“ Walau Para lelaki seumuran kamu melamar bergantian, cintaku hanya untukmu. Hati ini akan setia sampai detik-detik kematian saya.” Ibu Baroroh kembali berkata sendirian sambil menitikkan air mata. “ Walau Para lelaki seumuran kamu melamar bergantian, cintaku hanya untukmu. Hati ini akan setia sampai detik-detik kematian saya.” Ibu Baroroh kembali berkata sendirian sambil menitikkan air mata.
Sejak kematian Rohman, suaminya. Ibu Baroroh kerap sekali bercermin. Seakan cermin itu adalah sosok dirinya sendiri yang telah hidup jauh sebelum dirinya hidup di dunia ini.
Ibu Baroroh keluar dari kamar dan memperhatikan kamar Gina yang sepi senyap tak ada kehidupan. Ia masuk sebentar dan memandangi isi ruangan kamar Nara yang sederhana tapi tertata rapi. Lampu teplok yang di pasang di dinding ruangan di biarkan menyinari kamar Nara yang hampa.
Ibu Baroroh menutup pintu kamar Nara pelan-pelan, seperti ada yang tercerabut dari hatinya. Diantara ketiga anaknya, Naralah yang paling di sayang olehnya. Perasaan kuat begitu melihat Nara tumbuh dewasa menjadi gadis Ayu yang menjadi incaran kumbang di desanya. Sama kuatnya ketika membayangkan wajah Nara yang ketakutan di bawah sergapan dingin dan kesendirian. Kedua anaknya yang lain, seakan tak mengerti kesedihan Ibunya serta terseok-seok menjalani hidupnya sehari-sehari. Walau bagai manapun hati kecil Ibu Baroroh tetap merindukan kedua anaknya yang merantau di negri orang.
Sebagai pelipur lara dan kesedihan, kedua tangannya sudah sibuk meracik kopi pahit sebagai teman di kala sendirian. Bau khas biji kopi yang di oleh secara tradisional membuat pikiran Ibu Baroroh sedikit terobati. Bau khas kopi yang baru di seduh seakan mempunyai daya magis tersendiri bagi pecinta kopi pahit.