Senin, 03 Maret 2025

KENDIT POLANG

PROLOG
Juli 1949

Perkenalan ini memang tak begitu mulus, mungkin hanya maaf yang kami ulurkan. Semua butuh awalan, dan aku baru memulainya. Coba sekuat raga untuk tidak klise, semenjana, atau stereotif. Lalu sempatkan barang sejenak agar bisa menapaki setiap adegan yang terjadi. Hingga sedikit terbuka kotak-kotak yang kalian simpan berserakan, lalu terbuka secara 'keren'.

Kisah ini baru akan di mulai.

Bayi itu menangis histeris. Ibunya di samping panik, tangannya gemetar membalut pinggang bayi itu dengan handuk basah. Lingkar pinggang bayi itu tak sengaja tersiram air panas, alhasil sepekan kemudian lingkar pinggar bayi itu membentuk warna hitam. Ibu sang bayi tak henti-henti berdoa agar kesembuhan menyambangi putranya. Begitu juga sang ayah.

Tiga setengah bulan telah berlalu. Bayi itu tersenyum kembali. Ayah dan Ibunya bahagia mendapati putranya yang sembuh. Jejak air panas membentuk lingkaran hitam selebar 2 cm. Sejak saat itu orang tuanya memanggil dengan Kendit Polang.

Ibu Besari dan Pak Marta mengundang kerabat keluarga memberi konfirmasi atas bayinya yang semakin sehat dan lucu. Senyum mengembang tak henti dari Bu Besari dan Pak Marta. Handai tolan dan sanak famili memberikan selamat.

Kendit Polang semakin tumbuh besar. Hitungan tahun terasa cepat. Waktu berlomba dengan aneka macam peristiwa. Kendit Polang tumbuh dengan otot yang mengagumkan. Postur tubuh tak terlalu tinggi. Cara jalannya seperti bebek, hidungnya paruh beo, bergigi kelinci, dan rambutnya tebal berombak.

Kalau kau pernah melihat hercules versi ksatria tersisih, ya kira-kira seperti itu. Meski ia punya prinsip, seringkali hilang ditelan perintah diri dan kepengecutan tiada tara. Mungkin hanya kematian yang bisa menegaskan siapa diri. Batu Nisan kerap lebih tajam dari prasasti manapun. 

Novel ini kupersembahkan untuk orang terdekat, juga kepada siapapun yang merasa perlu membaca kisah ini. 

Minggu, 02 Maret 2025

28. Selamat Jalan Kiera

Kiera masih terpasung selang infus pada pergelangan tangannya. Ketidakberdayaan manusia seringkali merepotkan fasilitas kebendaan. Tak jauh dari pembaringan, Pak Alex duduk memandangi Kiera yang tengah berjuang melawan penyakitnya. Ia mungkin tidak ingin menyerah pada penyakitnya.

Aku dan Ares berdiri beberapa jengkal dari Kiera, seperti menanti putusan takdir. Ada Naura yang duduk di sisi Kiera, jari-jari mereka bertautan. Hembusan nafas Kiera amat pelan. Wajahnya seputih salju. Kami terjebak dalam drama kemanusiaan yang sering kali ikut terjungkal ke dalamnya. Mata bisa saja kuat, tetapi jiwa merintih meminta kesabaran.

Kedua mata Kiera terbuka, lalu tersenyum untuk kami.

"Kau kembali." Suaranya lirih.

Ia mengangguk.

Suasana makin sendu. Di saat seperti ini Kiera terlihat mengingat-ingat sesuatu. Mungkin saja kalau takdir akan mengembalikan kesehatan tubuhnnya, dia akan bangkit cepat-cepat lalu mengejar kotak samurai takut terlambat ke sekolah. Lamunanku jelek sekali, selalu saja ingin merubah takdir. Hal-hal yang sifatnya absolut tak mungkin digeser takdirnya begitu saja. Sama saja akan meragukan kekuasaan Allah Swt.

Ia menatapku pelan. Apakah ruhnya akan segera keluar dari jasadnya. Tak ada adegan yang menyeramkan seperti cerita orang. Aku berprasangka baik kalau malaikat tak tergesa-gesa memisahkan ruh dari jasadnya. Hingga ruhnya keluar secara lembut seperti squisy.

"Kak Ben, kau bawa buku harian saya." Kata-katanya terbata-bata.

Aku memperlihatkan bukunya.

Wajah Pak Alex keras menahan sedih. Bahunya mulai terguncang, Ares mendekat dan meletakkan tangan besarnya ke bahu Pak Alex.

Sebuah buku harian bersampul coklat mulai ku buka. Begitulah hidup, semua tercurah atas nama perasaan. Yang hadir tanpa sebab. Timbul tenggelam, riak bergelombang, dan seterusnya.

'Untuk Beni'. Ia memberikan judul buku hariannya. Ku buka acak. Halaman berhenti pada gambar awan hitam. Tulisannya rapi dengan corak dan motif akar di samping tulisannya. Aku mulai membacanya, mungkin hanya aku yang mendengarnya.

Aku berhenti setelah beberapa halaman selesai kubaca. Kiera telah menulis semua yang dilihat tentang seseorang yang dianggap telah mengubah kehidupannnya. Bahkan aku sendiri amat malu dan terlalu cengeng untuk mengakui semua kejelasan sikap Kiera tentang kehangatan bersahabat, cinta, dan kesetiaan. Semuanya berpadu atas nama persahabatan. Ia melukiskanku dengan warna-warna terang.

Naura terdengar membaca kalimat langit berulang-ulang. Kupikir hanya penyemangat saja. Tapi melihat waja Kiera yang kaku, reaksiku berubah. Seperti ada gumplan es yang menghimpit dadaku. Pak Alex menangis memeluk tubuh Kiera yang mulai berubah. Tercetak kedamaian di wajahnya. Naura kerepotan menghapus air mata. Ares keluar dari ruangan dan duduk ruang tunggu. Bahunya terguncang naik turun, raksasa itu menutupi wajahnya.

Sebuah tulisan terlihat buram, lembab, lalu kusentuh dengan jari telunjuk. Rupanya tetesan air mataku sendiri yang jatuh membasahi tulisan. Kupastikan bahwa itu bulir-bulir air mata. Aku harap ini mimpi, tetapi tiap kali membuka mata, udara dan tempatnya sama. Aku tak ingin mencubit bagian tubuhku seperti yang dilakukan banyak orang ketika mengira sedang bermimpi.

Ruangan Edelwis tampak sunyi. Kami menikmati duka abadi itu. Seorang sahabat kini pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Bisakah kami berjumpa di pintu-Mu nanti.

Malam ini kunang-kunang terbang mendekati jendela kaca, sejenak mereka berkerumun. Lalu terbang secara bersamaan.

Sabtu, 01 Maret 2025

27. Cinta Itu Purba

"Kenapa penyesalan muncul belakangan, kenapa tak diberitahu saja sejak awal."

"Rasa tak perlu mengikat, apalagi dikenang. Ia hanya akan menggerogoti komitmen yang sudah ada. Banyak orang yang tak menikah lagi setelah pasangannya meninggal karena mereka melepas ikatan rasa, lalu mengubah menjadi keihlasan yang tiada tara. Lebih baik menyesal dari pada tidak berani mengungkapkan sama sekali."

Aku agak ragu menerima penjelasan ibu barusan. Ia mengubah posisi duduknya.

"Orang dilahirkan dalam keadaan yang tak tahu apa-apa. Orang terdekatnya yang mengajarkan segala sesuatunya. Kita tak tahu apa-apa setelah tahu ternyata ada apa-apa. Penyesalan itu muncul itu hadir karena kita tak tahu apa-apa, hanya sebentar menerka-nerka. Tapi, menerka-nerka adalah sinyal utama agar tak menyesal kemudian."

"Wajarkah?"

"Beni, cinta itu sangat purba. Pertengkaran berujung kematian oleh mahluk pertama manusia salah satu bukti bahwa rasa suka atau cinta bisa menyebabkan pertimbangan akal menjadi terkikis, oleh birahi semata. Mata dan hati bisa saling tertipu atau menipu satu sama lain."

Ibu berdiri dan mengelus lembut rambutku. Ia keluar dari kamar dan menutup pintu pelan-pelan. Tiga jam aku mengurung diri di kamar. Lambungku mulai berontak.

Jumat, 28 Februari 2025

26. Enam Bulan Kemudian

Kami sampai di halaman rumah Kiera. Tak terlihat tanda-tanda kehidupan. Sepi yang kami temui. Lengang yang kami perhatikan. Mobil milik ayahnya tergeletak di dalam garasi. Berulang kami ucapkan salam tak ada yang menyahut. Coba bertanya kepada salah dua tetangga juga tak membantu.

Sebuah mobil warna hitam datang berhenti di depan rumah Kiera. Aku dan Ares menunggu siapa yang keluar dari balik kemudi.

"Beni."

"Pak Alex." Wajahnya tampak tegang, kantung matanya menghitam.

Aku dan Ares mengekor di belakangnya. Tubuhnya tinggi besar menjulang. Mirip tokoh Herkules atau The Rock. Kami berjalan di belakang seorang raksasa. Kami berdua menunggu di ruang tamu. Foto Kiera dan ayahnya menggantung di dinding. Ia kembali membawa dua kaleng minuman.

Pak Alex duduk di kursi rotan. Ares menenggak habis minumannya. Mengecapnya bangga disertai suara mendesis. Ares melirik ke arahku.

"Ada yang ingin bapak ceritakan," katanya

Kami menunggu.

"Sudah satu bulan Kiera terbaring di rumah sakit. Kesehatannya menurun tajam. Rupanya sel kankernya keras kepala tak mau hilang dari tubuhnya. Kiera meminta bapak untuk memberi tahumu pada hari pertama di rawat, tapi tak sempat."

Rasa dingin menyergap rongga otak. Bahu mencengkram jantung tetapi tidak sampai. Kelopak mata memanas. Senyum Kiera tiba-tiba mengambang di atas permukaan keramik, Ares menatapku.

"Kiera dirawat dimana Pak."

"RS Purbalingga."

"Kenapa tak dibawa ke Singapura, atau ke tempat biasa Kiera dirawat." "Kiera menolak di bawa ke luar negeri. Ia mungkin telah melampaui batas kekuatannya. Setelah beberapa kali kemo saya pikir tak bisa bertemu lagi dengannya. Tapi keajaiban muncul, ia seperti memperoleh kekuatan hingga bisa bertahan vonis sang dokter."

"Kekuatan, maksud bapak."

"Ya, Kiera termasuk anak yang sulit untuk dekat dengan laki-laki. Baginya kaum adam adalah mahluk aneh. Ada perbedaan cara pandang antara keduanya. Tapi denganmu, Kiera tampak nyaman. Tetapi garis waktu sudah menanti. Pada detik yang menghawatirkan Kiera tak ingin melihatmu rapuh setelah memberinya kekuatan. Kau mungkin mengerti maksudnya."

Aku mengangguk setengah linglung.

"Temani Kiera di saat-saat terakhir, kau berkenan."

"Ya."

Pak Alex masuk kamar. Kenyataan selalu saja pahit. Aku yang bukan siapa-siapanya Kiera ternyata tak tangguh menerima informasi tentang kondisi Kiera sekarang. Ia menyembunyikan rasa sakitnya dengan keceriannya. Ia tak ingin membuat orang terdekatnya ikut menanggung beban.

"Nama kau ada di buku hariannya. Kiera mengagumimu. Sesekali ia memintaku untuk menuliskan kisahnya, jika kelelahan. Buku hariannya penuh setelah setahuan ia menuangkan isi kepalanya. Kiera yang memintanya ketika dirinya tak stabil. Kiera selalu bicara tentang buku hariannya. Goresan penanya adalah cara terbaik untuk berbicara. Ia tampak mendalami tulisannya agar enak dinikmati. Terimalah buku ini."

"Kiera juga bercita-cita agar buku hariannya selalu meningkat hingga pada tahap perubahan bentuk yang equel, tak hanya sekedar berkhotbah. Tak kaku, tapi bisa memukau rasa," ucap Pak Alex.

"Cita-cita yang hebat," ucapku.

"Ia ingin jadi penulis."

Kamis, 27 Februari 2025

25. Noura Kembali

"Kak Ben!, tunggu sebentar donk?, kaki saya pegel nih." Kiera sewot ketika berhasil berdiri di sampingku. Ia memakai syal dan baju hangat berwarna cerah.

"Bukannya kau libur kak."

"Mau mengambil ijazah."

"Kenapa, mukanya butek amat."

"Aku hampir tertabarak motor tadi, ia malah memakiku.

Aku tak bisa mangkir, ada sejumput rasa di palung hati yang dalam. Saat ini aku belum mau memanggilnya. Takut busuk sebelum matang. Bila belum matang, rasa itu akan merepotkan saja, menuntut ini itu. Padahal belum ada ikatan dan perjanjian apa-apa. Biarkan saja hingga membusuk. Lalu mutiara bisa saja muncul tiba-tiba. Kalau jodoh nggak kemana, mestisnya jodohku mana ya.

Tak terasa sudah sampai di sekolah. Kiera berhenti, lalu ia memandangku dengan cara tak biasa. Menarik nafas dan membetulkan ujung jilbab yang keren.

"Kau kenapa Kie, pengin buang air."

"Ayah senang kau datang."

Hening tak ada suara.

Setelah masuk kelas. Kuletakkan tas slempang di atas kursi kayu. Menunggu informasi selanjutnya. Jam berapa untuk pengambilan ijazah dan cap tiga jari. Teman-teman lain sudah datang. Mereka menyebar ke kantin atau bertemu dengan teman-temannya. Sebagian duduk-duduk di taman belakang sekolah atau sibuk tuker kado perpisahan.

Kursi yang biasa diduduki oleh Naura terlihat kosong. Tak ada tas yang tergantung di belakangnya. Aku terus memandanginya sampai tak sadar kalau Ares sudah duduk di belakangku dengan sekantong plastik gorengan hangat dari kantin.

"Pagi-pagi sudah jadi patung," Ares bertanya sambil mengunyah gorengan.

"Kau sudah dengar berita pagi ini. Seluruh warga MAN Idolaku, terutama kaum adam sedang heboh di taman belakang sekolah. Mereka sepertinya sedang merencanakan sesuatu, kau tak ikutan?."

"Nggak, malas."

"Naura kembali."

Di lapangan basket, seorang anak lelaki tengah bertanding dengan anak-anak perempuan. Mereka mencoba mengukir kenangan manis bersama-sama. Di antara mereka mungkin ada yang berpacaran. Sekarang mereka lebih akrab dibanding ketika terlibat pertikaian cinta monyet. Dunia yang indah sedang mereka ciptakan agar ada masa indah disana bersama berjalannya waktu.

"Apa kabar."

Sengatan cahaya pagi membuat pori-pori kami berembun. Burung-burung Bangau Putih mulai mendarat untuk mencari sarapan pagi, berbagi tempat dengan burung Bul-Bul.

Rabu, 26 Februari 2025

24. Rindu

Kuputuskan untuk keluar dari hingar-bingar uforia perpisahan. Perasaanku lega. Walau sunyi segera menyergapku. Aku berjalan menyusuri jalan setapak di tengah taman yang hijau, ayunan, kolam ikan, dan kelinci-kelinci liar mengurangi senyap yang menyerbu mendadak. Kadang aku menginginkan penciptaan ulang sebagai burung gereja yang sepertinya tak punya beban. Mereka bisa bahagia dengan cara mereka sendiri. Yang paling penting mereka tak pernah pura-pura.

Tanpa basa-basi aku naik angkot lalu menghempaskan tubuh duduk paling pojok. Di dalam angkot nuansa perpisahan justru semakin menyebalkan. Suara musik familier menyentuh gendang sukma. Sebuah lagu berjudul Dan milik Sheila On Seven tengah mengalun.

Penumpangnya hanya ada dua. Aku dan seorang Ibu kira-kira seumuran ibuku. Ia dikelilingi oleh barang belanjaan di sekitar tempat duduknya.

Angkot melewati jembatan Kali Klawing, ia masih sama seperti tiga tahun yang lalu. Semoga tetap kokoh setia melayani sampai anak cucu. Di bawah jembatan para pemancing duduk beralaskan akar besar pohon beringin menunggu umpannya disambar ikan Tawes atau Patin. Tetap setia pada titik-titik nasib yang mungkin bisa merubah takdirnya suatu saat nanti. Mendidihkan kemiskinan yang menggelayut manja, lengket, dan menjengkelkan.

Angkot berhenti di daerah Trenggiling. Ibu itu turun disambut oleh lelaki berkumis tebal, kekar, tinggi menjulang bagai raksasa. Betisnya seperti atlet pelari. Tangannya kokoh berotot mengangkat rinjing besar. Ia memindahkan barang belanjaan itu satu persatu ke atas becak.

"Aku pulang," kataku setelah membuka pintu dan berucap salam.

Aku terkejut di ruang tamu ada Kiera, salah satu putri titanium dari klan bidadari tengah duduk ditemani ibu dan ayah.

Ayah menyapaku, lalu ia pamit melanjutkan pekerjaannya. Ia juga meninggalkan sebuah kode sambil tersenyum.

*** "Saya pamit kak, sudah dari pagi sudah di sini menemani ibu memetik kopi, pergi ke kandang ayam dan menikmati seduhan teh rosella."

"Kau antar Kiera ya?"

"Ya bu."

Kiera mengangguk dan tersenyum. Bukankah itu terlalu boros. Seharunya ia simpan untuk lelaki yang jauh lebih baik.

Kami berdua terdiam lagi. Jalan menurun membuat kami fokus agar tak jatuh terpeleset. Pikiran kami masing-masing menerawang tak tentu arah.

"Bagaimana kabar kak Naura ya, kau tahu?"

Aku menggeleng. Ia tersenyum lagi.

"Kakak nggak rindu."

"Untuk apa, kami berdua memang dekat, tetapi tanpa ikatan. Aku tak cukup berani untuk melampaui hal-hal yang di luar garis persahabatan."

Kami duduk di halte Kaligondang memandang ke depan.

"Kak Ben, nanti malam kau sibuk."

"Nggak, kenapa."

"Ayah saya ingin ngajak kakak makan malam."

Aku diam tak ingin menjawab. Kuharap ia segera lupa.

"Kenapa kak, kau sibuk."

"Aku akan datang, Insyaallah." Jawabku dengan nada datar. Mencoba menakar perasaan senang dan penasaran. Kenapa ayah Kiera ingin mengundang makan malam. Kalau aku menolak undangan dari ayahnya, kuanggap diriku mahluk paling sombong sekecamatan.

"Terimakasih ya kak?" wajah Kiera ceria.

"Apa pentingnya Insyaallah dalam hidup kakak," Tanya Kiera, ia tidak sedang mencela atau mengumpat. Ia mungkin punya alasan sendiri. Atau bagian dari keyakinan baru yang belum lama dipeluknya.

"Ada hal yang diluar jangkuan kita. Kadang situasi tak bisa kita kendalikan, meski telah berusaha keras."

"Seperti ketetapan Tuhan bukan."

"Kau benar."

Selasa, 25 Februari 2025

23. Janji Seorang Lelaki

Hujan deras mengguyur alun-alun Purbalingga. Resto 54 tutup lebih awal. Gelas-gelas berisi coklat panas mengepul di hadapan kami. Ibu Mona duduk di sisi Naura.

Ares dan Kiera duduk di sisi yang lain. Keduanya asik menyeruput coklat panas. Naura menatapku dengan mata sipitnya.

"Ayo Ra, bicaralah," kata Bu Mona.

"Ben, besok pagi saya ke Jakarta, mau daftar kuliah disana?"

Naura tersenyum matanya mulai basah.

"Kau tak memberiku semacam janji seperti layaknya laki-laki." tambahnya.

"Aku tak ingin membuatmu terkungkung."

"Janji seorang laki-laki, apa kau tak punya." Naura mempertajam tatapannya.

"Jangan pernah berhianat dengan perasaanmu sendiri. Meski itu sulit. Perasaan yang jujur tak mesti diungkapkan, walau menyakitkan."

"Itu bukan janji," Kata Naura. Ia tampak tak senang dengan jawabanku.

Ini interval yang sulit kujalani. Berbicara serius dihadapan seorang gadis yang sedang mencari dermaga merupakan perkara berat.

"Bagaimana cara meletakkan sebuah perasaan yang tulus itu," Naura kembali memberikan tekanan.

"Letakkanlah hati-hati seperti kau menyebrang jalan."

"Perasaanmu bagaimana."

"Untuk saat ini, aku tak ingin menyulitkanmu dengan perasaanku. Biarlah sang waktu yang memahatnya menjadi apa. Semuanya agar kau tenang menjalani hidupmu."

Aku diam menatap lantai. Mengumpulkan makna yang tersirat. Siapa tahu akan muncul logika baru yang lebih jernih. Tidak mengambang seperti kerupuk disiram sup ayam. Tidak juga jumawa menganggap perasaan adalah sesat untuk sesaat. Aku belum menemukan jawaban. Rasanya seperti tertuduh. Janji sebagai seorang laki-lakipun tak punya. Putri titanium dari klan bidadari sedang menatapku seakan ku pangeran yang tampan dari negeri impian. Kenyataannya aku hanya pangeran kesiangan.

"Saya titip Beni ya Kie," pinta Naura.

Hal-hal yang membuat perempuan kadang tak logis tentang waktu yang teramat canggung ini. Mungkin semua wanita punya caranya sendiri untuk mengungkapkan sesuatu.

"Setelah lulus kau punya rencan Ben."

"Kerja?"

"Dimana?"

"Resto 54." Jawabku pendek. Ia sontak merekah, segar seperti acar martabak telor. Mungkin hanya ini jawaban seorang laki-laki bukan janji. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk sebuah ikatan. Ada binar di balik tatapan Naura. Coklat panas sekarang berubah lebih nikmat.

Hujan selalu punya cerita agar melengkapi perasaan manusia yang tertunda. Atau sebuah pertanda akan berlangsungnya peristiwa lain di muka bumi.

Kalian akan menganggap ini hanya omong kosong, aku terima itu.

Senin, 24 Februari 2025

22. Logika Terbalik

Sekolah selama tiga tahun akhirnya ditentukan oleh tiga hari yang menegangkan. Sebuah pertarungan yang entah siapa pemenangnya. Masa depan seperti lorong gelap yang berkelok-kelok. Senter dan tongkat mungkin bekal yang paling sederhana untuk melewatinya.

Soalnya pilihan ganda. Seolah kebenaran menjadi hal yang kaku dan sensitif. Terpasung turun temurun pada soal yang menjemukan. Di luar sana orang sudah berlari, aku masih berkubang dengan kerapuhan. Mungkin terlalu sulit untuk menjawab sebuah pertanyaan. Anggap saja tentang kehidupan yang dihimpit banyak pertanyaan. Mungkin saja ini produk katak dalam tempurung hingga gagap meneliti pernyataan atau pertanyaan. Layakkah kutanyakan kembali 'mahluk' bernama UN. Ia menuntut keseragaman berpikir. Satu sisi lainnya harus mengikuti aturan yang sekaku kanebo kering.

Pagi ini UN (Ujian Nasional) di mulai. Gayaku menggemaskan Pak Badrun. Ia penjaga sekolah sekaligus berjualan di kantin. Berjalan santai di tengah lapangan MAN Idolaku. Menatap rerumputan yang basah. Embun pagi berhasil menggagahinya sampai puas. Rasa muak tiba-tiba menyeruak.

"Ben!, ayo cepat?, Ucapnya terdengar kesal. Ia menatapku geregetan.

Tempat duduk terpisah satu-satu. Bukan karena jarak sosial. Lembaran kertas datang bertubi-tubi untuk dikunyah, disobek, ditelan oleh limbik dan kawan-kawannya. Tak jauh dariku duduk seorang gadis tertutup wajahnya oleh lembaran soal ujian. Kuputar kepala hampir menelikung. Mencari Naura. Wajahnya tak terlihat. Sampai hampir terkilir leherku yang memaksa terus menoleh.

"Kau cari siapa?" suaranya terdengar pelan.

"Ra, ku pikir kau sakit." Tanya setengah berbisik.

"Tidak, kau senang kalau saya sakit."

"Bukan, aku jarang berdoa buruk untuk orang di sekitarku."

Berikutnya kami tenggelam dalam lautan soal. Dari yang mudah sampai yang memusingkan kepala. Jawaban ada di antara jawaban-jawaban yang salah. Aku membayangkan jika ada pertanyaan. Kenapa Babi haram dimakan, kenapa Nabi Adam dilarang makan buah khuldi, kenapa lampu lalu lintas warna merah harus berhenti. Selesai ujian, mungkin mereka memiliki cara baru tentang berpikir di luar kelaziman, hasilnya mungkin tak jumud, kolot, dan gampang menyalahkan.

Apapun alasannya, menyelesaikan ujian adalah pesan penting dari nilai berseragam. Tiga hari di bawah kilatan pedang UN rasanya ingin muntah. Lembaran-lembaran ujian itu membuatku mabuk. Aku hanya sedikit memahami tentang pendidikan kita. Nyinyir saja tidak cukup, ia hanya pesan moral yang terasa ganjil bila masih asing untuk mengungkapkan sebuah perbedaan.

Kututup lembaran soal ujian. Berdiri dari duduk. Lalu menyerahkan pada pengawas ujian yang shock melihatku menyelesaikan lebih cepat dari waktu yang telah di tentukan.

Setelah Ujian terakhir tadi, Naura menghilang. Hanya ujung jilbanya yang terlihat olehku dan lenyap di balik pintu perpus. Kami berjumpa di depan gerbang sekolah. Kami sempat beradu pandang, air matanya meleleh. Ia menghapusnya cepat-cepat.

"Saya duluan Ben." Naura seperti dikuntit depkolektor.

Ares mucul dari belakang dan menepuk bahuku. Kedua kakiku seperti terkena tumpahan lem fox yang menggenang hingga lututku sulit bergerak.

"Jalan yuk?"

"Kemana?"

"Musim berganti angin berubah." Ucapnya.

"Nggak jelas."

"Logika terbalik dapat berpikir untuk mengalahkan musuh yang paling berbahaya yaitu diri sendiri dan mulailah mengangkat pedang sendiri. Ayunkanlah langkah dengan perpaduan gerak dan kelincahan maju dan mundur. Lalu muncul ritme yang terbiasa mengambil keputusan dalam kondisi pelik dan tertekan." "Dasar tukang contek, itu kata-kata Kiera."

"Biar kelihatan pinter Ben, protes aja."

Angkot menembus jalanan ibukota Purbalingga yang lengang. Para wanita dewasa sibuk bekerja membuat karya dari rambut yang banyak tersebar pada perusahaan milik para outlander. Sebagian menjadi guru di sekolah-sekolah hingga tersemat label pahlawan tanda jasa. Beberapa puluh lainnya memilih mengundi nasib merantau di negeri-negeri yang jauh menjadi pekerja pabrik, kuli di ladang sawit atau memilih jalur TKW.

Ares datang nampan besar berisi empat mangkuk bakso yang mengepulkan asap.

"Kita cuma berdua," ucapku.

"Saya sedang lapar," ucapnya.

Kami berdua duduk menghadap jalan raya yang lengang. Rindangnya pohon beringin yang berdiri kokoh di tengah alun-alun membuat nyaman berisitirahat di bawahnya.

"Wah enak nih?" sebuah suara tak asing terdengar.

Ketika menoleh kebelakang. Dua putri dari klan bidadari sedang berdiri dengan balutan jilbab modis. Naura menggandeng Kiera. Keduanya muncul dari tempat yang tak terduga seperti pesulap.

"Kau senang," ucap Ares bangga.

"Kalian dari mana?" tanyaku.

"Kita bisa bicara delapan mata Ben?"

Minggu, 23 Februari 2025

21. Soal Nikah Muda

Malam belum terlalu larut.

Aku dan ibu duduk di atas kursi rambang yang dianyam sendiri oleh kedua tangan ayah. Ibu tengah menyeruput teh rosela. Teh yang berwarna magenta atau merah tua setelah diseduh dengan air panas ataupun dingin. Teh dengan rasa asam ini mempunyai kandungan antioksidan yang tinggi, mampu menghalau serangan radikal liar yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan jaringan tubuh. Kuketahui dari majalah yang kutemukan di perpustakaan sekolah.

"Bu?"

"Hemmm, ada apa?"

"Ketika kita ada pilihan, perlukah menjadi orang lain?"

Ibu menghentikan acara minum tehnya. Ia menatapku lembut, tapi tidak seperti di film-film kolosal.

"Tak perlu jadi orang lain dalam posisi apapun. Kalau kamu berubah menjadi pribadi asing yang kau sendiri saja tak kenal, maka itu akan merugikan dirimu sendiri. Demi tuntutan "pilihan" kita kadang sering mengabaikan sebuah peran lain."

"Bisa lebih sederhana."

"Ben, setiap orang memiliki hak untuk menyatakan rasa suka (cinta). Tapi ingat Ben, Maharnya harga diri adalah citra diri. Cinta itu tidak buta, tapi kadang menuntut tumbal agar membutakan siapa saja."

"Jika ada orang diperlakukan begitu berbeda oleh seorang gadis, kita perlu bentengkah?"

"Intimidasi setiap jejak langkah. Jika perlakuan hangat membuat persahabatan kalian jadi erat, bagi ibu itu tak masalah. Cinta lahir tanpa motif apapun. Ia suci dan mensucikan. Cinta yang benar itu mendewaskan bukan mengkerdilkan sudut pandang. Menurut Ibu, ada yang salah dengan cara berpikir segilintir orang. Membunuh 'harus' ada sebab. Padahal pembunuhan banyak terjadi karena ingin-nya membunuh, penyebab lain hanya penyempurna saja. Mungkin sama dengan hati, ataupun cinta. Cinta muncul dari ketulusan hati. Bukan dari sebab dan musabab, itu terlalu klise. Jika rasa hilang, maka cinta tinggal jejak pasir. Bila ada gadis menukar mahkotanya demi cinta, maka cintanya telah membunuh logikanya. Menyisakan lelaki miskin tanggung jawab atas benih yang telah dibenamkan melalui pipa tak bertulang. Kalaupun mereka bertanggung jawab, bukan dari ketulusan yang mendalam, tapi dari penyelasan atas nama baik keluarga. Parahnya lagi hanya pencritaan semata."

"Jika malah melahirkan jarak."

"Cinta yang murni itu melahirkan kekuatan pikiran. Dapat mengenali resiko. Meski tampak rentan. Ada solusi pada setiap tumpukan jarak. Terkadang jarak mendewasakan sebuah hubungan."

"Sampai saat ini aku masih bingung untuk bersikap Bu?"

"Ben, cinta itu sederhana. Komitmenlah hingga tampak elegan, lalu lahirlah pisau setia. Ketajamannya bisa merobek hal-hal yang rumit"

"Kalau ikatan rasa itu terlalu kuat bagaimana?"

"Urailah ikatan itu agar tak jadi rindu bertindih-tindih. Meski itu sulit, Ibu tak mau melihatmu sakit gara-gara cinta buta. Longgarkanlah ikatan itu meski kau harus kehilangan. Karena cinta yang tak punya alasan yang benar, semua itu adalah topeng monyet, palsu, dan munafik."

"Kalau sulit?"

"Gunakanlah waktu sejenak untuk mengistirahatkan harapan. Anak muda sekarang menyebutnya apa ya inval..., eh bukan, wah ibu lupa."

"Interval."

"Yah itu, Ibu lebih suka menyebutnya dengan jeda."

"Pertahankan atau mengalir saja."

"Untuk sekarang, jadilah air mengalir pada tempat yang indah, bukan got atau comberan. Jadilah sahabat yang menjujung kejujuran, kehormatan, kasih sayang, serta ketulusan sebagai bentuk pertahanan."

"Bu, Naura pernah ngajak nikah muda."

Ibu menatapku dengan mata burung hantu. Lalu ia bersender pada kursi. Kepalanya ditempelkannya pelan-pelan. Matanya menutup seperti buaya. Ini saat yang kutunggu-tunggu. Setelah membuka matanya, ia akan mengatakan hal yang mencengangkan. Kutunggu hampir lima menit, ia tak kunjung membuka matanya. Aku masih bersabar. Yang terjadi hening. Belalang Kerik di luar sana bahkan terdengar lebih nyaring.

"Bu." Ku panggil sekali lagi. Tak ada jawaban. Ternyata Ibu tak kuasa menahan kantuknya. Nasihat dari kak Egi agar tak tidur setelah makan, menguap begitu saja.

Aku beranjak dari duduk dan pergi ke kamar. Mengambilkan selimut untuknya. Ketika keluar dari kamar kami hampir bertubrukan.

"Ku kira ibu tidur, ibu pura-pura ya."

"Ibu belum punya jawaban soal pertanyaan terakhirmu. Ibu perlu..." Ibu tak meneruskan kata-katanya.

"Perlu apa Bu, interval" kataku penasaran.

"Ya pintar kamu, sekalian ngingetin kamu kalau besok ada UN, soal nikah muda, itu soal mental, dan persiapan lain, apakah kamu sudah siap?"

"Fisik sih siap bu, tapi.."

"Ibu juga dilamar oleh ayahmu saat Ibu berusia 16 tahun, jadi kalau kamu ingin nikah muda, ibu dukung? bagaimana?"

Tiba-tiba sebuah pisau kasat mata menghujam tepat di jantung. Hening ditingkahi senyap.

"Kenapa?, kok nggak dijawab."

Sabtu, 22 Februari 2025

20. Sweter

Suara rem berdecit. Perempuan berjilbab dan seorang ibu berambut sinden naik bus bergantian.

Lagu Penny Lane masih mangalun membuat imajinasi terbang membumbung. Penny Lane selesai, suara Ebiet G Ade mengalun lembut menyayat pilu. Bang Zoro melakukan terobosan nakal, tanpa tedeng aling-aling ia memutar lagu dari grup band Jamrud. Mengalun keras dan cadas. "berakit-rakit kita ke hulu. Berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, senang pun kan datang. Malah mati kemudian." Lagu Jamrud selesai. Perempuan berjilbab itu menekan sebuah tombol permintaan lagu. Suara terdengar ngebas, tapi enak didengar.

"Request lagu bang." Kata perempuan berjilbab. Aku penasaran lagu apa yang dimintanya. Mungkinkah lagu religi, atau lagu kasidahan seperti yang digemari ibuku.

"Lagu tentang perdamaian dari Michel Jakson." Serunya.

"OK"

Setengah jam kemudian, kotak samurai berhenti. Aku melangkah turun sambil menjinjing sepeda.

"Terimakasih bang!."

"Ok Ben?"

Kedua kakiku menginjak aspal. Bus Doni Jaya yang masih bergambar samurai sudah meninggalkanku jauh. Spanduk besar yang terpampang lebar di pinggir jalan membuat mataku berhenti sejenak. MEROKOK MEMBUNUHMU. Begitu katanya. Sebelumnya peringatan itu berbunyi: MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN SERANGAN JANTUNG, IMPONTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN. Peringatan itu makin naik levelnya. Sampai sekarang aku tak paham apa maksud dari peringatan itu. Mungkin nalarku masih naif melihat segala sesuatu.

Langit pagi berawan. Gerimis telah lama menghilang. Suasana segar mirip jelang buka puasa. Kususuri jalanan kota Purbalingga dengan sepeda Federal berwarna merah tua. Suasana tenang, lalu lalang kendaraan berjalan teratur. Udara dingin terasa menusuk tulang. Kemarau panjang membuat segalanya jadi berembun.

Aku berhenti di jalan alun-alun Purbalingga. Gerombolan bebek-bebek tengah menyebrang tertib mengikuti arahan dari pimpinannya. Pemandangan yang menarik. Penggembala bebek itu tampak gembira, seperti bebek.

"Serius amat Ben. Amat saja nggak pernah serius" Terdengar sapaan seorang perempuan yang kukenal. Aku menoleh ke sebelah kanan. Angin terasa sejuk semilir. Naura sedang duduk di samping Pak supir yang sedang bekerja. Wajahnya segar. Berjilbab hitam modis.

"Mau kemana Ra," kataku,

"Mau ke resto, bantu Ibu?"

"Kau sendiri?"

"Beli anak-anak ayam."

Naura mengangguk tersenyum. Gerombolan bebek terus melintas seperti tak habis-habisnya. Beberapa darinya menatapku. "hei anak muda hati-hatilah dengan hidupmu," sayang mereka tak bisa bicara.

"Setelah itu kau kemana?" tanya Naura.

"Pulang Ra," jawabku. Harusnya aku sedikit lebih peka dengan pertanyaan tersebut. "Mampir ke resto yuk, saya punya menu baru," ajaknya.

Aku diam mematung. Gerombolan bebek itu makin putus-putus. Tanda akan berakhir. Mungkin ada empat ratus dua puluh sembilan ekor bebek yang sedari tadi berjalan beriringan.

"Baiklah." Kataku.

Gerombolan bebek habis. Angkot oren nomor 4 melaju. Naura melambaikan tangan.

Kukayuh sepeda memasuki jalur setapak panjang yang rebah diantara lajur pepohonan. Kugunakan jalan lintas untuk memangkas jarak. Sebaiknya hati-hati, ular semak sering tak permisi menyebrang jalan, ia terlalu sibuk mengerjar tikus-tikus nakal.

Di ujung jalan setapak terlihat kandang peternakan ayam yang besar. Agen penjual bibit-bibit ayam. Beberapa orang dewasa keluar hilir mudik. Pemilik peternakan membuka jalur pembelian secara grosir ataupun eceran. Dari ayam biasa yang harganya cukup di kantong sampai yang hampir punah dari peredaran juga ada, tentu saja dengan harga tinggi.

Setelah melakukan transaksi, kuikat keranjang berisi anak-anak ayam di atas boncengan. Lalu mengayuh sepeda dengan perasaan yang mengembang dan menggelembung.

"Ra, apa yang bisa ku bantu."

"Tolong kau bawakan pesanan itu kemeja pelanggan."

Ibu Mona membawa jus tomat. Memberikannya padaku. Jamuan yang tak terduga.

"Terimakasih bu."

Ada meja yang kosong. Di meja itu ada lebel besar yang di laminating, angka 54. Seperti yang terdapat di atas pintu masuk restoran.

"Kau jangan takut. Itu hanya replika. Meja no 54. Kau masih ingat kisah tante cantik yang meninggal karena kopi beracun. Untuk mengenang kisah itu, ibu saya memesan sebuah meja yang persis dengan yang ada di TV. Ibu saya mengikuti sidang pertama hingga pembacaan vonis hakim. Ibu saya mengambil Table 54 sebagai nama restoran ini.

"Pesanan terakhir." Ucap Naura.

Restoran tutup setengah jam kemudian.

"Kenapa kalian jadi 'patung' begitu."

"Kon-sen- trasi Bu." Ujar Naura.

"Kau kelihatan gugup Ra, biasanya kau tak seperti itu?"

"Panas tahu."

"Oh." ledek Bu Mona.

Mie dengan rasa baru akhirnya bisa kami nikmati bertiga. Kami berdua tidak banyak bicara. Semua pembicaraan di dominasi Bu Mona. Tentang menu barunya, pertama bertemu dengan ayah Naura, saat mengandung Naura, dan masih banyak lagi. Sesekali Naura mengalami perubahan bahasa tubuh. Biasanya Naura sangat asik dan ceria. Ada apa ini, mungkinkah, rasanya tak mungkin.

Aku pamit dua puluh menit kemudian. Waktu segera senja, dan gelap segera datang. Tak ingin terjebak dalam ambiguitas rasa. Kukatakan pada Naura kalau mi buatannya sangat lezat. Dia tersenyum dan bersembunyi di balik punggung ibunya seperti anak TK yang baru masuk sekolah. Kepalanya saja yang terlihat.

"Aku pulang Ra, jaga ibumu baik-baik."

"Ngaco." Nara tersenyum.

"Terimaksih ya, eh, tunggu sebentar." Naura muncul dari balik punggung ibunya dan berjalan cepat menuju salah satu ruangan. Lalu keluar dengan membawa sesuatu.

"Akhir-akhir ini cuacanya sangat dingin, pakailah sweter ini." Naura mengulurkan sebuah sweter. Seorang putri titanium dari klan bidadari memberikan sebuah hadiah, mimpi apa semalam. Ini bukan mimpi, aku bisa merasakan hembusan nafasku sendiri.

Kupakai langsung sweter itu di hadapan mereka berdua. Menganggukan kepala sejenak.

Kukayuh sepeda kuat-kuat. Orang-orang yang kujumpai pada jalan yang kulalui terlihat tampan dan cantik. Pada sisi jalan seolah muncul aneka macam bunga ditingkahi pelangi yang muncul tanpa aba-aba. Kepalaku terasa melayang berhalusinasi.

Jumat, 21 Februari 2025

19. Senyum Telah Kembali

Persahabatan tak mengenal reuni. Bagi kami reuni adalah cara standar untuk menikmati interval dari tahun-tahun tak bertemu. Itu sah-sah saja, tapi bagiku reuni adalah kekakuan dalam memahami sebuah waktu yang seharusnya berlalu tanpa perlu memanggilnya kembali dalam satu wadah, reuni. Ini seperti memberi instruksi pada teleporter agar berhenti sejenak mengunjungi berbagai dimensi.

Lelah berkeliling melihat kebun kopi sambil berbicara hangat. Kami pergi ke kandang ayam milik ayah yang jaraknya dua puluh menit dari rumahku. Mungkin di sana kami akan menjumpai ayah sedang mengaduk-aduk empan untuk ayam-ayam peliharaannya.

Sampai di kandang ayam. Ia menyambut kami senang. Tangannya terlihat masih basah, ia mengelap dengan celemek bergambar anak ayam gemuk yang terikat di perutnya. Kebun kopi memang belum layak disebut sebagai kebun kopi pada umumnya, begitu juga dengan kandang ayam yang belum layak disebut peternakan dengan jumlah ayam ribuan ekor. Setidaknya kami bisa hidup tanpa tangan di bawah.

"Sudah makan siang."

"Belum yah."

"Kita pulang dan saya buatkan mi ramen untuk kalian. Hidangan penutupnya es kelapa. Lalu setelah itu kita akan nonton kasti, bagaimana?" ucap ayah semangat.

Stadion mini Kaligondang ramai ceria. Para penonton tumpah ruah, mereka dari berbagai kalangan dan usia. Secuil hiburan yang bisa mereka rasakan. Menguarai letih dan penat seharian di sawah, atau bekerja di kota. Sementara pedagang-pedagang kecil berharap dapat sedikit laba untuk memperpanjang harapannya. Setidaknya bisa memastikan beras dan lauk pauk bisa dibeli setelah dagangan mereka laku terjual.

"Kau mau Ben." Serempak kedua tangan Naura dan Kiera mengulurkan gelas plastik berisi berondong.

"Dari tadi saya duduk disini, nggak ada yang nawarin" keluh Ares, bibirnya manyun lima senti.

"Ini Res, buatmu." Ayah memberikan gelas plastik ukuran besar berisi berondong jawa. Ares tersenyum merekah.

"Terimakasih Pak."

"Pertandingan Kasti akan berlangsung lima menit lagi, bagi penonton yang masih diluar dan mimiliki karcis segera masuk." Suara dari operator terdengar merdu.

Setelah memberikan karcis masuk pada salah seorang panitia. Ia terlihat senang berjumpa dengan ayah.

"Pak Marko, apa kabar."

"Baik, kau sendiri."

"Masih siap berpetualang." Panitia itu menjawab bangga, mengandung aroma patriotik. Wajahnya Renegede banget.

"Tulang-tulang saya semakin sulit untuk bergerak, sudah waktunya pensiun." Jawab ayah.

"Legenda hidup Mike Tyson saja naik ring lagi, bagaimana menurutmu Pak?" "Saya paling tahu kondisi fisik saya, jadi kau jangan pancing-pancing soal petualangan itu," kata ayah yang terdengar keberatan.

"Film The Grey 2 mungkin akan dilanjutkan, penonton butuh kepastian, tapi kita bukan penontonkan?" ucap panitia itu.

"Kau benar, saatnya kau yang akan jadi pemain," jawab ayah. Panitia itu seperti tak puas dengan jawaban ayah. Ia pamit sambil sedikit membungkukkan badannya. Rambutnya yang gondrong bergelombang membuatnya tampak sangar sekaligus tampan.

Pertandingan Kasti dimulai.

Para pemain kasti sudah berada di posisinya masing-masing. Bola pertama berhasil dipukul dengan baik dan melambung ke atas. Ibu berlari sprint dan terus berlari melewat pos demi pos. Bola menukik dan berhasil ditangkap oleh lawan. Ritme permainan semakin menarik. Ibu berlari dan dengan gesit menghindari bola yang dilesatkan kearahnya. Ada satu pos terakhir yang harus dilewati oleh ibu. Bola dilesatkan keras. Sasaranya adalah bagian tubuh ibu. Penonton berteriak, bola itu hampir mengenai paha. Tiba-tiba ibu mengerem mendadak. Bola itu mengenai angin. Penonton bertepuk tangan. Lalu ibu kembali berlari menuju homebase. Naura dan Kiera tampak senang. Wajah Kiera yang selalu pucat terlihat bersemu merah lantaran banyak berteriak. Naura juga tersenyum. Ares tak berhenti mengunyah brondong jawa alias popcorn.

Sampai di homebase, Ibu disambut oleh teman-temannya. Mereka berjingkrak-jingkrak gembira. Sejenak melupakan usia. Aku gembira, ibuku kembali kuat. Beberapa kali ibu menghapus jejek air mata. Kedua matanya menyisir para penonton. Ketemu. Ibu melambaikan tangannya ke arah kami.

"Gina!!!, ayo semangat!!!." Ayah berteriak seperti auman singa. Suara kuat dan menggema. Lapangan Kaligondang tak sebesar stadion Gelora Bung Karno. Suara ayah membuat para penonton menengok ke arah kami. Merasa dipanggil namanya, ibu makin sibuk menghapus air mata.

"Ayo semangat bu!" Giliranku berteriak.

"Rupanya disana ada Pak Marko. Legenda hidup dari Kesamen. Ia memberi semangat kepada orang yang disayanginya. Ya, pemain kita telah kembali. Beri tepuk yang meriah untuk pemain legenda kita, Gina Pratiwi!." Suara komentator membakar semangat. Tepuk makin meriah. Pertandingan di lanjutkan.

Ibu telah kembali pulih, begitu juga dengan Kiera. Meski terlihat kurusan. Tetapi senyum mereka telah kembali, membuatku lebih bersemangat. Sampai kapan, aku tak tahu.