Jumat, 05 Desember 2014

GADIS MERAH SAGA

11


Suara Burung Hantu di dekat rumah Ibu Kinarsih terasa lebih menakutkan dari biasanya. Sepertinya burung Hantu tengah kehilangan pasangan hidupnya untuk selama-lamanya. Para pemburu telah membuat Burung itu menjadi Janda sendirian dengan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Entah alasan apa yang membuat para pemburu itu tega menghabisi salah satu burung terunik di dunia, kabarnya untuk obat pereda sakit kepala. Salah satu alasan yang begitu klise dan terkesan di buat-buat.

Induk betina Burung Hantu itu terus menerus mengeluarkan suara. Terdengar suara makin memelas dan menahan kesedihan yang mendalam. Kesedihan itu juga melanda Hati Ibu Baroroh, betapa tidak anak gadis bungsunya tengah berada di balik tahanan yang dingin mencekam sendirian tanpa seorang teman. Ibu mana yang tidak merasakan kesedihan dan ketakutan bila mendapati anak gadis ternyata sedang mendekam di bawah tatapan mata polisi yang bringas.

Ibu Baroroh makin cemas dan takut bila sesuatu yang buruk akan menimpa Nara, putri bungsunya. Firasat seorang Ibu kepada anaknya biasnya tepat dan jujur. Kedua kelopak matanya sudah mulai bengkak akibat tangisan dari hati yang menyayat. Ibu Baroroh mengetahui kabar putrinya yang sedang mendekam di penjara dari seorang polisi baik hati bernama Saryo yang datang setelah Mahgrib dengan salah seorang temannya. Polisi Saryo dengan jelas menceritakan awal penangkapannya itu kepada Ibu Baroroh dengan pembawaan seorang polisi pada umumnya.

Ibu Baroroh sama sekali tak percaya kalau putrinya telah menjadi pengedar uang palsu. “Selama ini Nara hanya memegang uang pecahan lima ratusan dan ribuan, aku tak menjumpai satu lembar uang lembar dua apalagi lima puluh ribu. Apakah dia menyembunyikannya dariku.” Ibu Baroroh berucapa dalam hati.



Setelah mendapat laporan dari salah seorang Polisi yang bertandang ke rumah. Ibu Baroroh menjadi lebih pemurung, apalagi kondisi tubuhnya sedang tidak sehat mengakibatkan Ibu Baroroh banyak berbaring tempat tidur.

Ibu Baroroh meyakini apa yang tengah terjadi pada anaknya adalah korban konspirasi dari seseorang yang tidak suka pada Nara dan segala sifatnya. Tetapi konspirasi itu datang dari siapa. Karena Ibu Baroroh melihat putrinya tak mempunyai musuh sama sekali. Pergaulan dengan teman sebayanya juga baik-baik saja tak pernah parah dalam “ngambek”, paling sehari dua hari Nara dan teman-temannya sudah akrab kembali.

Air mata Ibu Baroroh makin meleleh ketika menengok ke samping dimana biasnya jam segini Nara sudah pulang dari mengaji dan mendekatinya yang sudah duluan berbaring di tempat tidur sambil membaca surat Ar-Rahman. Sebuah surat kesukaan Ibu Baroroh. Tetapi malam ini suara riang dari Nara seakan hilang lenyap tak berbekas. Suara sendal jepitnya pun tak terdengar sama sekali. Keheningan yang begitu tiba-tiba menjadi hati Ibu Baroroh seakan kosong dan hampa penuh kergersangan.

Kedua mata Ibu Baroroh masih terjaga dengan baik, dadanya masih kembang kempis menahan kesedihan yang mendalam. Pelan-pelan Ia bangkit dari tempat tidur untuk membuat kopi pahit sebagai teman di kala sedih dan gundah gulana. Disaat seperti ini ruhnya seakan tercerabut dari badan kasarnya manakala teringat suaminya yang telah mendahuluinya. Kini perasaan itu kembali menjalari sukmanya yang semakin rapuh dan semakin mudah menangis bila rasa sakit itu terus menerus menjakiti sukmanya yang halus dan peka akan keterpurukan di sekitarnya. Ibu Baroroh duduk diatas kasurnya yang lepek di makan waktu, membayangkan kalau ada suaminya sebagai labuhan kegundahan dan kesedihan yang sedang di alaminya. Mengingat kebaikan dan ketulusan suaminya seakan menjadi pelipur lara ketika ke-galau-an perasaan tengah menerpanya.

Ibu Baroroh membetulkan sejenak rambutnya yang mulai di tumbuhi dengan uban-uban. Mengaca sebentar pada cermin yang terdapat di lemari kaca. Lemari kaca ini adalah kenangan terindah dari almarhum suaminya, kedermawanan suami dan ketulusannya telah menyentuh perasaan seorang Lurah yang tengah membangun jembatan di kampungnya bersama para warga. Hingga seorang Lurah itu memberikan sebuah lemari jati dengan cermin kaca yang indah.

“ Rohman, kini rambut Istrimu juga sudah mulai di tumbuhi dengan uban di sana-sini. Bila kamu melihat kamu akan meledekku seperti biasanya.” Guman Ibu Baroroh sendiri di depan cermin.

Suara Burung Hantu di dekat rumah Ibu Kinarsih terasa lebih menakutkan dari biasanya. Sepertinya burung Hantu tengah kehilangan pasangan hidupnya untuk selama-lamanya. Para pemburu telah membuat Burung itu menjadi Janda sendirian dengan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Entah alasan apa yang membuat para pemburu itu tega menghabisi salah satu burung terunik di dunia, kabarnya untuk obat pereda sakit kepala. Salah satu alasan yang begitu klise dan terkesan di buat-buat.
Induk betina Burung Hantu itu terus menerus mengeluarkan suara. Terdengar suara makin memelas dan menahan kesedihan yang mendalam. Kesedihan itu juga melanda Hati Ibu Baroroh, betapa tidak anak gadis bungsunya tengah berada di balik tahanan yang dingin mencekam sendirian tanpa seorang teman. Ibu mana yang tidak merasakan kesedihan dan ketakutan bila mendapati anak gadis ternyata sedang mendekam di bawah tatapan mata polisi yang bringas.

Ibu Baroroh makin cemas dan takut bila sesuatu yang buruk akan menimpa Nara, putri bungsunya. Firasat seorang Ibu kepada anaknya biasnya tepat dan jujur. Kedua kelopak matanya sudah mulai bengkak akibat tangisan dari hati yang menyayat. Ibu Baroroh mengetahui kabar putrinya yang sedang mendekam di penjara dari seorang polisi baik hati bernama Saryo yang datang setelah Mahgrib dengan salah seorang temannya. Polisi Saryo dengan jelas menceritakan awal penangkapannya itu kepada Ibu Baroroh dengan pembawaan seorang polisi pada umumnya.

Ibu Baroroh sama sekali tak percaya kalau putrinya telah menjadi pengedar uang palsu. “Selama ini Nara hanya memegang uang pecahan lima ratusan dan ribuan, aku tak menjumpai satu lembar uang lembar dua apalagi lima puluh ribu. Apakah dia menyembunyikannya dariku.” Ibu Baroroh berucapa dalam hati.

Setelah mendapat laporan dari salah seorang Polisi yang bertandang ke rumah. Ibu Baroroh menjadi lebih pemurung, apalagi kondisi tubuhnya sedang tidak sehat mengakibatkan Ibu Baroroh banyak berbaring tempat tidur.

Ibu Baroroh meyakini apa yang tengah terjadi pada anaknya adalah korban konspirasi dari seseorang yang tidak suka pada Nara dan segala sifatnya. Tetapi konspirasi itu datang dari siapa. Karena Ibu Baroroh melihat putrinya tak mempunyai musuh sama sekali. Pergaulan dengan teman sebayanya juga baik-baik saja tak pernah parah dalam “ngambek”, paling sehari dua hari Nara dan teman-temannya sudah akrab kembali.

Air mata Ibu Baroroh makin meleleh ketika menengok ke samping dimana biasnya jam segini Nara sudah pulang dari mengaji dan mendekatinya yang sudah duluan berbaring di tempat tidur sambil membaca surat Ar-Rahman. Sebuah surat kesukaan Ibu Baroroh. Tetapi malam ini suara riang dari Nara seakan hilang lenyap tak berbekas. Suara sendal jepitnya pun tak terdengar sama sekali. Keheningan yang begitu tiba-tiba menjadi hati Ibu Baroroh seakan kosong dan hampa penuh kergersangan.

Kedua mata Ibu Baroroh masih terjaga dengan baik, dadanya masih kembang kempis menahan kesedihan yang mendalam. Pelan-pelan Ia bangkit dari tempat tidur untuk membuat kopi pahit sebagai teman di kala sedih dan gundah gulana. Disaat seperti ini ruhnya seakan tercerabut dari badan kasarnya manakala teringat suaminya yang telah mendahuluinya. Kini perasaan itu kembali menjalari sukmanya yang semakin rapuh dan semakin mudah menangis bila rasa sakit itu terus menerus menjakiti sukmanya yang halus dan peka akan keterpurukan di sekitarnya. Ibu Baroroh duduk diatas kasurnya yang lepek di makan waktu, membayangkan kalau ada suaminya sebagai labuhan kegundahan dan kesedihan yang sedang di alaminya. Mengingat kebaikan dan ketulusan suaminya seakan menjadi pelipur lara ketika ke-galau-an perasaan tengah menerpanya.

Ibu Baroroh membetulkan sejenak rambutnya yang mulai di tumbuhi dengan uban-uban. Mengaca sebentar pada cermin yang terdapat di lemari kaca. Lemari kaca ini adalah kenangan terindah dari almarhum suaminya, kedermawanan suami dan ketulusannya telah menyentuh perasaan seorang Lurah yang tengah membangun jembatan di kampungnya bersama para warga. Hingga seorang Lurah itu memberikan sebuah lemari jati dengan cermin kaca yang indah.

“ Rohman, kini rambut Istrimu juga sudah mulai di tumbuhi dengan uban di sana-sini. Bila kamu melihat kamu akan meledekku seperti biasanya.” Guman Ibu Baroroh sendiri di depan cermin.

0 Comments:

Posting Komentar