Rabu, 26 Maret 2025

Kenapa Guru Di Indonesia Tak di Hormati?

BABAK 17
Ini pertanyaan sulit, yang di dapati sepanjang tulisan ini. Pertanyaan muncul dari seorang tokoh indonesia, yang dirinya telah menempa banyak pendidikan di luar negeri, belajar beragama macam disiplin ilmu. 

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengecilkan profesinya mereka yang memilih sebagai guru, pendidik, pengajar, pembimbing, fasilitator, dan segala turunannya. Mari sejenak duduk sebentar dalam deraian bertumpuknya informasi pekerjaan mendidik, dan 'segudang' administrasi yang sudah jatuh tempo. Agar nantinya bisa mengambil sedikit keterangan dari penjelasan-penjelasan dengan pendekatan pengabdian seorang guru. 

Karena guru mendapati label dirinya dari siswa yang diajarnya. Tak bisa berkutik jika yang menilai adalah siswa yang diajarnya sehari-hari. Mereka bisa melihat cara guru berkata, bertindak, dan ber yang lainnya. Pada level tertentu murid-murid bisa mengetes kemampuan guru karena tiap hari mereka mendengarkan penjelasannya. Pada saat guru tidak memperbaharui infomasi dan bagaimana mengajar, sang guru akan terjebak pada situasi psikologi yang namanya merasa paling benar. Di titik inilah awal mula penghormatan murid terhadap guru mulai dipertanyakan. Di titik lain, guru merasa apa yang telah dilakukan sudah memenuhi standar pengajar kelas. Ditambah kecenderungan menghindari evaluasi pengajaran melalui diskusi-diskusi sederhana di bawah tatapan seorang pakar kurikulum, setidaknya begitu. 

Datang seorang guru di hadapan kelas, memberikan instruksi; buka halaman sekian, kerjakan. Kerjakan dalam artian menyalin seluruh teks yang ada, persis pada halaman buku yang dimaksud. Memasang wajah Innocent, guru tersebut melipir keluar kelas, tak lama kemudian menyalakan 'asap'  sambil memutari gedung sekolah. Isi kepalanya serasa keluar, dan berada di negeri entah. Murid yang secara sadar melihat situasi tersebut merespon dengan caranya sendiri. "Mungkin sedang ada masalah keluarga, mungkin orang tuanya sedang sakit, mungkin sedang memikirkan bagaimana mencari pendapatan tambahan," dan seterusnya. Patut disadari bahwa isi kepala murid sangat acak sesuai latar belakang pola asuh di rumah. 

Judul di atas terlalu bombastis, sengaja? biar kalian bisa memantik diri untuk selalu mengejar ketertinggalan apapun sebagai guru. Memaksudkan agar nantinya arah stigma tidak melulu pada label seorang guru. Lebih dari mereka memiliki segudang tanggung jawab moral, entah sebagai kepala keluarga, masyarakat, bahkan mungkin warga dunia. Sejauh mana mereka memadang, tergantung pada perangkat yang ada di kepala masing-masing. Cukupkah dengan istilah "katak dalam tempurung" bisa jadi tempurung katak mungkin jauh lebih dari yang disangka. 

Evaluasi diri menjadi penyebab label yang melekat pada seorang guru dapat bergeser sedikit demi sedikit, tanpa perlu mengganti jadi diri menjadi platform yang berbeda. Sang guru tetap memenuhi nutrisi otak dan pikirannya dengan isian spesial layaknya martabak lima telor bebek. Terjaga martabat dan juga dirindukan akan kenikmatan isi pikirannya, bukan yang lain. Soal pakaian, aksesoris, sepatu, ia adalah tambahan lain, bukan satu-satunya penyebab murid tiba-tiba mampu melejitkan potensi diri. Dari refleksi pindak ke aksi, dari refleksi pindah pendampingan, dari refleksi pindah ikatan hati, dari refleksi pindah wilayah pendekatan pribadi dilengkapi ketegasan sikap, dan seterusnya. 

Acuh tak acuk alias abai bin cuek bebek pada kelas yang diampunya. Mendapati dirinya memiliki status tertentu yang menyebabkan dirinya tetap mendapatkan haknya meski ia malas-malas mengajar, dan alakadarnya. Sementara ada guru yang tetap mengajar tanpa memperhatikan apakah berlabel atau tidak, si guru menghormati hak-hak siswa untuk tetap mendapatkan pengajaran yang layak, tanpa perlu repot-repot mendapatkan balasan setimpal. Isi kepalanya memberi bukan diberi, isi kepala menghormati bukan di hormati, dan seterusnya. Suatu hari guru mendapatkan kelayakan jenis tertentu itu efek saja, tanpa perlu membusungkan dada apalagi jumawa. 

Banyak peubah yang bisa disajikan di sini. Kalian bisa berpendapat tentang apa saja. Pikir-pikir rehat dulu, beri jeda, biar rada seger, punya sudut pandang lain yang lebih 'menyudutkan'. 

Sampai di sini dulu ya...jika berkenan silakan tulis dikolom komentar. 



Selasa, 25 Maret 2025

Seorang Guru Yang Mengabaikan Bakatnya

BABAK 16
Pada saat usia tertentu dimana manusia menyadari saat itu semua tinggal menghitung kekecewaan. Lalu lahirlah penyesalan yang selalu datang belakangan, mungkinkah itu bisa diputar? Jawabannya ada pada kesanggupan mengelola kesempatan yang selalu datang bertubi-tubi. Second Chance, begitulah orang 'bijak' berucap. 

Manusia menyadari bakatnya di bidang tertentu, setelah lama sekali menyadari baru melatihnya sedemikian kerasnya. Ini membutuhkan gelombang semangat tinggi dan meninggalkan riak-riak keluh kesah. Semuanya dimaksudkan untuk melunturkan kemalasan yang telah bertumpuk mengarat.

Setelah menemukan dirinya berbakat, meski kesadaran dan penemuan jati dirinya melalui orang lain. Itu tak jadi masalah. Ini bagian dari usaha mencari jalan keluar. Tak juga melunturkan jiddiyah untuk memompa usaha secara istimroriyah  (terus menerus).

Bakat juga memerlukan kerja keras, agar tak hilang di telan kerasnya kemalasan. Berbekal bakat saja, bisa menipumu kapan saja. Merasa bisa sejatinya ilusi semata. Orang pontang-panting mengukur diri sejauh mana dirinya benar-benar berbakat.

Menyerahkan kemampuan pada bakat bawaan, sama saja mematikan api pada kayu bakar. Hadir kemudian orang-orang yang memiliki bakat justru mengabaikan tak pernah meresponnya. Karena merasa bisa. Kebiasaan seperti itu akan merenggut hal terbesar darinya, sama saja bakat itu di take over tanpa pernah bisa untuk melawannya. Di sisi lain ada orang-orang yang mampu menghadirkan satu sikap disiplin ketat dibarengi latihan serius dan diakhiri oleh kerja keras, cerdas, juga ikhlas.

Mendiamkan bakat yang ada atas dasar arus kesadaran, dengan alibi bisa memanggilnya kapan saja, sama membiarkan umpan dimakan oleh ikan buruan dengan melepasnya dengan kailnya.

Jika ada pernyataan, "ngapain tahu bakat, kalau nantinya malah mati-matian berusaha." katanya enteng. Pada saat yang bersamaan, ia kehilangan sesuatu yang berharga, yaitu bakatnya sendiri. Keluar dari lingkaran merasa bisa mengerjakan tanpa perlu latihan agar pada masa tertentu tidak menyesal, menyesal yang tak tergantikan.

Seolah-olah bakat itu bisa dipanggil kapan saja dan diperlakukan semena-mena. Alih-alih ia (bakat) dianggap barang antik yang disimpan di tempat terbaik, tanpa pernah melatihnya, lalu digunakan seenak jidat, rasakan saja nanti akibatnya. Ia bisa menghilang kapan saja, tanpa pernah kalian sadari. Mungkin bakat itu akan jadi milik temanmu sendiri, karena bakat merasa sedih telah di sia-siakan terlalu lama. Hingga ia rapuh dan pergi dalam kehidupannya. Temanmu yang merasa prihatin akan disia-siakan sebuah bakat, kemudian mengambil bakat itu, memelihara-merawat-melatih-sedemikan keras. Berhari-hari, betahun-tahun, hingga bakat itu secara tepat nempel pada dirinya dalam kondisi prima siap untuk digunakan kapanpun dan dimanapun. Bakat yang tadinya tidak ada, menjadi ada. Itu akibat dari perlakuanmu yang tertib untuk mengkondisikan sebuah bakat agar tak sia-sia.

Ini pendapat ketika mendengar seorang guru telah menyia-nyiakan bakatnya, sebab malas berusaha. Secara sadar ia telah mematikan api dalam dirinya. Meruntuhkan tekadnya sebagai seorang guru. Pada saat nantinya ia akan menyadarinya cepat atau lambat.

Sebelum bakat mati menjadi hantu  penyesalan, rengkuhlah ia agar tetap  menjadi api semangat untuk terus melatihnya sampai kematian datang menjelang. Jika tidak segera, maka seorang guru bisa kehilangan bakat sampai tak di sadarinya, karena terlalu abai sekian lama. Cekap semanten

Senin, 24 Maret 2025

Titik Awal

BABAK 15
Gadis kecil itu menangis histeris di pos satpam. Ia tak sengaja ditinggal oleh ayah dan ibunya. Ibunya mempercayakan kepada ayahnya. Begitu juga sebaliknya. Yang terjadi kemudian, sebuah tragedi yang menorehkan luka mendalam pada gadis kecil itu. Sebuah luka yang akan diingatnya kuat-kuat.

Pagi yang ceria. Si ibu yang sedang membuat sarapan pagi dikejutkan oleh dering telpon yang menggelagak. Nadanya menantang kenyamanan pagi hari. Berkali-kali minta konfirmasi. Gadis kecil tengah duduk di kursi, tangannya bertumpu pada meja makan. Kedua matanya yang jernih mengamati gerak-gerik ibunya.

Tangan si Ibu gemetar, hampir saja HP nya terjatuh karena udara di kepalanya menipis. Jantungnya berdenyut lebih cepat dari pagi biasanya. Darahnya mengalir sampai ubun-ubun. Keringat dingin mengalahkan cahaya pagi yang menembus sampai sela-sela dapur. Ia letakkan HP di atas meja. Berjalan menatap kompor yang masih menyala. Lalu tangannya sigap mematikan. Api kemudian padam, tetapi panas hatinya tak cepat-cepat pergi dari rongga pikirannya.

"Parkit?, kita ke rumah sakit," ajak Ibunya.

"Siapa yang sakit Bu?, tanya Gadis kecil. Namanya elok sekali.

"Nenek," jawab ibunya.

Segera sang ibu memberi kabar pada suaminya perihal Ibu kandungnya. Sang suami dari balik HPnya berguman tak jelas. Si ibu tahu persis apa yang sedang digumamkannya.

Keduanya bertemu di rumah sakit. Lalu menjenguk layaknya orang-orang. Nenek tampak lemah terbaring di atas kasur bersprei putih.

Tak lama hajat mereka selesai. Keduanya berpamitan.

Sang nenek menggerakan jemarinya yang letih. Bibirnya tampak ingin tersenyum, tapi hanya air mata yang meleleh di pipinya. Gadis Parkit itu mengelap air mata dengan kacu yang selalu ia bawa. Pemberian sang nenek. Ia pun pamit dan mengejar kedua orang tuanya.

Si Ibu mengiyakan ketika gadis Parkit ingin ikut dengan ayahnya. Sementara ayahnya sedang di Toilet menuntaskan hajatnya yang beberapa menit lalu ditunda atau terpaksa ditahan selama mungkin. Tak mengira putrinya mengekor di belakangnya.

Sang ayah keluar dari Toilet. Gadis Parkit menguntitnya dari belakang. Aneh. Sang ayah menganggap Parkit ingin ikut ibunya. Sementara gadis Parkit amat segan kepada ayahnya. Mereka seperti dibatasi oleh tembok yang kokoh. Komunikasi mereka amat miskin. Meski tergolong purba. Komunikasi adalah pilar utama sebuah hubungan.

Gadis Parkit berdiri kaku manakala sang ayah tak menoleh kebelakang sedikitpun. Masuk mobil dan mulai mengendarai mobilnya keluar dari pelataran Rumah Sakit.

Si Ibu sudah sampai TOL dengan kecepatan maksimal. HPnya memekik keras.

"Parkit ada di situ nggak," tanya sang ayah.

"Lho bukannya sama ayah," jawab sang Ibu.

"Jadi di mana sekarang?"

"Kok malah nanya," jawab sang ayah.

"Berarti di rumah sakit?" tanya sang Ibu.

"Udah tahu nanya!" jawab sang ayah.

Mereka putar balik kembali ke Rumah Sakit. Didapatinya Parkit sedang menangis keras berada di pinggir pos satpam sambil tantrum yang sulit terkendali. Hari itu lukanya makin menganga. Kedua matanya menyimpan kesedihan.

Rengkuhan yang hangat. Pelukan yang mendewasakan, dan bisikan yang menumbuhkan kepercayaan diri yang mungkin mampu mengobati lukanya yang menganga. Sebuah luka yang didapati dari orang terdekat akibat jarak terlampau jauh. Yakni komunikasi dari hati ke hati. Sentuhan dari hati mampu mencairkan sebuah kekakuan yang telah mengeras. 

Titik awal inilah yang memangkas jarak sekaligus memberi jeda pada guru untuk bisa menyelami apa isi kepala anak tersebut. Informasi awal tersebut bukan menjadi beban, malahan menjadi modal awal untuk mencari jenis pendampingan apa yang mendekati tepat. 

Saat itulah guru menjadi ujung tombak untuk tumbuh kembang anak di bawah komunikasi terbuka antara orang tua dan walimurid. 

Menyampaikan informasi di awal adalah pintu untuk membuka tabir komunikasi antara murid dengan gurunya. Sejak saat itulah suluh-suluh kepercayaan anak kepada orang dewasa mulai terbangun. Pada saat nantinya, tinggal memberi kepercayaan diri yang besar kepada si anak, dan anak akan siap untuk menghadapi masalah-masalah di luar kendalinya.  Cekap semanten.

Tulisan ini diproduksi 9 Agustus 2020

Minggu, 23 Maret 2025

ZAMAN BURAM

Episode 1
Ia berhenti mengunyah, berjalan ke dapur, menuangkan air dari kerpis dingin musim kemarau. Ia menenggak dalam tiga tegukan besar. Urat tuanya mengimbangi agar tidak tersedak dan sisa-sisanya masuk kedalam paru-paru. Lalu berakhir gundukan tanah dan sepapan kayu nisan. Ia mengusah sisa tumpahan air yang mengalir ke lehernya, ujung kain sibuk mengelap sana-sini. Tanpa melihat pada tempat yang dituju, ia mengambil tusuk yang berbahan lidi kelapa.

Dalam beberapa ayunan, ia sudah duduk di dekat cucunya yang masih hitam putih. Ia mengatakan dengan sadar atau tidak. Cucunya yang sudah duduk mencangkung di pinggir amben. Nenek memperlihatkan senyuman lain. "Kenapa Nek, kok senyum-senyum sendiri."

"Nenek merasa waktu begitu cepat berlalu."

"Bukanya itu biasa terjadi."

"Akan datang satu masa, dimana waktu layaknya air mangalir."

Cucunya sendiri masih duduk manis ditempat yang sama. Menanti lisannya bertutur. Ia penasaran pada cerita nenek yang menggantung. Kemarin geman azan maghrib menyudahi pembicaraan mereka.

Sang sang Nenek mulai batuk kecil tiga kali setengah. Yang setengahnya itu dihitung keempat, suara batuknya terlampau kecil. Bahu cucunya direngkuh pelan. Lorong-lorong waktu membekap isi kepala cucunya, hingga terjeda pada satu hal.

"Lalu?" tanya cucunya.

"Nenek itu, memasak "cucunya" sendiri yang telah di belah menjadi beberapa bagian. Seolah daging olahan yang siap dimasak dalam beberapa bagian menu sesuai selera. Sorenya sang Ibu yang kelaparan membuka lemari kayu beraroma kecoa, mengambil nampan penuh daging goreng yang membangkitkan selera makannya." tutur sang nenek.

"Si nenek jahat itu tidak ketahuan, atau ditangkap polisi."

"Kita pada zaman yang serba buram,orang-orang sibuk dengan dunianya sendiri, nenek saja lupa bagaimana cerita begitu masuk kedalam kepala nenek, lalu sulit sekali hilan, mungkin sampai nenek tiada, menempel pada ingatan terakhir."

"Apa salah cucunya nek?"

"Tidak ada dengan cucunya, yang salah adalah isi kepala sang nenek."

"Kotor atau bagaimana nek?"

"Tidak, seluruh keluarganya tewas ketika dibunuh tentara nipon."

"Kasihan sekali."

"Begitulah perang, menyisakan dendam, kebencian, juga kewarasan."

"Cerita ini nyata nek."

"Nenek tidak tahu, saat nenek muda semua orang tahu kisah ini. Semua orang tua selalu menceritakan dengan macam. Katanya cucunya yang dibunuh itu bayangannya sendiri, entah itu mirip kambing, kuda, sapi, ataupun kerbau."

"Apakah nenek akan begitu suatu saat nanti."

"Saat nenek bertemu tentara jepang, nenek selalu menyimpan kotoran kambing di saku nenek."

"Untuk apa."

"Agar nenek tetap waras, jika tidak tentara jepang itu kehilangan kewarasan."

"Aku jadi bingung nek, nenek punya cerita lain?"

Nenek Marta terkekeh.

"Banyak besok sore nenek kasih cerita lainnya."

"Cerita hantu nenek punya?"

"Nanti kamu tidur minta di temani nenek."

"Aku tidak takut hantu nek, cuman geli."

Azan maghrib berkumandang. Mereka bersiap ke langgar yang berjarak satu kali makan gorengan.

Sabtu, 22 Maret 2025

"Passion" dalam konteks Pendidikan, Kreativitas, dan Bayar Tagihan

BABAK 22
Sebagai guru marilah sejenak renungi dalam-dalam tulisan ini, sebagai salah satu asupan pikiran yang berguna.

Anak-anak yang masuk SD tahun ini akan memasuki usia pensiun sekitar tahun 2069. Tidak ada satu orang pun atau metode apapun yang bisa memastikan hal-hal yang mereka hadapi. Tidak ada yang akan tahu bentuk dan tatanan dunia saat itu. Jangankan puluhan tahun, apa yang akan terjadi lima tahun ke depan saja sudah sangat sulit diprediksi.

Apa yang bisa dilakukan untuk mempersiapkan mereka dan diri kita sendiri menghadapi dominasi ketidakpastian? Apakah segala hal yang kita ketahui, terutama soal pendidikan saat ini sudah cukup memadai? jika tidak, hal apa lagi yang bisa dilakukan?

Logika ini bisa dijadikan landasan oleh Ken Robinson untuk terus mempertanyakan sistem dan cara kerja sebagian besar institusi pendidikan di dunia yang semakin usang. Sistem pendidikan yang merupakan warisan dari revolusi Indrustri ditujukan sepenuhnya untuk mengisi kotak-kotak yang dibutuhkan di dunia indrustri. Celakanya, struktur Indrustri pun sudah berbeda dan semakin berubah sejalan dengan perkembangan teknologi, lingkungan, bisnis, politik, dan interaksi manusia.

Ken Robinson percaya pendidikan lebih dari secarik kertas mahal atau formulasi angka yang tergambar dalam indeks prestasi komulatif (IPK). Kecerdasan tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi. Dengan jenaka, disebutkan oleh Ken Robinson bahwa yang harus dikembangkan bukan cuma isi kepala, atau bahkan hanya separuh dari isi kepala (mengacu pada pendewaan fungsi otak kiri sebagaimana yang dianut oleh sebagain besar institusi pendidikan). Sistem pendidikan harus menyediakan cukup ruang untuk berimajinasi, berksperimen, dan berekspresi.

Pendidikan tulen adalah soal pemberdayaan diri dan orang lain.

Lebih jauh disebutkan oleh Ken Robinson bahwa pendidikan harus lebih dari kuantitas, tetapi juga kualitas. Bukan cuma rutinitas, melainkan terobosan. Tidak hanya program, tetapi juga esensi dan manifestasi ilmu. Education is always about how to think, not what to think. And the how can be as many as the stars in the sky. Gamblang terhadap isu yang satu ini, izinkan saya melengkapinya dari pemahaman atas tulisan dia.

Jadi, harus bagaimana jika passion tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup?

Ken Robinson: Seriously people, what pays you bill is money, not passion! (ini bukan jawaban asli dari beliau, hanya rekaan saya atas respon yang mungkin diberikan oleh Ken Robinson). Passion bukan komoditas sehingga tidak bisa dihargakan sebagaimana layaknya barang dagangan. Membayar tagihan bulanan, cicilan kartu kredit, biaya anak sekolah, dan alokasi investasi harus perlu, dan mutlak menggunakan uang sebagai denominator transaksi yang paling diakui hingga saat ini.

Passion wthout creation is meaningless, nothing! Nah, uang berasal dari kinerja, yang akan sangat keren jika diawali dari passion. Apakah bisa dapat uang tanpa passion? ya, bisa saja, tetapi belum tentu prosesnya mengasyikkan dan sudah pasti tidak maksimal. Mempertanyakan bagaimana jika passion tidak bisa bayar tagihan sama saja bertanya kenapa tamatan SD tidak menghasilkan uang? Kenapa karyawan baru tidak langsung jadi presiden direktur? Kenapa suka politik, tetapi tidak jadi anggota parlemen? Jawabannya, semua dan apapun di kolong langit perlu proses.

Bagaimana mempersiapkan diri dan generasi penerus atas masa depan yang tidak pasti dan penuh tantangan? Ken Robinson percaya jawabannya adalah passion dan kreativitas. Keduanya adalah basis folosofi kehidupan berdaya.

Kenapa passion? Mengikuti arah kehidupan menggunakan passion yang sudah ada dalam diri sendiri adalah hal paling alamiah yang bisa dilakukan seseorang. Mencari passion adalah perjalanan berksinambungan memahami diri sendiri yang butuh kontemplasi, keheningan, dan kesabaran. You are responsible to turn your passion into meaningful creation.

Kenapa kreativitas? Karena ini adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup, bertumbuh, dan terus berkembang. Dunia tida lagi dan tidak akan pernah lagi sama. Perubahan dunia tidak bisa lagi di respon dengan pendekatan berbasis template masa lalu. Minyak bumi akan habis. Krisis pangan. Krisis air bersih. Krisis energi. Kemampuan bumi menyokong semua kehidupan semakin teruji. Peran manusia adalah sebagai pemelihara, penyeimbang, dan penjaga tatanan berkesinambungan.

Passion, kreativitas, dan pendidikan, ketiganya adalah inti pembahasan Ken Robinson dalam Finding Your Element. Seharusnya ini sudah bisa menjawab sebagian besar keraguan, kebingungan dan ketidaktahuan soal satu kata yang secara berulang-ulang disebutkan,"passion".

Uang dan "Passion"

Jika ada satu pembahasan yang mungkin bisa ditambahkan dalam Finding Your Element adalah soal hubungan antara mata pencarian (baca:uang) dan passion. Sebenarnya ini sudah diungkapkan Ken Robinson dalam berbagai contoh dalam buku tersebut. Namun, sekedar untuk memberi jawaban Your passion is alreaday within you-the clues are everywhere your feelings. Passion bisa di definisikan dengan banyak cara. Definisi yang paling tepat untuk saya adalah ini, segala aktivitas yang membuat kita merasa berdaya. Kata kunci pertama adalah "aktivitas". Kata kunci kedua "merasa berdaya", sehingga tidak harus langsung piawai, tetapi prosesnya terasa dimudahkan, diasyikkan, dan diberdayakan.

If You Think your passion does not pay your bill, please ask these questions to your self:

Satu, Apakah saya sudah tahu aktivitas yang membuat diri ini merasa berdaya, mampu, dan tahan banting, dan seterusnya?.

Dua, Apakah saya sudah menekuni aktivitas tersebut sehingga menjadi piawai?.

Tiga, Apakah saya sudah menghasilkan kreasi keren (baca: karya keren yang bermanfaat bagi banyak orang) dari aktivitas tersebut? silakan jawab. Jika semua jawabannya "ya!", saya pastikan uang sudah tidak jadi masalah.

Nah, Anda yang masih mempertanyakan (lagi) kenapa harus tahu, paham, dan peduli passion, selain wajib membaca Finding Your Element, bisa jadi jawabannya sudah disajikan dalam serangkai kalimat indah karya Jalaludin Rumi sekitar 800 tahun lalu berikut ini.

"With passion, we pray

With passion, we make love

With passion, we eat & drink & dance & play

Why look like a dead fish in this ocean of god?"

Sumber: KOMPAS, Jumat, 22 November 2013

Oleh: Rene Suhardono, Penulis dan Pembicara Publik.

@ReneCC

@kompasklass#baca

Sekolah Melahirkan Kekutan Besar

BABAK 14
Sekolah menghadirkan cara-cara terbaik untuk membuat anak-anak berkembang sesuai dengan bakatnya masing-masing. Darinya akan lahir kekuatan besar untuk menjalani hidup yang serba instan serta monoton. Meringkus semua genre kehidupan dalam dimensi yang mereka kuasai. Lalu mereka bisa survive dalam jarak yang bisa mereka rengkuh.

Disisi lain sekolah bukan tempat loundry yang akan mengubah seluruh potensial mereka, lalu mengubur semua jiwa tak lurus dalam satu wadah "anak-anak sempurna", mungkin sempurna adalah kata yang paling 'menjijikan' bagi mereka yang tak sempurna. Karena sempurna tak patut tersemat pada diri kita manusia. Kita terlalu banyak melihat hal-hal yang serba sempurna, padahal banyak yang sempurna tapi tak sempurna.

Sekolah sejati bukan ancaman yang meneror segala keterbatasan pada diri anak, Ia bisa menjadi kawan yang menyenangkan. Seperti mendengar cerita. Cerita itu tidak mengancam pikiran, ia bisa kita nikmati dalam bentuk apapun. Dan cerita yang baik adalah cerita yang mampu memikat pikiran. Pencerita yang cukup baika (good enough), selayaknya menempel pada diri seorang guru, agar api tekad seorang guru dapat menyala dan bisa menularkan tekadnya. 

Kita sering menghidangkan segala jenis makanan dalam urutan Tata Boga yang 'menjengkelkan", tapi kenapa terlewat dalam menumbuhkan kembangkan anak pada level yang proporsional. Mungkin kita perlu jurus maut untuk menghadapi anak-anak yang bukan zaman kita lagi.

Kehangatan komunikasi, cinta yang tulus, dan motivasi yang abadi bisa memutus mata rantai keheningan, kekosongan, dan kebingungan. Yang sempat mereka jejaki dalam masa-masa tertentu. Hingga mengendap berlarat-larat dalam dimensi yang tidak sempat kita sentuh dan dekap. Lalu menjauhkan mereka dari kerapuhan dan segala turunannya.

Mari kita rengkuh jiwa mereka dengan tatapan yang meyakinkan. Melampaui fungsi algoritma yang membumbung dan rumit.

Ini goresan pena yang mencoba melihat dunia anak dari sudut pandang yang lebih berimbang.

Jumat, 21 Maret 2025

Anak Yang 'Menakutkan' Guru

BABAK 13
Ia melempar meja dan kursi, juga kertas-kertas dari buku yang disobeknya kasar. Kotak-kotak kecil berisi perlengkapan bergulingan, tak beraturan. Map-map berjatuhan. Sebuah lukisan yang dibungkus secara apik berubah remah-remah. Ketika seorang guru masuk, ia membentaknya secara vulgar tanpa segan ataupun tak enak. Pertahanan terbaiknya adalah tantrum sejadi-jadinya. Sebuah benteng yang teramat kokoh lagi sulit ditembus. Kecuali oleh orang-orang yang dipercayainya. Tenaganya menyimpan untuk menyeruduk siapa saja yang berani untuk melumpuhkan tantrumnya. 

"Diam!" bentaknya. Gurunya menatap takjub sekaligus prihatin. Meski hatinya ikut juga mendidih, terapi langit ia gulirkan agar tersungging senyuman kemudian. Telapak tangannya berkeringat. Karbo yang dikunyahnya di pagi hari cepat sekali menguap. Guru yang lain ikut membantunya. Pasukan tambahan, sementara ia mulai menertibakan segala sesuatunya. Anak itu terus saja meronta-ronta, ia menendang dan memukul. Bahkan guru itu pernah dicakar menggunakan kukunya yang tajam, saat ia masih duduk di kelas satu. Sekarang ia sudah kelas dua, tetapi masalah dirinya dan lingkungan sekitar belum bisa diselesaikan dengan caranya sendiri. 

Kami menikmati makan siang dengan rasa tak biasa. Lapar yang tak tergantikan dengan lauk apapun. Sebuah kehambaran yang kerap terjadi, meski tampak sepele tapi hormon tak juga membantu. Kegiatan makan siang seperti melambat. Seperti film yang diperlambat agar frame semakin tajam terulang dengan maksimal. Anggota murid yang kehilangan selera makan, salah satu murid laki-laki yang biasanya makan dalam porsi banyak, di atas piringnya teronggok satu centong nasi saja. 

"Diam!" bentaknya kembali. Teman-teman yang mencoba menghiburnya surut juga nyalinya. Tak berani melakukan hal yang jauh lagi. Pergerakan tampak kaku dan serba kikuk. Mereka kembali fokus untuk menyelesaikan makan siangnya. 

Kami meninggalkannya sejenak untuk memberi ruang privasi. Agar ia bisa meredam emosinya yang terlanjur tak terbendung. Kami menantikannya agak lama sekitar sepuluh menit. Pada menit selanjutya ia bisa meluapkan emosinya, walau tampak belum berdamai dengan isi kepalanya. 

Pada hari-hari berikutnya ia  serba diam ketika meredam situasi yang kurang nyaman baginya. Perkembangan ini cukup menggembirakan. Meski ia tak piawai untuk mempertahannya. Diamnya asal tampak wajar dan proporsioanal, bagi kelas sudah cukup, kami tak ingin melihatnya dalam diam yang menyeramkan.

Perawakannya memang kecil, tapi ia punya kekuatan di atas rata-rata anak sebayanya. Meski baru sembilan tahun, ia memiliki tenaga tambahan yang dikumpulkannya sejak lama. seperti kumpulan tenaga dalam yang dilatihnya bertahun-tahun. Tinggal menunggu momen saja, maka ia bisa mengangkat meja dengan enteng saja. Untuk bisa mengangkat meja tersebut membutuhkan kekuatan dua anak sebaya. 

Sorot matanya terasa menyimpan dendam. Dendam pada orang dewasa di sekelilingnya. Meski tak semua orang dewasa bersikap tak kompromi dan terlihat menakutkan. Setiap ia tantrum, seisi kepalanya berhamburan peristiwa-peristiwa buruk yang datang secara otomatis. Ia kerap hadir untuk memporak-porandakan segala sikap yang pernah dituturkan oleh gurunya.

Guru itu mencoba merengkuh kedua bahunya yang tampak ringkih. Mencoba menawarkan menu makan siang. Tatapannya tampak ragu, tapi sorot sang guru seperti meyakinkan. Ia pun mengangguk, melangkah ke meja makan mengambil piring dan sendok dan mengisi nasi beserta lauk pauk.

Raut wajah yang tampak menakutkan bagi anak-anak yang lain, kini mulai mencair. Tersungging senyuman yang terlihat wajar, tapi ada rasa yang masih disembunyikan. Ia seperti beranjak dari kenyataan satu ke kenyataan yang lain. Ia masih menyimpan rasa sakit yang penawarnya masih misterius. Atau barangkali hanya ia sendiri yang mampu mengobati. Bahkan sekolah bisa jadi menyuburkan "penyakit" dengan perlakuan yang tidak tepat. Bisa jadi sebaliknya. Mungkin manipulasi prilaku. Untuk sementara, anak bisa dibilang cukup 'menakutkan' gurunya. Cekap Semanten.

Tulisan Ini diproduksi 22 Juli 2020

Kamis, 20 Maret 2025

Saat Ruang Kelas Diuji

BABAK 12
Anak perempuan itu memukul-mukul mejanya. Guru di hadapannya tak ia pedulikan. Pijakan lembut tak juga mempan menyentuh gendang telinganya saja. Tak sampai perasaannya. Mungkin membutuh momen untuk membuatnya tenang dengan ketidakmampuannya membaca.

Dengan badannya ia bisa menipu siapa saja. Mungkin pikirannya tak bisa ia tipu. Guru di depannya tak begitu ia anggap sebagai mana mestinya, ini hanya contoh, tak perlu risau.

Mungkin karena ia guru baru, jadi tak ia anggap sama sekali. Ia mungkin menghormati guru lamanya yang telah menundukkan "keliarannya" selama ini. Ia ingin mengintimidasi gurunya, sebagai mana ia sering diintimidasi guru lamanya. Sebuah pikiran yang tampak normal. Sebuah dendam yang tak berkesudahan, tapi mungkin terlalu berlebihan.

Semua cerita bisa berawal dari mana saja. Ini hanya cerita, kalian senang dan tertarik, itu biasa. Menganggapnya luar biasa, karena sekolah bukan tempat mencuci segala kebodohan, itu juga biasa. Karena kadang menganggap yang biasa itu tak biasa. Mungkin sekolah hanya menempa, bukan mencipta, biarkan anak-anak berkembang mengasah bakatnya. Kalaupun tak ditemukan bakat apa-apa. Justru itu yang barangkali luar biasa. Karena ia berjalan tanpa memakai selendang kesombongan. Di saat teman-teman yang dulunya berbakat, ia bersedih karena menemukan temannya meringkuk di balik jeruji besi. Atau ia tetap rendah hati, kepada temannya yang berbakat apa saja.

Perjalanan ini baru saja di mulai...

Memasang wajah cemberut di kelas adalah salah satu jurus ampuh yang di pakai anak-anak ketika ia belum bisa meregulasi emosinya. Ia bahkan bisa menjadi super duper ganas pada beberapa kesempatan bila orang dewasa di sekitar terasa menyebalkan.

Cobalah untuk tidak menyapa terlebih dahulu pada anak-anak yang belum percaya pada orang dewasa di dekatnya, itu akan jadi perkara yang membuatnya menjadi lebih sulit untuk mengendalikan diri sendiri.

Perhatikan hari-hari berikutnya apakah tetap pada pendirian bahwa ruang kelas adalah kotak berbahaya yang harus ia hindari dan jangan lupa tengadahkan di penghujung malam pada pemilik alam semesta ini agar bisa mengubah perangai, lalu beralih pada pemahaman dasar tentang kepercayaan pada orang dewasa sekitar. Itu bisa jadi peluang padanya bahwa ada banyak orang dewasa yang bisa dijadikan panutan dan tempat untuk memberikan kepercayaan yang ia jaga selama ini. Dengan catatan semuanya bermuara pada edukasi dan pengoyoman bukan pada didaktis dan intervensi. Cekap semanten. 

Tulisan ini diproduksi 16 Agustus 2022

Rabu, 19 Maret 2025

Berpikir Tingkat Rendah

BABAK 11
Seorang guru tengah duduk di gelanggang terbuka. Kepalanya menunduk seperti berzikir. Anda keliru, ia sedang memandangi setan gepeng yang digenggam dengan mesra. Ia telah "berhianat" pada apa yang telah dicita-citakan oleh guru bangsa. "hargai murid, maka kau akan melihat mata yang indah pada mereka". Bahkan ia tengah menyusun rencana untuk gabung dalam dunia Phubbing alias pelan-pelan menjadi anti sosial. Pada kondisi tertentu ia telah mangkir dan mulai menolak Ki sebagai guru, menganggapnya sebagai lelucon belaka. Cilaka 12. 

Ia mendongak sekilas ketika seorang senopati sekolah lewat tak jauh dari tempat duduknya. Mengangguk sejenak, lalu kembali tenggelam pada dunia 'konohagakure' desa tersembunyi di balik lebatnya dedaunan. Kalian mesti jeli, ia sedang tidak mampir di konoha, tetapi sembunyi di balik kesalahan yang diakumulasikan dalam tindakan yang menurutnya benar. Lalu enteng saja kembali mengajar dengan melepas baju evaluasi, atas dirinya, tanggung jawabnya, sekaligus penhianatan terhadap profesinya.

Ia tengah menyempitkan dan mengkebiri hak anak, yaitu pendampingan. Dengan masuk ke dalam dunia setan gepeng, kalian merasa telah salah dengan sebenar-benarnya kesalahan. Seperti Musalaimah Alkazab, seorang pembohong yang kebohongannya tidak ia kenali melalui akalnya sendiri. Mau kalian akan jadi seperti itu?, Zombi saja jujur dengan apa yang mereka kerjakan, jarang sekali merekayasa eS O Pe yang mereka dapat. Gigit mereka dan sebarkan virus. Tetapi kalian begitu asik masuk main setan gepeng di tengah pembelajaran atau jelang pembelajaran, apakah kalian lebih mulia dari zombi. Mungkin kalian perlu melihat film Train To Busan, agar sedikit belajar dari para zombi. 

"Ah, Anda sebagai guru juga tak perlu begitu saklek dengan urusan orang lain." begitu ucapnya, manakala satu nasihat mampir ditelinga kanannya, lalu tak sempat mengendap di logikanya. 

Tak bermaksud seperti itu, jangan tersinggung. Jika kalian mudah sekali untuk mengabaikan yang penting. Yang telah telah di SK kan maka kalian akan mudah untuk menjadi jamur ketika yang lain tengah berlomba-lomba menjadi mutiara.

Kalau urusan hanya menyangkut anda sendiri. Tak ada orang yang dirugikan, tak jadi soal. Titik tekannya adalah kalian merasa penting dan menganggap kepentingan orang banyak tidak penting. Termasuk murid kalian sendiri yang tampak selalu memaafkan, otak mereka minta jatah untuk diberikan nutrisi, setidaknya pendampingan yang tulus. Bukan pendampingan yang sedikit-sedikit menjalin mesara dengan setan gepeng. Kemudian menghitung berapa menitkah jam kepulangan.

"Ok, kalau itu bisa dipertimbangkan." Selanya. 

"Lalu, apakah kalian akan berhenti. Tidak kan?, kalian akan terus mencari celah agar apa-apa yang kalian kerjakan mendapatkan pengakuan atau bahkan legitimasi tentang apa-apa yang kalian perbuat, sudah seharusnya, sudah semestisnya. Pantaskan?, sejatinya kurang pantas. Kalian boleh kecewa pada sebuah lembaga, tetapi hak anak-anak jangan sampai kalian kurangi, apalagi mengabaikan. Sampai kapanpun hak anak tetap berhak mendapat hak didik yang layak. Meski kalian berdalih dengan cara yang tidak lazim, main sembunyi. Lalu tiba-tiba keluar."

Apa yang kalian upayakan, kalau yang keluar hanya keluhan yang tidak berpangkal ujung. Ujung saja ada pangkalnya. Masalah kalian tidak pernah selesai, dengan mental kalian yang itu-itu saja. Menjejejalkan seluruh asumsi di kepala, mengendapkannya seperti bikin tape, lalu beberapa kemudian hari kalian menggugat apa yang sebenarnya kalian sepakati. 

Orang yang mengeluh tanpa pernah berhenti, tak keluar dari tempat di mana ia mendapat rezeki, seperti kalian mengencingi sumur sendiri setiap hari. Tanpa pernah menyiramnya atau mengurasnya. Kalau kalian berani. Bikin surat lamaran keluar sebagaimana kalian dulu, di awal-awal mencari pekerjaan. Menghilangkan semua ego, setelah dapat pekerjaan, merapat ke sana kemari, mencari tempat dengan mengobrol sana sini mengumpulkan informasi, lalu tiba-tiba sorot matanya begitu sinis memandang sesuatu yang tidak lagi di sepakati. Padahal ia menyepakati dengan tindak tanduk seorang budak ketika pertama kali melamar, sekarang setelah mendapat sedikit tempat, tiba-tiba menjelma seekor serigala yang siap menerkam apa yang bisa diterkam.

Ruang yang kalian bangun dengan dedikasi tinggi dan penuh perjuangan, kalian matikan sekejap ingatan. Mengubahnya menjadi ruang-ruang penuh kedengkian, selidik menyelidik ketika 'menemani' anak-anak pulang sekolah. Mengobrol dari jauh sambil mengangguk takzim kepada orang tua yang kebetulan lewat di depannya. Seoalah-olah kalian telah memikirkan seluruh masa depan tempat kerja. Yang kalian lakukan mencoba untuk mengkudetakan suasana, tetapi modal kalian mentah. Modalnya hanya BAPER, karena tersinggung ditegur oleh teman kalian sendiri. Karena kalian telah menjelma menjadi manusia PHUBBING jengkal demi jengkal. Sampai kalian tidak bisa mengelak, lalu menyalahkan semua orang. Dengan dalih hal-hal yang mereka lakukan tidak pernah dihargai. Lalu kalian pergi tanpa permisi. 

Kalian bukan manusia puisi yang mencoba Escape From Personality, melarikan diri dari kepribadiannya. Mengambil jarak dengan dengan diri sendiri. Mengambil sudut pandang yang lain. Kalian tidak-jika tidak pantas- kalian belum bisa masuk ke wilayah lain. Yang cocok adalah katak di dalam tempurung. Apalagi Heteronim, memakai banyak nama. Bukan hanya banyak nama, tetapi satu nama satu karakter. Kalian banyak maunya tetapi minim kerjanya. Sibuk melihat dari jauh lalu menertawakan apa yang menurut kalian tak layak.

Kalian masih sibuk dengan definisi sendiri, tidak bisa masuk dalam pandangan orang lain. Kesadaran bahwa pandangan sendiri bisa lebih keliru, katro, norak, dan seterusnya. Bahwa ada kemungkian pandangan orang lain lebih layak, lebih tepat untuk dijalankan.

Atas dasar apa kalian mengutamakan kepentingan sendiri dari pada mengutamakan kepentingan orang lain. Kalian menyebut sebagai kalian kumpulan indvidu yang kepalanya dijejali oleh hasud menghasud lalu tertawa terbahak-bahak menertawakan orang yang luruh dalam kerjaannya.

Kalian hanya menghasilan keyakinan yang tidak bisa diskusikan. Sebuah keyakinan yang keliru memakanai sebauh kebijakan. "Kenapa dia boleh, kok saya nggak." begitu katamu tempo hari ketika LIBURANMU MULAI TERGANGGU. Loh, kalian hidup dari pelayanan jasa. Yang sejatinya bisa 24 jam. Lalu tanpa merasa berdosa. Pasang status 'Tolong Liburanku Jangan di Ganggu' jika kalian tak ada "apa-apa" status apapun tak pernah menggoyangkan apa-apa yang telah disepakati.

"Itu hak kalian, pandangan kalian."

Betul kalian punya hak itu, tetapi sejak saat itu, kalian telah memadamkan api tekad seorang guru yang dibangun atas dasar misi mulia, bukan sok mulia, tetapi siapa memantaskan diri, kalau bukan kalian (guru). Jika apresiasimu buruk terhadap profesi guru yang sedang dijalankan, maka kalian sedang memahat patungmu sendiri. 

Sebab kalian masih merasa kampung sendiri lebih baik. Karena kalian masih pengecut untuk mengakui ketika kalian merasa asing sendiri. Tidak mementingkan diri sendiri , kata yang lebih umum. Api tekad seorang guru memandang bahwa kampung lain justru lebih baik, itu karena ia menangguhkan sejenak kepribadiannya demi sebuah peradaban yang dialasi oleh tarbiyah zatiyah.  

Naifnya, kalian lebih baik minta maaf dari pada minta izin. Ya, kalian masih terjebak dalam nostalgia anak baru gede. Badan kalian boleh saja gede, tetapi otak reptil kalian lebih dulu berkembang dari pada yang lain. Salam Pak Pelita. Cekap Semanten. 

Selasa, 18 Maret 2025

Ketika Jadi Ayah Di Rumah

BABAK 10
Belajar dari para penyair, bisa diambil dari sumber puisi. Yaitu mereka yang suka mengeidentifikasikan sebagai escape from personality mencoba keluar dari kepribadian diri sendiri. Lalu mencoba melebur menjadi susunan tidak membentuk dogma, tetapi susunan kebijakan kebajikan yang terus dilatih tiap hari agar nilai-nilai pendidik meresap sampai ke akar nalar. 

Kalimat diatas setidaknya memompa seorang ayah untuk menangguhkan sejenak apa-apa yang tersisa dari pekerjaan-pekerjaan sebagai seorang guru yang terus saja bersambung tanpa henti. Ini kenikmatan jenis tersendiri, yang bisa menikmatinya ya, pendidik itu sendiri. 

Dalam hal membaca juga guru yang kembali ke rumah dituntut untuk meninggalkan pendirian-pendirian pribadi atas 'buku' yang sedang dibaca, jika terus saja ngotot dengan pandangan sendiri maka ia akan terjebak pada kacamata yang tak pernah ganti lensa. Misalnya, Lihatlah anak-anak dengan kacamata anak-anak bukan kacamata orang dewasa.

Seorang ayah bisa mengambil jarak sejenak ketika masuk rumah. Merubah susunan emosi ruang kerja yang atmosfirnya bisa saja labil. Jika negatif maka jadikanlah sebagai sarana untuk membentuk diri agar tidak terjebak pada kesalahan yang sama. Jika positif maka persepsikan diri sebagai ayah yang jarang pulang ke rumah. Ayah dua pekanan, ayah empat pekanan, ayah tahunan dan ayah-ayah yang lainnya.

Katanya kalian sudah berliterasi, Ok itu bagus. Tetapi tidak berhenti di situ saja. Ada banyak hal setelah kita berliterasi keayahan, yakni sesuatu hal yang membuat kalian menjadi fatherman, Family Man atau apalah. Yang jelas setelah kalian berliterasi, setidaknya kalian berani untuk melihat diri sendiri lebih asing, kenapa? agar kalian lebih terbuka, tidak nyaman dengan ilmu-ilmu yang sekarang kalian anut selama ini secara turun-temurun. Jika kalian melihat film-film pendekar, kenapa hanya ada satu jagoan yang lain adalah pendekar-pendekar nomor dua. Karena jagoan ini terbuka dengan jurus-jurus lain yang tidak diturunkan oleh gurunya. Begitu juga ayah, setidaknya ia membuka diri terhadap jurus-jurus dari para ayah yang lain agar estafeta kepengasuhan bisa saling terhubung (relate)

Ketika pintu sudah di buka. Ayah mengambil jeda untuk memberikan senyum terbaik. Meski di luar sana hatinya masih sesak oleh ruang-ruang yang melelahkan baik fisik non fisik. . Ia tetap menggambarkan seorang pahlawan yang melawan penjahat meski ia dalam keadaan demam atau flu. Lalu anak kalian tiba-tiba loncat ke atas punggung dan minta keluar untuk sekedar jalan-jalan. Sementara anak tertua minta dimasakan mie yang berkuah lengkap dengan telor, tapi putihnya saja. 

"Ada yang bisa dibantu?" ucap seorang ayah. Ia sedang merendahkan emosinya. Berupa lelah yang berlipat-lipat. Hingga dari ucapannya ia berharap dapat mendapatkan energi ganda yang jos gandos.

Setidaknya ayah mampu meditasi yang cepat, tepat, agar situasi ada di kendali anda. Bahkan sholat bisa menjadi perisai agar situasi-situasi runyam di luar kendali, bisa diarahkan dan digenggam oleh kita sendiri ketika peran berubah, yakni menjadi ayah. 

Maka ketika tiba di rumah seluruh atmosfir sekarang ada dalam genggaman ayah. Mau dihembuskan sebagai keluhan yang berkepanjangan, sehingga menolak semua permintaan anak-anak yang sudah setia menanti hingga puluhan jam, atau beberapa jam, atau ratusan jam. Tetap menjadi ledakan kegembiraan tak terhingga, meski dalam bentuk yang paling sederhana. 

Hingga kembali ke rumah, kalian bisa mengawali apa yang sudah pernah kalian akhiri sejak awal. Menyambung kembali ikatan yang terjeda sekian jam dan mencoba memperbaikinya terus menerus. Lalu anak mudah untuk menjangkau tubuh ayah, lalu bergelayutan sejenak sekadar melepas kangen, dan  mendapatkan kenyamanan dari balik punggung ayah yang letih.

Senin, 17 Maret 2025

Cara Mengapresiasi Diri

BABAK 9
Cara mengapresiasi dirinya sebagai guru, adalah cara awal untuk menertibkan nalar bahwa dirinya menjadi salah satu penentu arah bangsa ini. Hingga hal-hal yang di luar konteks pendidikan untuk sementara diabaikan. Bukan tidak penting, tetapi kalau sebagian energi seorang dihabiskan untuk menjaga nalar para guru yang tidak mengarah pada kekuatan membangun peradaban, katakanlah begitu. Visi pribadinya bisa tergores, lalu bisa menimbulkan dendam, efeknya yang menganggu sekaligus meruntuhkan value yang telah susah payah dibangun. Jangan rusak nalarmu dengan perkataan-perkataan yang impulsif itu. Guru, jauhkanlah dari pendendam, dan kuat-kuat tolak lupa.

Sebutkan saja sebagai perumpamaan. Seorang guru yang di dalam nalarnya menilai sesuatu adalah bisa diubah sesuai kehendaknya. Diduga ia akan memberikan penilaian semudah menoleh, tanpa pernah kalkulasi rekam jejak seseorang yang telah dinilainya. Ujungnya guru telah mendapatkan framing tertentu akan terus melekat, meski ia telah mencoba memperbaikinya.

Apalagi kepentingan bawahannya bisa menjadi hal yang merepotkan. Ketika hal-hal yang sudah disepakati sebagai suatu kebijakan, pada saat nantinya bisa diterabas tanpa memandang hasil kesepakatan. Musyawarah dianggapnya sebagai sesuatu bisa diobrak-abrik semaunya. Analisisnya sederhana, bisa saja ia kenal dekat pengampu kebijakan, dekat secara afiliasinya sama, dekat karena soal feminimnya sama. Pada saat yang sama ia sedang menunjukkan ketidakpatuhan pada soal-soal organisasi. Semuanya bisa dipatahkan dengan diskusi kecil yang menohok. Apalagi ia mengenali betul bagaimana warna pengampu kebijakan. 

Orang-orang di dekatnya bisa saja tak mampu mengakali bagaimana menghentikannya, tetapi ia, si guru yang selalu potong kompas tak bisa menghindari dari pada penilaian-penilaian. Bahkan secara nyata ia sedang memahat dirinya untuk jadi patung arogansi. Merasa sudah lama, merasa punya investasi dedikasi hingga mudah untuk mematahkan apapun yang dinilainya tak sepadan untuk dirinya. Yang parah, ia melakukan hasil mulut-mulut yang di antara giginya tidak ada jaronya. Mungkin ia memenangkan setiap pertarungan kebijakan yang sudah tertulis, tetapi ada banyak mata yang tajam yang selalu mengawasi bagaimana ia punya selera menolak. Bukan untuk memberikan vonis ghibah, tetapi untuk mencegah agar pikirannya tetap pada pengabdian seorang guru dan api tekadnya.

Sebagai salah satu penentu peradaban penjaga dignity mestinya mendapat tempat tertinggi dari dirinya, yakni seorang guru. Agar jalan murid-muridnya tak pernah gamang melangkah. Pikirannya jernih menyegarkan. Harapannya tinggi memuncak. Dan seterusnya. Dengan cara ini guru sedang memotret dirinya tanpa memikirkan bayangannya. Pada saat nantinya murid melampaui bayangan sang guru, sang guru tunduk sujud mencium bumi. Lalu mereka akan memodelkan para pembawa pelita sebagai gambaran utuh tempat mereka bercermin.