18
Malam ini hujan turun deras menghujam ke bumi. Aku sulit memejamkan mata, pikiranku terus tertuju kepada Nara. Aku sengaja ingin tidur lebih awal dan tidak gabung makan malam bersama kedua adikku. Aku tidak bisa membayangkan Nara yang tergolek sendirian tanpa teman dan makanan yang cukup, suasana dingin akibat hujan itu tak bisa memadamkan kegundahanku.
Di balik hujan yang deras di luar sana seorang gadis bernama Farah Amalia sedang meneroboas hujan dengan senter di tangannya. Dengan memakai payung ia menapaki jalanan yang becek dan berlumpur, malam ini hujan turun dengan deras mengguyur desa Kesamen yang damai.
Hatinya sedang gundah gelisah mendengar laki-laki pujaannya akan nikah pekan depan, “apakah Ibu Kinarsih sedang buta mata hatinya hingga ia tega membiarkan diriku dalam keputusa asaan karena tak di anggap sama sekali”. Gerutu Farah dalam Hati sambil terus berjalan menuju rumah Marko.
Farah sengaja tak memakai sendal, karena menurutnya akan mengambat perjalanan. Ia membiarkan kakinya bermain dengan lumpur yang original jauh dari polusi. Hatinya sedang dongkol bukan main, merasa tersisihkan dari persaingan, atau kalah sebelum perang. Tapi di saat itu juga, bibirnya yang tipis menyunggikan senyum kelicikan yang mendarah daging. Sejarah mencatat bahwa orang-orang yang hatinya di penuhi dengan dendam kesumat tidak akan membiarkan orang baik hidup dalam ketenangan dan kedamaian.
Sampai saat ini perjuangan untuk mendapatkan cinta dari Marko belum terkabul. Tapi Farah menolak patah, sebelum janur kuning melengkung ia masih bisa mendapatkan cinta Marko. Sudah puluhan kali Farah menyatakan perasaannya kepada Marko, tapi di saat itu pula hanya penolakan yang menyakitkan yang ia dapatkan. Malam ini adalah titik jenuh di mana rasa sakit hatinya sudah memuncak karena ambisi pribadi belum tercapai, menaklukkan hati Marko.
Malam ini hujan turun deras menghujam ke bumi. Aku sulit memejamkan mata, pikiranku terus tertuju kepada Nara. Aku sengaja ingin tidur lebih awal dan tidak gabung makan malam bersama kedua adikku. Aku tidak bisa membayangkan Nara yang tergolek sendirian tanpa teman dan makanan yang cukup, suasana dingin akibat hujan itu tak bisa memadamkan kegundahanku.
Di balik hujan yang deras di luar sana seorang gadis bernama Farah Amalia sedang meneroboas hujan dengan senter di tangannya. Dengan memakai payung ia menapaki jalanan yang becek dan berlumpur, malam ini hujan turun dengan deras mengguyur desa Kesamen yang damai.
Hatinya sedang gundah gelisah mendengar laki-laki pujaannya akan nikah pekan depan, “apakah Ibu Kinarsih sedang buta mata hatinya hingga ia tega membiarkan diriku dalam keputusa asaan karena tak di anggap sama sekali”. Gerutu Farah dalam Hati sambil terus berjalan menuju rumah Marko.
Farah sengaja tak memakai sendal, karena menurutnya akan mengambat perjalanan. Ia membiarkan kakinya bermain dengan lumpur yang original jauh dari polusi. Hatinya sedang dongkol bukan main, merasa tersisihkan dari persaingan, atau kalah sebelum perang. Tapi di saat itu juga, bibirnya yang tipis menyunggikan senyum kelicikan yang mendarah daging. Sejarah mencatat bahwa orang-orang yang hatinya di penuhi dengan dendam kesumat tidak akan membiarkan orang baik hidup dalam ketenangan dan kedamaian.
Sampai saat ini perjuangan untuk mendapatkan cinta dari Marko belum terkabul. Tapi Farah menolak patah, sebelum janur kuning melengkung ia masih bisa mendapatkan cinta Marko. Sudah puluhan kali Farah menyatakan perasaannya kepada Marko, tapi di saat itu pula hanya penolakan yang menyakitkan yang ia dapatkan. Malam ini adalah titik jenuh di mana rasa sakit hatinya sudah memuncak karena ambisi pribadi belum tercapai, menaklukkan hati Marko.