Rabu, 07 Januari 2015

GADIS MERAH SAGA

18

Malam ini hujan turun deras menghujam ke bumi. Aku sulit memejamkan mata, pikiranku terus tertuju kepada Nara. Aku sengaja ingin tidur lebih awal dan tidak gabung makan malam bersama kedua adikku. Aku tidak bisa membayangkan Nara yang tergolek sendirian tanpa teman dan makanan yang cukup, suasana dingin akibat hujan itu tak bisa memadamkan kegundahanku.

Di balik hujan yang deras di luar sana seorang gadis bernama Farah Amalia sedang meneroboas hujan dengan senter di tangannya. Dengan memakai payung ia menapaki jalanan yang becek dan berlumpur, malam ini hujan turun dengan deras mengguyur desa Kesamen yang damai.

Hatinya sedang gundah gelisah mendengar laki-laki pujaannya akan nikah pekan depan, “apakah Ibu Kinarsih sedang buta mata hatinya hingga ia tega membiarkan diriku dalam keputusa asaan karena tak di anggap sama sekali”. Gerutu Farah dalam Hati sambil terus berjalan menuju rumah Marko.

Farah sengaja tak memakai sendal, karena menurutnya akan mengambat perjalanan. Ia membiarkan kakinya bermain dengan lumpur yang original jauh dari polusi. Hatinya sedang dongkol bukan main, merasa tersisihkan dari persaingan, atau kalah sebelum perang. Tapi di saat itu juga, bibirnya yang tipis menyunggikan senyum kelicikan yang mendarah daging. Sejarah mencatat bahwa orang-orang yang hatinya di penuhi dengan dendam kesumat tidak akan membiarkan orang baik hidup dalam ketenangan dan kedamaian.

Sampai saat ini perjuangan untuk mendapatkan cinta dari Marko belum terkabul. Tapi Farah menolak patah, sebelum janur kuning melengkung ia masih bisa mendapatkan cinta Marko. Sudah puluhan kali Farah menyatakan perasaannya kepada Marko, tapi di saat itu pula hanya penolakan yang menyakitkan yang ia dapatkan. Malam ini adalah titik jenuh di mana rasa sakit hatinya sudah memuncak karena ambisi pribadi belum tercapai, menaklukkan hati Marko.



Setelah melewati jembatan bambu menyeramkan Farah sampai pada sebuah rumah sederhana beratapkan genting dan berdinding bambu. Ia meletakkan payungnya di beranda rumah. Tangannya yang lentik mengetuk pintu bambu beberapa kali. Ia membiarkan sejenak dirinya dalam diam dan membisu.

Sesaat kemudian, Pintu dapur yang terbuat dari bambo itu terbuka. Tiky, putri bungsu Ibu Kinarsih sudah berdiri di depan Farah dengan wajah ceria layaknya anak-anak.

Ada Farah Bu” Tiky berteriak, sambil menoleh ke belakang. Menunggu respon Ibu selanjutnya.

Ibu Kinarsih sudah menjajari Kokom, di depannya berdiri seorang gadis tersenyum dengan sikap sesopan mungkin. Sudut hati Ibu Kinarsih terasa nyeri, tiap kali melihat wajah gadis di depannya. Wajahnya sama persis dengan ibunya yang telah melulunlantakkan perasaan dan semangatnya 10 tahun yang lau. Ibu dari gadis ini telah meracuni suami tercintanya, dan pemimpin di keluarganya. Ya, dia sangat mirip dengan Ibu Mara. Tidak ada yang di buang.” Ibu Kinarsih sejenak merenung.

“ Farah ?, Mari silahkan masuk.” Ibu Kinarsih bersikap wajar.

“ Ya terimaksih bu?,

Begitu melihat wajah Ibu Kinarsih yang sopan kepadanya, membuat Farah ingin sekali membalas rasa sakit hatinya, karena perasaan suka kepada putranya di anggap sebelah mata.

“ Lhoo, kok malah bengong”, Ibu Kinarsih.

Farah tergagap sebentar.

“Mas Marko ada Bu, saya ingin Marko mencicipi masakanku. Kebetulan tadi masak banyak. Siapa tahu Mas Marko suka.” Farah mencoba sesantun mungkin.

“ O begitu, nanti aku panggilkan Marko dulu sebentar. Ky temenin dulu Farahnya ya...,”. Ibu Kinarsih kembali ke dalam menemui Marko.

“ Marko..., ada Farah di depan,” Wajah Ibu Kinarsih agak pucat setiap kedatangan Farah kerumhanya. Seperti membawa mala petaka bagi keluarga dan anak-anaknya.

“ Farah!.” aku agak setengah berteriak kala mendengar sebuah nama di sebut. Aku malas untuk bangun dari tempat tidur.

“ Marko, kamu tahu apa yang harus di lakukan.” Ibu Kinarsih memberi isyarat tertentu kepada Marko.

Marko mengangguk takzim, dan menghampiri Farah yang sedang menunggu di depannya. Sementara Ibu Kinarsih seperti di liputi oleh api di sekelilinnya. Pikirannya cemas dan hatinya begitu gelisah.” Apakah ini sebuah pertanda”. Guman Ibu Kinarsih. Sebuah kondisi yang sama ketika suaminya tiba pulang kerumah dalam kondisi yang menyayat hati.

“ Maaf Farah, Kami sekeluarga habis makan. Jadi mohon maaf sekali tidak bisa menerima pemberian kamu?” Aku menolak halus. Padahal di hatiku ada ketakutan tertentu yang sekarang di rasakan oleh ibunya. Ketakutan itu kini benar-benar di saksikan oleh mata pikirannya. Farah marah karena aku menolak pemberiannya.

0 Comments:

Posting Komentar