Selasa, 09 Desember 2014

GADIS MERAH SAGA

15


Keringat membanjiri tubuhku yang tengah mencangkul kebun milik salah seorang tetanggaku di ujung Desa Kesamen. Kebun yang akan di tanami pohon Singkong letaknya 2 Kilo meter dari rumahku. Setelah tidak ada kabar tentang proyek yang ada di desa Kalimanah, Aku melakukan aktivitas apapun untuk bisa membantu keuangan Ibuku. Tak pernah Aku pilah-pilih dengan pekerjaan yang akan di tanganinya. Bila hasil yang di peroleh berstatus halal dan Thoyib, Aku akan bekerja dengan ke sungguhan hati. Ah, Aku hanya bersyukur karena bisa mengurangi beban Ibuku yang sudah tak bersuami lagi. Dengan pekerjaanku yang sekarang ini aku berharap dapat mengurangi kegelisahan Ibu yang akan melihat putranya melangsungkan pernikahan dengan beban biaya cukup banyak.

Matahari sudah tepat berada di ubun-ubun kepalaku yang berambut tebal. Aku bersyukur di beri kelebihan rambut mirip Jacky Chan sehingga terik matahari yang memanggang kepalaku bisa berkurang rasanya. Walapun aku sudah memakai Topi sebagai pelindung kepala, tetapi panasnya masih terasa di ubun-ubun kepalaku.

Aku membuat Gubuk lebar sebagai tempat berteduh. Di samping sebagai tempat untuk Sholat. Karena jarak Masjid dari kebun termasuk jauh. Kira-kira satu jam pulang pergi.

Siang makin terik. Ku putuskan untuk beristirahat sambil menikmati singkong rebus yang ku bawa dari rumah. Rasanya nikmat sekali. Teh dingin dari teko menambah rasa nikmat sampai ke ubun-ubun.

“ Mas Marko!.” Sebuah teriakan mengagetkanku yang tengah mengamati kebun habis di cangkul. Aku mencari sumber suara yang sangat ku kenal. Letakku termasuk di lembah yang di kelilingi oleh bukit-bukit kecil dengan semak-semak rendah membuatku mendongak ke atas melihat wujud sang pemanggil.

Aku melihat keatas bukit kecil yang di penuhi oleh pohon Pete Cina, Jambu Monyet dan semak-semak setinggi pinggang orang dewasa.

“ Ada apa Tiky!.” Aku berteriak karena hembusan angin dapat mengaburkan panggilanku.

“ Mba Nara Mas!.” Adikku menyebutkan sebuah nama yang sudah sangat ku kenal dalam sudut hatiku.



Jantungku seperti berpacu mendengar Nama itu, aku berharap tidak terjadi apa-apa dengan calon istriku itu. Aku ingin menghampiri adikku yang tengah beridiri di atas bukit kecil. Tetapi Tiky sudah berlari-lari kecil sambil menjejakkan kakinya kuat-kuat ke tanah yang gembur itu agar tidak terjerembab keatas tanah.

Tiky seperti sedang berlari kecil menghindari sergapan musuh yang ingin melukainya. Dalam jarak yang memungkinkan aku bisa melihat wajahnya. Aku jadi semakin cemas, tak pernah ku jumpai wajah yang cemas dan takut kecuali sedang di marahi oleh Ibunya. Tapi kali wajahnya tampak lebih sedih dan tampak menangis.

Tiky langsung menghambur dalam pelukanku. Hal yang sangat jarang di lakukan olehnya. Aku membiarkannya sejenak, tak lama kemudian aku sudah mendengar tangisan pilu yang tertahan. Aku semakin khawatir, karena akhir-akhir ini dia tampak riang dan ceria seperti biasa.

“ Mba Nara Mas?.” Tiky berkata sambil terus memelukku, bahkan pelukannya makin erat.

“ Ada apa dengan Nara Ky, ceritakan dengan tenang.” Aku coba melepaskan pelukan adikku itu. Aku lihat wajahnya sudah sembah di penuhi air mata kesedihan.

“ Mba Nara tertangkap Polisi”. Sekarang Mas di suruh pulang karena di rumah sudah di tunggu oleh Ibunya Nara.” Tiky bercerita terbata-bata sambil menangis.

“ Astaghfirullah.”

Aku duduk lemas sejenak di dalam gubuk sambil mengingat-ingat pertemuan terakhir dengan Nara.

Melihat aku seperti terkena sihir jahat. Tiky langsung bereaksi cepat. Mungkin ia tak mau melihatku terkena serangan Shock lebih lama lagi.

“Mas Marko, kita pulang saja Mas.” Ajak Tiky yang sedari tadi mematung seperti terkena totokan saraf kaku dan tanpa ekspresi.

Tanpa menunggu lama aku mengikuti perintahnya. Kini aku mendapat berita yang terasa berat untuk ku pecahkan. Aku melihat baju adikku kelihatan basah di bagian punggung, mungkin Ia berlari menuju ketempat ini agar bisa memangkas waktu agar lebih cepat. Keringat juga masih bercucuran di wajahnya. Ia harus sprint sepanjang dua kilo menuju kebun di ujung Desa Kesamen.

Ku buka rantai yang melilit pada roda sepeda ketika sampai di atas bukit. Karena maling sepeda akhir-akhir ini marak terjadi. Ku telusuri jalanan menurun

0 Comments:

Posting Komentar