Jumat, 05 Desember 2014

GADIS MERAH SAGA

BAB 6

Memasuki bulan April 1972, hujan mulai sering turun memutus kemarau panjang. Suasana Pubalingga masih lengang di selimuti kabut pagi. Di samping itu langkanya barang BBM menjadikan mobil Pick Up jarang beroperasi, apalagi sampai masuk ke pedesaaan. Kalaupun ada hanya satu dua yang beroperasi dengan biaya sewa yang cukup mahal saat itu. Para pedagang tradisional seperti, pedagang sayuran, barang kelontong, dinding pagar anyaman bambu, kursi panjang dari bahan bambu, kayu bakar, kue putu, es mambo, dan pedagang lainnya lebih memilih jalan kaki ke Pasar untuk menghemat biaya perjalanan.

Suasana pasar pagi Purbalingga terlihat ramai, para pedagang masih setia untuk menunggu para pelanggan yang belum menghampirinya sampai lelah yang akan menghentikan aktivitas sementara mereka. Kondisi pasar tak sebecek bila kondisi cuaca sedang bagus, para pedagang berlindung di bawah pohon-pohon yang rindah sambil menggelar barang dagangannya. Sebagian bertempat di lapak-lapak yang di sediakan oleh Pemda setempat dengan iuran tetap bulanan.

Pukul 05:05 Wib. Di bawah pohon Cery yang sejuk, Nara Wina sedang menunggu para pelanggan yang ingin membeli barang dagangannya. Kali ini Ia berdagang sendirian, tak di temani oleh Bu Kinar.

Hatinya sedang berbunga-bunga pernikahan dengan Marko tinggal menghitung hari. Tepatnya 10 hari lagi peristiwa penting akan menjadi saksi kehidupannya bersama Marko. Segala sesuatu sudah di persiapkan dengan terencana walau sederhana.

Seorang laki-laki berjaket hitam menghampiri Nara yang sedang duduk di atas bangku kecil beralaskan plastik.



“ Mba, beli wajik sama ketan dua bungkus?”

Nara lalu memberikan sebungkus laki-laki . kemudian laki-laki itu memberikan membayarnya dengan Uang yang tampak licin dan baru. Sebenarnya Nara agak curiga dengan uang itu, tetapi tatapan mata lelaki itu seperti mengancam kalau duit yang di berikan adalah asli.

“ Terimakasih Pak,” Nara buru-buru menerima Uang, sebagai pedagang Ia menyadari resiko-resiko seperti akan terjadi pada siapapun termasuk dirinya.

Setelah laki-laki itu pergi, Ia di landa perasaan was-was dan khawatir. Nara tak mau fitnah kembali menghampiri seperti bulan yang lalu. Ia pun tak mau membelanjakan uang itu ke siapapun, cemoohan dari seorang pedagang yang menuduhnya sebagai seorang pengedar uang palsu membuatnya tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Ia sudah cukup menerima kenyataan pahit yang terasa menurunkan harga dirinya sebagai seorang pedagang yang jujur. Al hamdulillah para pelanggan lainnya masih percaya dengannya. Bahkan beberapa pelanggan sempat memberi info kalau sekarang memang sering terjadi pembelian dengan uang palsu oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Nara tak mau ambil resiko, ia memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Semenjak kedatangan pembeli itu hatinya seperti mendapat firasat kalau hal buruk bakal menghampirinya. Nara merenanakan untuk membakar uang tersebut dari pada menjadi malapetaka yang akan menghampiri dirinya juga keluarganya.

0 Comments:

Posting Komentar