Rabu, 15 Januari 2025

Siluman Rumah Gedongan

Jam tiga pagi aku terbangun. Suara Bronto, kambing peliharaan keluarga tak berhenti mengembik, suaranya seperti menahan sesuatu. Kubangunkan Anggoro, kakakku yang mendengkur keras. Tak berhasil, malah omelen yang kuterima.

Aku keluar dari kamar. Hujan tadi malam menyisakan gerimis yang tak putus-putus. Berjalan pelan menuju kandang kambing yang bersatu dengan dapur rumah. Di batasi oleh dinding anyaman bambu dan sebuah jendela jeruji kayu sengon.

Kunyalakan senter, kuarahkan pada kandang kambing. Kudapati mahluk berwajah seram sedang mengunyah daging Bronto, kambing kesayangan kami semua, kecuali Anggoro, ia pembenci kambing.

“Mau kumakan juga kau!” ucapnya, ia tertawa. Membuatku ketakutan. Aku berlari menuju kamar ayah dan Ibu. Ayah mendengkur keras. Putus asa membangunkannya. Terpakasa kucabut salah satu bulu ketiaknya, dan ia tersentak terbatuk-batuk, kaget. Ia menoleh kesal kepadaku.

“Bronto diserang Yah!”

Ayah langsung bangun. Membangunkan Ibu. Ibu mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia mengucek matanya berkali-kali.

“Bronto diserang Bu, coba bangunkan Anggoro!” perintah ayah.

Tak lama Anggoro bangun. Masih memakai sarung kesayangannya. Ia berjalan bersama ibu menuju dapur. Rambutnya acak-acakan, wajahnya tampak marah.

“Ada apa sih lagi tidur enak-enak dibangunin!”

“Bantu ayah, bawa Alu, Bronto diserang!” perintah ayah.

The Recruitment

Barkah berdiri tegang. Jalan raya sepi. Di sampingnya seorang ketua geng motor tengah memberi arahan. Barkah anggota baru yang baru bergabung dalam club yang dipimpinnya. Barkah menoleh ke arah ketua.

“Sekarang saatnya kau buktikan kalau kau benar-benar bagian dari kami, geng motor landak ireng!” ujar sang ketua. Asap rokok mengepul tepat di wajah Barkah. Ia terbatuk-batuk. Sang ketua menyeringai, dan bola matanya seperti ingin loncat. Barkah menjadi gugup, keringat dingin tiba-tiba saja merembes di area tengkuknya dan menjalar keseluruh tubuh.

“Apa tak ada cara lain bang, selain membunuh?” tanya Barkah. Lututnya tiba-tiba gemetar setelah mengatakan yang menurutnya tak perlu disampaikan.

“Tak ada, hanya itu satu-satunya, kalau kau mundur, kepalamu yang akan aku penggal!” ucap ketua geng yang membuat Barkah tak bisa mundur.

Barkah melihat jam tangan hadiah dari ayahnya. Sekarang pukul 2 pagi lewat 17 menit. Ia rindu pada bantal guling yang selalu dipeluknya erat-erat.

“Bang Baron mau kemana?”

“Kencing, awas!, jangan kabur kau?”

Barkah melirik jam yang ada di tangan kanannya. Waktu pembuktian tinggal tiga menit lagi. Tepat di pukul 02.20 Barkah harus menghunus pedang dan mencari mangsa pertama. Apapun yang terjadi aku harus menemukan mangsa dan tanpa ragu, aku akan tebas batang lehernya, urusan penjara nanti saja. Ucapnya pelan.

Seorang pengendara lewat, sorot lampunya terang dari jauh. Kecepatannya sedang. Barkah membuka sarung klewang yang panjang menyeramkan. “Pokoknya aku harus masuk geng ini,” bisiknya.

Pengendara motor agak oleng ketika Barkah tiba-tiba menghadangnya. Barkah mengayunkan klewangnya, tetapi pengendara motor berhasil menghindar, kepalanya selamat dari klewang itu, tetapi lengannya terkena sabetan, darah segera mengucur merembes melewati bajunya.

Barkah mendekati motor itu ingin menuntaskan tugas sebagi ujian masuk geng. Matanya membelalak, lututnya gemeter, ketika pengendara motor itu membuka kaca helemnya.

“Ampun Pak, ampun...saya masih punya anak di rumah?”ucapnya memelas.

“Ayah...” bisiknya. Barkah melempar klewang jauh ke semak-semak dan lari meninggalkan pengendera motor yang juga gugup tergesa-gesa mengendari motor meninggalkan tempat mengerikan itu.

Bukan Apalah Arti Sebuah Nama

Siapa bilang kalau nama hanya nama, tak punya pengaruh apapun pada kehidupan seseorang. Tidak bagiku. Namaku Sugeng Priyanto. Biasa dipanggil Sugeng. Teman-teman dekat memberiku nama Tude: Untu Gede. Yang kenal belakangan memanggilku Sugeng, guru-guru, dan kebanyakan teman-teman jauh. Hanya Ibuku yang memanggilku Eng, itupun ketika sudah masuk Aliyah dan Kuliah. Selebihnya sama sampai sekarang.

Saat MI-SMP nama Sugeng tak punya pengaruh apa-apa, ada banyak nama yang sama di kelasku. Waktu di Aliyah mulai menggerogoti mentalku. Di sekolah ini nama Sugeng mulai jarang. Seingatku dari 855 siswa, hanya ada 4 nama Sugeng di sekolah Aliyah. Yang lain ada Slamet dan Lujeng. Sisanya nama-nama yang umum yang disematkan pada orang jawa. Sutoyo, Partono, dan seterusnya.

Bukan bermaksud untuk tidak bersukur pada pemberian nama yang mungkin susah payah diberikan oleh orangtuaku. Meski agak filosofis, nama Sugeng sekadar tambahan untuk melengkapi nama Priyanto saja. Menurut Ayah, nama Sugeng dapat meredakan penyakit yang kerap menghantuiku, hingga dapat memutus dan tak lagi menyerang. Aku terima itu, sebagai alasan terbaik, versi ayah.

Selesai Aliyah nama Sugeng menerima ujian pertama. Namaku lolos, masuk ujian perguruan tinggi yang keren di Jakarta. Menginjak di kota keras seperti kota Jakarta adalah prestasi lain. Ujian pertama sebagai perantau adalah menaklukkan kota Jakarta, katanya.

Ketika namaku muncul pada papan pengumuman hasil ujian kampus. Yang kupersiapkan bukan baju atau sepatu atau yang lain. Adalah mental health nantinya ketika mereka mulai mengetahui namaku, mungkin akan dipanggil nantinya sesuai urut absen. Sudah kupersiapkan sebuah nama yaitu Apri atau Anto, kupikir itu cukup keren. Kuharap ayah tak marah. Ibuku mungkin tak banyak komentar. Yang kuingat nama Sugeng dari Ayah, Priyanto dari Ibu.

Hari pertama Propesa semua mahasiswa baru di kumpulkan di lantai bawah (basement) Fakultas Hukum. Ratusan mahasiswa/i hadir, beberapa dari mereka masih menggunakan seragam Aliyah atau SMA, begitu juga denganku. Meski hanya bagian celana saja, atasannya kupakai kemeja, sesuai intruksi orang rumah. Bukan kerena kemeja ini yang membuatku gerah, tetapi jantungku sudah berdegup kencang, dag-dig-dug bila nanti nama Sugeng tiba-tiba saja dipanggil keras lewat pelantang yang sedang dicengkram Senior.

Senior sudah memberi beberapa instruksi yang harus kami jalankan sebagai Mahasiswa baru (MABA). Mulai dari seragam, benda-benda apa yang saja yang nanti kami, dan seterusnya. Itu masih bisa melegakan, kupikir itu semua bisa kupenuhi.

“Sekarang pembagian kelompok sekaligus mentornya, dengarkan baik-baik kawan!” ucap sang senior. Kata mentor masih baru bagi telingaku, tetapi pembagian kelompok berarti berkaitan dengan nama. Kumulai gelisah, apalagi tak ada satupun wajah-wajah yang kukenal sebanyak itu.

Riuh hanya sebentar, MABA punya cara sendiri agar tak kena bully dari para kakak seniornya. Kini hening menerpa, aku harus fokus siapa saja teman-teman baruku nanti.

Kumulai gelisah. Kupandangi kartu namaku.

“Kelompok Pertama dengan Kak Dendi, anggotanya satu!, Lantang kakak senior bicara.

Kami tenang, tepatnya diam.

“SLAMET LAHIR BATIN!” ucap senior lantang memecah keheningan. Sejurus kemudian, disusul ledakan tawa yang membahana.

“Emang mau lebaran!” teriak sang senior gembira.

Tertawa lagi.

Jantungku berdenyut. Ada kelegaan. Rupanya ada nama yang lebih “parah” dariku. Mulai detik ini, kumenyadari nama harus apa, bukan apalah arti sebuah nama.

FOTO DALAM BALIHO

Mandi di kampung adalah aktivitas yang sangat menyenangkan setelah liburan kuliah di kota. Meski hanya dibatasi oleh dinding-dinding anyaman bambu yang dibuat oleh ayahku. Sekarang ayah sedang pergi merantau ke Tanjung Pinang.

Kulihat bak mandi kosong, adikku tidak menyisakan air barang segayungpun. Tak jadi kulepaskan handuk yang melilit pinggang, kukencangkan lagi dan mulai menimba sepuluh sampai lima belas ember. Kusisakan bagi siapapun yang ingin memakainya.

Pada ember yang ke lima belas keringat mulai muncul dari balik pori-pori. Ukuran ember sekarang agak besar dibanding sebelumnya. Hingga otot-otot lengan cepat sekali bereaksi, apalagi tanpa pemanasan sebelumnya.

Kulepaskan handuk yang melilit pinggang. Menyisakan kolor yang biasa kupakai ketika mandi. Aku harus menyesuaikan lagi jika mandi tanpa sehelai baju yang menempel, apalagi tak ada atap yang menutupi.

Dingin menyergap seluruh tubuh ketika guyuran air berkali-kali mengenai kulit. Aktivitas selanjutnya adalah membersihkan tubuh dengan sabun, gosok-gosok seluruh tubuh.

Pada detik berikutnya kudisergap rasa takut. Dipojok sana sepasang wajah tengah tersenyum mengintipku yang sedang mandi. Serentak kuambil segayung air dan melemparkan ke arah wajah yang sembrono itu.

“Hei jangan ngintip!, saru!” teriakku, kususul dengan lemparan sendal jepit, bekas pasta gigi, dan segayung ember lagi.

Wajah tersenyum itu masih disana, alih-alih pergi malah memasang wajah tengil yang menyebalkan. Sejak pulang kampung banyak perubahan tentang area kamar mandi yang tak lagi ada privasi. Orang-orang semakin mudah mengintip, salah satunya sekarang yang sedang menimpaku.

Kubergerak ke pojok kamar mandi. Kuguyur cepat-cepat agar bisa pergi sabun dari badanku. Dan berganti memakai shampo. Untunglah aku memakai celana pendek, sebagai basahan. Tetapi mengintip tetap perbuatan tercela, dan bisa kena tindak pidana asusila loh.

Selesai mengguyur kepala, kukeringkan badan. Berharap orang mengintip itu kapok dan malu karena ketahuan.

Pengintip itu masih ada di sana, masih memasang wajah tersenyum.

“Dasar otak mesum, pergi dari sini!” teriakku kembali. Kulemparkan sendal jepit satunya lagi. Tetapi orang itu tetap tak bergeming, tetap tersenyum.

“Kenapa teriak!?” tanya ibu dari dalam rumah.

“Ada orang yang ngintip Mak?!”

Ibu dan anggota keluargaku yang lain tertawa. Kesal. Sejenak kupandangi wajah itu yang masih dalam pose yang sama. Agak aneh sih?.

“Itu Foto Baliho Mba Risma, Caleg kita!, jangan Ge-Er deh!” timpal Emak dari dalam rumah.

Pocong Bantet

Badrun berjalan santai dijalan yang biasa dilalui sepulang mengaji di rumah Pak Salim yang pandai mengaji, meski bukan lulusan perguruan tinggi agama Islam. Gerimis belum berhenti sejak Badrun pergi dari rumah selepas Maghrib. Bila hujan turun deras sepanjang jalan yang ditemui hanya kesunyian. Apalagi masih menyisakan gerimis yang tak henti-hentinya.

Lampu didepan tiba-tiba mati. Badrun berhenti sebentar dan tolah-toleh siapa tahu seorang temannya tengah mengisenginya, seperti yang sering mereka lakukan.

“Jangan iseng deh, udah malam nih?” ucap Badrun. Ia menurunkan payung dan memeriksa teman-temanya yang sering bersembunyi di antara rimbun perdu, didekatnya pohon nangka tua.

“Wan, Jal, To!, awas kalau ketahuan ya!” teriaknya lagi. Yang ditemui Badrun hanya sepi lagi sunyi. Suara jangkrik bawang, yang menjawab panggilan Badrun.

Badrun berjalan melewati gardus pos ronda jantungnya sudah tak karuan. Tangannya juga sudah mulai memegangi kemaluan. Lampu gardu pos tiba-tiba mati.

“Wan, Jal, To!, jangan iseng! Teriak Badrun memecah jalan sunyi yang sudah lengang sejak hujan sore hari.

Badrun mempercepat langkahnya. Sampai di bawah pohon nangka. Badrun menjerit. “Pocong Bantet!” tubuhnya kaku, mematung sebentar, lalu terkulai pingsan.

Dari balik persembunyian muncul Iwan, Rijal, dan Toto. Wajahnya ikut-ikutan tegang. Mereka berlari mendekati Badrun yang masih tak bergerak.

“Kamu sih Wan kelewatan,” ucap Rijal.

“Mana Lampu kamu matiin lagi, dosa kamu” tambah Toto.

“Kenapa pada menyalahkan saya, ini ide kita semua, kalian mau lari dari tanggung jawab,” sergah Iwan.

Toto tolak pinggang tak mau terima. Sementara Rijal masih berusaha membangunkan Badrun.

“Nangka jatuh itu bukan ide saya, buah itu memang jatuh persis saat Badrun lewat!”

“Aku nggak ikutan, pokoknya kamu yang tanggug jawab ya!, jawab Toto cepat.

Badrun tak lama bangun. Badanya masih gemetar. “Ada pocong tadi...” ucap Badrun menggigil.

“Ini hanya nangka Drun,” kata Iwan sambil menjinjing Nangka yang dibrongsong kaos putih menjuntai.

“Po, Pocong Bantet..!” teriak Badrun. Matanya melotot. Ia pun kembali pingsan.

“Iwan!!!” Teriak Rijal dan Toto serempak.

Antabur

Suasana pondok setelah makan siang cukup tenang. Seorang santri tengah membawa rantang. Ia terlambat makan siang. Rupanya ia tertangkap oleh mata-mata memaki kucing yang terlihat memberaki sendal khusus untuk digunakan nanti malam. Ia mendapatkan hukuman, menyikat toilet laki-laki yang ada di pondok. Ditambah dengan Toilet para ustaz-ustaznya.

Ia berlari ke arah kantin. Yang didaptinya hanya kuah sop yang berlimpah-limpah. Secentong nasi dan sesendok sambel yang pedasnya memerihkan mata. Keluar dari kantin, ia masih meraba-raba perutnya yang masih dangdutan minta jatah karbohidrat lebih banyak. Dari pagi juga lambungnya hanya terisi kerupuk-kerupuk ubi yang memusingkan kepala jika terlalu banyak.

Ia berjalan ke arah serambi masjid dimana di sana banyak kakak kelas yang sedang menghafal pidato untuk acara muhadoroh nanti malam. Rantang masih ia bawa bersama sendok di tangan kanannya.

“Banyak antabur di belakang pondok, cepat lari nanti kamu nggak kebagian loh,” kata seorang kakak tanpa melihat kearahnya. “Benar Kak!” desaknya. Bayangan perutnya yang kenyang membuatnya senang.

“Ya, benar, nanti cari yang bener ya?” ucap Kakak kelas.

Ia berlari sambil menenteng rantang, menggenggam kuat sendok, tanpa menoleh ke belakang. Sarungya ia angkat sebatas betis. Posisi peci sudah mirip para cendekiawan kaum pejuang.

Tak butuh lama untuk ia sampai di belakang pondok. Ia berdiri mematung. Merenung sejenak. Tak ada siapa-siapa di sana, kawan satu kamar pun tak ia jumpai barang sebiji pun. Bahkan sampai ia naik berlin untuk memastikan. Ia turun. Lalu duduk di atas gundukan batu besar sisa bangunan.

Yang di jumpainya hanya ratusan burung dara yang sedang bercengkrama satu sama lain di kandang-kandang yang menempel di dinding dan rumah-rumahan. Cacing perutnya bunyi. Ia mengelusnya pelan. Sendal jepitnya yang ia gunakan mengeluarkan aroma tak sedap. Setelah diperhatikan baik-baik olehnya. Ia jumpai banyak tai burung yang menempel di sendalnya. Satu dua menempel pada ujung sarungnya.

Ia bangkit dan berjalan ke arah kamar.

“Bagaimana dapat nggak antaburnya!” tanya kakak kelas tadi.

“Nggak ada Kak?” jawab santri itu, loyo.

“Kamu kurang cermat, coba cari lagi. Banyak sekali Antabur di sana, kamu bisa ambil sebanyak mungkin,” celetuk santri yang lain.

Santri itu kembali lagi berlari menggunakan sisa tenaga dari kuah sop dan kerupuk ubi. Sampai di sana tak ada Antabur yang mereka maksud. Tak ada kakak-kakak lain yang menjaga kuali besar berisi Antabur. Ia kesal, menghentakkan kaki kanannya ke tanah sebanyak empat kali.

Ia kembali. Mengkonfirmasi kepada Kakak kelasnya.

“Kakak bohong ya, nggak ada antabur, di sana sepi,” selidik santri itu.

“Ada?” desak Kakak kelas.

“Nggak ada?” jawab santri itu, nggak mau kalah.

“Ada..., Antabur itu, Ancuran Tai Burung, masa ngga ada?” ucapnya enteng. Sudut bibirnya mengulum senyum. Santri itu mlengos pergi dan bersungut-sungut. Sementara kakak-kakak kelas itu sibuk menahan diri agar tawanya tidak meledak.

Miskomunikasi 2

Selesai makan malam, suamiku langsung ngendon di kamar. Wajahnya cemberut menahan marah. Aku geli melihatnya, ternyata seorang Dokter bisa ngambek seperti itu. Nggak jelas, apa yang membuatnya marah. Lebih baik kukulik dari pada nanti jadi kemana-mana. Apalagi pernikahan baru menginjak hari ke-2, setelah hari yang melelahkan itu, tetap tersenyum pada hadirin di acara perhelatan akbar sekali seumur hidup. Semoga.

Aku duduk di samping dan mengelus pundaknya. Terasa berotot. Sampai sekarang suamiku masih rajin cardio dan disiplin pola makan.

“Nggak habis pikir kenapa ayahmu tega, ngatain aku sebagai Wedus. Seekor hewan yang bau itu. Kan ayahmu ustaz, orang berpindidikan tinggi, sering kemana-mana, tetapi kata-katanya menyakitkan. Tertuju sama menantuya sendiri. Apalagi tadi banyak keluarga kamu yang hadir,” Ucapnya, rahangnya mengeras. Aku ingin tertawa, tetapi kasihan meliht tampangnya yang kuyu.

“Memang kata-kata yang diucapkan oleh ayah, seperti apa. Hingga buat seorang Dokter bisa jadi manyun begitu,” kataku sepelan mungkin dan sehalus mungkin. Kukenal perangainya, karena suamiku itu teman masa kuliah, dan kos-kosannya hanya sepelemparan batu.

“Itu loh Win, apa tadi Mantukuwedus, lalu doyan makan sayur daun singkong, begitu. Apa nggak keterlaluan, memang saya sayur itu, tetapi kamu tahu aku bukan Wedus. Begini-begini aku tahu sedikit bahasa jawa?” cerocosnya.

Aku tidak bisa lagi menahan tawa. Pecahlah tawaku yang kencang dan nyaring. Membuatnya tambah senewen. Tubuhku sampai terguncang-guncang diatas kasur.

“Kok malah ketawa!, nggak lucu tahu!” ucapnya ketus, melempar buku yang sedang dibacanya mengenai bagian tubuhku. Aku tahu ia butuh penjelasan yang masuk akal. Jika ia tidak tahu perangaiku, mungkin ia akan semakin marah tak terkendali.

“Gini suamiku yang ganteng. Baik hati dan pandai menabung,” ucapku sambil mengatur nafas karena sulit mengendalikan tawa yang panjang dan menggelikan. Sisi naif dari suamiku masih saja melekat erat, kuat, bahkan mungkin nanti sampai kakek-kakek.

“Jangan tawa terus dong? Maksudnya apa?” kejarnya.

“Mas Umar, maksud ayahku itu. Ayah berkata pada pamanku: Man, Tuku Wedus, artinya Paman Beli Kambing. Soalnya pamanku itu punya banyak kambing. Ayah pengin beli nanti untuk idul adha, begitu Mas?” jawabku sambil mesam-mesem. Wajah suamiku melunak.

“O begitu, jadi bukan ngatain aku Win?” tanyanya lagi.

“Siapa yang ngatain, malah sering muji kamu. Katanya kamu udah Dokter, ganteng lagi, pinter banget sih Win kamu nyarinya. Itu kata ayah dan Ibuku.”

“Jadi malu, kita lanjutkan yang tadi malam ya?” ucapnya. Wibawanya sudah kembali. Tetapi aku nggak bisa nahan sesuatu yang menggelikan. “Maaf nggak bisa Mas.”

“Loh kenapa, kamu marah?”

“Nggak, tadi pagi aku haid, maaf Ya,” ucapku sambil senyum dan ingin tertawa lagi.

“Yah...” ucap Mas Umar. Sambil menepuk jidatnya dan menjatuhkan punggungnya ke kasur.

Aku tertawa lagi.

Selasa, 14 Januari 2025

Kisah Pilu Si Pencuri Kecil

Dini hari ia masuk lewat pintu depan. Mudah baginya untuk melewatinya. Sudah ratusan kali ia masuk ke rumah juragan kelapa. Ia bisa mencium aroma tubuh si juragan sejak ia masuk ke rumah. Tidak hanya itu, ia juga hafal semua tempat dan tata letaknya.

Ia masuk ke kamar depan tempat si juragan bersama istrinya tidur. Tampaknya lelah sekali si Juragan kelapa. Dengkurannya terdengar sampai seisi rumah.

Langkah kecilnya mulai menyelusuri tempat-tempat yang tersembunyi. juragan kira ia tidak bisa menjangkaunya. Ia menyeringai sambil mulai membuka laci demi laci.

Seekor kucing peliharaan juragan bangun. Mulai menatapnya. Ia pun balik melotot. Si kucing agak mengkerut. Ia kabur kedalam kamar Juragan. Mengeong membangungkan majikannya. Tetapi mimpi indah membuat Juragan tak bergeming, menggeliatpun enggan.

Pelan-pelan kucing belang itu kembali menghampirinya. Mengeong lagi dan lagi. Semakin lama semakin keras bunyinya. Ia tak perduli dengan kehadirannya si kucing belang itu. Sesekali ia memberi wajah seram padanya. Kucing kabur dan kembali lagi.

Bibi terbangun mendengar si Belang terus mengeong. Langkahnya agak limbung. Rupanya kantuk belum benar-benar hilang. Mulutnya menguap beberapa kali. Tanganya berkali-kali mengucek matanya.

“Kenapa Belang, laper?” tanya si Bibi. mendapati si Belang di kantor Juragan terus mengitari laci yang sekarang tertutup. Tubuh si Belang langsung direngkuh dan dibawanya ke kamar. Si belang tak berhenti mengeong, suaranya makin makin mengecil.

Setelah si Belang tak lagi terdengar suaranya. Ia bergerilya dari satu lemari ke lemari yang lain, dari satu kotak ke kotak yang lain. Tetapi tak ditemukan satu lembar pun uang yang biasa ia ambil dengan mudah, tanpa perlu mondar-mandir seperti itu.

Ia menepuk jidatnya, ada satu tempat yang belum ia periksa. Bibirnya mengembang membayangkan tumpukan uang yang bisa ia ambil untuk tuannya. Dan ia akan dapat hadiah yang banyak seperti biasa.

Ia berlari sambil tertawa kencang. Tangan mungilnya pun menyeret loker kecil. Pelan sekali. Wajahnya merengut, ketika yang ditemukan hanya tumpukan ATM dari berbagai jenis Bank. Ia menggelangkan kepala banyak-banyak.

“Mungkin sudah waktunya aku pensiun,” ucapnya lemah. Ia gontai berjalan menembus tembok kamar sambil menangis.

Miskomunikasi

Liburan Badrun bersama keluarga kali ini ke Purbalingga, kampung ayahnya. Mereka sampai rumah tepat saat azan subuh berkumandang. Nenek dan kakeknya tampak senang dan bahagia, apalagi melihat cucunya sudah semakin besar.

Saat makan siang, banyak menu masakan ada di atas meja panjang. Semuanya siap santap. Yang paling menarik adalah terdapat satu cobek besar berisi sambal tomat campur terasi dan satu mangkuk sambal cabai hijau.

Semua anggota keluarga sudah berkumpul di ruang makan. Kakek dan nenek juga membersamai acara makan siang ini. Sang nenek berdiri, mengambilkan piring dan mengisinya dengan dua centong nansi untuk Badrun. Badrun tersenyum senang.

“Terimakasih Nek?”

“Ayo mulai makan, jangan sungkan,” kata nenek dalam bahasa indonesia yang medok.

“Ya Nek,” ucapnya kikuk. Ada begitu banyak lauk yang tersaji. Ia terlihat bingung untuk memilihnya.

Keluarga Badrun sudah mulai mengambil nasi, lauk dan sayur secara bergantian. Banjir beragam kuah menyiram nasi. Diakhiri dengan sepotong paha bebek dan dua sendok sambal cabai hijau. Ayah Badrun begitu menikmati makan siangnya. Seperti tak makan tiga hari tiga malam.

“Badrun, Ayo makan, kok malah bengong,” ujar nenek.

Aku tersenyum kikuk. “Ya Nek?”

Nenek pun mulai menawarkan beragam menu di depannya. Ayah Badrun Senyam-senyum. Badrun mulai curiga dengan senyuman ayahnya.

“Drun, ini namanya jangan nangka, jangan lodeh, jangan bunga pepaya, jangan bayam, jangan kangkung, jangan daun singkong, dan ini sambal ayo silakan dimakan?” ucap nenek semangat. Lalu ia duduk menyendok nasi dan menumpahkan beberapa sayuran juga sambal. Katanya jangan tetapi nenek makan, kakek makan, juga keluarganya. Badrun ingin mengambil paha bebek, tetapi letaknya diluar jangkaun tangannya.

Takut dimarahi oleh nenek, karena semua dibilang jangan ini jangan itu, Badrun memutuskan untuk mengambil dua sendok sambal cabai hijau di atas sepiring nasi panas.

“Lo kok cuman sambal, ayo jangan kangkungnya dimakan, terus jangan bebek nggak suka ya,” ujar nenek semangat.

“Itu bukan jangan bebek tapi bebek goreng,” timpal sang kakek pelan.

“Eh iya, ayo silakan jangan bebeknya.”

Badrun makin bingung semua kok dibilang jangan bahkan bebek gorengpun yang tampak lezat itu pun tak boleh dimakan. Dibilang jangan bebek lagi. Sementara ayah bunda tak berhenti mengunyah berbagai macam lauk. Mereka seperti tak peduli dengan kebingungan Badrun.

Wajah Badrun tiba-tiba memerah. Ia mendesis keras. Meneguk air hangat cepat-cepat.

“Anakmu kok hanya makan sambal, apa nggak doyan jangan,” ucap nenek dalam bahasa jawa.

“Doyan,” jawab ayah.

Badrun mencoba memahami apa yang Ayah dan Nenek bicarakan. Sampai selesai bicara hanya senyum dan tawa yang bisa ia mengerti.

“Terus, wong makan cuma pakai sambal tok?” ungkap nenek sambil tertawa. “Anakmu lucu,”tambahnya.

“Bukannya nggak doyan Bu? harusnya ibu jangan bilang jangan tapi sayur. Badrun pikir semua sayur nggak boleh dimakan, kecuali sambal. Makanya hanya sambal yang Badrun ambil,” ucap ayah.

“Oh begitu, pantas, kasihan, jadi malu?” tutur nenek, mereka tertawa bahagia. Badrun sebentar-bentar meneguk air minum dan memegangi bibirnya yang panas terbakar cabai.

Catatan: Jangan, Jawa, sayur

Curug, 14 Mei 2024

Pikiran Terbuka

BABAK 5

Benturan argumentasi suatu saat akan terjadi. Jika yang dihidupkan adalah pikiran terbuka. Satu sama lain saling menyimpan sekaligus menyampaikan gagasan dengan seelegan mungkin. Yang terjadi kemudian dialektika yang terus tumbuh subur dalam setiap perbincangan didasari oleh kewaspadaan terhadap perubahan-perubahan yang semakin mendadak terjadi. Arus besar berupa informasi yang keluar dari orang-orang kepercayaan seringkali merubah kendaraan ke arah yang berbeda. Hal ini menyebabkan peta akan dibuka kembali, di garis kembali, agar nantinya orang-orang di sekitarnya tak membelalak kaget, bahwa kok mudah sekali mengeluarkan kebijakan tanpa memandang kesuluruhan dari mana informasi pengubah itu muncul, dan siapa yang menandainya.

Perubahan seringkali menandai permulaan yang sama sekali baru. Kadang tak tersentuh oleh orang-orang terdekat, meski telah kasih informasi berita yang akurat, bahkan head to head, tetap saja pengampu kebijakan seringkali memiliki sudut pandang yang berbeda, bukan karena miskinnya argumentasi terhadap penyampai beritu itu. Lebih dari itu, mereka orang-orang yang isi kepalanya penuh keterbukaan. Hingga hal-hal yang seharusnya dijaga informasi maha penting agar nantinya bisa diinvestigasi lebih mendalam dan menghasilkan kesimpulan terukur. Tidak gebyah uyah, genaratif, apalagi mengeluarkan keputusan hasil respon spontan yang bisa jadi data masih mentah.

Dari hal ini orang-orang disekitar pengampu kebijakan mulai menyadari sedikit saja, bahwa saking terbukanya pikiran mereka. Hal-hal yang sifatnya bisa diendapkan terlabih dahulu bisa menjadi bumerang bagi siapa saja. Termasuk para pengampu kebijakan. Tentunya sangat menyedihkan orang-orang yang penuh dedikasi, ihlas, dan segala turunannya untuk menerima 'tendangan' ini. Apalagi akar masalahnya hanya bagaimana menarik murid sebanyak mungkin ke sekolah dimana para pengampu kebijakan itu menjadi pendirinya. Sebagai pemilik pikiran terbuka tak terlalu buru-buru untuk memberi framing.

Niat baik saja belum tentu bisa dimaknai benar. Bila perjalanannya terlalu banyak memakan korban penilaian terhadap banyak persoalan. Hingga yang rigid sama sekali tak tersentuh. Mengamini setiap kejadian lalu memberikan setiap peristiwa itu dengan kebijakan sungguh memerlukan kebijakan lain. Pada tahap berikutnya orang-orang yang dengki pada area sekitar tak sempat melakukan perlawanan, untuk membalasnya mereka tak sempat. Karena kebijakan itu meski mendadak lahir dari kesadaran maksimal disertai pikiran terbuka. Tunggu dan lihat saja, bagaimana pengampu kebijakan itu melakukan hal-hal diluar nalar kalian. Jika itu masih selaras dengan hakikat seorang guru, layaknya kalian terima dengan sadar. Lalu lakukan hal-hal baik, misalnya pendampingan anak yang mumpuni. Tidak perhitungan dan di alasi oleh kerja ikhlas lagi cerdas.

Tekad seorang guru meski tak terlihat dalam tataran kebijakan,tetapi masih bisa dirasakan betul efeknya pada tiap siswa yang didampinginya adalah cara terbaik untuk menuntun api agar terus berkobar menerangi setiap perjalanan mereka ke jenjang berikutnya, bahkan sampai mereka sudah semakin menua. Sementara para pendamping sudah semakin sepuh, beberapa sudah terbaring di liang lahat, tenang di sana beserta cahaya yang terus menyala sampai waktu yang ditentukan.

Ini bukan soal siapa yang nantinya menang dalam pertarungan argumentasi, apakah pengampu kebijakan, orang terdekat-jembatan, atau para guru sebagai pendamping. Pemenang sesungguhnya ada pada kelapangan dada, siapa yang paling lapang dadanya, mereka akan memperoleh tempat tersendiri di dalam kancah adu argumen. Mengalah bukan berarti kalah, ia hanya merunduk sebentar untuk kemudian memaknai setiap perjalanan itu ada terminal yang bisa disinggahi kapan saja, hasilnya kalian bisa mendoakan mereka pada tiap ujung gelap malam. Yang jadi pemenang pun tetap rendah hati, karena mereka bisa mengeluarkan kebijakan atas dasar rahmat tuhan, kejelian, kecermatan, kemampuan membaca situasi, adalah penopang lain yang dilatari oleh keyakinan mereka yang kuat untuk menjaga api guru tetap menyala meski dalam pelita.

Kenapa mereka begitu solid, karena lahir dari pikiran terbuka yang membentangkan tangannya pada semua perubahan yang ada. Meski menentang diawal, tetapi begitu setia ketika sudah mengetahui corak pikir mereka. Mereka orang-orang yang tak menumpuk kekayaan meski hanya serupiah. Telos mereka begitu suci, yaitu tiba pada masanya untuk menyunggingkan senyum abadi, yang nantinya bakal diingat oleh murid-muridnya.

Sekali lagi bila terjadi perselisihan mereka kembali kepada pikiran yang terbuka, mengembalikan pada titah asasi. Asal muasal yang nantinya bisa gampang kalian maknai dengan cara apapun, pada akhkhirnya lahir gaya yang berkualitas dan siap menerima perubahan.

Senin, 13 Januari 2025

Seorang Maling dan Polisi Berwajah India

Seorang maling tengah terpojok di sebuah jalan buntu. Setelah sebelumnya berusaha lari dari kejaran para penghuni Gang Masjid dan sekitar baik tua ataupun muda. Mereka berhasil menjebak serta menyudutkan maling pembobol kotak amal di tempat sudah direncanakan. Wajah-wajah pengepung tampak beringas dan menyimpan kobaran api amarah.

Maling itu terduduk dan menatap para pengepung. Wajahnya sudah seputih terigu. Uang yang ia curi dari kotak amal, ia genggam erat-erat. “Cepat kembalikan uang itu?” ucap seorang berpeci berkali-kali. Uban putihnya menyembul dari balik peci hitamnya.

Maling itu menggeleng-gelengkan kepala.

“Tidak!” jawabnya. “Pergi saja kau!,” Teriaknya. Nafasnya tersengal.

HP jadul yang ia kantongi sudah tujuh kali berdering. Tangannya seperti ingin merogoh dan mengambil, tetapi salah seorang dari pengepung tiba-tiba menyambar lehernya dan memitingnya kuat-kuat.

“Sudah Pak Ustaz, biar kami yang menyelesikan!” teriak seorang yang maju mendekati maling itu. Dan tenaga Pak Ustaz kalah kuat dengan para pemuda yang sedang diselimuti kebencian.

Seorang lain berlari cepat dan memberikan pukulan kuat mengarah ke perut. “Akhrh!” sontak maling itu melenguh keras. Tubuhnya merosot kedinding tembok berlumut. Ia melenguh kesakitan ketika tendangan keras mendarat tepat di kepalanya yang sejak dua malam terserang vertigo.

“Ampun Pak, Ampun?” rintih maling itu pelan. Darah sudah meleleh memenuhi mulutnya, ketika bogem kasar dari orang bertato menghujam keras berkali-kali. “Dasar maling busuk!” ucapnya sambil memberikan tambahan tendangan ke perutnya. Wajahnya makin sangar.

“Ampun?” Suaranya makin lemah lalu hilang dibalik pukulan dan tendangan liar bergantian mengenai tubuhnya yang ringkih.

Pandangannya gelap. Uang yang digenggamnya lepas bersimbah darah. Dan ia kalah sekali lagi melawan ketiberdayaan, ketidak
pedulian, janji-janji manis yang diucapkan oleh mulut para penguasa.

“Bakar manusia bangsat ini!” seru seorang dari balik kerumunan. Tangannya mengacungkan jerigen dan menyeringai kasar.

Maling itu tak berkutik. Ringkihan dan minta tolong tak lagi terdengar. Tubuhnya telah kaku, telentang siap menerima hukuman maha berat.

“Bakar!” ucap orang itu lagi. Kali ini ia maju kedepan. Siap-siap menuangkan derigen yang berisi BBM yang sedang naik terus.

“Berhenti! Jangan main hakim sendiri!” ucap seorang polisi berwajah India yang tiba-tiba saja muncul seperti dalam adegan film-film stasiun televeisi swasta.

Ia memeriksa maling naas itu. Memeriksa denyut nadinya. Wajah maling itu telah membisu. Ia berdiri menatap wajah orang-orang yang masih menyimpan marah berlapis geram. Polisi itu melepas topi dan memberikan penghormatan terakhir.

“Orang ini sudah mati!” ucapnya. Seketika orang-orang yang terlibat dalam penghakiman mematung, beberapa menyesal, yang lain menghela nafas puas merasa telah menuntaskan kemarahan pada maling yang telah lama meresahkan.

HP jadul dalam saku maling itu terus berdering. Nyaring terdengar. Orang-orang menunggu siapa yang menelepon pada orang yang sudah terbujur kaku. Termasuk Polisi berwajah India itu. Ia menarik nafas dan merogoh saku dan mengambil HP tersebut.

Polisi berwajah India tertegun sejenak sebelum menekan tombol jawab. Dan ia menekan tombol suara nyaring (loud speaker) agar terdengar orang-orang yang telah main hakim sendiri.

“Ayah kapan pulang, aku sudah laper banget!, kata Ibu, beras di rumah sudah habis, cepat pulang ya Yah. Halo ayah, kok diam aja, Halo Yah, Ayah...!, Yah...?!