Senin, 10 Maret 2025

Pagi Yang Berbahaya


Episode 3
Mentari pagi agaknya bersahabat, sinarnya dapat menembus sampai ke celah-celah pohon. Bul-bul sudah terbangun sejak ayam jantan liar berkokok. Dari atas pohon Bul-Bul melihat Gubuk tempat dimana ia di sekap. Ia merasa angin berhembus lembut. Pandangan matanya mencoba memperlebar jarak pandangan. Ia terkejut ketika melihat pohon lain lebih rendah di banding dengan pohon yang sedang jadi rumah perlindungan. Pantas saja kalau hangatnya sinar matahari dapat di rasakan lebih cepat. Bul-Bul seperti sedang di atas menara tinggi menjulang. Ia teringat menara eivel pada buku pelajaran sains. Rasa takut terhadap dua ekor buaya kelaparan membuatnya tak sadar kalau ia sudah menaiki pohon setinggi kira-kira 100 meter. Energi ketika terancang jiwanya membuat seorang Bul-Bul mampu melampuai batas kekuatannya.

Banjir sudah lama surut meninggalkan bercak lumpur di sela-sela semak belukar. Ia ngeri sendiri melihat gubuk tempat dimana ia di sekap. Gubuk itu berbentuk mirip batok kelapa, bedannya hanya bentuknya yang lebar dan sangat mirip helm pelindung tentara ketika sedang bergerilya. Susana di sekeliling sudah cukup meriah. Burung dan hewan lainnya mulai mencari sarapan pagi. Sudah beberapa hari di landa dehidrasi dan kelaparan. Sulitnya medan hutan yang belum pernah ia temui membuatnya terus memompa diri agar tetap survive di tengah hutan sendirian. Bul-bul berpikir kalau sudah saatnya ia turun dari atas pohon untuk mencari sesuatu yang bisa di makan.

Puji syukur karena cabang pohon yang membentuk jaring laba-laba membuatnya tetap stabil ketika kantuk tak lagi di tahan. Pelajaran pramuka di sekolahnya membuatnya tetap bertahan sampai sekarang. Sambil menahan rasa perih kedua tangan bul-bul mulai turun melalui batang-batang pohon. Ia tetap waspada kalau ada ulat bulu yang mulai gerilnya mencari makan.

Sampai di bawah, Bul-Bul menandai pohon tersebut dengan cara menghafal cabang dan tinggi pohon tersebut. Menurutnya pohon ini lebih unik di banding dengan pohon lainnya. Letaknya yang menjaga jarak dengan pohon lain, membuatnya tampak sebagai pilar raja pohon. Cabang yang banyak tumbuh sejak 5 meter keatas membuatnya. Mudah untuk di naiki, begitu juga sebaliknya ketika turun.



Minggu, 09 Maret 2025

Bertahan


Episode 2
Hujan turun dengan deras, hingga membasahi hutan sabuk wulung yang luas dan masih perawan. Di tandai dengan masih banyaknya hewan-hewan buas yang masih mendiami pedalaman hutan itu. Tampak beberapa burung khas hutan sabuk wulung tengah berlindung dari derasnya hujan. Burung yang bernama pelatuk itu sedang menghangatkan telur-telurnya agar segera menetas. Buung Pelatuk itu tampak hangat dalam lubang-lubang yang di di pakai sebagai sarangnya. Beberapa hewan yang lain juga mungkin melakukan hal yang sama, berlindung dari derasnya hujan. Kecuali Ikan, yang mungkin makin asyik dengan kedatangan hujan yang deras.

Tak terasa hujan turun makin lebat. hal ini menyebabkan sebagian sungai-sungai yang ada di dalam hutan itu meluap banjir. Tampak beberapa Buaya sedang berenang menuju ke tempat tinggalnya. Tanpa di duga luapan banjir itu sampai juga ke dekat gubuk, tempat dimana Bul-Bul sedang tertidur dengan lelap. Akibat dari tubuhnya yang lemah, Bul-Bul tak menyadari kalau air dari luapan sungai pelan-pelan masuk kedalam gubuk. Makin banyak dan makin tidak terkontrol.

Bul-Bul yang masih terlelap dalam tidur akibat kelelahan fisik dan mental membuatnya tak peka dengan kedatangan air yang mulia merembes masuk kedalam gubuk. Inchi demi inchi air masuk, makin lama makin banyak. Bul-Bul kaget dan terkejut. Pikirannya mulai panik. Tak lama air sudah sebatas pingangnya. Bul-Bul makin panik dengan air yang terus menerus memenuhi ruangan gubuk. Bul-Bul panik bukan karena tidak bisa berenang, tapi karena Bul-Bul sudah merasa putus asa tidak bisa menemukan pintu keluar.

Kedua mata Bul-Bul terpejam. Bayangan Kedua orang tuanya dan kedua adiknya berkelabat dalam pikirannya. Bul-Bul menangis tersedu-sedu. Bul-Bul tak bisa membayangkan betapa sedihnya dirinya akan segera menemui ajal. Ia pasrahkan dirinya pada Tuhan yang Esa. Hatinya berucap: “kalau dirinya masih di perkenankan hadir di muka bumi, maka pertolongan pun begitu dekat”. Bul-Bul mangamini sendiri doanya dalam hati.

Kedua mata Bul-Bul kembali terbuka. Sementara air sudah sampai di tenggorokan. Dalam hitungan detik air sudah sampai mulut. Kedua kaki Bul-Bul mulai beregerak agar dirinya tidak tenggelam begitu cepat. Dalam keadaan genting dan gawat, Bul-Bul teringat pada sebuah celengan semar yang ia ingin kasihkan pada seorang nenek yang pernah ia temui pada perjalanan pulang sekolah. Bul-Bul masih ingat kalau nenek itu tinggal di kaki bukit, 10 kilo meter dari rumahnya. Dan satu celengannya lagi akan ia kasihkan pada Ibunya yang ingin di jadikan modal untuk berdagang.

Ingatan dan janjinya itu membuat Bul-Bul kembali mendapatkan suntikan semangat. Kedua kaki Bul-Bul bergerak cepat seperti gerakan mendayung. Air terus saja masuk tanpa ampun, hingga membuat seisi ruangan gubuk sudah terisi oleh luapan air sungai. Bul-Bul dengan cekatan beregerak dari satu sudut kesudut ruangan gubuk. Mencari-cari apakah ada bagian atap gubuk yang bisa di jebol dengan kedua tangannya. Sementara air sudah hampir menutupi pandangan matanya. Nafas Bul-Bul mulai tersengal-sengal.

Bul-Bul bergerak kesudut kecil ruangan gubuk yang belum terisi oleh air. Dalam kepanikan dan rasa tertekan. Jari tangan kanan Bul-Bul tergores paku yang menyembul keluar, karena tidak tepat di pasang. Darah segar keluar dari jarinya. Bul-Bul tak menghiraukan. Bul-Bul mengamati paku tersebut dengan seksama. Bul-Bul seperti mendapat kemenangan. Paku yang tersembul keluar itu adalah bagian dari pintu kecil yang sengaja dibuat oleh para penculik sebagai jalan keluar masuk. Pintu hanya pas untuk satu orang. Kedua tangan Bul-Bul mulai menjebol pintu kecil tepat di atas kepalanya. Sementara air terus saja memenuhi ruangan gubuk. Ada semacam pengait dari kulit rusa yang mengunci pintu kecil itu dari luar.

Ruangan gubuk sudah terisi semua oleh luapan air sungai. Bul-Bul masih saja berusaha untuk menjebol pintu kecil yang terpasang diatas gubuk. Sementara kepala dan tubuhnya sudah mulai terendam oleh luapan air sungai . Takdir masih berpihak pada Bul-Bul, disaat segala sesuatunya begitu menegangkan. Pengait yang terbuat dari kulit rusa itu terlepas. Kedua tangan Bul-Bul mendorong pintu kecil itu keatas. Dengan susah payah, Bul-Bul keluar dari pintu kecil dan berusahan menyembulkan kepalanya keatas untuk menghirup udara segar.

Sampai di permukaan air, nafas Bul-Bul masih tersengal-sengal. Ia tak mengira ternyata dirinya telah di sekap di pedalaman hutan yang sama sekali tak ia kenal. Bul-Bul disambut oleh pemandangan hutan yang asing baginya. Kedua matanya mulai mengamati sekeliling. Luapan air sungai telah membuat hutan seperti rawa-rawa yang menyeramkan.

Atap gubuk belum teremdam seluruhnya, ada bagian tertentu yang belum terendam luapan air sungai. Bul-Bul menangkap gerakan yang aneh tak jauh dari tempat berdirinya. Bul-Bul kaget dan panik, jarak 30 meter darinya 2 ekor Buaya tengah mengawasinya. Karena mendengar bunyi kecipak air ketika Bul-Bul baru keluar dari sergapan air yang masuk kedalam gubuk. 2 ekor buaya itu mulai mendekat ke arah Bul-Bul.

Di tengah kekagetan dan kepanikan. Bul-Bul akhirnya melompat dan berenang sekuat tenaga menuju sebuah pohon yang tidak begitu besar dan menurutnya mudah untuk di naiki. Cabangnya yang banyak dan rimbun menurutnya dapat di gunakan untuk naik dan berlindung dari terkaman taring Buaya.

Sampai di dekat pohon tersebut Bul-Bul langsung naik ke atas pohon. Dalam hitungan detik luapan air sungai sudah semakin tingggi. Bul-Bul berusaha memanjat lebih keatas agar terhindar dari banjir juga terkaman Buaya. Tangan Bul-Bul mencengkram kuat pada batang pohon yang rimbun dan ranting-rantingnya melebar, mirip sarang burung. Pohon itu diatasnya mempunyai cabang tiga, tepat di sudutnya Bul-Bul menyadarkan tubuhnya tanpa harus berpegangan. Hal ini memudahkan Bul-Bul untuk melihat ke bawah, sementara dari bawah tidak kelihatan sama sekali tubuh Bul-Bul, karena tertutup rimbunya pohon.

Beberapa jam kemudian, Gubuk sama sekali tidak terlihat. Semuanya terjadi begitu cepat. Keadaan tenang tapi menyeramkan. Jarak antara batas air dengan dirinya hanya terpaut 5 meter. Bul-Bul merasa aman dengan jarak seperti itu. Kedua mata Bul-Bul masih menikmati pemandangan yang ada di bawahnya. Bul-Bul seperti membayangkan sesuatu.

Dua ekor Buaya besar yang tadi mengejar Bul-Bul melintas tepat di bawah Bul-Bul. Hal ini mengagetkan Bul-Bul. Jantung Bul-Bul seperti berhenti berdetak. Sepertinya Buaya itu tahu kalau Bul-Bul bersembunyi di atas pohon. Dari atas pohon Mata Bul-Bul tak berkedip untuk memperhatikan kedua Buaya itu yang sedang berputar beberapa kali.

Dua ekor Buaya itu tampak frustasi dan kehilangan buruannya. Pelan-pelan Buaya itu pergi dan menghilang di balik luapan air sungai yang sekarang menjadi genangan yang dalam. Butuh waktu cukup lama untuk menyurutkan banjir akibat luapan air sungai. Bul-Bul dapat bernafas lega dan berusaha meningkatkan kewaspadaan. Karena hutan ini belum di kenal oleh Bul-Bul.

Waktu mendekati malam, salah satunya terlihat dari banyaknya burung yang kembali ke sarangnya. Bul-Bul dapat melihat dengan jelas dari atas pohon situasi yang ada di bawahnya. Bul-Bul tak mempedulikan keadaan sekitarnya lebih lama lagi, kedua matanya sudah mulai terpejam. Sesaat kemudian terdengar dengkuran keras. Ia percaya Tuhan selalu menyertainya.


Sabtu, 08 Maret 2025

Bangun dari Pingsan

Episode 1
Jempol kaki Bul-Bul sudah seperti mati rasa. Kuku sudah tercerabut dari jempol kakinya. Begitu juga dengan jari-jemarinya. Semua kukunya sudah tercerabut dari jarinya. Sebagian darah yang keluar dari jempol dan jari-jemarinya mengering lama. Ini pagi pertama di mana tubuh Bul-Bul masih terikat pada sebuah kursi. Pantatnya seolah-olah tak menempel pada badan kursi. Kedua tangannya menelikung kebelakang. Lalat mulai menghampiri jempol dan jemari bul-bul yang mulai mengeluarkan bau. Darah yang tercecer mengalir dari jempol sampai jemari kaki sudah mengering. Tak hanya itu wajah Bul-Bul sudah nyaris penuh dengan bekas pukulan buku-buku jari yang terbiasa serta terlatih dengan angkat beban berat.

Darah yang keluar dari hidung sudah mengering membentuk sebuah kumis dadakan yang berwarna merah. Bibirnya pecah dan jontor. Malah hampir mirip orang sumbing. Pelipisnya robek, Sekitar mata menonjol lebam kebiru-biruan. Seperti habis di pukul oleh petinju professional. Hingga Bul-Bul kesulitan untuk membuka kedua kelopak matanya. Bul-Bul hanya bisa melihat sedikit. Tapi hatinya lega, ia merasa bisa melihat dunia dengan segala pesonanya.

Koas hitamnya masih menempel di badannya, Jika kaos hitam oblongnya di buka, maka akan terlihat dada Bul-Bul yang membiru. Semua itu akibat pukulan keras dari jarak pendek menghantam dada Bul-Bul berkali-kali. Kalau di peras kaos oblong hitamnya dalam ember berisi air. Niscaya airnya akan berubah menjadi merah ke hitam-hitaman.

Bul-Bul di sekap dalam sebuah gubuk sederhana yang sengaja di buat oleh para penculik. Gubuk sederhana yang di buat mirip sebuah semak belukar yang rimbun. Membuatnya tak mudah untuk di ketahui. Beberapa kali Bul-Bul pingsang ketika sedang dalam keadaan di siksa dan di hajar habis-habisan oleh para penculik.

Bul-Bul pelan-pelan membuka kedua mata sambil menahan perih di pelipisnya yang robek akibat pukulan para penculik dengan tanpa hati. Mata Bul-Bul ia edarkan ke sekeliling dalam gubuk. Jarak pandangnya masih kabur menjadikan pandangannya tak begitu jelas untuk melihat lebih tajam. Apa yang ada di sekeliling ruangan dalam gubuk. Samar-samar mata Bul-Bul melihat gelas-gelas plastik yang menyisakan air kopi basi di dalamnya. Juga terlihat bekas puntung rokok yang sebagiannya masih mengepul.

Butuh 15 menit untuk menunggu saraf matanya mulai bekerja dengan baik. Penglihatan bul-bul mulai tajam kembali. Begitu juga dengan telinganya yang berdengin keras, akibat sebuah pukulan mendarat di salah satu lubang telinganya.

Kesadarannya mulai pulih. Begitu juga dengan Saraf-saraf tubuhnya. Hampir seluruh tubuhnya terasa nyeri dan pegal-pegal. Tapi tak begitu ia hiraukan. Pikirannya hanya satu. Bagaimana tangan dan kakinya yang terikat bisa lepas.

Mata Bul-Bul melihat puntung rokok yang masih mengepulkan asap. Bul-Bul tak ingin kehilangan kesempatan. Bul-Bul menggeserkan sedikit demi sedikit tubuhnya. Jarak dari puntung rokok hanya satu meter. Tapi jarak itu terlampau jauh dari jangkaunnya. Kondisi tubuhnya masih ngilu-ngilu hingga gerakannya belum begitu cepat. Bul-Bul tidak menyerah. Bila ikatan tali plastik yang mengikat kedua kaki sampai mata kaki bisa di lepas dengan cara menyundutkan pada puntung rokok yang masih menyala, maka Bul-Bul bisa melarikan diri dari sekapan para penculik itu.

Bul-Bul mulai mengerakan sedikit demi sedikit jempol kaki dan jari jemari kakinya yang sudah terlupas kuku-kukunya. Apakah masih bisa di gerakkan atau tidak. Sambil menahan rasa nyeri yang menyedot saraf-saraf tubuhnya. Bul-Bul terus menggerakkan tubuhnya ke arah puntung rokok itu. Jarak satu meter dari tempat duduk dimana Bul-Bul sedang terikat dengan puntung rokok itu hanya satu meter. Sedikit-demi sedikit terpangkas jaraknya. Semuanya terasa begitu lambat jalannya.

Dengan mengangkat pantat, dan menggerakkan kedua kakinya terus menerus. Bul-Bul sudah semakin dekat dengan puntung rokok. Usahanya tak sia-sia. Kini jaraknya sudah 50 centimeter lagi dari puntung rokok itu. Bul-Bul tak bisa menahan lebih lama, tak ingin kehilangan kesempatan. Bul-Bul berusaha memiringkan tubuhnya, sengaja menjatuhkan dirinya sekuat tenaga agar sampai pada puntung rokok itu. Bayangan Ibu, Bapak, dan kedua adiknya yang membuat Bul-Bul kuat untuk melampaui semua ini. Hatinya berseru. Tuhan!..Selamatkan aku. Bul-Bul menjerit dalam hatinya. Agar keluar dari semua ini.

Mulutnya menyeringai, darah yang keluar dari mulutnya sudah mengering. Tenggorokannya susah sekali untuk menelan. Ludahnya terasa habis dan kering. Ketika badannya mulai condong dan semakin miring kea rah puntung rokok itu.

Gedubrakkkk!. Bul-Bul berhasil menjatuhkan dirinya. Mulutnya mengaduh menahan ngilu yang demikian terasa. Bul-Bul jatuh dalam posisi miring. Posisi kakinya mulai di gerakkan sedikit kearah puntung rokok yang masih mengepulkan asap. Sementara sebagian paha Bul-Bul sampai keatas tertahan oleh kursi yang terus menempel dari tiga hari yang lalu.

Sudah dekat dengan puntung rokok yang masih mengepul. Bul-Bul harus menahan nafas lagi. Kedua jempol kakinya yang terikat pada kedua sisinya. Harus rela ikut tersundut oleh nyala api bekas puntung rokok itu.

Bul-Bul katupkan gigi gerahamnya kuat-kuat. Ketika tali plastik yang mengikat kedua jempol kakinya mulai mengkerut akibat terkena sundutan puntung rokok itu. Sedikit demi sedikit tali plastic yang mengikat kedua jempol kakinya mulai terkikis. Bul-Bul harus sedikit lebih lama untuk menahannya. Karena salah satu simpul yang paling kuat adalah tali yang mengikat kedua jempolnya. Bila Bul-Bul berhasil menahan rasa sakit, maka ada setitik harapan ia bisa melepaskan semua ikatan pada kedua kakinya.

Mulutnya mengaduh agak keras. Ketika simpul keduanya berhasil tersundut. Dan puntung rokok itu langsung menyundut tanpa ampun kedua sisi jempol. Sakitnya luar biasa. Seperti tersengat oleh seekor lipan. Panas dan pedas.

Kedua matanya melihat ke bawah mata kakinya. Kedua jempol kakinya seperti ada ruang udara. Simpul tali yang paling kuat ada di ujung jari jempolnya. Ketahanan Bul-Bul sudah teruji. Pelan-pelan ia gerakkan kedua kakinya. Ringan dan tanpa sesuatu yang menggecetnya terus menerus. Ikatan yang melingkari kedua betisnya mulai longgar. Begitu juga dengan tali yang mengikat antara paha dengan kursi mulai mengendur. Mungkin para penculik tak mengira kalau ikatan yang hanya satu simpul dapat berpengaruh pada ikatan yang lain. Mungkin juga karena Bul-Bul di ikat dengan tali plastic setelah di siksa dan di hajar tanpa belas kasihan terlebih dahulu. Baru kemudian di ikat. Atau bisa jadi mengira kalau Bul-Bul sudah tak bernyawa. Sehingga para penculik itu terkesan buru-buru untuk mengikatnya.

Bul-bul meronta-meronta sejadi-jadinya. Seperti orang kesurupan. Orang jadi begitu semangat, ketika sebuah harapan ada pada tangannya. Lama-kelamaan ikutan pada paha, kedua betis semakin longgar. Jarak antara tubuh Bul-Bul dengan kursi pun semakin bisa di gerakkan. Bul-Bul kembali menggeliat kuat agar bisa lepas dari jaring-jaring tali yang mengikatkan tubuhnya pada sebuah kursi. Prosesnya mirip seekor ular yang sedang ganti kulit.

Nafas Bul-Bul terengah-engah. Jantungnya menderu naik turun. Pertahanan tubuhnya kian lemah, hanya bara semangat yang tetap menyala dalam dada yang membuatnya terus semangat. Pelan-pelan kursi yang menempel di tubuhnya menggelosor ke bawah. Tali plastik yang mengikat antara kursi dan tubuh Bul-Bul sudah begitu longgar. Kini Bul-Bul dengan sisa tenaga dan semangat yang ada memakasakan dirinya untuk dapat berdiri. Kedua paha dan kakinya semakin terasa ngilu, pegal, hingga membuatnya terhuyung-huyung ketika ingin berdiri.

Kursi yang menempel pada tubuhnya sudah benar-benar terlepas. Bul-Bul seperti baru keluar dari kedalaman air yang di penuhi dengan Hiu-Hiu pembunuh. Kedua matanya kembali nanar, melihat sekeliling ruangan dalam gubuk. Tubuh Bul-Bul belum bisa berdiri dengan tegak. Kedua lututnya masih gemeteran, menahan rasa ngilu dan pegal-pegal yang teramat dalam sakitnya.

Kedua mata Bul-Bul mencoba mengitari sekeliling ruangan gubuk. Matanya tertuju pada sebuah kayu yang agak menonjol keluar, walaupun tonjolannya tak begitu kuat keluar, tetapi Bul-Bul berharap dapat memutuskan tali plastik yang ada di pergelangan tangan. Yaitu dengan cara menggosok-gosokan tali plastik pada kayu pipih yang menonjol.

Dengan lutut yang masih gemeteran, kedua kaki Bul-Bul langkahkan pada sudut ruangan gubuk agar lebih dekat dengan kayu pipih yang menonjol keluar diantara deretan kayu yang ada. Bul-Bul mulai menggosok-gosokkan tali plastik yang mengikatnya dengan sisa tenaga dan badan yang masih lemas.

Hampir 10 menit, Bul-Bul terus menerus menggosokkan tali plastik yang mengikat kedua pergelangan tangannya, keatas dan kebawah. Sementara hari sudah semakin sore, suasana dalam gubuk pun sudah semakin gelap. Rupanya waktu tidak bisa di kompromi. Bul-Bul masih terus saja berjuang melepaskan ikatan. Tanpa pernah kenal lelah. Bila lelah mendera Bul-Bul berhenti sebentar, sekedar mengambil nafas. Lalu kemudian meneruskan kembali menggosok-gosokkan tali plastik yang mengikat pergelangan tangan. Bul-Bul berpacu dengan waktu.

Lama kelamaan tali plastik yang terus menerus di gosok-gosokkan pada kayu pipih yang menonjol itu, berubah menjadi serabut-serabut yang tak lagi sesolid seperti semula. Rasa panas dari sisi pergelangan tangan menjadi penyemangat, layaknya cambukan penebus kesalahan. Semakin panas, maka Bul-Bul semakin kuat untuk menggosok-gosok nya. Serabut-serabut yang tak lagi solid, menjadi semakin rapuh. Kedua pergelangan tangan Bul-Bul akhirnya terlepas dari ikatan tali plastik yang mengekang kedua pergelangan tangannya.

Bul-Bul bernafas lega. Kedua tangannya normal kembali, tak lagi menelikung kebelakang. Rasa panas pada pergelangan tangan, tak lagi sepanas seperti tadi. Sekarang Bul-Bul berhasil menaklukkan ketidakberdayaan dirinya. Sebuah ketabahan sedang di perankan dengan baik oleh mental Bul-Bul. Bul-Bul mampu melampaui keterbatasan yang ada. Salah satu yang menjadi penyemangat adalah bayangan kecemasan mendalam yang mungkin sedang di rasakan oleh kedua orang tua dan adik-adiknya.

Ikatan yang membelenggu pergelangan tangan, paha, dan kedua kaki sudah terlepas dengan susah payah. Walau begitu, pikirannya masih tegang. Bul-Bul masih di liputi oleh rasa cemas dan setiap detik adalah kesempatan untuk dapat melarikan diri. Yang ada di pikirannya sekarang adalah, Apakah penculik itu benar-benar sudah tak berada lagi di sekitar gubuk atau sedang dalam perjalanan menuju ke gubuk, tempat dirinya di sekap tanpa makanan dan minuman. Bul-Bul tak ingin kembali di siksa dan di hajar oleh para penculik, tanpa alasan yang jelas serta kesalahan apa yang telah di lakukan. Bul-Bul merasa di perlakukan seperti sansak para petinju, yang di jadikan tempat melampiaskan kekesalan. Atau jangan-jangan dirinya adalah korban salah tangkap lalu setelah puas menyiksa dan menghajar, ditinggalkan begitu saja di pinggiran hutan yang seram.

Yang di lakukan Bul-Bul sekarang adalah kembali mengumpulkan kekuatan yang ada. Kedua matanya kembali menangkap sesuatu yang menggugah naluri bertahan hidupnya. Pada sudut ruangan dalam gubuk ada gelas-gelas plastik berisi kopi yang tinggal sisanya. Pada permukaan gelas tersebut lalat-lalat sudah bersuka ria menyantap sisa-sisa yang masih bisa di nikmati oleh lalat tersebut. Beberapa ekor lalat bahkan masuk kedalam air kopi. Tapi bagi Bul-Bul semua itu tidak jadi masalah, Bul-Bul merasa tubuhnya perlu asupan energi dari sisa kopi yang di tinggalkan oleh para penculik.

Bul-Bul segera menghampiri gelas plastik berisi air kopi itu. Langhkahnya belum stabil betul, tapi ia paksakan dengan segenap kekuatan. Kedua tangan Bul-Bul juga masih gemetar ketika memegang gelas plastik berisi air kopi. Satu persatu lalat yang masuk dalam air kopi itu, ia pungut dengan tangan kanannya. Setelah dirasa bersih dari lalat, air kopi itu tanpa pikir panjang langsung masuk masuk dalam tenggorokan Bul-Bul yang kehausan. Sekarang sisa air kopi yang sudah basi itu masuk kedalam lambungnya. Mungkin cacing yang ada dalam perut Bul-Bul berteriak, antara sedih dan senang. Tapi Bul-Bul tak akan menghiraukan teriakan cacing-cacing dalam perutnya. Setidaknya Bul-Bul dapat memperoleh tenaga dari kopi basi itu. Setelah meminum air kopi basi itu, bul-bul mengambil nafas dalam-dalam dan bersender pada salah satu sudut ruangan. Bul-Bul masih merasakan kedua lututnya yang gemeteran, disusul dengan keringat dingin yang keluar dari pori-pori tubuhnya. Ia menyadari kalau dirinya sudah bertahan dalam batas kemampuannya. Sambil menyandar di salah satu sudut ruangan gubuk, Bul-Bul menenangkan dirinya dari kecemasan yang sekarang hinggap di pikirannya.

Tapi itu cuman sebentar, Bul-Bul kembali di hinggapi perasaan tegang dan was-was. Pikirannya selalu menghakimi kalau selama dalam masa pelepasan diri dari ikatan itu hanya jebakan semata. Ia menganggap setelah dirinya berhasil melepaskan diri. Para penculik itu kembali menangkap dan menghajar habis-habisan. Pikiran-pikiran seperti itu nyaris menghentikan dirinya dari sikap bertahan hidup. Bul-Bul kembali meneguhkan dirinya agar pikiran-pikiran yang mematikan langkahnya bisa berangsur-angsur hilang.

Sinar cahaya yang menerobos masuk kedalam gubuk membantu Bul-Bul mengenali detil isi dalam gubuk. Hatinya bangkit, dan kedua matanya melihat sebuah pintu sederhana tak berdaun kunci. Dengan tubuh yang masih lemas, Bul-Bul bangkit dari tempat duduknya menuju pintu sederhana itu. Kedua tangan Bul-Bul mulai meraba dan mendorong pintu itu, apakah bisa terbuka atau tidak. Beberapa kali tangan Bul-Bul mendorong pintu itu, seketika itu juga pintu itu seperti ada yang beban berat yang menahan pintu itu.

Bul-Bul bergeser ke samping pintu, mencari celah-celah agar dirinya bisa mengintip dari celah itu dan mengetahui benda apakah yang menghalanginya. Kedua matanya berbinar, Bul-Bul menemukan sebuah celah kecil yang bisa ia gunakan untuk mengintip dari dalam. Dari celah kecil itu Bul-Bul melihat 2 buah drum besar yang di susun tegak berdiri kokoh menyender di pintu. Bul-Bul sedikit bersemangat melihat peluang untuk lolos dari cengkraman para penculik itu.

Bul-Bul mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu itu. Dengan segenap tenaga yang ada, Bul-Bul hentakkan bahu kanannya ke tengah pintu yang di palang melintang lengkap dengan paku kokoh tertancap di masing-masing ujungnya. 

Bunyi Brukk dari tubuhnya tak membuat pintu itu bergerak. Yang dirasakan Bul-Bul sekarang adalah bahu kanannya terasa agak linu. Bul-Bul mencoba berkali-kali mencoba mendobrak pintu dengan bahu kanan atau kirinya. Tetapi rupanya pintu yang tak berdaun kunci itu, terasa sangat kokoh dan solid. 

Bul-Bul beristirahat di dekat pintu itu untuk mengambil nafas dan tenaga yang ada. Bul-Bul mulai di hinggapi perasaan putus asa. Lama ia merenungi kondisi yang sedang menimpa dirinya. Tanpa Ayah dan Ibu, adik-adik, juga teman-teman baiknya. Dalam keletihan dan kecemasan yang ada, pelan-pelan kedua mata Bul-Bul tertutup dan tertidur.



Jumat, 07 Maret 2025

Membaca Sebagai Paradigma

BABAK 8
Seorang guru mesti terbiasa membaca, karena  dengan aktivitas membaca ia memperoleh  informasi yang cukup, dan selalu memperharui pola mendidik. Saya pikir, hal tersebut merupakan komponen mendasar yang mesti dimiliki oleh seorang guru. 

Dari mana datangnya mental seperti ini, yaitu datang dari kebiasaannya membaca buku sebagai paradigma, lalu ditambah dengan bacaan lain, lahirlah seorang guru yang kerangka berpikirnya holistik tidak parsial. 

Pikiran pertama yang hadir di kepala ketika bertemu situasi di luar kendalinya, tidak sesuai yang direncanakan, adalah pikiran analisis yang tiba-tiba saja muncul tanpa pernah diminta. Kota-kotak informasi yang dikumpulkan bertahun-bertahun menjelajahi  hutan buku membuatnya piawai, dan ide tersebut yang diendapkan oleh kalbu dan kantong-kantong memori hadir memenuhi benaknya yang kemudian dituturkan oleh lisannya yang terjaga.  Dengan kata lain, seseorang yang memiliki budaya membaca akan memiliki respon yang cukup untuk membantu seseorang untuk menembukan jawaban, itu maksimalnya, minimalnya ia tidak jumud dan terpasung oleh kedunguan yang tak berkesudahan. 

Cara ia membaca buku apa saja (Fiksi/Non Fiksi) pun melalui serangkain metode membaca sekaligus proses berpikir. Salah satu hasilnya terlihat bagaimana caranya merespon situasi yang paling sederhana. Contohnya memberi umpan balik pada walimurid yang bertanya di melalui jaringan pribadi dengan cara yang elegan-jernih, jelas, dan beberapa detailnya jika diperlukan.  

Ini era dimana platform digital mengitari semua dimensi. Apakah guru tak boleh bersentuhan dengannya? kalian bisa menemukan sendiri jawabannya. Jika sang guru ingin meluangkan waktunya di media sosial untuk melihat, mendengar, dan menulis apa saja, ringan, sekaligus cepat. Semua dimaksudkan untuk membantu penyerapan dari buku-buku yang ia baca, bukan semata mengisi waktunya yang kosong sebelum memulainya mengajar pada keesokan harinya.

Dari sini sang guru bisa menakar, mengukur, sekaligus menimbang apakah  dirinya sedang terjebak dalam ILUSI TAHU dampak dari menggulir layar HP ke atas ke bawah selama lima belas menit saja, atau lebih. Lalu petantang petenteng merasa lebih tahu, misalnya.  Mestinya ia tetap membaca selama mungkin, tidak mengajar hasil scroll media sosial dalam hitungan menit. Seolah-olah merasa cukup, dan tampak percaya diri dan mampu merespon semua kejadian kelas dan sekolah pada umumnya. Ini refleksi saja, sebagai guru yang memiliki kemewahan untuk mengajar. 

Bahkan di malam hari seorang guru kembali bergumul dengan jenis setan lain,  seten gepeng (hp) lebih dari waktu-waktu yang telah ditentukan, memang itu hak kalian.  Lalu keesokan harinya melakukan pendampingan dengan martabat seperti itu, hasilnya bisa jadi tak berimbang. Merasa sudah tahu padahal minim pemahaman, yang lebih parah ia gagal paham. 

Bukannya tak boleh, boleh silakan bergumul dengan setan gepeng itu. Porsi membaca buku lebih lama, lebih tebal, lebih ilmiah, karena kebutuhan untuk mengajar, memberikan pengetahuan, bagaimana ia memiliki pengetahuan mendalam, kalau sediki-sedikit ia gulirkan HP dari atas dan bawah. Apalagi menangkap isi bacaan yang nantinya membentuk visi pribadi. Suatu waktu, saat kesadaran telah bertumbuh, murid itu kelak bisa membedakan mana guru yang martabat dan yang gagap beradaptasi.  

Pada siapa martabat (dignity) mesti diambil sebagai pilar tinggi, ya salah satunya guru. Martabat itu tidak hanya pada orang (guru) tetapi juga pada profesinya. Jadi dobel itu,  kelak kemudian namanya self respec (harga diri). Dimanapun guru itu beradaa, dua label akan terus melekat sampai ia dipanggil sama Tuhan. Dua hal tersebut, martabat dan harga diri bisa bertahan manakala paradigmanya sudah terbentuk dengan kokoh. Paradigma bisa lahir dan menyentuh manakala kegemaran membaca menjadi makanan otak yang tak kenal arah angin. 

Pikirannya membaca apalagi tindakannya untuk menggali informasi dan formatif sekaligus. Dampaknya orang terlatih untuk berakrab dengan frase, dan otak dipaksa terus memecahkan hal-hal yang sulit dari teks yang ia dalami. Salah satu hasilnya membantu daya ingat dan menimbang mana yang penting dan tidak penting. 

Membaca sebagai paradigma menghasilkan satu pikiran kokoh, penangkapan makna teks secara utuh, menghasilkan gudang ide, membentuk nalar kritis, memiliki kontruksi dalil relevan, mampu mengakumulasi karakter dalam puncak tertinggi. 

Kamis, 06 Maret 2025

"The Power Of Teachers"

BABAK 8
Satu waktu di kelas, pelajaran matematika sedang berlangsung, setengah jam kemudian salah satu siswa sudah selesai mengerjakan dan terpotret oleh sang guru, anak itu tampak banyak bercanda, menggoda temannya, dan isengnya nggak ketulungan. Saat itu juga siswa tersebut dipanggil oleh guru tersebut. Lalu diberikan 'hukuman' untuk pergi ke perpustakaan lalu ambil buku sastra dan tidak baca buku yang lainnya. Guru tersebut memberi pesan kepada petugas perpus agar memperhatikan selama ia berada di perpustakaan. Si murid itu terus membaca sampai selesai. Pada waktunya nantinya Guru matematika yang juga sastrawan telah mengajarkan agar terus mengolah pikir tetapi juga mengolah batin agar menjadi lembut.

Saya yakin paragraf diatas telah memberi sentuhan batin yang mendalam hingga seorang TOKOH bisa sedemikian terbuka pada perubahan dan memaknainya lebih terukur, katakanalah seperti itu. Ketika sedang menulis  metafor dan seterusnya ternyata sangat diperlukan ketika sedang meriset  sains misalnya. Dari balik itu semua, sastra bisa sangat bermanfaat bagi seluruh aspek pengetahuan. Jika kalian betul-betul menganggap karya sastra penting untuk dijadikan salah satu bahan olah pikir dan olah rasa.

Hasil pemikiran adalah salah satu wilayah sastra yang dipadu padankan dengan daya tangkap dari kehidupan ini. Guru menjadi lebih cakap dalam menghargai setiap potensi dari pada siswanya. Pikirannya telah terpapar Demokratic Value, meski hanya berlabel guru Good Enough, itu sudah lebih dari cukup. Lalu pertanyaan dikepalanya selalu muncul, kenapa aku jadi guru?, apakah pengetahuanku sudah cukup untuk siswa di kelas? ini guru percaya menyakini bahwa siswa akan lebih baik dari waktu ke waktu, hingga ia mempercayai setiap potensi yang dimiliki siswa. Meski sebagian mata memandang ia tipe guru yang Good Enough, tetapi ia telah memiliki power full untuk membangkitkan setiap rasa penasaran--natural sifatnya, bisa muncul dari dalam diri setiap siswa tanpa ancaman dan intervensi akut.

Kekuatan guru terletak pada kemampuannnya memerdekaan setiap murid untuk bertanya apapun tentang dirinya dan lingkungannya. Dan membiarkannya untuk berpikir terbuka, dan lepaskan pagar-pagar dari pikiran siswa yang melambung tinggi tak terbendung. Hingga isi kepalanya tidak terpagari, misalnya apa-apa tidak boleh, ini nggak boleh, itu nggak boleh. Isi kepalanya merdeka untuk mengungkapkan sesuatu yang menurutnya bisa diuji secara nalar, bukan didkotrin oleh serbuan mitos dangkal, hingga gagap menatap masa depan.

Setiap siswa ada kurikulumnya yang kalau bisa diciptakan oleh guru, agar potensi muncul dan lompat melangkahi mimpi-mimpinya sendiri. Tidak mengisinya kurikulum yang centang perenang. Konsepnya terbentur oleh pembatasan-pembatas ilmu saja. Dampaknya anak cenderung mudah mengkotak-kotakan dan ini sangat merugikan dunia pendidikan. Pada saat dewasa, ia cenderung mudah memberi frame, kalau anak hukum tidak berhak ngomongin sosil, anak sains nggak boleh soal Budaya, dan seterusnya. Wah, ini bisa menimbulkan cacat berpikir. Karena pembatasan ilmu tadi. Di zaman keemasaan ada tokoh sosial, tapi ngerti fiqih, ngerti politik, karena berangkat dari mentor yang mengakomodir seluruh pengetahuan tanpa melakukan pembatasan yang degil.

Seorang guru satu waktu didatangi murid yang membawa satu buku berisi kurikulum yang ia bikin sendiri di rumah. "Apakah bapak bisa mengajarkanku tentang semua ini, atau tunjukan padaku guru-guru mana saja yang harus kudatangi." 

"Selamat datang di masa depan, Bapak doakan semoga bisa membaca masa depan, kurikulummu akan bapak pelajari satu malam, dan mulai besok kamu saya terima sebagai murid pertama."

Jawaban dari sang guru membuat si siswa pulang dengan isi kepala, hati, fisik, sebagai seorang yang nanti jadi pembenci politisi busuk, sebal melihat pendidik yang menunda mengisi pengetahuan para siswa dengan berleha-leha dikantin sambil ghibah, pedagang busuk yang selalu mengurangi timbangan, dan busuk-busuk lainnya. Dari mana datangnya energi pembeda itu, dari kekuatan guru yang lisannya berangkat dari doa yang diapanjatkan di setiap sujudnya. Dan mencoba mendekatkan diri pada role model seorang guru, rahim guru, sekaligus pahlawan berjasa. Bukan pahlawan tanpa tanda jasa yang bernada meremehkan  (derogatif). Saya ingin mengembalikan bahwa profesi guru memang tak bisa diremehkan, dan  jasanya seberat mutiara. 

Kekuatan guru yang potensial itu terbaca sejak lama, bahkan disituasi sulit kaisar hirohito, berbicara kepada bawahannya agar mencari guru yang tersisa, dan akan membangungkannya dua puluh tahun kemudian, tuturnya berapi-api. Ini menandakan, hadirnya guru sebagai mentor untuk melatih para siswa untuk berdialektika terus menerus hingga rasa penasaran terbangun dan terjauhkan dari krisis pikir.

Debat didalam kelas tak menurunkan martabat seorang guru, justru kelas-kelas yang sunyi yang perlu dicurigai, apakah guru terlalu asik untuk mengambil alih seluruh jam kelas, dan mengaku telah mengajar dengan pendampingan maksimal. Yang mesti dilakukan adalah selundupkan pedagogi kepada siswa tidak hanya dikelas tetapi di luar kelas. Keluar dari sekolah mereka bisa membaca masa depan dengan alam pikiran, tidak gugup dan gagap menghadapi perubahan. 

Kadang 'ribut' dikelas dengan guru Good Enough saja bisa membangkitkan potensi tersembunyi dari tiap siswa yang kerap membawa masalah rumah kedalam ruang kelas. Kapasitas guru ada situasi ini, kekuatan guru dengan mengelaborasi pedagogi dengan situasi random yang di miliki siswa,  kemudian bisa mengaktifkan multiple Intelegences pada tingkat yang menakjubkan. Lalu menemukan dirinya pada bakat tertentu. Sementara cukup, terimakasih. Salam Pak Pelita.

Rabu, 05 Maret 2025

Guru Sebagai Duta Democratic Value

BABAK 7

Lagi-lagi kebebasan ekspresi kembali menemukan rivalnya. Rival itu bernama keraguan untuk melindungi kebenaran sekaligus mengayomi. Lahir kemudian yang kita sebut sebagai kedangkalan menyerap aspirasi. Hingga membuat seorang guru memilih menaikan bendera setengah tiang atas lde demokrasi yang terpancung di para pendengki. Hingga nasihat di antara  lirik lagu menjadi sangat meresahkan di telinga para pemangku. 

Itu lagu hasil  ekspresi yang paling dalam, bersumber dari endapan bertahun-tahun yang mampu menggetarkan kebenaran yang telah dicuri marwahnya dan memenjarakannya dalam bilik arogansi.

Gaungnya mendadak tenggelam dan menarik dari pergaulan tangga musik lainnya. Pemirsa dipaksa mafhum dibumbui rasa bangga bercitarasa. Outputnya mereka lebih pintar dari yang dibayangkan terhadap tipu-tipu penguasa. 

Kritik yang dilancarkan lewat karya seni (lagu) mendapat sambutan hangat dari pemirsa jagat raya. Sesungguhnya mereka mencintai apa yang mereka kritik. Agar nantinya bisa dibenahi sesegera mungkin.

Pernyataan yang dilontarkan lewat lagu berisi benahi institusi tertentu mengindikasikan ada nilai demokrasi yang hendak diselundupkan kepada lembaga yang bernama rakyat bersenjata. Mestinya ditanggapi dengan kepala dingin. Tak gegabah. Lewat mereka ini karya seni dapat dilindungi dengan tepat. Sebagaimana semboyan mereka yang sudah lama kami baca. Semboyan mengayomi mestilah menjadi satu prasasti (nurani) yang dijunjung tinggi, tanpa meminta jasa sepeserpun.

Pernyataan publik itu terus menjadi pernyataan opini di hati masyarakat. Meski diberhentikan kasusnya, faktanya akan terus berjalan, sampai kapanpun. Apalagi tersiar sang guru sudah meminta maaf secara (siaran langsung) tanpa diberi waktu untuk bermusyawarah dengan tim etika barang seminggu atau dua minggu. Padahal mereka sudah memenangkan hati rakyat lewat karya seni yang sedang mereka lukiskan kedalam sanubari masyarkat yang terus di coreng oleh ketaksetiaan mereka pada amanah institusi dibawah sumpah kitabnya mereka masing-masing.

Lalu pada saat berikutnya mereka diminta untuk menghadap pada sang ketua untuk menerima keputusan untuk diberhentikan atas dasar yang membuat isi kepala netijen pusing. Keputusan sang ketua, yang kebetulan mendadak telah menggemparkan jagad mayapada dan dunia para pendengung yang sepertinya ikut terhenyak pada pukulan pertama.

Pada saat bincang-bincang yang disaksikan jutaan pemirsa, sang ketua tetap teguh bahwa kata pecat tak pas, yang tepat adalah diberhentikan sementara dari aktivitas mengajar. Kalau dipecat berarti tidak mengajar dan berhenti dari guru. Begitu kira-kira tafsir sederhananya.

Coba simak lagi kata  PECAT di KBBI. Pecat bermakna melepaskan (dari jabatan) memberhentikan (dari kumpulan dsb). Mengeluarkan (dari sekolah dsb). Memutuskan dari pekerjaan ( Jabtan dsb, untuk sementara waktu). Mengabaikan; tidak mengindahkan. Mungkin sang ketua memanggil kembali ingatan tentang kata pecat, ia lebih memilih kata diberhentikan. Meski kepentingannya sama, tetapi terlihat ada faktor feodal yang sedang dipertontonkan.  Atau ia sedang mengkebiri sebuah kata. 

Meski begitu lagu itu tetap ada meski konon sudah ditarik oleh si empu. Tetapi dengar-dengar lagu itu tengah dinyanyikan secara heroik oleh para pencinta democratic value. Itu menandakan kewarasan sedang menjadi trending topik di seluruh dunia. Tanpa memandang ras dan golongan, juga agama. Bila isinya tentang kebenaran absolut maka penolongnya bisa siapa saja, meski tak dikenal. 

Seorang netijen berujar dengan percaya diri. "Jika guru dibungkam kekritisannya, maka murid kehilangan kepekaannya, katanya guru harus kreatif tetapi hari ini guru dikekang 'kebebasannya' lalu bagaimana menyelundupkan democratic value? jika mengkritik saja dilarang sebagai sarana dialog antar individu, lembaga, bahkan negara. Hak dasar yang melekat pada dirinya telah dipasung oleh tangan kotor. Padahal hak itu tersebut tidak diberikan oleh penguasa tetapi dari Tuhan. Tugas penguasa hanya memelihara. Kira-kira begitu cara berpikirnya. 

Jika kebenaran terus saja disembunyikan, maka ada banyak orang yang terus berbohong, karena kebenaran tak mendapat banyak tempat, kebenaran itu harus lari kemana? ke selokan, ia memiliki tempat tersendiri meski itu sunyi dan melelahkan. 

Jika guru itu menyanyikan lagu dangdut mungkin lain hal ceritanya. Isinya tentang perjuangan cinta dan seterusnya, sesuatu yang terus diulang-ulang-klise. Efeknya tak sampai mengoyak sebuah citra. Meski mereka sendiri yang terus saja merusaknya. Yang melakukan beberapa orang satu institusi bisa menerima akibatnya. Guru ya...mengajar di kelas, bawa buku paket, menyuruh membuka halaman berapa pada siswa, menyalinnya, tanpa memberikan elaborasi apa-apa, itu sangat menyedihkan. Mereka ini telah melanggar arti guru itu sendiri; mencerdaskan bangsa, karena mereka generasi yang akan menanggung beban bangsa ini. Bila modal inteleknya rendah, bisa pontang-panting bangsa ini. 

Apakah guru itu bisa kembali mengajar? itu pertanyaan semua orang yang mengabdikan diri sebagai guru. Jawabannya, masih bisa asal mau melakukan komitmen ulang dan selalu mematuhi kode etik yang sudah ditanda tangani. Pertanyaan lain bisa menyusul, komitmen ulang macam mana lagi yang harus dituliskan untuk guru yang punya kecerdasan tertentu, katakanlah daya ungkap terhadap realita. Kalian yag mesti banyak belajar pada guru ini, kata-katanya menghujam langsung menohok pada ulu sasaran. Isi lagu itu menyiratkan nilai demokrasi yang sedang ditancapkan ulang dengan  mendidik siswa di seluruh dunia. 

Tak ada yang keliru secara visi pribadi, mungkin ada yang dilanggar bisa jadi, misalnya kode etik sekolah, tetapi yang mana. Apakah sudah ada dalam SPK ketika ia melamar di sekolah tersebut. Menjawab dengan normatif memang gampang, tetapi membuktikan dibagian mana adalah kesulitan lain yang sedang dialami oleh sang ketua. Itu masalahnya. Ia juga seorang pendidik, mestilah bisa mengolah ngalih, memilah milih mana yang perlu diungkap dan mana yang tidak. Jika sang guru mabok didepan kelas sambil petantang petenteng mencari masa itu jelas kode etik yang sah dilanggar. Guru itu keluar dari garis perjuangan seorang guru. Guru itu telah meredupkan api tekad seorang guru. Juga memudarkan nila-nilai demokrasi. Yang sedang terjadi sekarang ini adalah guru itu memantik kembali API TEKAD SEORANG GURU, dimanapun guru itu mengajar dan berdomisili.

Mengendapkan lalu menata ulang didikan sesuai porsi adalah cara lain untuk memaknai setiap kejadian yang timbul satu saat nanti. Tidak mudah reaktif dan gebyah uyah=menyamaratakan atas semua kejadian. Sebagai kritik, itu ujaran cinta bukan kebencian pada institusi tertentu. Sebagai aksi panggung mesti dibenahi agar unsur yang dibilang sang ketua adalah 'aurat' diterima sabagai orang berakal. Itu masukan yang baik, karena memang wanita dalam islam mestilah berhati-hati dan tidak terlibat dalam hal yang berlebihan. Misalnya bagaimana cara ia berpakaian dan meliukkan tubuhnya secara spontan. Dalam banyak hal, akhlak adalah respon spontan terhadap sesuatu, cara berpakaian mestilah diperhatikan sebagai ras tertinggi di muka bumi. 

Tanpa diminta menjadi utusan (duta), sang guru sudah nyata melakukan aksi melanggengkan kebenaran tanpa perlu amplop tebal sebelum melakukannya. Menciptakan sebuah lagu berisi pedoman agar nilai demokrasi tetap berjalan ditengah sengkarut wajah kebenaran yang terus terlilit persoalan kejujuran. Kejujuran mesti bergerak dari wilayah akademis pada area tindakan elegan. Siapa yang melakukan, tentu saja semua orang yang merasa memiliki jiwa pendidik di manapun berada.

Salah satu pintu untuk melaluinya recalling. Recalling adalah produk sensor pribadi atas semua yang terjadi. Ini semua akan berlalu, tetapi jejak dialektika terus saja membekas pada raga negeri ini sebagai bagian dari memberi nasihat. Terus berkarya dan menampilkan produk budaya bertutur lewat lagu pengejar logika dan penyeimbangkan budipekerkti seperti yang telah diajarkan oleh banyak guru di seluruh dunia lewat kelas kecil dan besar. Tanpa mengurangi rasa hormat, kami ucapkan terimakasih. Hormat Guru Sebagai Pelita Dalam Kegelapan. 

Selasa, 04 Maret 2025

29. KIERI

Kita punya rencana, tetapi Allah yang Maha Mengatur. Aku masih membawa buku harian milik Kiera yang terbenam aman dalam tas slempang. Gundukan tanah itu masih segar. Tak ada taburan bunga mewah. Padahal Pak Alex seorang pengusaha yang berkecukupan. Sebuah papan nisan sederhana menorehkan nama, tanggal lahir dan selesai hidupnya.

Siapapun akan melihat makam berpikirr ulang untuk melakukan hal-hal buruk. Kecuali keburukannya mendarah daging. 

Setengah jam berlalu. 

Para pelayat sudah kembali pulang. Ibu, ayah dan Paman Erik juga sudah pulang. Bu Mona dan suaminya juga sudah lebih dulu meninggalkan pemakaman. Aku, Naura, dan Ares masih berdiri memandangi pusara Kiera. Sementara Pak Alex terlihat diam membeku menatap papan nisan.

Kuharap malaikat akan bersikap baik. Ia tak bisa melawan kematian. Penyakit kanker hanya salah satu penyebab. Takdir sudah berkendak. Siapapun tak bisa menolaknya. Entah ia raja atau rakyat jelata. Kenapa aku jadi sok tahu begini?

Pak Alex berdiri setelah lama jongkok. Senyumnya berhasil mengalahkan kami yang masih naïf untuk mengartikan sebuah kehilangan. Di tinggal pergi seorang sahabat tidaklah mudah.

"Terimakasih sudah menjadi sahabat putri saya."

Aku dan Ares menyalami Pak Alek, telapak tangannya terasa dingin. 

Kami bertiga pamit dan meninggalkan Pak Alex sendiri.

Kami kembali restoran 54. Sampai di restoran aku masuk kamar mandi untuk memastikan tubuhku bersih dari bau kapur barus. Sejenak menjernihkan dari aroma pekuburan. Lalu keluar dengan baju ganti yang lebih nyaman. Ada yang hilang dan nyeri menusuk tapi tak tahu bagaimana menanggapinya. Aku berharap agar tak kehilangan logika terbaikku.

Kami bekerja di pos masing-masing. Suasana agak kaku. Ibu Mona seperti mengerti tentang suasana berkabung yang menyelimuti perasaan kami masing-masing. 

"Siapa yang mau mi kopyor!" Terimakasih Bu Mona dari sebrang ruangan.

Ares mengacungkan tangan melampaui telinganya. Di susul Naura yang tak mungkin menolaknya. Ini jenis makanan yang sulit untuk kami tolak. Kalau kalian menolak mungkin tak bisa tidur semalam suntuk.

Ibu Mona, Naura, dan Ares datang ke dapur secara bergantian. Aku yang melamun tak merasa kehadiran mereka. Selesai mengelap panci dan wajah, aku malah terjebak pada tulisan Kiera yang terus lengket di kepala. Kalimat-kalimatnya terus menerus memanggilku, menawan ingatan. Huruf-hurufnya seolah-olah berputar membentuk perisai yang sulit terpecahkan.

"Kak pangeran kesiangan, kau tahu, pedang yang hebat di tangan orang yang salah hanya akan berubah menjadi tongkat yang rapuh. Sebuah rak kosong lebih baik dari pada mengosongkan hatimu dari perasaan yang tersembunyi."

Mungkin ia menulis ketika menunggu sampai hujan reda di sebuah halte Bancar. Ingatan itu sulit untuk menghilang. Mungkin aku tidak ingin bermain-main dengan kenangan.

"Kau baik-baik saja Ben," Tanya Naura.

Aku tersenyum.

Suasana cukup sepi. Hanya ada beberapa pelanggan yang sedang menikmati makanan. Ketika kami berempat sedang menikmati mi kopyor. Muncul seorang pengunjung yang membekap mulutnya dengan masker bergambar kura-kura. Tas ransel kecil di punggungnya, sepatu kets, dan berpakaian army.

Ibu Mona menghampirinya. Terlihat dialog singkat. Tangan Bu Mona mengarah kepada kami. Keduanya berjalan bersisian mengarah ke meja kami. "Ben, ada yang mencarimu?" katanya.

Aku meletakan sumpit di atas mangkok. Ares dan Naura juga melakukan hal yang sama. Hening menyergap kami.

Bu Mona memberikan tempat duduk bagi gadis bermasker kura-kura. Ia membungkukkan badanya sejenak. Bukan cara khas orang Purbalingga memberi hormat.

"Kau Beni." Tanya gadis di depan kami. Ia masih menyembunyikan sebagian wajahnya di balik maskernya.

"Ya."

Ia menurunkan maskernya dan menyembunyikan di balik kantongnya. Nafasku tercekal.

Di hadapan kami, ada seorang gadis yang sangat kami kenal selama ini. Tapi tak mungkin, ia sudah meninggal, kuburannya masih merah. Orang sudah mati tak mungkin bangkit lagi.

"Saya Kieri." Begitu gadis di depan kami mengenalkan namanya. Wajahnya sangat mirip dengan Kiera.

"Hantu...!" Teriak Ares, ia hampir terjungkal kebelakang.

SELESAI

Senin, 03 Maret 2025

Marc si 93 Bersinar Peco Bersabar

MotoGP Thailand 2025
Sirkuit International Chang
2 Maret 2025

Sebagai informasi awal dari blog sport ini. Guys, pembalap yang mendapatkan gelar juara dunia memiliki hak untuk menggunakan nomor 1 di motor tunggangannya. Sifatnya pilihan. Beberapa dari mereka tidak menggunakan hak istimewa ini. Beberapa dari mereka seperti Valentino Rossi, Joan Mir, Fabio Quartararo, Marc Marques, dan seterusnya. saya nguping pembicaraan antara bung joni dan kedua temannya di TV.

Tulisan diatas sebagai pembuka
karena balapan sesungguhnya akan segera kita saksikan bersama, ambil secangkir kopi, kue jagung sambil jegang, dan nikmati geberan motor 1000 cc, Lets Go...!

Tunggu sebentar...Ibu Negara memanggil

Nanti kita lanjutkan...

Setelah membantu membuat bubur untuk si kecil, saat kita melihat jet darat sedang melibas satu sama lain. 

Warm Up Lap, hanya satu lap. Cukup untuk melihat mereka pertama kali menunggangi motor baru mereka. Ada juga yang masih stay dengan motornya, sebut saja Peco dengan si merah bernomor 63. Jadi sekarang kita mau lihat 63 Vs 93. 

Sementara Si Martin sedang uzur karena sedang cedera tangan. Ampe pekan depan si gesit itu juga bakal tiarap dulu. Para tim mencoba menahannya agar pulih betul dari cedera baru ngomongin point. Si gesit akan kembali nantinya, dan si 93 bakal ketar-ketir ngadepin gocekan maut di lintasan. Untuk sementara Marc boleh senyum selebar unta dan boleh lega untuk sementara waktu. 

Hasil warm up lap ternya Fabio berada di depan semua pembalap. Ogut berharap dapat melihat Fabio melesat melibas para pembalap, minimal bisa bersaing di 10 besar. 

Lampu merah sudah menyala semua pembalap sudah pada di posisinya masing-masing. Badan-badan sudah menunduk mengencang gas sampai pol. Lampu hijau nyala berubah kuning. Wusshhh balapan dimulai. 

Di bawah tatapan 224.634 orang, sirkuit Buriram ramai riuh, penonton juga ingin melihat jagoan kampung mereka, dijuluki new talent from asia, siapa dia, nah kita sambut Somkiat Chantra. "Untuk musim berikutnya, saya berkomitmen untuk belajar, memberikan yang terbaik, dan menikmati petualang baru ini. Ini akan sulit, tapi saya akan memberikan yang terbaik," ungkapnya seperti yang dilansir oleh naikmotor.com

Lap pertama abang Peco bersenggolan sedikit dengan Alex, kejadian ini buat Peco lebih menjauh dari Marc, ini kesempatan bagus pikirnya. Ini kejadian terlihat natural tak ada maksud dari kedua belah pihak. Ini balapan semua hal bisa terjadi. Alex, Franco, Digia dengan kuda besi mesin yang sama yang dipakai Factory Raider ducati di tahun 2024 dengan upgrade yang terbatas. Sampai musim di spanyol berakhir. 

Peco dan Marc Factory Rider, tim pasti akan memberikan support lebih dibanding  tim satelit. Itu sesuatu yang tak bisa dihindarkan lagi. Meski kadang satelit bisa runtuhkan tahta pabrikan. Seperti yang di yang tunjukan oleh si gesit dari Prima Pramac Racing, Jorge Martin. Lalu ada Kenny Robert, Marco Lucchinelli, Franco Ucini, Eddie Lawson, dan Valentino Rossi, informasi siapapa pembalap pabrikan yang bisa JURDUN bisa kalian baca secara lebih lengkap lembar BOLA.NET.  

Pada lap berikutnya Alex Marque terus menguntit Marc dari belakang. Disusul Peco yang sabar mengekor di belakang. Apakah balapan akan terlihat membosankan? kita lihat saja guys...

Kita lihat Franco dikuntit Ai Ogura pembalap Ruki yang memilih bertengger di atas motor Aprilia di banding kepincut dengan Honda yang terus saja merosot prestasinya. Ada apa? ogut kurang tahu. Ogut 'Sok' jadi wartawan saja. Menonton dari rumah dan menuliskan sesuka hati, tetapi tidak asal tulis :)

Marc kehilangan posisi karena melebar di renggut paksa oleh Alex, Adiknya sendiri. Mungkin penonton Marc akan pundung, tetapi mereka sejatinya adalah bromen.

Situasi jadi lebih menarik Peco terus ngintil di belakang. Berharap bisa mengimbangi kecepatan Marc hingga bisa memperoleh poin sempurna. Guys, tampaknya Peco sedikit kewalahan menghadapi kecepatan dua bersaudara itu. 

Pada Lap 23, Marc menunjukan siapa dirinya. Membuktikan keraguan orang yang akan sulit mengendalikan motor ducati pabrikan. Nyatanya di Lap ini Marc mengambil alih balapan dari Alex. Di tikungan 12, pimpinan beralih. Marc melesat seperti roket meninggalkan Alex, Peco, Franco, Ai Ogura, dan pembalap lainnya. 

Bisa dipastikan sampai Lap terakhir, dramapun selesai. Marc di urutan pertama, di susul dua pembalap lainnnya dari ducati. Dan dia mendapat label Won The Open From First Time Since 2024. Meski gelar ini di bantah oleh Pedro Acosta, kemenangannya hanya beruntung. Katanya cuacanya sangat panas hingga pembalap lain sulit menyalib. Dan mesin tidak bekerja dengan baik, ungkapnya. Tapi ini bukan sprint race, ini balapan sesungguhnya. Kita lihat saja di MotoGP Argentina nanti ya bang Pedro?

Poin sementara 

Marc 37 Poin. Alex 29 Poin. Peco 23 Poin. Franco 18. Ai 17 Poin. 

Salam take over!


 

KENDIT POLANG

PROLOG
Juli 1949

Perkenalan ini memang tak begitu mulus, mungkin hanya maaf yang kami ulurkan. Semua butuh awalan, dan aku baru memulainya. Coba sekuat raga untuk tidak klise, semenjana, atau stereotif. Lalu sempatkan barang sejenak agar bisa menapaki setiap adegan yang terjadi. Hingga sedikit terbuka kotak-kotak yang kalian simpan berserakan, lalu terbuka secara 'keren'.

Kisah ini baru akan di mulai.

Bayi itu menangis histeris. Ibunya di samping panik, tangannya gemetar membalut pinggang bayi itu dengan handuk basah. Lingkar pinggang bayi itu tak sengaja tersiram air panas, alhasil sepekan kemudian lingkar pinggar bayi itu membentuk warna hitam. Ibu sang bayi tak henti-henti berdoa agar kesembuhan menyambangi putranya. Begitu juga sang ayah.

Tiga setengah bulan telah berlalu. Bayi itu tersenyum kembali. Ayah dan Ibunya bahagia mendapati putranya yang sembuh. Jejak air panas membentuk lingkaran hitam selebar 2 cm. Sejak saat itu orang tuanya memanggil dengan Kendit Polang.

Ibu Besari dan Pak Marta mengundang kerabat keluarga memberi konfirmasi atas bayinya yang semakin sehat dan lucu. Senyum mengembang tak henti dari Bu Besari dan Pak Marta. Handai tolan dan sanak famili memberikan selamat.

Kendit Polang semakin tumbuh besar. Hitungan tahun terasa cepat. Waktu berlomba dengan aneka macam peristiwa. Kendit Polang tumbuh dengan otot yang mengagumkan. Postur tubuh tak terlalu tinggi. Cara jalannya seperti bebek, hidungnya paruh beo, bergigi kelinci, dan rambutnya tebal berombak.

Kalau kau pernah melihat hercules versi ksatria tersisih, ya kira-kira seperti itu. Meski ia punya prinsip, seringkali hilang ditelan perintah diri dan kepengecutan tiada tara. Mungkin hanya kematian yang bisa menegaskan siapa diri. Batu Nisan kerap lebih tajam dari prasasti manapun. 

Novel ini kupersembahkan untuk orang terdekat, juga kepada siapapun yang merasa perlu membaca kisah ini. 

Minggu, 02 Maret 2025

28. Selamat Jalan Kiera

Kiera masih terpasung selang infus pada pergelangan tangannya. Ketidakberdayaan manusia seringkali merepotkan fasilitas kebendaan. Tak jauh dari pembaringan, Pak Alex duduk memandangi Kiera yang tengah berjuang melawan penyakitnya. Ia mungkin tidak ingin menyerah pada penyakitnya.

Aku dan Ares berdiri beberapa jengkal dari Kiera, seperti menanti putusan takdir. Ada Naura yang duduk di sisi Kiera, jari-jari mereka bertautan. Hembusan nafas Kiera amat pelan. Wajahnya seputih salju. Kami terjebak dalam drama kemanusiaan yang sering kali ikut terjungkal ke dalamnya. Mata bisa saja kuat, tetapi jiwa merintih meminta kesabaran.

Kedua mata Kiera terbuka, lalu tersenyum untuk kami.

"Kau kembali." Suaranya lirih.

Ia mengangguk.

Suasana makin sendu. Di saat seperti ini Kiera terlihat mengingat-ingat sesuatu. Mungkin saja kalau takdir akan mengembalikan kesehatan tubuhnnya, dia akan bangkit cepat-cepat lalu mengejar kotak samurai takut terlambat ke sekolah. Lamunanku jelek sekali, selalu saja ingin merubah takdir. Hal-hal yang sifatnya absolut tak mungkin digeser takdirnya begitu saja. Sama saja akan meragukan kekuasaan Allah Swt.

Ia menatapku pelan. Apakah ruhnya akan segera keluar dari jasadnya. Tak ada adegan yang menyeramkan seperti cerita orang. Aku berprasangka baik kalau malaikat tak tergesa-gesa memisahkan ruh dari jasadnya. Hingga ruhnya keluar secara lembut seperti squisy.

"Kak Ben, kau bawa buku harian saya." Kata-katanya terbata-bata.

Aku memperlihatkan bukunya.

Wajah Pak Alex keras menahan sedih. Bahunya mulai terguncang, Ares mendekat dan meletakkan tangan besarnya ke bahu Pak Alex.

Sebuah buku harian bersampul coklat mulai ku buka. Begitulah hidup, semua tercurah atas nama perasaan. Yang hadir tanpa sebab. Timbul tenggelam, riak bergelombang, dan seterusnya.

'Untuk Beni'. Ia memberikan judul buku hariannya. Ku buka acak. Halaman berhenti pada gambar awan hitam. Tulisannya rapi dengan corak dan motif akar di samping tulisannya. Aku mulai membacanya, mungkin hanya aku yang mendengarnya.

Aku berhenti setelah beberapa halaman selesai kubaca. Kiera telah menulis semua yang dilihat tentang seseorang yang dianggap telah mengubah kehidupannnya. Bahkan aku sendiri amat malu dan terlalu cengeng untuk mengakui semua kejelasan sikap Kiera tentang kehangatan bersahabat, cinta, dan kesetiaan. Semuanya berpadu atas nama persahabatan. Ia melukiskanku dengan warna-warna terang.

Naura terdengar membaca kalimat langit berulang-ulang. Kupikir hanya penyemangat saja. Tapi melihat waja Kiera yang kaku, reaksiku berubah. Seperti ada gumplan es yang menghimpit dadaku. Pak Alex menangis memeluk tubuh Kiera yang mulai berubah. Tercetak kedamaian di wajahnya. Naura kerepotan menghapus air mata. Ares keluar dari ruangan dan duduk ruang tunggu. Bahunya terguncang naik turun, raksasa itu menutupi wajahnya.

Sebuah tulisan terlihat buram, lembab, lalu kusentuh dengan jari telunjuk. Rupanya tetesan air mataku sendiri yang jatuh membasahi tulisan. Kupastikan bahwa itu bulir-bulir air mata. Aku harap ini mimpi, tetapi tiap kali membuka mata, udara dan tempatnya sama. Aku tak ingin mencubit bagian tubuhku seperti yang dilakukan banyak orang ketika mengira sedang bermimpi.

Ruangan Edelwis tampak sunyi. Kami menikmati duka abadi itu. Seorang sahabat kini pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Bisakah kami berjumpa di pintu-Mu nanti.

Malam ini kunang-kunang terbang mendekati jendela kaca, sejenak mereka berkerumun. Lalu terbang secara bersamaan.

Sabtu, 01 Maret 2025

27. Cinta Itu Purba

"Kenapa penyesalan muncul belakangan, kenapa tak diberitahu saja sejak awal."

"Rasa tak perlu mengikat, apalagi dikenang. Ia hanya akan menggerogoti komitmen yang sudah ada. Banyak orang yang tak menikah lagi setelah pasangannya meninggal karena mereka melepas ikatan rasa, lalu mengubah menjadi keihlasan yang tiada tara. Lebih baik menyesal dari pada tidak berani mengungkapkan sama sekali."

Aku agak ragu menerima penjelasan ibu barusan. Ia mengubah posisi duduknya.

"Orang dilahirkan dalam keadaan yang tak tahu apa-apa. Orang terdekatnya yang mengajarkan segala sesuatunya. Kita tak tahu apa-apa setelah tahu ternyata ada apa-apa. Penyesalan itu muncul itu hadir karena kita tak tahu apa-apa, hanya sebentar menerka-nerka. Tapi, menerka-nerka adalah sinyal utama agar tak menyesal kemudian."

"Wajarkah?"

"Beni, cinta itu sangat purba. Pertengkaran berujung kematian oleh mahluk pertama manusia salah satu bukti bahwa rasa suka atau cinta bisa menyebabkan pertimbangan akal menjadi terkikis, oleh birahi semata. Mata dan hati bisa saling tertipu atau menipu satu sama lain."

Ibu berdiri dan mengelus lembut rambutku. Ia keluar dari kamar dan menutup pintu pelan-pelan. Tiga jam aku mengurung diri di kamar. Lambungku mulai berontak.