Rabu, 16 Januari 2019

Novel Frans Maki

BAB 7
Burung Puyuh 
Lanjutan cerita

" Nama teman kamu siapa." Bang Aris bertanya sambil memasukan ketapel kedalam belakang celana, seperti gerakan memasukan keris kedalam warangkanya. Kalau dirunut dari jejak persahabatan kami dengan bang Aris tak begitu baik, kami seperti terjebak dalam dunia bang Aris, dia seperti punya daya magis agar kami para anggota kopi anjing selalu mau menjadi "temannya". Hanya pada saat ini dia menjadi tulang punggung pencarian teman kami yang menghilang. Satu yang kami tidak begitu menyukainya adalah bang Aris selalu berubah-ubah emosi, kadang sulit sekali mengontrol keadaan dirinya, satu saat dia bisa menjadi teman yang baik, saat yang lain di suka marah tak jelas, kadang juga salah satu dari kami pernah di bully entah apa alasannya. Esok harinya dia akan meminta maaf secara laki-laki.

" Faisal." Kata Frans.

Kami ingin menjauhinya, tetapi pada saat yang lain kami tak bisa lepas dari sepak terjangnya. Seperti minyak dan air. Tak pernah akrab, tetapi tak bisa dipisahkan.

Hutan Tepi sawah masih seperti biasa. Letaknya mudah untuk dicapai, kalau sudah masuk kedalam seperti melewati jembatan purba walau sekilas sama situasinya. Kami mulai masuk kedalam mencari jejak Faisal yang sudah satu pekan tak pernah kesekolah, kami mulai bergerilya mencari jejak sekecil apapaun.

Kami di di bagi dua kelompok, kelompok pertama bang Aris dan Frans, sementara kelompok dua Hari, Tama, dan Jidon. Frans dan bang Aris menyurusuri hutan tebu dan melihat rumah pohon yang pernah kami buat susah payah. Hari, Tama, dan Jidon menyisir kawasan hutan kelapa, Sengon dan Alba.

Satu jam kami bertemu kembali. Kami tercenung tak ada gerakan yang mencurigakan. " Frans, kau sudah kunjungi rumah pohon yang kita bangun di seberang sungai kecil di balik hutan tebu." Tanya Jidon.


" Belum sempat, jembatan kecil yang kita buat dulu sudah hanyut terbawa arus sungai." Jawab Frans.

" Maaf saya harus pulang, saya tak mau menyeberang sungai. Kayak ngga ada kerjaan." Sewot Aris. Kambuh lagi sifatnya, gampang sekali dia Moody.

" Tapi bang?", Frans coba menahannya.

Bang Aris balik kanan tanpa merasa bersalah, satu jam lalu dia bisa menjadi abang yang diandalkan. Sekarang dia pergi tanpa menyesal sedikitpun. Bahkan dia sempat tersenyum sinis, mengejek kami yang kurang kerjaan.

" Bagaimana kita lanjutkan." Tanya Tama.

" Kita lanjut." Jawab Frans.

" Ok." Hari menjawab.

Kita harus seberangi sungai kecil, aku akan mencobanya terlebih dahulu dengan berayun menggunakan dahan pohon kelapa yang terjuntai kebawah. " Bagaimana kalian berani." Tantang Frans. Sempat kami bernegosiasi alot dan lama. Masing-masing dari kami mempertahankan idenya. Tak ada yang mengalah.

" Hei kalian, jangan berisik, kita gunakan tongkat panjang ini, tongkat ini dari rotan. Dahan pohon kelapa sangat berbahaya tak kuat, kalau tercebur kalian akan terbawa arus yang deras." Tiba-tiba bang Aris muncul kembali dengan membawa tongkat rotan panjang. Antara terkejut dan senang. 

Kami bergantian melompati sungai kecil dengan cara kami masing-masing. Bang Aris memberi contoh. Dia sangat mahir menggunakan tongkatnya. Seperti Atlit Lompat Galah. Kami dapat kursus singkat. Kini giliran Tama, dia yang paling menghawatirkan soal gerak tubuh.

Tama melompat tapi mengayunkan kurang kurat hingga, lalu yang kami takutkan terjadi juga. Tama berhasil melompat tapi kurang sempurna. " Tama!." teriak Frans. Tama mulai hanyut di sungai kecil yang deras. Kami berlari mengikutinya. Tama seperti burung puyuh yang patah sayapnya. Kami harus melakukan sesuatu.

0 Comments:

Posting Komentar