Jumat, 28 Februari 2025

26. Enam Bulan Kemudian

Kami sampai di halaman rumah Kiera. Tak terlihat tanda-tanda kehidupan. Sepi yang kami temui. Lengang yang kami perhatikan. Mobil milik ayahnya tergeletak di dalam garasi. Berulang kami ucapkan salam tak ada yang menyahut. Coba bertanya kepada salah dua tetangga juga tak membantu.

Sebuah mobil warna hitam datang berhenti di depan rumah Kiera. Aku dan Ares menunggu siapa yang keluar dari balik kemudi.

"Beni."

"Pak Alex." Wajahnya tampak tegang, kantung matanya menghitam.

Aku dan Ares mengekor di belakangnya. Tubuhnya tinggi besar menjulang. Mirip tokoh Herkules atau The Rock. Kami berjalan di belakang seorang raksasa. Kami berdua menunggu di ruang tamu. Foto Kiera dan ayahnya menggantung di dinding. Ia kembali membawa dua kaleng minuman.

Pak Alex duduk di kursi rotan. Ares menenggak habis minumannya. Mengecapnya bangga disertai suara mendesis. Ares melirik ke arahku.

"Ada yang ingin bapak ceritakan," katanya

Kami menunggu.

"Sudah satu bulan Kiera terbaring di rumah sakit. Kesehatannya menurun tajam. Rupanya sel kankernya keras kepala tak mau hilang dari tubuhnya. Kiera meminta bapak untuk memberi tahumu pada hari pertama di rawat, tapi tak sempat."

Rasa dingin menyergap rongga otak. Bahu mencengkram jantung tetapi tidak sampai. Kelopak mata memanas. Senyum Kiera tiba-tiba mengambang di atas permukaan keramik, Ares menatapku.

"Kiera dirawat dimana Pak."

"RS Purbalingga."

"Kenapa tak dibawa ke Singapura, atau ke tempat biasa Kiera dirawat." "Kiera menolak di bawa ke luar negeri. Ia mungkin telah melampaui batas kekuatannya. Setelah beberapa kali kemo saya pikir tak bisa bertemu lagi dengannya. Tapi keajaiban muncul, ia seperti memperoleh kekuatan hingga bisa bertahan vonis sang dokter."

"Kekuatan, maksud bapak."

"Ya, Kiera termasuk anak yang sulit untuk dekat dengan laki-laki. Baginya kaum adam adalah mahluk aneh. Ada perbedaan cara pandang antara keduanya. Tapi denganmu, Kiera tampak nyaman. Tetapi garis waktu sudah menanti. Pada detik yang menghawatirkan Kiera tak ingin melihatmu rapuh setelah memberinya kekuatan. Kau mungkin mengerti maksudnya."

Aku mengangguk setengah linglung.

"Temani Kiera di saat-saat terakhir, kau berkenan."

"Ya."

Pak Alex masuk kamar. Kenyataan selalu saja pahit. Aku yang bukan siapa-siapanya Kiera ternyata tak tangguh menerima informasi tentang kondisi Kiera sekarang. Ia menyembunyikan rasa sakitnya dengan keceriannya. Ia tak ingin membuat orang terdekatnya ikut menanggung beban.

"Nama kau ada di buku hariannya. Kiera mengagumimu. Sesekali ia memintaku untuk menuliskan kisahnya, jika kelelahan. Buku hariannya penuh setelah setahuan ia menuangkan isi kepalanya. Kiera yang memintanya ketika dirinya tak stabil. Kiera selalu bicara tentang buku hariannya. Goresan penanya adalah cara terbaik untuk berbicara. Ia tampak mendalami tulisannya agar enak dinikmati. Terimalah buku ini."

"Kiera juga bercita-cita agar buku hariannya selalu meningkat hingga pada tahap perubahan bentuk yang equel, tak hanya sekedar berkhotbah. Tak kaku, tapi bisa memukau rasa," ucap Pak Alex.

"Cita-cita yang hebat," ucapku.

"Ia ingin jadi penulis."

Kamis, 27 Februari 2025

25. Noura Kembali

"Kak Ben!, tunggu sebentar donk?, kaki saya pegel nih." Kiera sewot ketika berhasil berdiri di sampingku. Ia memakai syal dan baju hangat berwarna cerah.

"Bukannya kau libur kak."

"Mau mengambil ijazah."

"Kenapa, mukanya butek amat."

"Aku hampir tertabarak motor tadi, ia malah memakiku.

Aku tak bisa mangkir, ada sejumput rasa di palung hati yang dalam. Saat ini aku belum mau memanggilnya. Takut busuk sebelum matang. Bila belum matang, rasa itu akan merepotkan saja, menuntut ini itu. Padahal belum ada ikatan dan perjanjian apa-apa. Biarkan saja hingga membusuk. Lalu mutiara bisa saja muncul tiba-tiba. Kalau jodoh nggak kemana, mestisnya jodohku mana ya.

Tak terasa sudah sampai di sekolah. Kiera berhenti, lalu ia memandangku dengan cara tak biasa. Menarik nafas dan membetulkan ujung jilbab yang keren.

"Kau kenapa Kie, pengin buang air."

"Ayah senang kau datang."

Hening tak ada suara.

Setelah masuk kelas. Kuletakkan tas slempang di atas kursi kayu. Menunggu informasi selanjutnya. Jam berapa untuk pengambilan ijazah dan cap tiga jari. Teman-teman lain sudah datang. Mereka menyebar ke kantin atau bertemu dengan teman-temannya. Sebagian duduk-duduk di taman belakang sekolah atau sibuk tuker kado perpisahan.

Kursi yang biasa diduduki oleh Naura terlihat kosong. Tak ada tas yang tergantung di belakangnya. Aku terus memandanginya sampai tak sadar kalau Ares sudah duduk di belakangku dengan sekantong plastik gorengan hangat dari kantin.

"Pagi-pagi sudah jadi patung," Ares bertanya sambil mengunyah gorengan.

"Kau sudah dengar berita pagi ini. Seluruh warga MAN Idolaku, terutama kaum adam sedang heboh di taman belakang sekolah. Mereka sepertinya sedang merencanakan sesuatu, kau tak ikutan?."

"Nggak, malas."

"Naura kembali."

Di lapangan basket, seorang anak lelaki tengah bertanding dengan anak-anak perempuan. Mereka mencoba mengukir kenangan manis bersama-sama. Di antara mereka mungkin ada yang berpacaran. Sekarang mereka lebih akrab dibanding ketika terlibat pertikaian cinta monyet. Dunia yang indah sedang mereka ciptakan agar ada masa indah disana bersama berjalannya waktu.

"Apa kabar."

Sengatan cahaya pagi membuat pori-pori kami berembun. Burung-burung Bangau Putih mulai mendarat untuk mencari sarapan pagi, berbagi tempat dengan burung Bul-Bul.

Rabu, 26 Februari 2025

24. Rindu

Kuputuskan untuk keluar dari hingar-bingar uforia perpisahan. Perasaanku lega. Walau sunyi segera menyergapku. Aku berjalan menyusuri jalan setapak di tengah taman yang hijau, ayunan, kolam ikan, dan kelinci-kelinci liar mengurangi senyap yang menyerbu mendadak. Kadang aku menginginkan penciptaan ulang sebagai burung gereja yang sepertinya tak punya beban. Mereka bisa bahagia dengan cara mereka sendiri. Yang paling penting mereka tak pernah pura-pura.

Tanpa basa-basi aku naik angkot lalu menghempaskan tubuh duduk paling pojok. Di dalam angkot nuansa perpisahan justru semakin menyebalkan. Suara musik familier menyentuh gendang sukma. Sebuah lagu berjudul Dan milik Sheila On Seven tengah mengalun.

Penumpangnya hanya ada dua. Aku dan seorang Ibu kira-kira seumuran ibuku. Ia dikelilingi oleh barang belanjaan di sekitar tempat duduknya.

Angkot melewati jembatan Kali Klawing, ia masih sama seperti tiga tahun yang lalu. Semoga tetap kokoh setia melayani sampai anak cucu. Di bawah jembatan para pemancing duduk beralaskan akar besar pohon beringin menunggu umpannya disambar ikan Tawes atau Patin. Tetap setia pada titik-titik nasib yang mungkin bisa merubah takdirnya suatu saat nanti. Mendidihkan kemiskinan yang menggelayut manja, lengket, dan menjengkelkan.

Angkot berhenti di daerah Trenggiling. Ibu itu turun disambut oleh lelaki berkumis tebal, kekar, tinggi menjulang bagai raksasa. Betisnya seperti atlet pelari. Tangannya kokoh berotot mengangkat rinjing besar. Ia memindahkan barang belanjaan itu satu persatu ke atas becak.

"Aku pulang," kataku setelah membuka pintu dan berucap salam.

Aku terkejut di ruang tamu ada Kiera, salah satu putri titanium dari klan bidadari tengah duduk ditemani ibu dan ayah.

Ayah menyapaku, lalu ia pamit melanjutkan pekerjaannya. Ia juga meninggalkan sebuah kode sambil tersenyum.

*** "Saya pamit kak, sudah dari pagi sudah di sini menemani ibu memetik kopi, pergi ke kandang ayam dan menikmati seduhan teh rosella."

"Kau antar Kiera ya?"

"Ya bu."

Kiera mengangguk dan tersenyum. Bukankah itu terlalu boros. Seharunya ia simpan untuk lelaki yang jauh lebih baik.

Kami berdua terdiam lagi. Jalan menurun membuat kami fokus agar tak jatuh terpeleset. Pikiran kami masing-masing menerawang tak tentu arah.

"Bagaimana kabar kak Naura ya, kau tahu?"

Aku menggeleng. Ia tersenyum lagi.

"Kakak nggak rindu."

"Untuk apa, kami berdua memang dekat, tetapi tanpa ikatan. Aku tak cukup berani untuk melampaui hal-hal yang di luar garis persahabatan."

Kami duduk di halte Kaligondang memandang ke depan.

"Kak Ben, nanti malam kau sibuk."

"Nggak, kenapa."

"Ayah saya ingin ngajak kakak makan malam."

Aku diam tak ingin menjawab. Kuharap ia segera lupa.

"Kenapa kak, kau sibuk."

"Aku akan datang, Insyaallah." Jawabku dengan nada datar. Mencoba menakar perasaan senang dan penasaran. Kenapa ayah Kiera ingin mengundang makan malam. Kalau aku menolak undangan dari ayahnya, kuanggap diriku mahluk paling sombong sekecamatan.

"Terimakasih ya kak?" wajah Kiera ceria.

"Apa pentingnya Insyaallah dalam hidup kakak," Tanya Kiera, ia tidak sedang mencela atau mengumpat. Ia mungkin punya alasan sendiri. Atau bagian dari keyakinan baru yang belum lama dipeluknya.

"Ada hal yang diluar jangkuan kita. Kadang situasi tak bisa kita kendalikan, meski telah berusaha keras."

"Seperti ketetapan Tuhan bukan."

"Kau benar."

Selasa, 25 Februari 2025

23. Janji Seorang Lelaki

Hujan deras mengguyur alun-alun Purbalingga. Resto 54 tutup lebih awal. Gelas-gelas berisi coklat panas mengepul di hadapan kami. Ibu Mona duduk di sisi Naura.

Ares dan Kiera duduk di sisi yang lain. Keduanya asik menyeruput coklat panas. Naura menatapku dengan mata sipitnya.

"Ayo Ra, bicaralah," kata Bu Mona.

"Ben, besok pagi saya ke Jakarta, mau daftar kuliah disana?"

Naura tersenyum matanya mulai basah.

"Kau tak memberiku semacam janji seperti layaknya laki-laki." tambahnya.

"Aku tak ingin membuatmu terkungkung."

"Janji seorang laki-laki, apa kau tak punya." Naura mempertajam tatapannya.

"Jangan pernah berhianat dengan perasaanmu sendiri. Meski itu sulit. Perasaan yang jujur tak mesti diungkapkan, walau menyakitkan."

"Itu bukan janji," Kata Naura. Ia tampak tak senang dengan jawabanku.

Ini interval yang sulit kujalani. Berbicara serius dihadapan seorang gadis yang sedang mencari dermaga merupakan perkara berat.

"Bagaimana cara meletakkan sebuah perasaan yang tulus itu," Naura kembali memberikan tekanan.

"Letakkanlah hati-hati seperti kau menyebrang jalan."

"Perasaanmu bagaimana."

"Untuk saat ini, aku tak ingin menyulitkanmu dengan perasaanku. Biarlah sang waktu yang memahatnya menjadi apa. Semuanya agar kau tenang menjalani hidupmu."

Aku diam menatap lantai. Mengumpulkan makna yang tersirat. Siapa tahu akan muncul logika baru yang lebih jernih. Tidak mengambang seperti kerupuk disiram sup ayam. Tidak juga jumawa menganggap perasaan adalah sesat untuk sesaat. Aku belum menemukan jawaban. Rasanya seperti tertuduh. Janji sebagai seorang laki-lakipun tak punya. Putri titanium dari klan bidadari sedang menatapku seakan ku pangeran yang tampan dari negeri impian. Kenyataannya aku hanya pangeran kesiangan.

"Saya titip Beni ya Kie," pinta Naura.

Hal-hal yang membuat perempuan kadang tak logis tentang waktu yang teramat canggung ini. Mungkin semua wanita punya caranya sendiri untuk mengungkapkan sesuatu.

"Setelah lulus kau punya rencan Ben."

"Kerja?"

"Dimana?"

"Resto 54." Jawabku pendek. Ia sontak merekah, segar seperti acar martabak telor. Mungkin hanya ini jawaban seorang laki-laki bukan janji. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk sebuah ikatan. Ada binar di balik tatapan Naura. Coklat panas sekarang berubah lebih nikmat.

Hujan selalu punya cerita agar melengkapi perasaan manusia yang tertunda. Atau sebuah pertanda akan berlangsungnya peristiwa lain di muka bumi.

Kalian akan menganggap ini hanya omong kosong, aku terima itu.

Senin, 24 Februari 2025

22. Logika Terbalik

Sekolah selama tiga tahun akhirnya ditentukan oleh tiga hari yang menegangkan. Sebuah pertarungan yang entah siapa pemenangnya. Masa depan seperti lorong gelap yang berkelok-kelok. Senter dan tongkat mungkin bekal yang paling sederhana untuk melewatinya.

Soalnya pilihan ganda. Seolah kebenaran menjadi hal yang kaku dan sensitif. Terpasung turun temurun pada soal yang menjemukan. Di luar sana orang sudah berlari, aku masih berkubang dengan kerapuhan. Mungkin terlalu sulit untuk menjawab sebuah pertanyaan. Anggap saja tentang kehidupan yang dihimpit banyak pertanyaan. Mungkin saja ini produk katak dalam tempurung hingga gagap meneliti pernyataan atau pertanyaan. Layakkah kutanyakan kembali 'mahluk' bernama UN. Ia menuntut keseragaman berpikir. Satu sisi lainnya harus mengikuti aturan yang sekaku kanebo kering.

Pagi ini UN (Ujian Nasional) di mulai. Gayaku menggemaskan Pak Badrun. Ia penjaga sekolah sekaligus berjualan di kantin. Berjalan santai di tengah lapangan MAN Idolaku. Menatap rerumputan yang basah. Embun pagi berhasil menggagahinya sampai puas. Rasa muak tiba-tiba menyeruak.

"Ben!, ayo cepat?, Ucapnya terdengar kesal. Ia menatapku geregetan.

Tempat duduk terpisah satu-satu. Bukan karena jarak sosial. Lembaran kertas datang bertubi-tubi untuk dikunyah, disobek, ditelan oleh limbik dan kawan-kawannya. Tak jauh dariku duduk seorang gadis tertutup wajahnya oleh lembaran soal ujian. Kuputar kepala hampir menelikung. Mencari Naura. Wajahnya tak terlihat. Sampai hampir terkilir leherku yang memaksa terus menoleh.

"Kau cari siapa?" suaranya terdengar pelan.

"Ra, ku pikir kau sakit." Tanya setengah berbisik.

"Tidak, kau senang kalau saya sakit."

"Bukan, aku jarang berdoa buruk untuk orang di sekitarku."

Berikutnya kami tenggelam dalam lautan soal. Dari yang mudah sampai yang memusingkan kepala. Jawaban ada di antara jawaban-jawaban yang salah. Aku membayangkan jika ada pertanyaan. Kenapa Babi haram dimakan, kenapa Nabi Adam dilarang makan buah khuldi, kenapa lampu lalu lintas warna merah harus berhenti. Selesai ujian, mungkin mereka memiliki cara baru tentang berpikir di luar kelaziman, hasilnya mungkin tak jumud, kolot, dan gampang menyalahkan.

Apapun alasannya, menyelesaikan ujian adalah pesan penting dari nilai berseragam. Tiga hari di bawah kilatan pedang UN rasanya ingin muntah. Lembaran-lembaran ujian itu membuatku mabuk. Aku hanya sedikit memahami tentang pendidikan kita. Nyinyir saja tidak cukup, ia hanya pesan moral yang terasa ganjil bila masih asing untuk mengungkapkan sebuah perbedaan.

Kututup lembaran soal ujian. Berdiri dari duduk. Lalu menyerahkan pada pengawas ujian yang shock melihatku menyelesaikan lebih cepat dari waktu yang telah di tentukan.

Setelah Ujian terakhir tadi, Naura menghilang. Hanya ujung jilbanya yang terlihat olehku dan lenyap di balik pintu perpus. Kami berjumpa di depan gerbang sekolah. Kami sempat beradu pandang, air matanya meleleh. Ia menghapusnya cepat-cepat.

"Saya duluan Ben." Naura seperti dikuntit depkolektor.

Ares mucul dari belakang dan menepuk bahuku. Kedua kakiku seperti terkena tumpahan lem fox yang menggenang hingga lututku sulit bergerak.

"Jalan yuk?"

"Kemana?"

"Musim berganti angin berubah." Ucapnya.

"Nggak jelas."

"Logika terbalik dapat berpikir untuk mengalahkan musuh yang paling berbahaya yaitu diri sendiri dan mulailah mengangkat pedang sendiri. Ayunkanlah langkah dengan perpaduan gerak dan kelincahan maju dan mundur. Lalu muncul ritme yang terbiasa mengambil keputusan dalam kondisi pelik dan tertekan." "Dasar tukang contek, itu kata-kata Kiera."

"Biar kelihatan pinter Ben, protes aja."

Angkot menembus jalanan ibukota Purbalingga yang lengang. Para wanita dewasa sibuk bekerja membuat karya dari rambut yang banyak tersebar pada perusahaan milik para outlander. Sebagian menjadi guru di sekolah-sekolah hingga tersemat label pahlawan tanda jasa. Beberapa puluh lainnya memilih mengundi nasib merantau di negeri-negeri yang jauh menjadi pekerja pabrik, kuli di ladang sawit atau memilih jalur TKW.

Ares datang nampan besar berisi empat mangkuk bakso yang mengepulkan asap.

"Kita cuma berdua," ucapku.

"Saya sedang lapar," ucapnya.

Kami berdua duduk menghadap jalan raya yang lengang. Rindangnya pohon beringin yang berdiri kokoh di tengah alun-alun membuat nyaman berisitirahat di bawahnya.

"Wah enak nih?" sebuah suara tak asing terdengar.

Ketika menoleh kebelakang. Dua putri dari klan bidadari sedang berdiri dengan balutan jilbab modis. Naura menggandeng Kiera. Keduanya muncul dari tempat yang tak terduga seperti pesulap.

"Kau senang," ucap Ares bangga.

"Kalian dari mana?" tanyaku.

"Kita bisa bicara delapan mata Ben?"

Minggu, 23 Februari 2025

21. Soal Nikah Muda

Malam belum terlalu larut.

Aku dan ibu duduk di atas kursi rambang yang dianyam sendiri oleh kedua tangan ayah. Ibu tengah menyeruput teh rosela. Teh yang berwarna magenta atau merah tua setelah diseduh dengan air panas ataupun dingin. Teh dengan rasa asam ini mempunyai kandungan antioksidan yang tinggi, mampu menghalau serangan radikal liar yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan jaringan tubuh. Kuketahui dari majalah yang kutemukan di perpustakaan sekolah.

"Bu?"

"Hemmm, ada apa?"

"Ketika kita ada pilihan, perlukah menjadi orang lain?"

Ibu menghentikan acara minum tehnya. Ia menatapku lembut, tapi tidak seperti di film-film kolosal.

"Tak perlu jadi orang lain dalam posisi apapun. Kalau kamu berubah menjadi pribadi asing yang kau sendiri saja tak kenal, maka itu akan merugikan dirimu sendiri. Demi tuntutan "pilihan" kita kadang sering mengabaikan sebuah peran lain."

"Bisa lebih sederhana."

"Ben, setiap orang memiliki hak untuk menyatakan rasa suka (cinta). Tapi ingat Ben, Maharnya harga diri adalah citra diri. Cinta itu tidak buta, tapi kadang menuntut tumbal agar membutakan siapa saja."

"Jika ada orang diperlakukan begitu berbeda oleh seorang gadis, kita perlu bentengkah?"

"Intimidasi setiap jejak langkah. Jika perlakuan hangat membuat persahabatan kalian jadi erat, bagi ibu itu tak masalah. Cinta lahir tanpa motif apapun. Ia suci dan mensucikan. Cinta yang benar itu mendewaskan bukan mengkerdilkan sudut pandang. Menurut Ibu, ada yang salah dengan cara berpikir segilintir orang. Membunuh 'harus' ada sebab. Padahal pembunuhan banyak terjadi karena ingin-nya membunuh, penyebab lain hanya penyempurna saja. Mungkin sama dengan hati, ataupun cinta. Cinta muncul dari ketulusan hati. Bukan dari sebab dan musabab, itu terlalu klise. Jika rasa hilang, maka cinta tinggal jejak pasir. Bila ada gadis menukar mahkotanya demi cinta, maka cintanya telah membunuh logikanya. Menyisakan lelaki miskin tanggung jawab atas benih yang telah dibenamkan melalui pipa tak bertulang. Kalaupun mereka bertanggung jawab, bukan dari ketulusan yang mendalam, tapi dari penyelasan atas nama baik keluarga. Parahnya lagi hanya pencritaan semata."

"Jika malah melahirkan jarak."

"Cinta yang murni itu melahirkan kekuatan pikiran. Dapat mengenali resiko. Meski tampak rentan. Ada solusi pada setiap tumpukan jarak. Terkadang jarak mendewasakan sebuah hubungan."

"Sampai saat ini aku masih bingung untuk bersikap Bu?"

"Ben, cinta itu sederhana. Komitmenlah hingga tampak elegan, lalu lahirlah pisau setia. Ketajamannya bisa merobek hal-hal yang rumit"

"Kalau ikatan rasa itu terlalu kuat bagaimana?"

"Urailah ikatan itu agar tak jadi rindu bertindih-tindih. Meski itu sulit, Ibu tak mau melihatmu sakit gara-gara cinta buta. Longgarkanlah ikatan itu meski kau harus kehilangan. Karena cinta yang tak punya alasan yang benar, semua itu adalah topeng monyet, palsu, dan munafik."

"Kalau sulit?"

"Gunakanlah waktu sejenak untuk mengistirahatkan harapan. Anak muda sekarang menyebutnya apa ya inval..., eh bukan, wah ibu lupa."

"Interval."

"Yah itu, Ibu lebih suka menyebutnya dengan jeda."

"Pertahankan atau mengalir saja."

"Untuk sekarang, jadilah air mengalir pada tempat yang indah, bukan got atau comberan. Jadilah sahabat yang menjujung kejujuran, kehormatan, kasih sayang, serta ketulusan sebagai bentuk pertahanan."

"Bu, Naura pernah ngajak nikah muda."

Ibu menatapku dengan mata burung hantu. Lalu ia bersender pada kursi. Kepalanya ditempelkannya pelan-pelan. Matanya menutup seperti buaya. Ini saat yang kutunggu-tunggu. Setelah membuka matanya, ia akan mengatakan hal yang mencengangkan. Kutunggu hampir lima menit, ia tak kunjung membuka matanya. Aku masih bersabar. Yang terjadi hening. Belalang Kerik di luar sana bahkan terdengar lebih nyaring.

"Bu." Ku panggil sekali lagi. Tak ada jawaban. Ternyata Ibu tak kuasa menahan kantuknya. Nasihat dari kak Egi agar tak tidur setelah makan, menguap begitu saja.

Aku beranjak dari duduk dan pergi ke kamar. Mengambilkan selimut untuknya. Ketika keluar dari kamar kami hampir bertubrukan.

"Ku kira ibu tidur, ibu pura-pura ya."

"Ibu belum punya jawaban soal pertanyaan terakhirmu. Ibu perlu..." Ibu tak meneruskan kata-katanya.

"Perlu apa Bu, interval" kataku penasaran.

"Ya pintar kamu, sekalian ngingetin kamu kalau besok ada UN, soal nikah muda, itu soal mental, dan persiapan lain, apakah kamu sudah siap?"

"Fisik sih siap bu, tapi.."

"Ibu juga dilamar oleh ayahmu saat Ibu berusia 16 tahun, jadi kalau kamu ingin nikah muda, ibu dukung? bagaimana?"

Tiba-tiba sebuah pisau kasat mata menghujam tepat di jantung. Hening ditingkahi senyap.

"Kenapa?, kok nggak dijawab."

Sabtu, 22 Februari 2025

20. Sweter

Suara rem berdecit. Perempuan berjilbab dan seorang ibu berambut sinden naik bus bergantian.

Lagu Penny Lane masih mangalun membuat imajinasi terbang membumbung. Penny Lane selesai, suara Ebiet G Ade mengalun lembut menyayat pilu. Bang Zoro melakukan terobosan nakal, tanpa tedeng aling-aling ia memutar lagu dari grup band Jamrud. Mengalun keras dan cadas. "berakit-rakit kita ke hulu. Berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, senang pun kan datang. Malah mati kemudian." Lagu Jamrud selesai. Perempuan berjilbab itu menekan sebuah tombol permintaan lagu. Suara terdengar ngebas, tapi enak didengar.

"Request lagu bang." Kata perempuan berjilbab. Aku penasaran lagu apa yang dimintanya. Mungkinkah lagu religi, atau lagu kasidahan seperti yang digemari ibuku.

"Lagu tentang perdamaian dari Michel Jakson." Serunya.

"OK"

Setengah jam kemudian, kotak samurai berhenti. Aku melangkah turun sambil menjinjing sepeda.

"Terimakasih bang!."

"Ok Ben?"

Kedua kakiku menginjak aspal. Bus Doni Jaya yang masih bergambar samurai sudah meninggalkanku jauh. Spanduk besar yang terpampang lebar di pinggir jalan membuat mataku berhenti sejenak. MEROKOK MEMBUNUHMU. Begitu katanya. Sebelumnya peringatan itu berbunyi: MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN SERANGAN JANTUNG, IMPONTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN. Peringatan itu makin naik levelnya. Sampai sekarang aku tak paham apa maksud dari peringatan itu. Mungkin nalarku masih naif melihat segala sesuatu.

Langit pagi berawan. Gerimis telah lama menghilang. Suasana segar mirip jelang buka puasa. Kususuri jalanan kota Purbalingga dengan sepeda Federal berwarna merah tua. Suasana tenang, lalu lalang kendaraan berjalan teratur. Udara dingin terasa menusuk tulang. Kemarau panjang membuat segalanya jadi berembun.

Aku berhenti di jalan alun-alun Purbalingga. Gerombolan bebek-bebek tengah menyebrang tertib mengikuti arahan dari pimpinannya. Pemandangan yang menarik. Penggembala bebek itu tampak gembira, seperti bebek.

"Serius amat Ben. Amat saja nggak pernah serius" Terdengar sapaan seorang perempuan yang kukenal. Aku menoleh ke sebelah kanan. Angin terasa sejuk semilir. Naura sedang duduk di samping Pak supir yang sedang bekerja. Wajahnya segar. Berjilbab hitam modis.

"Mau kemana Ra," kataku,

"Mau ke resto, bantu Ibu?"

"Kau sendiri?"

"Beli anak-anak ayam."

Naura mengangguk tersenyum. Gerombolan bebek terus melintas seperti tak habis-habisnya. Beberapa darinya menatapku. "hei anak muda hati-hatilah dengan hidupmu," sayang mereka tak bisa bicara.

"Setelah itu kau kemana?" tanya Naura.

"Pulang Ra," jawabku. Harusnya aku sedikit lebih peka dengan pertanyaan tersebut. "Mampir ke resto yuk, saya punya menu baru," ajaknya.

Aku diam mematung. Gerombolan bebek itu makin putus-putus. Tanda akan berakhir. Mungkin ada empat ratus dua puluh sembilan ekor bebek yang sedari tadi berjalan beriringan.

"Baiklah." Kataku.

Gerombolan bebek habis. Angkot oren nomor 4 melaju. Naura melambaikan tangan.

Kukayuh sepeda memasuki jalur setapak panjang yang rebah diantara lajur pepohonan. Kugunakan jalan lintas untuk memangkas jarak. Sebaiknya hati-hati, ular semak sering tak permisi menyebrang jalan, ia terlalu sibuk mengerjar tikus-tikus nakal.

Di ujung jalan setapak terlihat kandang peternakan ayam yang besar. Agen penjual bibit-bibit ayam. Beberapa orang dewasa keluar hilir mudik. Pemilik peternakan membuka jalur pembelian secara grosir ataupun eceran. Dari ayam biasa yang harganya cukup di kantong sampai yang hampir punah dari peredaran juga ada, tentu saja dengan harga tinggi.

Setelah melakukan transaksi, kuikat keranjang berisi anak-anak ayam di atas boncengan. Lalu mengayuh sepeda dengan perasaan yang mengembang dan menggelembung.

"Ra, apa yang bisa ku bantu."

"Tolong kau bawakan pesanan itu kemeja pelanggan."

Ibu Mona membawa jus tomat. Memberikannya padaku. Jamuan yang tak terduga.

"Terimakasih bu."

Ada meja yang kosong. Di meja itu ada lebel besar yang di laminating, angka 54. Seperti yang terdapat di atas pintu masuk restoran.

"Kau jangan takut. Itu hanya replika. Meja no 54. Kau masih ingat kisah tante cantik yang meninggal karena kopi beracun. Untuk mengenang kisah itu, ibu saya memesan sebuah meja yang persis dengan yang ada di TV. Ibu saya mengikuti sidang pertama hingga pembacaan vonis hakim. Ibu saya mengambil Table 54 sebagai nama restoran ini.

"Pesanan terakhir." Ucap Naura.

Restoran tutup setengah jam kemudian.

"Kenapa kalian jadi 'patung' begitu."

"Kon-sen- trasi Bu." Ujar Naura.

"Kau kelihatan gugup Ra, biasanya kau tak seperti itu?"

"Panas tahu."

"Oh." ledek Bu Mona.

Mie dengan rasa baru akhirnya bisa kami nikmati bertiga. Kami berdua tidak banyak bicara. Semua pembicaraan di dominasi Bu Mona. Tentang menu barunya, pertama bertemu dengan ayah Naura, saat mengandung Naura, dan masih banyak lagi. Sesekali Naura mengalami perubahan bahasa tubuh. Biasanya Naura sangat asik dan ceria. Ada apa ini, mungkinkah, rasanya tak mungkin.

Aku pamit dua puluh menit kemudian. Waktu segera senja, dan gelap segera datang. Tak ingin terjebak dalam ambiguitas rasa. Kukatakan pada Naura kalau mi buatannya sangat lezat. Dia tersenyum dan bersembunyi di balik punggung ibunya seperti anak TK yang baru masuk sekolah. Kepalanya saja yang terlihat.

"Aku pulang Ra, jaga ibumu baik-baik."

"Ngaco." Nara tersenyum.

"Terimaksih ya, eh, tunggu sebentar." Naura muncul dari balik punggung ibunya dan berjalan cepat menuju salah satu ruangan. Lalu keluar dengan membawa sesuatu.

"Akhir-akhir ini cuacanya sangat dingin, pakailah sweter ini." Naura mengulurkan sebuah sweter. Seorang putri titanium dari klan bidadari memberikan sebuah hadiah, mimpi apa semalam. Ini bukan mimpi, aku bisa merasakan hembusan nafasku sendiri.

Kupakai langsung sweter itu di hadapan mereka berdua. Menganggukan kepala sejenak.

Kukayuh sepeda kuat-kuat. Orang-orang yang kujumpai pada jalan yang kulalui terlihat tampan dan cantik. Pada sisi jalan seolah muncul aneka macam bunga ditingkahi pelangi yang muncul tanpa aba-aba. Kepalaku terasa melayang berhalusinasi.

Jumat, 21 Februari 2025

19. Senyum Telah Kembali

Persahabatan tak mengenal reuni. Bagi kami reuni adalah cara standar untuk menikmati interval dari tahun-tahun tak bertemu. Itu sah-sah saja, tapi bagiku reuni adalah kekakuan dalam memahami sebuah waktu yang seharusnya berlalu tanpa perlu memanggilnya kembali dalam satu wadah, reuni. Ini seperti memberi instruksi pada teleporter agar berhenti sejenak mengunjungi berbagai dimensi.

Lelah berkeliling melihat kebun kopi sambil berbicara hangat. Kami pergi ke kandang ayam milik ayah yang jaraknya dua puluh menit dari rumahku. Mungkin di sana kami akan menjumpai ayah sedang mengaduk-aduk empan untuk ayam-ayam peliharaannya.

Sampai di kandang ayam. Ia menyambut kami senang. Tangannya terlihat masih basah, ia mengelap dengan celemek bergambar anak ayam gemuk yang terikat di perutnya. Kebun kopi memang belum layak disebut sebagai kebun kopi pada umumnya, begitu juga dengan kandang ayam yang belum layak disebut peternakan dengan jumlah ayam ribuan ekor. Setidaknya kami bisa hidup tanpa tangan di bawah.

"Sudah makan siang."

"Belum yah."

"Kita pulang dan saya buatkan mi ramen untuk kalian. Hidangan penutupnya es kelapa. Lalu setelah itu kita akan nonton kasti, bagaimana?" ucap ayah semangat.

Stadion mini Kaligondang ramai ceria. Para penonton tumpah ruah, mereka dari berbagai kalangan dan usia. Secuil hiburan yang bisa mereka rasakan. Menguarai letih dan penat seharian di sawah, atau bekerja di kota. Sementara pedagang-pedagang kecil berharap dapat sedikit laba untuk memperpanjang harapannya. Setidaknya bisa memastikan beras dan lauk pauk bisa dibeli setelah dagangan mereka laku terjual.

"Kau mau Ben." Serempak kedua tangan Naura dan Kiera mengulurkan gelas plastik berisi berondong.

"Dari tadi saya duduk disini, nggak ada yang nawarin" keluh Ares, bibirnya manyun lima senti.

"Ini Res, buatmu." Ayah memberikan gelas plastik ukuran besar berisi berondong jawa. Ares tersenyum merekah.

"Terimakasih Pak."

"Pertandingan Kasti akan berlangsung lima menit lagi, bagi penonton yang masih diluar dan mimiliki karcis segera masuk." Suara dari operator terdengar merdu.

Setelah memberikan karcis masuk pada salah seorang panitia. Ia terlihat senang berjumpa dengan ayah.

"Pak Marko, apa kabar."

"Baik, kau sendiri."

"Masih siap berpetualang." Panitia itu menjawab bangga, mengandung aroma patriotik. Wajahnya Renegede banget.

"Tulang-tulang saya semakin sulit untuk bergerak, sudah waktunya pensiun." Jawab ayah.

"Legenda hidup Mike Tyson saja naik ring lagi, bagaimana menurutmu Pak?" "Saya paling tahu kondisi fisik saya, jadi kau jangan pancing-pancing soal petualangan itu," kata ayah yang terdengar keberatan.

"Film The Grey 2 mungkin akan dilanjutkan, penonton butuh kepastian, tapi kita bukan penontonkan?" ucap panitia itu.

"Kau benar, saatnya kau yang akan jadi pemain," jawab ayah. Panitia itu seperti tak puas dengan jawaban ayah. Ia pamit sambil sedikit membungkukkan badannya. Rambutnya yang gondrong bergelombang membuatnya tampak sangar sekaligus tampan.

Pertandingan Kasti dimulai.

Para pemain kasti sudah berada di posisinya masing-masing. Bola pertama berhasil dipukul dengan baik dan melambung ke atas. Ibu berlari sprint dan terus berlari melewat pos demi pos. Bola menukik dan berhasil ditangkap oleh lawan. Ritme permainan semakin menarik. Ibu berlari dan dengan gesit menghindari bola yang dilesatkan kearahnya. Ada satu pos terakhir yang harus dilewati oleh ibu. Bola dilesatkan keras. Sasaranya adalah bagian tubuh ibu. Penonton berteriak, bola itu hampir mengenai paha. Tiba-tiba ibu mengerem mendadak. Bola itu mengenai angin. Penonton bertepuk tangan. Lalu ibu kembali berlari menuju homebase. Naura dan Kiera tampak senang. Wajah Kiera yang selalu pucat terlihat bersemu merah lantaran banyak berteriak. Naura juga tersenyum. Ares tak berhenti mengunyah brondong jawa alias popcorn.

Sampai di homebase, Ibu disambut oleh teman-temannya. Mereka berjingkrak-jingkrak gembira. Sejenak melupakan usia. Aku gembira, ibuku kembali kuat. Beberapa kali ibu menghapus jejek air mata. Kedua matanya menyisir para penonton. Ketemu. Ibu melambaikan tangannya ke arah kami.

"Gina!!!, ayo semangat!!!." Ayah berteriak seperti auman singa. Suara kuat dan menggema. Lapangan Kaligondang tak sebesar stadion Gelora Bung Karno. Suara ayah membuat para penonton menengok ke arah kami. Merasa dipanggil namanya, ibu makin sibuk menghapus air mata.

"Ayo semangat bu!" Giliranku berteriak.

"Rupanya disana ada Pak Marko. Legenda hidup dari Kesamen. Ia memberi semangat kepada orang yang disayanginya. Ya, pemain kita telah kembali. Beri tepuk yang meriah untuk pemain legenda kita, Gina Pratiwi!." Suara komentator membakar semangat. Tepuk makin meriah. Pertandingan di lanjutkan.

Ibu telah kembali pulih, begitu juga dengan Kiera. Meski terlihat kurusan. Tetapi senyum mereka telah kembali, membuatku lebih bersemangat. Sampai kapan, aku tak tahu.




Kamis, 20 Februari 2025

18. Buku Harian Kiera


 
Selesai kemotherapi di Rumah Sakit Kanker Fuda, Guangzhou. Kiera dan ayahnya memilih tempat istirahat di kota Bandung. Baginya tempat itu dirasa sangat nyaman. Surga yang selalu dirindukan.

Udara terasa lebih segar. Kiera duduk di kursi roda, ayahnya mendorongnya dari belakang. Keduanya berhenti pada satu gerbang besar dan mengisi buku tamu, lalu mereka berjalan menuju kotak Donasi. Taman Pustaka bunga Bandung segera menyapa mereka, dengan aneka macam bebungaan sedap dipandang.

"Yah kenapa ibu tak pernah pulang. Apa ia tidak kangen dengan kita," kata Kiera.

"Ayah tidak tahu."

"Apa ada pria lain yang lebih kaya." Kiera tampak sinis.

"Kiera?" ungkap ayahnya sambil mengatupkan kedua rahangnya.

"Ibu sudah memutuskan sebuah ikatan."

"Ikatan dengan ayah mungkin telah terurai, tetapi denganmu, ikatannya tetap menyambung sampai kapanpun.

"Rumah di Jakarta bagaimana Yah."

"Ayah jual, buat persiapan kuliahmu."

"Ayah dengar kau punya teman dekat di sekolah, siapa namanya?"

"Kok ayah tahu?"

"Itu tidak penting?"

"Namanya Beni, biasnya dipanggil Ben. Ia kadang pendiam, ceria, cool, cuek, rambutnya grondong, sedikit jutek, tapi ia cowok yang baik," kata Kiera. "Kau suka," celetuk ayahnya.

Kiera memandang bunga-bunga yang sedang bermekaran. Semilir angin menyapu jilbab yang menutupi kepalanya yang botak.

"Maaf, kau tak nyaman dengan pertanyaan ayah."

Kiera menggelang. Ia kembali memandang taman-taman indah berisi aneka macam bunga-bunga.

"Sosok Beni memberi saya semacam semangat," ucap Kiera. "Apa itu salah, rasa suka hadir begitu saja." Tambahnya

"Kapan-kapan kau ajak ke rumah dong?"

Pak Alex mendorong kursi roda sampai ketengah taman pustaka Bandung hingga kakinya letih melangkah. Memeluk pundak Kiera dengan lembut, seperti sentuhan ketika Kiera baru menginjakkan kakinya di Kota Purbalingga. Tuntutan pekerjaannya membuat Kiera mengikuti kemanapun ia bekerja. Selama di Rembang, Kiera menginap di rumah bibinya.

"Kenapa ayah harus berpisah dengan Ibu sih," Kiera bertanya kembali. Terdengar helaian nafas panjang dari ayahnya.

"Ayah tak pernah meninggalkan ibumu. Mungkin ayah yang jarang memperhatikan Ibumu."

"Soal Ibu kawin lagi apakah itu benar."

"Ayah hanya berharap semoga ibumu menemukan kebahagiannya."

"Saya tak tahu cara berpikir ibu, ia manusia atau monster sih, demi uang ibu tega meninggalkan kita," sewot Kiera.

Keduanya terdiam. Langit tampak bersih, kumpulan awan mengarak-arak. Seputih kapas, membentuk gugusan.

"Ayah tahu nggak kemotherapi nano?"

"Baru dengar, kamu tahu dari mana."

"Naura, teman sekolah."

"Nanti ayah cari tahu."

Malam semakin pekat, Pak Alex duduk di ruang tamu dengan segelas kopi gayo sebagai temannya. Ia tampak serius. Wajahnya datar. Ia terlihat sedang membaca sebuah artikel di ruang tamu. Kedua matanya menubruk kalimat yang mulai menganggu pikirannya.

"Kemoterapi nano adalah salah satu terapi minim resiko dalam pengobatan kanker. Konsentrasi partikel nano dalam waktu lebih lama meningkatkan tekanan darah di jaringan kanker. Akibatanya, aliran darah yang keluar-masuk tumor pun terhenti. Karena tak mendapatkan asupan makanan yang diantar darah, perlahan sel kanker mongering. Setelah itu barulah butiran nano pecah, obat tertahan selamanya dalam jaringan tumor."

Pak Alex menutup majalah yang dipesan dari salah seorang teman. Ia menyeruput kopinya yang tak lagi mengepulkan asap. Tangan kanannya menjambak-jambak rambutnya tanpa menyakitinya. Ia meletakkan majalah tersebuat pada rak yang kosong. Ia melangkah masuk dan menutup pintu rumah serta menyelotnya.

Kiera tertidur sambil memeluk buku hariannya. Ayahmu mengambilnya hati-hati meletakannya diatas meja kecil. Ia mengambil selimut dan menghamparkan sampai sebatas leher. 

Ia kembali duduk di luar. Bandung sedang nyenyak diselimuti kabut tipis yang pelan-pelan bertengger dipucuk-pucuk pohon. 

Ia mengati buku harian putrinya, sampulnya berwarna merah muda. Lalu ia membukanya. 

***-Untuk Beni-***

Ayahnya tersenyum membaca judulnya. Beberapa lembar foto ada didalamnya. Ia mengambil foto-foto itu. Melihatnya. Dan ia mengucek matanya berkali-kali. Ia pun mulai membaca halaman demi halaman. Ia terlihat semakin sering mengucek matanya. Kalau mau tahu, itu sangat merepotkan. Karena menghapus jejak itu lebih sulit dari pada membuat jalan setapak. 


Rabu, 19 Februari 2025

17. Sisi Lain

Hujan kembali turun. Ia menemani kami yang tengah menekuri soal-soal ulangan tengah semester. Kelasnya dicampur antara kelas satu, dua, dan tiga. Siapa dapat siapa, kami senang mendapatkan teman duduk yang tak terduga. Tujuannya mungkin supaya saling kenal, tapi bagi para penganut paham moduisme, mereka sangat menanti-nantikan kegitan UTS yang menggetarkan itu. Cara apapun mereka keluarkan, salah satunya pura-pura membantu adik kelasnya, padahal tong kosong nyaring bunyinya, otak kosong garing bulshitnya, itu tulisan di kaosnya Eka Kurniawan.  

Aku tak terlalu pintar, bodoh kadang-kadang, jadi tak begitu pengaruh soal duduk dengan adik kelas manapun. Aku pantang mencontek. Ia adalah aib, mengandung pamali, dan bukan sifat seorang ksatria, begitu kata guru agama yang tak mau lepas dari ingatanku.

Dua pengawas dari sekolah lain sedang duduk di depan kelas. Mereka terlihat muda, salah satunya terlihat gelisah. Ia kerap mengelap wajahnya dengan kacu yang diambilnya dari saku belakang. Mukanya terlihat pucat dan bekeringat. Mungkin lambungnya berulah. Sedangkan satunya lagi, enak-enakan ngudud (merokok) sambil terus mengawasi kami. Aku semakin bingung, kita para murid lelaki dilarang keras merokok, tetapi sebagian guru merokok seenaknya tanpa memperdulikan perasaan kami.

"Heh, fokus saja, jangan ngeliatin bapak begitu, mau ngrokok juga!" 

"Nggak Pak!" kataku, kaget. Jantungku makin blingsatan.

Dulu ketika aku masih MI, mendengar: guru digugu dan ditiru, guru kencing berdiri murid kencing berlari. Sekarang mungkin semboyan itu makin bergeser saja ke arah yang makin mengenaskan. Bisa saja semboyannya berubah makin kejam saja, singkat dan membunuh. Guru kencing berdiri, murid kencingin guru. Pengetahuanku sangat rendah waktu itu, jadi aku tak tahu masalah etika ini, siapa yang memulai dan dan siapa yang akan mengakhiri. Aku juga tak tahulah, macam mana.

"Kau tahu yang duduk tak jauh dari sampingmu adalah seorang vokalis. Suaranya mirip Duta SOS." Kataku pelan pada kiera. Setelah bosan mengamati para pengawas dari dua puluh menit yang lalu.

"Yang mana Kak," tanyanya penasaran.

"Rambut lurus, belah tengah, jam tangan di kanan, lengan bajunya digulung, dan ada bekas luka bakar di pipinya."

"Oh, kalau tidak ada luka bakar, ia pasti sangat tampan," ujar Kiera.

"Ia cowok yang jarang bicara, berbeda sekali ketika ia sedang manggung. Ia salah satu korban konflik perang yang terus berlangsung sampai sekarang."

"Oh kasihan, namanya siapa kak."

"Maleo, bersama bandnya mereka sering mencari donasi buat panti asuhan yang mereka tinggali," ucapku berbisik, pengawas itu makin tak enak dipandang.

"Heh kalian berdua, sudah selesai belum!" kata salah seorang pengawas. Satu pengawas lainnya sibuk mengedarkan berkas untuk ditanda tangani.

"Mereka punya konser setiap akhir bulan di Alun-Alun Purbalingga," ucapku lebih pelan lagi.

"Kakak mau nonton?" tanya Kiera.

Aku mengangguk saja.

Lewat kode rahasia. Ares minta 'pertolongan'. Ku tuliskan beberapa jawaban kepada Ares. Aku memang tak pandai dalam soal hitung, tetapi soal bantu membantu aku tak ingin ketinggalan. Dengan sangat hati-hati ku lemparkan bola kertas ke padanya.

"Yang sudah selesai boleh di kumpulkan, tak perlu lama-lama, kayak jawabannya benar aja." Kata salah seorang pengawas berbibir hitam itu.

Hujan berhenti mendadak, senyap, adem, dan terdengar ritual menetes. Burung-burung gereja mulai keluar dari peraduan. Mencari makanan untuk menyambung pahala dan ketaatan.

"Duluan Ki," kataku.

"Ok kak, saya juga sudah selesai."

Aku berdiri dan berjalan keluar kelas. Wajah Ares terlihat murka. Ia telah membuka kertas contekan yang kuberikan beberapa menit yang lalu. Bukan jawaban seperti yang ia harapkan. Tetapi, sebuah tulisan: kerjakan sendiri, aku juga nggak tahu jawabannya. Tangannya mengepal, kedua matanya melotot. Suara tawaku mengkerdilkan niat busuk Ares yang terselubung.

"Hei, kamu bisa diam tidak!" teriak sang pengawas sambil melempar puntung rokok kearahku. Segera kupergi dari hadapannya. Dari balik jendela, kulihat Ares menjulurkan lidahnya dan tertawa tanpa suara. Baru berjalan beberapa langkah. Karma itu sudah menyergapku. Naura menyusul keluar dan duduk bersama beberapa teman-temannya. Mirip segerombolan burung yang berlindung dari tetes-tetes hujan. Ada yang terasa menusuk dadaku. Aneh, rasanya sakit dan perih. Cemburukah. Kulihat junior italia ganteng itu terus mencoba menawarkan makanan. Segera kutertawakan diriku sendiri. Siapa aku ini, jangan terlalu percaya diri, nggak baik.

"Kenapa kak, cemburu ya?" tanya Kiera.

Aku tak menjawab. Aku tak mau menambah beban moral yang sedang ku perbaiki. Kiera bak pemburu berita, kepo banget. Anak baru in, kadang-kadang merepotkan juga.

"Mau kemana, ikut kak."

Aku mencoba menatap Naura, mencari sebuah jawaban. Kiera mengekor di belakangku. Ada hembusan keegoisan. Hanya sesaat, Naura kembali sibuk makan coklat bersama dengan teman-temannya, jaraknya masih sopan. Kira-kira dua kali orang dewasa bersin, namaku dipanggil.

"Ben, mau kemana, ikutan dong!?" Ia berlari-lari kecil menghindari terkaman gerimis. Meninggalkan beberapa teman cowok yang salah langkah. Tatapan mereka membuat seperti genangan air. Junior ganteng Italia itu mengunyah makanan yang ditawarkan ke Naura dengan cepat-cepat. Tatapannya tak pernah lepas ke arahku, ia seperti seorang sniper.

Ini sisi lain, yang tak bisa kucegah. Sampai kapan, aku tidak tahu. Kutatap junior Italia ganteng itu. Ketika ia balik menatapku aku buru-buru mengalihkan pandangan. Berjalan ke arah kantin, membeli beberapa gorengan. 

Baru lima langkah bahuku dicengkram, reflek kumenoleh. Sebuah pukulan cepat tak sempat kumengindar mendarat di atas pelipis. Buk!, aku terhuyung-huyung kebelakang. 

"Kak Ben!" Teriak Kiera yang sudah berjalan duluan. 

"Jangan Sok Ganteng Ya, anak kere!" teriak Junior itu. 

Pikiranku agak kacau, pukulannya keras banget. Detak jangtungku tak karuan. Darahku mengucur merembes ke pakaianku. Kuraba, ada kulit yang robek, dan darah itu begitu kental dan kulihat telapak tanganku penuh darah. 

Aku tak sempat membalas junior itu, yang wajahnya semerah kepiting rebus. Pikiranku melambung pada peristiwa mengerikan, darah ini warnanya sama seperti darah yang muncrat dari batok kepala kakaknya Intan. 

"Maksudnya apa!," Teriak Noura. 

"Kenapa kau belain dia Ra, dia cuman anak kere, pulang pergi naik angkot!"

"Itu urusanku, mulai detik ini jangan pernah memanggil namaku!" 

Situasi makin kacau, ketika ia ingin memukulku kembali. Ares muncul dari kelas dan mencengkram tubuhnya. Dan aku memilih pergi bersama Noura dan Kiera untuk mengobati lukaku di UKS. Guru pengawas menertibkan mereka. 


"Kenapa kau tak melawan Ben," tanya Noura. 

"Tak sempat, pukulannya keras banget, kayak sabet ekor ikan pari." 

"Darah, nggak berhenti-henti kak, ini nggak baik kak," katanya, ia lalu lari ke arah kantor. 

"Ia cemburu sama kamu Ben," ucap Noura, sambil tangannya terus menekan lukaku. 

"Harusnya ia lebih cerdas mendekatimu." 

Noura tertawa kecil. 

"Ia tak lebih dari anak kecil yang terus merengek minta mainan." katanya. Ketika kulirik seluruh bajuku sudah memerah. Pakaian Noura ikut memerah. 

Kiera datang bersama guru yang bisa bertugas di UKS. Dan kepalaku makin terasa pusing. Ini sisi lain yang kuterima sebagi resiko, jika dekat-dekat dengan mereka. 

"Kau perlu ke dokter Ben?" nasihat guru penunggu klinik. 


Selasa, 18 Februari 2025

16. Suasana


Suasana dalam kotak samurai (Bus)tenang seperti kakus. Ini senin pagi yang kelabu. Hujan deras turun sejak malam. Subuh baru reda. Pedagang keliling yang biasa ku lihat, belum nampak satupun, mungkin masih meringkuk dalam sarungnya.

"Hai kak Ben," sapa Kiera, ia sudah tersenyum indah sepagi ini. Aku merasa tak nyaman ketika beberapa cowok di bus ini ikut menatap kami. Mungkin mereka para veteran korban cinta sebelah tangan. Beberapa dari terdengar berbisik, mungkin menyumpahi kami atau malah mendoakan kami.

"Hai Ki," Ku balas sapaannya.

Suasana tenang dalam bus berubah gaduh. Anak-anak STM dari desa Kembaran wetan naik bergerombol. Beberapa dari meraka kukenal. Satu sisi mereka bagai perisai dari tatapan cowok yang terasa dengkinya, sisi lain mereka berisik sekali. Keadaan ini menguntungkan, seperti mendapat bala bantuan. Anak-anak STM itu tak pernah membahas soal uban di kepalaku, ataupun nilai akademik. Mereka cukup peduli dengan teman yang di kenalnya, meski tak begitu dekat.

"Di sampingmu siapa, gebetan baru ya," tambahnya.

Aku tersenyum saja. Mau menjawab apa.

"Hei, nama kamu siapa," kata si Jeger.

Tiba-tiba Kiera memakai masker bergambar Doraemon. "Maaf saya mengantuk, saya mau tidur dulu, kau cari kenalan lain saja," jawab Kiera, aku tak mengira ia akan memberikan respon yang sama sekali tak lazim.

Anak STM itu kembali ke gengnya, tertawa tidak jelas dan syukurlah sampai sekarang mereka tetap tak mengusikku. Lalu mereka tampak kikuk sendiri setelah sang Jeger agak ganjil sikapnya.

"Mereka temanmu?" tanya Kiera.

"Ya."

"Dulu, kakak saya juga pernah berseragam STM. Tapi, ayah tak setuju. Lalu, terjadilah pertengkaran sengit diantara mereka. Hingga pada satu malam kakak kabur menuju bandara, menyusul bibinya di Jepang, sampai sekarang saya belum bertemu lagi."

"Kenapa ayahmu tak setuju?"

"Kata ayah, seorang perempuan tak pantas sekolah di STM, nanti jadi anak liar, dan bla-bla, dua-duanya tak ada yang mengalah."

Kami hening sejenak. Menikmati sisa hujan yang menyisakan gerimis kecil. Bus berjalan pelan, mungkin sekitar 20-40 km/jam. Kami memasuki desa Kalikajar, atau orang menyebutnya Trenggiling.

"Kak?"

"Ya."

"Kau percaya kematian."

"Tentu, ia bagian hidup yang tak bisa ditawar."

"Apa ada bagian takdir yang bisa diubah oleh manusia."

"Orang-orang yang tak sempurna fisiknya, tapi ia tidak menyerah. Mereka adalah para pengubah takdirnya sendiri. Para pemain basket dengan kursi rodanya, pendaki gunung dengan satu kaki palsu, para pelukis dengan jari jari kaki, dan ada jutaan orang yang menolak patah dan melawan takdirnya sendiri, hingga mereka dapat mensyukuri kehidupan dengan cara mereka sendiri."

Kiera bercerita kalau kankernya sudah stadium empat. Harus bolak-balik Purbalingga-Bandung untuk kemotherapi, menghajar sel "brengsek" yang terus menggerogoti sel beradab lainnya.

"Ini kemo yang ke tiga," ucapnya.

Aku terdiam lagi.

"Di panti jompo aku punya sahabat, namanya nenek Beky. Aku senang mendengarkan ia bercerita, tentang masa lalunya, buku-buku yang ia baca, dan juga kehidupan pribadinya." Kucoba alihkan suasana.

"Seperti apa nenek Beky itu" ujarnya

"Penuh teka-teki?"

Ia tersenyum.

Bus berhenti di Pasar Badhog Center. Aku turun, Kiera ikut turun.

"Kenapa kau ikut turun."

"Jalanan ini bukan milikmu."

Kami berbicara sepanjang trotoar. Udara sangat dingin. Ketika berbicara mulut kami mengepulkan asap. Pembicaraan kami sejenak terhenti. Hujan kembali turun sangat deras. Kami berdua terpaksa berlindung di emperan toko mainan. Kulihat gadis berkerudung dan berseragam yang sama dengan kami. Ia tengah menunggu seorang kasir.

"Kak Ben, itu Naura, sedang apa ia pagi-pagi begini," Ujar Kiera.

"Nggak tahu."

Kami harus merapatkan diri ke dinding kaca. Naura keluar dari Toko mainan dan berdiri di samping Kiera. Tatapannya dingin penuh selidik. Hujan telah menyita lima puluh persen kecerdasan rasa. Kugulung celana sampai dibawah lutut untuk agar tetap kering.

Sesaat kami beradu pandang. Aku diam membisu seperti terkena jab dari atlit MMA. Aku berdiri diantara dua putri titanium dari klan bidadari sekaligus. Syukurlah, itu hanya sebentar.

"Sejak ada kamu di sekolah, para perempuan di sekolah mulai kebat-kebit loh, mungkin takut diputusin sama kekasihnya. Para cowok mulai oleng kepalanya, kerap menoleh setiap melihatmu. Mungkin hanya Beni yang berleher beton, tak ingin menoleh ke arah manapun," kata Naura.

"Mungkin kita punya selera yang sama ya kak." Kata Kiera.

Jantungku berdegup keras. Gadis Jakarta ini memiliki keberaniaan untuk mengungkapkan sesuatu.

"Bisa jadi," ucapa Naura enteng.

Hujan mulai reda. Tak bebas rasanya terjebak dalam ambiguitas. Aku mencoba bertahan dalam kenyamanan yang tidak biasa. Aku mencoba mengais-ngais kata-kata yang bisa menghilangkan kecanggungan kami bertiga.

Rintik-rintik gerimis menjalar semua sisi, menimbulkan rasa dingin yang nyaman. Kesempatan ini tak bisa ku abaikan. Tatapan mata Naura sontak berubah menjadi dingin. Rasa yang kutumbuhkan untuk "menyayanginya" perlahan ku tekan sampai batas akhir kekuatanku. Meski harus kubayar nantinya dengan kekosongan yag terus menerus menghantui. Maunya apa gadis ini?.

Kami bertiga berjalan beriringan.