkan ide, gagasan, dalam bentuk kata. Melainkan untuk mencoba memahami seberapa besar pembaca tak perlu repot-repot untuk mempertanyakan ulang tentang ide atau maksud tersebut. Sebagai pembaca tahu diri akan memposisikan diri sebagai pengeluh atau sebagai seorang pendaki kata yang akan menaklukan setiap puncak kalimat dan buku sekaligus.

Pada intinya setiap dari kita memerlukan kecerdasan untuk memaknai dari setiap kejadian yang sudah ada atau belum ada. Sebagai pembaca, perlu memisahkan diri dari keengganan untuk mengakui karya orang lain memang ciamik, memang yahud, memang bombastis, memang 'killer' agar nantinya apa yang persiapkan bisa jadi katro buat orang, bisa jadi dungu, bisa jadi lawas, dan seterunya. Hingga pada ujung pembacaan yang terus menerus akan menemukan dirinya sebagai humble reader yang bisa memasung sejuta makna ulang dari tiap buku yang dikunyah nya pelan-pelan sampai terasa lembut dan menyenangkan. Ada kegembiraan besar ketika bacaan itu terus melekat dalam ingatan dan berujung pada kemandirian untuk bertransformasi menjadi 'kutukan' perbaikan diri terus menerus. Sampai pada level guru itu terus mencari metode mendidik (pedagogik) dan terus memperbaharui ilmu kependidikan (pedagogi), serta tak berhenti untuk terus mencari pendekatan dalam mendidik untuk semua murid tercinta (pedagogis).

Pada wilayah lain, seorang pendidik cara kerjanya persis yang dikerjakan oleh pembaca. Pembaca menangguhkan diri sejenak dari keakuannya, sementara Pendidik terus meninggalkan diri dari keegoisannya merasa cukup dengan ilmu yang ada. Ia terus mendatangi (studi banding) kepada sekolah-sekolah yang terus bertumbuh dan mencitrakan diri sebagai sekolah yang terus mengedepankan pada peda pendampingan luwes sebagai Muhammad mendidik para sahabatnya. Pendidik akan terus menanggalkan sejenak ketika berkunjung ke sekolah lain, ia meniggalkan sejenak peran sebelumnya (di sekolah) untuk menjadi peran lain agar atmosfir guru yang diobservasi dapat dipindahkan ke dalam dirinya, lalu diterapkan kepada murid-muridnya dengan keluwesan tertentu. Ia meninggalkan kedirian sebagai guru berkunjung ke sekolah lain, dan memakai mode guru yang sedang dikunjungi hingga ia tak lagi terjebak pada merasa pintar saja tak cukup. Ternyata ada banyak tangga yang bisa dilaluinya, tanpa pernah lelah untuk mengejar ketertinggalan, meski usia tak muda lagi.

Pada titik ini keduanya saling menjaga untuk menjalankan misi peradaban dan keberlangsungan pendidikan sepanjang hayat, dan ada pula yang menjadi tulang punggung perjuangan marwah seorang guru, dan agar tindakan saling melengkapi satu sama lain, dan tulang pertumbuhan tawa menjadi pilar-pilar asasi generasi rabbani.

Selasa, 22 Juli 2025

Daily Activity

BABAK 92
Saat masih kecil aura guru itu masih saja terbayang lekat dalam ingatan. Bagaimana tidak, murid itu datang tergopoh-gopoh sambil mengelap bibirnya yang licin oleh minyak kelapa, murid itu selesai sarapan dengan lauk oseng ampas kelapa dengan cabai melimpah. Ia lalu duduk sambil memperhatikan Ibu Guru yang berbadan besar. Senyumnya selalu lebar, dan ia mengabsen satu persatu murid-muridnya. Kami maju satu persatu lalu membalik gambar yang sudah kami pilih sehari sebelumnya. Seorang murid membuka gambar layang-layang dan di balik gambarnya ada namanya. Nama pemberian dari ayahnya yang perantau. Ia duduk setelah gembira membuka gambar itu, dan kegiatan berikutnya adalah bernyanyi.

Selesai bernyanyi Bu Guru berbadan besar itu tersenyum lagi, lalu duduk di kursi yang lawas, berderit salah satu kayunya. Beberapa murid meringisn menahan seperti menahan sesuatu. Ternyata itu ketakutan kalau Bu Guru kesayangan jatuh dari kursi tua, menahan beban tubuhnya yang semakin lelah untuk di seret, ia tersenyum seperti tahu apa yang sedang kami pikirkan. Ia menurunkan kaca mata dan memberi kode pada guru di sebelahnya agar berdiri.

Kegembiraan itu segera lenyap, berganti cemas. "Tangan ke atas, tangan ke samping, tangan ke depan, duduk yang manis, shuuth-shuut," ia meletakan jari telunjuknya di tengah bibirnya, mengunci mulutnya dan menggemboknya, dan melempar keluar jendela. Suara kecipak bebek di kali kecil sampai terdengar jelas, situasi berganti cepat. "Bu..." kata Bu Guru yang berbadan besar, sambil tersenyum lagi. Ia menyuruhnya duduk dengan isyarat tangannya. Situasi kelas kembali berdengung, Setelah Bu Guru berbadan besar berdiri lalu memberi wejangan untuk membuka kelas paginya.

Ruang imajinasi kembali terbuka, hanya dengan ekpresi wajahnya, situasi kembali normal layaknya di taman-taman bermain. Kami siap menerima instruksi dari Bu Guru, apapun asal kami bisa bermain kembali.

"Kita akan olahraga terlebih dahulu, dan dilanjutkan dengan makan bubur kacang hijau."

Kami bertepuk tangan. Temanku mengepalkan tangannya tinggu-tinggi. "Asik...!"

Dunia Mendidik, Hari Ini, Esok, dan Nanti

BABAK 91
Dunia mendidik seringkali diguncang oleh peristiwa yang membuat dada ini sesak, tunjuk lah diri sendiri kenapa selalu membiarkan apa-apa terjadi dulu baru evaluasi, ini bukan kebencian tetapi tetapi tentang kasih sayang. Seberapa sayang kita dengan dunia pendidikan, jika kita ini pendidik maka peristiwa tidak memanusiakan seseorang, apalagi itu seorang guru senior (sepuh) yang telah mendedikasikan seluruh kehidupannya pada dunia ajar, maka yang terjadi kita tutup muka, akibat malu bila sedikit saja mengeluh tentang kelas yang sulit untuk "dipegang" atau apapun keluhan yang sifatnya bisa dicarikan akar masalahnya, tinggal bagaiman kita serius tidak mencari solusi dan menerapkannya dengan gaya tidak didaktik, satu lagi selalu mendoakan mereka dalam sujud-sujud yang panjang ketika solat.

Sebagai penggenggam peradaban mari berhenti sejenak untuk sekadar menarik nafas dan merenungi setiap kejadian yang sudah berlalu, ada yang bisa dijadikan pembelajaran ada yang berlalu begitu saja, tanpa bekas tanpa aksi nyata, mereka seperti gelas penuh yang airnya makin keruh, jika para pendidik ribuan jam menghabiskan sesuatu yang kurang bermanfaat. Tengoklah seorang guru yang rela untuk memperdalam ilmu ikhlas, langsung dari walimurid nya sendiri yang menjebol marwah seorang guru secara terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling. Ketika ilmu ikhlas sudah dihatinya, maka kesedihan macam apa yang bisa meruntuhkan bangunan ikhlas yang telah mendarah daging, Meski guru itu telah kehilangan "marwah" menurut orang yang telah 'dirugikan' tetapi pada saat yang sama marwah itu justru makin bersinar, bantuan langit begitu nyata terasa. Si guru itu pun terjaga ruhul mudarisnya, karena bantuan langit yang datang datang secepat kilat. Sebuah senyuman yang memporak-porandakan arogansi dan kultur sombong tiada banding.

Ini tidak hanya menerpa mereka (para pendidik pejuang) yang terus menyalakan api tekad untuk para murid-muridnya, meski kadang kezaliman mampir sebentar dalam kehidupannya, tetapi untuk para pendidik yang sudah hangat dalam balutan situasi dan kondisi, tetap saja menjadi alunan evaluasi agar makin larut dalam kenyamanan dan lupa bahwa sedang berjuang, melakukan pendampingan bagi siswa/siswi yang sedang bertumbuh dan berkembang.

Agar kejadian yang membingungkan kepala kita sebagai pendidik cepat segera disudahi, langkah mereka masih panjang, anak murid dirumah masih merindukan suaranya. Cepat kembali mengajar agar dunia pendidikan tak lagi 'suram' seperti yang sedang beredar dalam rekaman yang mesti diulang-ulang. Agar cinta itu tidak lekas menguap dan menyelusup dalam bangunan sunyi bernama makam, dengan status mendiang.

Senin, 21 Juli 2025

I am something you are nothing

Ungkapan kepercayaan diri yang terlalu tinggi, hingga melupakan dari mana sebenarnya dia berasal. Ia terus menggemborkan jerih payah atas sesuatu yang telah dicapainya tanpa pernah mengukur lagi seberapa besar ia kemudian menjadi pioner dari keberhasilan yang telah capai, selalu mengingatkan bahwa itu hasil kerja kerasnya, dan seolah menafikan semua tim yang telah melaluinya bersama-sama. 

Semuanya terjadi atas dirinya, ia hampir-hampir terjerumus kedalam situasi yang mempopulerkan dirinya pada lingkaran lamanya, menganggap semuanya akan baik-baik saja, padahal ia pelan-pelan telah menceburkan dirinya pada penyakit kesombongan, yakni menolak kebenaran (tidak bersikap rendah hati), dan juga menghina orang lain (tidak mengaggap sama sekali jerih payah, karena orangnya mudah untuk dimanfaatkan). 

Ia sedang mengikuti tren batu sebagai firaun abad baru. Tetapi lihatlah sekarang, semua jerih payahnya yang dulu ia gagas bersama orang-orang terdekatnya, perlahan-lahan hilang oleh bosnya sendiri yang memiliki kecenderungan yang sama dengannya. Mengira ia akan lolos dari jebakan merasa punya kelebihan yang bisa ia gunakan untuk mengelabui bosnya sendiri, pada saat yang sama ia sedang menenggelamkan diri dari penyakit hati yang semakin dalam, dalam dan gelap. 

Sampai kapan, sampai ia menyadari apa yang dilakukan betul-betul telah melampaui batas. Orang-orang yang melampaui batas seringkali tercebur pada perasaan kagum pada diri sendiri dan melupakan orang lain, orang lain dianggap tak ada, ketika masih ada keberadaan dirinya. Ia lupa kalau suatu saat matahari akan terbit dari barat, itu akan merugikan dirinya sampaia batas yang telah ditentukan.

"Oh aku sudah melakukan ini, ini kalau nggak ada aku..." dan bla-bla sejumlah alasan yang sering membuat orang lain gerah menikmatinya. Karena situasi yang tidak menguntungkan ini kalian boleh mencari alasan kuat untuk melakukan hal ini, tetapi menurut saya lupakan trik ini kalau kalian nggak mau dianggap sebagai, "dia memang hero, tapi yang lain dianggap zero. Itu kenyataan yang akan diingat sebagai kenyataan kepalsuan sebagai akibat merasa paling hebat, yang lain 'sampah', merasa paling jago yang lain nol. Semakin merasa potensi dirinya melimpah, semakin dirinya hinggapi oleh perasaan serba atas.

Selanjutnya, tetaplah rendah hati terus perbanyak kualitas diri, agar bukti potensi diri bisa membungkam arogansi mereka, yang hidup dari bersilat lidah, dan gampang melupakan kebermanfaatn orang lain. Saya pikir ini cukup dulu.

MAAF

Laksana air surga yang efeknya menenangkan sekaligus melegakan, perisai dari sebuah hubungan, dan dijauhkan dari keretakan berujung perpisahan, yang kemudian anak-anak menjadi 'korban' dan keegoisan dari hal-hal sepele. Maaf dalam arti tertentu tak lagi berlaku jika salah satu dari kalian telah hilang dari pandangan, terlukanya jiwa seseorang membuat perubahan bahwa maaf adalah tidak untuk sebuah ketegasan, perlindungan, juga rasa aman.

Laksana perisai dari situasi yang tidak menguntungkan diri, tetapi bisa menjadi keberlangsungan hidup orang lain, karena kita bukan Tuhan, kita yang diciptakan oleh-Nya, maka sifat Tuhan yang Maha Pengampun lagi Pemaaf mampir diseluruh pikiran dan nafas kita, hingga yang kemudian lahir adalah kebijakan prilaku dan tidak meninggalkan prinsip kehidupan yang memanusiakan manusia. Ia tidak sekadar memberi kesempatan tetapi juga membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang baru tanpa perlu melakukan 'kebiadaban' terlebih dahulu. Seorang pencuri singkong meninggalkan seluruh tatanan prinsip dan melanggar pitutur yang diajarkan oleh gurunya disekolah sebagai bekal, lenyap begitu saja ketika kelaparan melanda keluarga, ia harus memutuskan antara menjaga pitutur atau memeluk mereka dengan kelarapan akut. Ketika ia mencuri, keluar dari kebun, pemilik kebun sudah menungguhnya, intrograsi dilakakan, sang pemilik kebun memilih melepas keakuan dan membiarkan si pencuri itu pulang menemui keluarganya dengan setandan pisang ambon yang hampir masak, pemilik kebun tersedu-tersedu menangis melihat salah seorang tetangganya berjuang dengan lapar, sementara perutnya terisi oleh nasi goreng pete lengkap dengan telor orak-arik.

Ada banyak lagi maaf yang bisa diwujudkan dalam pelbagai hal, tinggal kitanya memilih di bagian mana maaf itu semestinya diletakkan.

Minggu, 20 Juli 2025

Perjalanan Ini Terasa...

Sangat menyejukkan ketika bersama orang-orang yang mendukung apa-apa yang kita lakukan, tahu betul kapan untuk menegur, kapan untuk tidak setuju, sejatinya kita masih ada di  persimpangan jalan, hanya untuk menakar dan mengukur seberapa jauh sebuah keyakinan untuk setia, pada komitmen yang telah terikat jauh sebelum keberadaan kebersamaan. Ketika orang terdekat sudah memberikan sinyal resmi untuk melambai pada setiap perjuangan, meski mereka tahu, kita sering terjatuh pada tiap kebangkitan.

Sangat memilukan bila orang terdekat, tak mau tahu apa yang menjadi kebutuhan dan kesulitan, mungkin menggendong anak saja menggerutu, bahkan ikut menyalahkan situasi yang tidak sesuai dengan pikiran sendiri, karena trauma masa lalu. Sang ayah sudah mendeklarasikan untuk menyimpan kepedihan masa lalu dan itu diturunkan secara kasat mata pada keluarga yang ia bina dengan sajadah cinta. Mestinya tak perlu sang istri meminta pertolongan pada suami ketika anaknya butuh gendongan, tetapi ini kisah yang tak perlu dilirik, manakala ini membutuhkan penyesuaian yang merilis setiap energi negatif. katakanlah seperti itu.

Sangat menyenangkan bila keduanya mengayun sama-sama dayung yang mereka buat sendiri dari bahan kejujuran dan kesetiaan, cinta yang tumbuh seiring waktu, yang didasari oleh kemampuan saling mengisi satu sama lain. Wilayah itu seringkali bertumbuk pada seberapa besar ikhtiar yang dilakukan. Sejuta 'masalah' pada sisi lain ada sejuta 'solusi', keduanya hanya terbentang pada luruskan niat dan sempurnakan ikhtiar. 

Sabtu, 19 Juli 2025

Gurunya Ikut Bertumbuh

BABAK 90
Ketika guru mengajar kepada murid-muridnya seperti sama-sama menebar benih di atas tanah yang gembur nan subur. Humus,kompos, hara, bersatu pada bersuka cita menerima benih yang datang/jatuh menghempas bumi, bersembunyi sambil memeluk tanah rapat-rapat. Dari sana pelan-pelan tumbuh setelah cukup waktu bakal tunas. Secara sadar, guru sedang bertumbuh bersama pikiran anak-anak, pikiran anak pikiran guru juga, sehingga pada satu momen guru dapat merasakan secara persis, apa yang sedang dialami oleh peserta didik tanpa perlu menjelaskan apapun, bahkan pada kalimat pertama, si guru sudah menerka apa yang sedang terjadi padi anak. 

Ketika sedang memberikan pengetahuan kepada peserta didik, tentu saja dengan pandangan mata (lebah), si guru sedang membangun dengan peradaban gemilang pada masa mendatang dengan pendekatan semanis madu, dan ketegasan seorang ayah ketika mendisiplinkan putra tertuanya. Keduanya sedang bertumbuh, memperlihatkan perkembangan diri secara utuh, anak akan memperoleh setidaknya road map tentang diri dan kehidupannya nanti, sedangkan si guru menjadi pemandu bakat dengan kejernihan melihat potensi yang dimiliki oleh murid, meski framing dari pihak luar sering kali mengubur potensi mereka dalam batas yang menjengkelkan. 

Jika dalam proses mengajar menggunakan cara-berpusat pada murid atau berpusat pada guru, dua-duanya meski menampilkan citra diri sebagai pengembang misi, yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, hingga yang dihasilkan nanti adalah ketahanan diri untuk menghadapi situasi yang sesuai dengan keinginan dan yang tidak sesuai dengan keinginan, keduanya bermaksud untuk membuat saya pikir dan daya gerak yang berdampak pada kemandirian untuk mengubah citra pada level menciptakan daya lejit yang proporsional. 



Jumat, 18 Juli 2025

Guru Sebagai Penagih Intelektual

BABAK 89
Betapa kacaunya isi pikiran seseorang pendidik ketika membaca buku, ia masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Bukan untuk tabayyun, mengecek apakah isinya racun atau madu, dari situ saja itu sudah membekali sejumlah logika untuk bisa main tidak hanya di ladang sendiri. Kalau kata
Martin Suryajaya; "menangguhkan sendiri kepribadian sejenak, untuk mencoba menulusuri isi pikiran orang lain. Menurut saya itu sangat mengena, seperti kita sedang bercanda sambil berpikir. Seorang guru perlu memberi jarak antara dia dengan sumber bacaannya. Agar ia bisa menyerap apa yang mesti bisa diserap, dan apa yang mesti dijeda

Campur aduknya antara keinginan untuk menginterupsi bacaan orang lain, itu bagus. Tetapi kenapa ketika selesai membaca ada banyak yang hilang. Karena ketika ia membuka halaman baru dalam sebuah buku, kan iya sedang masuk dalam pikiran si penulis, tanpa perlu mengoreksi terus bacaan, tetapi lebih kepada seberapa banyak informasi yang bisa ditabung, diendapkan dalam memory jangka panjang, dan suatu saat bisa dipanggil kapan saja, tanpa perlu ribet-ribet untuk mengindarinya ketika berargumen.

Berhenti sejenak untuk mengetahui isi pikiran orang lain, adalah modal untuk berpendapat, berdiskui, dan berdebat yang hangat tentang sesuatu hal, tanpa bacaan yang melimpah orang dalam hal ini seorang pendidik agak sulit untuk menangkap gejala pada peserta didik, ada kegagapan yang mereka sedang pertontonkan, dengan jawaban yang diluar kendali mereka sebagai pendidik, sebagai guru, yang tetap rendah hati tanpa perlu bersikap feodal. 

Betapa campur aduknya pikiran pendidik manakala terus membereskan pemikiran orang lain dengan maksud bukan untuk pendampingan tetapi dengan maksud tertentu, yang mencoba meruntuhkan satu warisan yang sudah tersusun lama, berdasarkan pengalaman, evaluasi, segala kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan terkait program dan kurikulum sekolah.

Buku itu berbicara, mengajak orang untuk berpikir, jadi jangan selalu mendapatkan apa yang diharapkan dalam satu buku, maksudnya ketiak pendidik membaca satu momen satu buku, dan hasilnya adalah kebingungan, jangan tagih pada penulis pemberi momen (kejadian), tetapi tagih apa maksud dari buku yang dimaksud, bukan terus menerus managih pada seorang pengarang, kitalah lah yang menerka apa yang dimaksud, karena si penulis menyampaikan simbol tertentu agar orang berpikir tidak selalu disuapi seperti bayi, lalu kapan berpikirnya seorang pendidik. Cara menagis isi pikiran pengarang bisa sangat melimpah caranya bisa macam-macam. Kalian bisa mencari sendiri jawabannya, dan itu tugas sebagai seorang pendidik.

Cekap semanten.

Perjalanan Sang Demonstran

BABAK 11
Roti Vatrushka 
Elang melangkah kedua kakinya lecet-lecet, ada darah yang sudah mengering di area pelipis. Nafasnya ngos-ngosan. "Cepat!" kata seorang pemuda yang melilitkan kepalanya dengan kain coklat. "Tunggu!" kata Elang, menghentikan langkah-langkah sibuk antara kuda-kuda pendek, kekar, dan jangkung, dan juga onggokan tubuh yang sudah tidak bisa berbicara lagi.

"Kau ragu?" katanya, giginya putih. Tak ada bekas nikotin, bisiknya dalam palung hati yang terdalam. Ini bertolak belakang dengan Elang, jika kalian ingin mendengar, meskinya kalian sudah tahu, siapa Elang ini. Keseharian sebelum sampai di sini, hanya keseharian yang sama sekali tak mencolok; makan di warung lalu bayarnya sampai bulan depan. Keliling sebagai tukang cukur, joki pemancing, kernet bus, dan kadang-kadang sebagai tukang vermak baju dan seterusnya. Ia tidak berijazah, tetapi isi pikirannya sering merepotkan para penduduk istana. Yang kerjaannya semakin hari semakin memusingkan kepala. Mungkin karena pikiran ini terlalu picik dan mental blok, tetapi hilang sejenak seperti menjelang sumpah pemuda. Bahkan medium cetak, eropa sebagai caranya sendiri untuk bertumbuh.

"kau bisa membaca ini, yang kunginkan bukan hanya nyiyir tetapi sebuah kapasitas sebagai orang Indonesia." Tanya Elang.

Sebuah koran yang diambil dari pembungkus Roti Vatrushka yang terbungkus buru-buru. Dan ia duduk sambil menyeruput teh hijau yang dihidangkan oleh salah seorang rekan perjalan pulang. "Inilah perjalanan yang paling sakra mengantarkan mayat sejumlah pejuang dan harus di antarkan kepada orang-orang yang kita cintai," katanya.

"Kau kelihatan sekali sedang berbohong, dalam agamamu berbohong adalah penghianatan." kata Elang

"aku sedang berbicara dengan 'mayat' yang lain." jawabnya.

Keduanya tertawa. Mereka melanjutkan perjalanan.

Terbang Tak Pernah Hinggap

Seorang kelana pergi mencari harapan, mencari tempat untuk bersandar, itu terjadi pada pria yang ingin menjadi dirinya sendiri, tetapi waktu kemudian menjadikan ia mengerti, bahwa orang yang ia kasihi belajar untuk menjadi dirinya sendiri, jadilah lelaki yang berharga untuk semua situasi.

Dalam tangisku juga tak ingin melihat wajahmu lagi. Kamu yang tak tahu situasi dan rabun untuk melihat situasi. Ketika aku memilih situasi lain, kau merengek seakan tak peka. Kini aku memilih jalan yang benar, jalan yang kau benci, kenapa tak memilihnya. Kau rentan dan tak masuk akal, kamu serba semu dan tak murni. Sementara ini aku sudah punya surga lima, ada yang surga yang tertinggi, yang bau tubuhnya tak pernah membosankan. Tak pernah terlintas untuk membalas sedikitpun pada apapun yang kamu lakuna, karena semua itu hanya kepalsuan yang kamu tawarkan. Kini kinilah tinggalah pergi. Sejauh-sejauhnya tanpa pernah sidikitpun menoleh, karena hanya kehampaan yang akan kamu peroleh. Camkan itu.

Kini kau terima sebuah kehidupan. Sekarang aku tumbuh menjadi diriku yang lebih matang. Disampingku berdiri bidadari yang tumbuh semakin kuat dengan empat prajurit kebanggan. Kini saat untuk mendampingi sampai Tuhan memanggil, tetapi ingin kulihat Ka'bah dan sebuah kemerdekaan untuk yang jauh di sana. Titip salam buat mereka, hanya doa yang bisa kupanjatkan. Hanya menitip kekuatan lewat angin dan hangatnya cahanya. Semoga kita bertemu di lain kesempatan.

Rabu, 16 Juli 2025

Personal Calling

BABAK 88
Kalau guru sudah menemukan panggilan pribadi (Personal Calling) dalam mendidik anak-anak di sekolah, maka mereka akan melakukan, mencari, mengevaluasi, memperbaiki apa-apa yang kurang ketika mengajar dan memberikan materi kepada peserta didiknya pada puncak rantai ruh seorang guru. Ia akan melampaui cara berpikir yang umum. Tidak lagi mengajar mendidik sekadar untuk menggugurkan kewajibannya sebagai guru, tetapi ia akan menempatkan diri pada puncak marwah sebagai seorang guru. Ia mendampingi para peserta didik tidak lagi membuat seberapa besar harapan si anak tercapai, tetapi akan melakukan pendampingan dengan melibatkan seluruh panca indra yang dibungkus oleh hati yang terus lurus dan selamat dari pelbagai sikap dan sifat buruk yang sering menggerus niat seorang guru pada perjalanannya.

Guru yang sudah terpanggil hatinya, ukurannya tidak lagi materi sebagai target utama dalam misinya sebagai seorang pengajar. Jika target utama, yakni pucuk-pucuk duit, maka yang terjadi ia akan berhenti pada lingkaran pikiran seperti itu. Tidak salah sih, hanya saja mengurangi 'niat', katakanlah seperti, saya belum menemukan istilah yang tepat. Ini sangat dilematis, jika kalian berada pada posisi seperti ini, satu sisi anda berusaha menunjukkan tekad seorang guru, di sisi lain ada peran lain sebagai juru pendidik. Saya kira luruskan niat sempurnakan ikhtiar, adalah kata yang tepat untuk saat ini. Serta tidak mengabaikan konsep keseimbangan, uang, Tuhan, keluarga, pengabdian, serta dapur. 

Ada hal yang lebih besar ketika anak-anak bisa memikul seluruh kemandirian, dan bisa dicicil ketika dalam hidup dan kehidupannya yang mereka hadapi. "Hati akan tersentuh oleh Hati" begitulah Aa Gym selalu memberikan petuah pada kajian subuh ketika saya mendengarkan beliau pada kurun waktu 2000an. "Dan hati itu ibarat teko, kalau isinya susu yang keluar susu, bila isinya comberan, yang keluar pun isinya comberan. Maka, rawatlah hati sebagai kalian merawat mesin." tambahnya. Materi memang penting, misalnya uang, tetapi ia efek saja dari seluruh rangkaian aktifitas pekerjaan yang dilakukan oleh seorang guru. "Sah nggak kalau mengajar ingin mendapatkan uang". Ya sah saja, mereka masih memerlukan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupannya, simak saja guru honorer yang tidak hanya melibatkan sisi hatinya tetapi harapan besar pada uang ketika ia selesai mengajar. Dalam dunia pelayanan pendidikan, selalu saja ada pengecualian yang mesti di tolerir sebagai bentuk memanusiakan manusia, katakanlah seperti itu. Saya pikir guru honorer yang setia dengan gaji seperti yang kita dengar, mereka telah melibatkan seluruh panca indera dan kemanusiaan untuk menjadi pejuang bagi peradaban bangsa. Pada titik inilah mereka yang duduk di singga sana mestilah merenung sedikit, dan berhenti untuk bercakap-cakap, sudah saat mereka turun gunung memberi mereka harapan yang lebih besar, dari pada sekadar untuk terus menggaungkan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, sudahi betul, beralihlah pada wilayah yang nyata dan berdampak. Mereka telah melewati fase yang berbeda, dan sudah selayaknya kita perlu mengangkat topi, memberi hormat setinggi-tingginya. Dalam hal ini kita perlu merunduk pada guru yang telah mengeluarkan api tekad sepanas-panasnya, hingga api yang panas terasa dingin, seperti mukjizat nabi Ibrahim, guru pada level itu amatlah sukar untuk mengkategorikan, apalagi memberi label tertentu. Pada posisi apa mereka sebenarnya, jawabannya mereka pada tipe pewaris para nabi, yang pengorbanannya tiada banding.

Begitu juga sebaliknya, guru yang sudah "melimpah" dalam arti tertentu, hingga tak lagi menemui kesulitan yang sering dibayangkan oleh guru yang sudah "layak" dalam arti tertentu. Mungkin ini kurang tepat, tetapi saya tidak bermaksud untuk membandingkan satu sama lain. Kadang nasib dan kerja didiknya akan memperjelas siapa seberapa besar "nyali" seorang guru dalam menghidupkan api tekad dalam dirinya. Cekap semanten.

Perjalanan Sang Demonstran

BABAK 10
Escape From Personality

Perutku mules tiada tertahan, sementara suamiku entah dimana. Apakah serdadu-serdadu yang telah dikirim penguasa berhasil meringkusnya?, tidak ia lelaki yang pandai dan cermat membaca situasi, tak mudah untuk menangkapnya. Atau jangan-jangan ia tengah meringkuk bersama hewan-hewan pengerat yang jorok, kudisan, dan kelaparan.

Aku memanggil ibu yang tengah memasak. Ia berlari sambil mengelap keningnya yang telah lama keriput. Cengkaramannya tangannya masih sekokoh dulu, meski ditingkahi dengan helaia nafas dan cepat-cepat gemetar.

Ibuku memapah ke rumah tetangga yang memiliki becak. Sambil menahan kontraksi yang menyakitkan dan guncangan jalan yang tak pernah diperhatikan oleh para penguasa, kecuali jelang masa-masa pencalonan. Realita sangat menyebalkan. Aku bisa apa dengan kondisi seperti ini, aku tak cukup kuat dan kata-kataku seringkali sumbang dan tak jelas arahnya. Penguasa itu benar-benar memiliki kemampuan untuk menyetop otakku agar tak berpikir di luar kendalinya.

Sampai di rumah bidan, suamiku benar-benar tak datang. Bahkan sampai malam ketika bayi dalam kandunganku sudah tak sabar bertemu dengan bapaknya. Orang yang sedang dalam masa paceklik dicari oleh penguasanya sendiri, gara-gara dituduh memimpin demonstrasi para buruh.

“Pembukaan Sembilan, mana suamimu,” tanya bidan sambil terus mengintip bagian kewanitaanku.

“Ia sedang ada urusan penting,” jawabku sekenanya. Sakit ini seperti mau membunuhku.

“Semua laki-laki memang sama, mau enaknya dong, giliran ‘begini’ mereka tak ada dengan seribu alasan.”

Ketika intruksi dorong, ambil nafas, dan seterusnya. Seseorang menggengam erat tanganku. Rasa sakit yang luar biasa ini telah menguarangi mawasku terhadap kehadiran suamiku sendiri. Bibirnya pucat dan mata kanannya bengkak, ada noda darah disana. Tapi nanti saja kutanyakan, keselamatan bayiku lebih utama. Maaf ya…

Ia mengelus dahi dan rambutku. Tak ada kata-kata yang terucap dari mulutnya. Ia yang terbiasa membaca puisi ternyata gagu menghadapi istrinya yang tengah berjuang melahirkan buah cintanya. Rasanya cukup meski tak ada kata-kata penyemangat yang kelur mulutnya.

Detik-detik yang menegangkan itu terbayar lunas oleh seonggok daging yang terasa ringan keluar dari alat kelaminku. Suara tangis lembut dan manja menandakan aku telah menjadi ibu, sementara Lukman, suamiku yang kini telah jadi ayah sekaligus buron penguasanya sendiri.

Mungkin kalian lebih tertarik pada kisah suamiku dari pada kisahku yang melahirkan. Peristiwa kelahiran mungkin terlalu biasa untuk diceritakan. Ini semacam intermezo dari kisah suamiku yang akhir-akhir ini kurasakan akan terjadi sesuatu yang menyakitkan.

Untuk sejenak dalam posisi yang menurut kalian tidak menguntungkan. Sekali lagi aku mohon kerendahan hati kalian untuk mendengarkan kalimat-kalimat sederhana, dari seorang ibu rumah tangga yang suaminya kini pontang-panting lari menghindari dari serdadu pemerintah. Tangkap hidup atau mati adalah slogan yang pernah ku dengar dari orang-orang yang pernah menonton film-film wajib.

Suamiku adalah guru yang paling jujur dalam menerima penindasan dari para penguasa, negerinya sendiri. Penguasa ketika beretorika atau berpidato seakan ia malaikat yang suci kejahatan. Bahkan mereka mungkin tak pernah sujud secara mendalam seperti para malaikat, meski ia tak berdosa. Sujud-sujud para penguasa seringkali pupus kedamaian ketika sepuluh langkah dari masjid.

Bagi yang mengalami pengejaran atau buron sepanjang waktu, hal itu menjadi petaka yang membuat kalian bisa saja gantung diri di tali jemuran. Suamiku menolak patah, ia ingin menunjukkan kalau raganya sekuat gatot kaca. Otot kawat balung besi. Meski mungkin suatu saat akan kehilangan nyawanya. Dan ia akan meninggalkanku sendirian bertahan dalam status janda. Status yang tidak mudah di negeri timur ini.

Lihat tindakan para penguasa itu kawan. Di saat rakyat mengantri beras dengan kaki-kaki borok tanpa perban, para penguasa itu sedang nyaman menghisap cerutu ditemani segelas kopi impor yang mendunia. Mereka tak peduli dengan keadaan rakyatnya, meski seringkali pidatonya mengatasnamakan kesengsaraan rakyat dan bla-bla-bla. Meski bajunya yang aduhai tak bisa menutupi pidatonya yang tak bertenaga.

Kawan sejatinya kini meringkuk di penjara, tanpa proses seperti biasanya. Mereka bak kadal yang enak untuk santapan ular kobra pagi hari. Aku heran sendiri kenapa suamiku masih bebas melenggang kangkung menghindari para serdadu. Mereka melakukan penyemaran beranek ragam bentuk dan profesinya. Elang seperti mendapati mereka satu-persatu. Tapi sampai kapan Elang bisa membaca situasi, aksennya yang cadel mudah sekali untuk dikenali. Kuharap ia akan baik-baik saja selama jauh dari pelukanku.

Yang berani justru harus menjadi buron atau meringkuk di penjara bersama para tikus-tikus ganas yang siap membuat kalian jadi pecundang bila tak kuat-kuat pendirian. Menurut kawan baik Lukman, sekolah terbaik adalah penjara. Para penguhuni bisa menjadi lebih baik atau buruk. Bahkan menurut kabar, seorang ulama jauh dari negeri kita yang wafat di tiang gantungan telah meninggalkan warisan berupa puluhan jilid tentang semangat perjuangan dan ketaatan kepada Tuhan.

Suamiku akan meninggkan warisan apa, ia tak bersekolah tinggi. Putus sekolah karena masalah klasik rakyat jelata. Ia harus berbagi bangku sekolah dengan adik-adiknya. Tak pilih jenis pekarjaan, yang penting bisa menghasilkan uang dan operasional keluarga bisa berjalan. Ia akan mewariskan kebaranian dan semangat pantang menyerah, yang akan dikenang oleh anak cucunya. Mungkin hanya kumpulan syair juga tak apa, meninggalkan harta bisa menjadi petaka yang bisa mengancam jiwa. Tapi ilmu akan menaungi benak dan raga kita.

Aku tak pandai merangkai kata seperti yang kalian harapkan. Setidaknya cara ini bisa mengurasi depresi akut atas suamiku yang kini jarang pulang. Makan dan minum di mana. Mungkin sekarang sedang meringkuk di mushola milik orang-orang muslim. Meski ia sendiri tak sembahyang. Sebelum ia pergi menjauh dari para serdadu ia pernah mengingatkanku agar tak salah menilai orang-orang muslim. Mereka orang-orang yang baik, katanya.

Aku berdoa agar ia cepat-cepat menemukan teman perjalanan yang berani dan satu pemikiran dengannya. Hingga suamiku bisa tertawa renyah. Ia tak bisa tertawa pada saat para penguasa mencoba menghibur rakyatnya dengan mengetes nama-nama ikan, menghadiahkan dengan sebuah sepeda, atau sekaranjang jagung kering yang bisa bertahan selama satu bulan. Jika Lukman cepat menemukan sahabat baru yang sejalan dengan idealismenya. Ia dapat bertahan dalam mental prima, meski kepungan bahaya telah lama mengancamnya.

Kopi yang kusajikan di pagi ini telah lama dingin. Bahkan telah tercebur satu ekor lalat. Kuambil lalat itu dengan sendok, lalu pelan-pelan mulai kuminum seteguk demi seteguk. Lambungnya terguyur pahitnya kopi, dan kedua mata mulai hujan.

Sore yang teduh ini membuatku tenang. Ada burung prenjak yang mengoceh sambil menikmati ulat-ulat yang bergelantungan pada banyak ranting dan daun. Kulihat kakinya yang teramat ramping memudahkan burung berpindah dari dahan satu ke dahan lainnya.

Burung itu terbang ketika melintas di bawahnya. Ia meninggalkan pohon kopi pada saat hewan penerima ilham itu hinggap di atas bunga kopi yang putih. Dengungannya hampir tak terdengar, mungkin karena ia sendirian. Tak banyak membawa teman seperti biasanya. Aku iri dengannya, ia diberi ilham oleh Tuhan pemilik semesta ini. kata-kata itu kudengar dari salah seorang tetangga yang gemar ke masjid dan memberikan petuah bijak selepas subuh.

Kutuju rumah diujung desa, kalian pikir itu jauh. Kami hanya menyebutnya ujung desa agar orang-orang dari luar desa ini tak ingin kesana. Seperti ingin menyembunyikan rumah yang kini sudah lapuk, jompo, dan bila angin berkecepatan sedang mungkin bisa merobohkannya.

Ingin kuketuk rumah berbilik bambu yang aroma rayap tersebar di mana-mana. Sebuah suara sudah mendahuluiku. Berulangkali kuingin menghindari rumah yang satu ini, pada saat yang sama kedua kaki ini seperti diarahkan penyihir untuk melangkah ke rumah ini.

“Baumu sudah tercium dari jarak 25 meter, ada apa kau kesini.”

“Melihatmu.”

“Aku tak ingin bercakap-cakap dengan pembohong, ayo pulang!”

“Sebentar lagi aku akan jadi janda, apa kau tak merasa kasihan.”

“Kau tak pandai bersandiwara, sekarang pulanglah.”

Perempuan paroh baya itu menutup pintu setelah mendorongku agak kasar. Pengucilan dari orang-orang terdegkatnya membuatnya menjadi kacau. Ia bahkan menyumpahi dengan serapah kotor menyebutku binatang ternak dan seterusnya.

“Mas Elang belum pulang beberapa hari ini Mbok, apa dia pernah kesini?”

Pintu itu dibuka dan membawa bakulan berisi pisang emas yang masih mengkel. Ia memandangku lekat-lekat seperti dukun beranak.

“Anak itu memang bandel, sudah kubilang jangan pernah ikut demo-demo, dicap ini itu, bahkan ibunya sendiri tak tembus juga kata-katanya.”

Ia masuk kedalam dan keluar lagi, tangan kanannya sudah merapalkan sirih dan kemenyan. Mulutnya mengunyah dengan kasar, mengecap, menghela, pada detik yang tak diduga ia menyemprotkan sirihnya berkali-kali secara mengagumkan.

Kuseret wadah kinang, mengambil satu persatu bahan yang dibutuhkan. Lalu pelan-pelan kuisi daun sirih hijau itu dengan aneka rupa; tembakau, cengkih, wuwur, kemenyan, kapur, daging jambe, dan beberapa bahan misterius yang ketika kutanyakan pada si mbok hanya gerutuan yang kudapat.

Pada saat mentalku kuat mengadapi hal-hal yang tak terduga, kunjungan ke rumah si mbok adalah hal yang paling kuhindari. Tapi, di saat genting seperti rumah si mbok bagai dokter jiwa yang patut kukunjungi.

Si mbok bercerita tentang perpindahan dari perahu ke perahu lain untuk menemukan suaminya yang hilang pasca huru hara di kota. Para serdadu itu katanya, menjalankan tugas hanya dari yang didapatkan dari kantong celana para tahanan. Kebetulan nama suaminya ada pada kertas kumal itu, hanya kebetulan. Soalnya suamiku habis belanja barang dagangan pada salah seorang pemilik, dan ia berhutang di hari itu.

“Aku tak mengira kau mengalami nasib yang sama, kau harus kuat agar anak-anak tak meninggalkanmu. Kau tahu itu sangat menyakitkan. Darah dagingku telah membuatku lebih gila, mungkin hanya kematianku membuat mereka tak menganggap ibunya sebagai perempuan dengan ganguan kejiwaan.”

Senja mengakhiri pembicaraan kami. Aku tak mencari solusi, hanya berbagi beban. Si Mbok menutup dengan mata curiga, peristiwa pencidukan tengah malam pada masa lampau membuatnya tak benar-benar percaya pada siapapun, tak terkecuali denganku, mantunya sendiri.

Kuludahkan ke sisi-sisi pematang sawah, warna sirihnya yang pekat tampak seperti darah dari luka sayat. Kuberhenti sejenak memandangi sepasukan orang-orang sawah yang gagah berdiri. Mereka adalah tembok terakhir dari sebuah ukuran bernama keegoisan. Di saat para petani sedang terlelap diatas amben, mereka tampak kokoh berdiri menghalau kawanan bul-bul yang militan dan Spartan.

Kurindukan pundak suami begeng menyisakan tonjolan tulang dan bau panili. Suaranya yang tak lazim membuatnya gampang untung dikenali dari jauh. Ia seperti siulan burung kematian yang menguik-nguik pada siang bolong. Berada di puncak pohon yang tinggi, seolah-olah ia pemberi kabar yang tahu tentang sebuah perasaan.

Di tempat lain yang jauh.

Elang tergesa-gesa mencari telpon pinggiran. Ia ingin menelpon istrinya yang jauh tertinggal langkahnya. Lukman menunggu sumber suara yang banyak dirindukan pada malam-malam panjang, sendiri di negeri sendiri. Setelah menunggu beberapa saat, wajahnya cerah. Beberapa kali ia mengelus rambut ikalanya. Sudah sepekan rambutnya tak terbilas sampo.

“Bagaimana kabarmu.”

“Sehat, kau sendiri apa tak kangen rumah.”

“Kangen sekali, tapi serdadu itu langkahnya semakin dekat, daya penciumannya semakin tajam.”

“Sekarang kau dimana, suaramu terdengar kecil.”

“Sudut terpencil kota Jakarta, mungkin aku akan pergi lama.”

“Bagaimana dengan mahluk penghisap darah, apakah lebih ramah.”

“Nyamuk disini lebih parah dibanding di kampung. Amat rakus dan tak mempan obat nyamuk bakar, sopel, ataupun semprotan peptisida. Baginya obat-obat itu seperti tembok rapuh yang mudah diterjang.”

“Serdadu-serdadu sekarang lebih berani, kadang seharian berdiri seharian meyamar sebagai pedagang Es Legen, tak ada pedagang yang bisa tegak berdiri selama itu, sebenarnya kau melakukan apa kok hingga penguasa begitu membecimu.”

“Aku hanya membentak dan menghardik ketika mulut tepat didepan megapon, mereka bersumbu pendek dan sedikit-sedikit angkat senjata, tak diskusi-diskusi hangat seperti yang tertera pada tulisan para cerdik pandai. Mereka gagap menerjemahkan antara sikap hukum dan hukum itu sendiri. Hawa nafsu telah melelehkan akal budi pekertinya.”

“Omonganmu tak terdengar lagi seperti pendeta, kamu mirip guru agama di mushola.”

Terdengar suara tawa dari ujung telepon istrinya. Marsi mengucek matanya dalam-dalam.

“Titip anak-anak, dan kamu sehat-sehat ya.”

Komunikasi terputus, hanya dengungan yang terdengar ditelinga Marsi. Ia meletakan gagang telponnya. Menggangguk pada tetangga yang memandangnya seperti musafir tersesat. Senyumnya teralalu dalam dan rahangnya telah termakan usia. Ia satu-satunya orang yang memiliki telpon rumah yang bisa sesibuk wartel, apalagi jelang lebaran.

“Telepon dari suamimu, Si?”

“Iya Juragan.”

“Bilang sama suamimu, jadi orang jangan sok, ini negeri siluman, pendekar paling saktipun bakal goyah menghadapi, apalagi suamimu yang kerempeng, modal puisi doang, maaf tapi ya, begitulah.”

“Terimakasih, mari juragan?”

Marsi mengelap pipinya cepat-cepat. Tak ingin air matanya jatuh mencium bumi. Cukup matanya saja yang sedih. Bumi tempat berpijak tak perlu ikut-ikutan.

Aku seperti merasakan hembusan suamiku. Nafasnya belum terjamah kopi hitam pagi hari. Aku ingin menanyakan apakah ia sudah sarapan pagi, dan meminum kopi barang seteguk dua teguk. Mungkin ia sengaja mematikannya, atau di sana sedang ada pemadaman listrik. Yang palig ingin kukonfirmasi ulang, apakah ia rajin-rajin untuk menggunakan obat tetes pada mata kirinya yang terus memerah sampai sekarang.

Aku mungkin jenis perempuan yang keberaniannya belum sekaliber pahlawan-pahlawan itu, tetapi setidaknya kuberanikan diri untuk menghadapi wajahku ketika bercermin mematut diri. Meski gila menurut sebagian orang adalah karunia, aku tak lekas-lekas mengikuti jejaknya. Aku cukup kuat untuk hal selanjutnya yang lebih buruk, mungkin hanya pada pukulan pertama. Pukulan berikutnya aku bisa terjengkang, terperosok, dan tersandung pada statusku beserta anak-anaku nantinya.

Sampai di rumah, Ibu sedang mendengarkan lagu-lagu dangdut. Kepalanya ditengklengkan ke kiri dan kanan. Badannya bergoyang lemah, meski musik yang didengarnya gegap gempita. Ia mengecilkan suara radionya. Musik dangdut itu terdengar berbisik. Ibu memandangiku cemas.

“Dimana suamimu!”

“Di Jakarta, sampai kapan ia akan pulang aku tak pernah tahu.”

“Oalah gusti pangampurane?”