Sabtu, 22 Februari 2025

20. Sweter

Suara rem berdecit. Perempuan berjilbab dan seorang ibu berambut sinden naik bus bergantian.

Lagu Penny Lane masih mangalun membuat imajinasi terbang membumbung. Penny Lane selesai, suara Ebiet G Ade mengalun lembut menyayat pilu. Bang Zoro melakukan terobosan nakal, tanpa tedeng aling-aling ia memutar lagu dari grup band Jamrud. Mengalun keras dan cadas. "berakit-rakit kita ke hulu. Berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, senang pun kan datang. Malah mati kemudian." Lagu Jamrud selesai. Perempuan berjilbab itu menekan sebuah tombol permintaan lagu. Suara terdengar ngebas, tapi enak didengar.

"Request lagu bang." Kata perempuan berjilbab. Aku penasaran lagu apa yang dimintanya. Mungkinkah lagu religi, atau lagu kasidahan seperti yang digemari ibuku.

"Lagu tentang perdamaian dari Michel Jakson." Serunya.

"OK"

Setengah jam kemudian, kotak samurai berhenti. Aku melangkah turun sambil menjinjing sepeda.

"Terimakasih bang!."

"Ok Ben?"

Kedua kakiku menginjak aspal. Bus Doni Jaya yang masih bergambar samurai sudah meninggalkanku jauh. Spanduk besar yang terpampang lebar di pinggir jalan membuat mataku berhenti sejenak. MEROKOK MEMBUNUHMU. Begitu katanya. Sebelumnya peringatan itu berbunyi: MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN SERANGAN JANTUNG, IMPONTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN. Peringatan itu makin naik levelnya. Sampai sekarang aku tak paham apa maksud dari peringatan itu. Mungkin nalarku masih naif melihat segala sesuatu.

Langit pagi berawan. Gerimis telah lama menghilang. Suasana segar mirip jelang buka puasa. Kususuri jalanan kota Purbalingga dengan sepeda Federal berwarna merah tua. Suasana tenang, lalu lalang kendaraan berjalan teratur. Udara dingin terasa menusuk tulang. Kemarau panjang membuat segalanya jadi berembun.

Aku berhenti di jalan alun-alun Purbalingga. Gerombolan bebek-bebek tengah menyebrang tertib mengikuti arahan dari pimpinannya. Pemandangan yang menarik. Penggembala bebek itu tampak gembira, seperti bebek.

"Serius amat Ben. Amat saja nggak pernah serius" Terdengar sapaan seorang perempuan yang kukenal. Aku menoleh ke sebelah kanan. Angin terasa sejuk semilir. Naura sedang duduk di samping Pak supir yang sedang bekerja. Wajahnya segar. Berjilbab hitam modis.

"Mau kemana Ra," kataku,

"Mau ke resto, bantu Ibu?"

"Kau sendiri?"

"Beli anak-anak ayam."

Naura mengangguk tersenyum. Gerombolan bebek terus melintas seperti tak habis-habisnya. Beberapa darinya menatapku. "hei anak muda hati-hatilah dengan hidupmu," sayang mereka tak bisa bicara.

"Setelah itu kau kemana?" tanya Naura.

"Pulang Ra," jawabku. Harusnya aku sedikit lebih peka dengan pertanyaan tersebut. "Mampir ke resto yuk, saya punya menu baru," ajaknya.

Aku diam mematung. Gerombolan bebek itu makin putus-putus. Tanda akan berakhir. Mungkin ada empat ratus dua puluh sembilan ekor bebek yang sedari tadi berjalan beriringan.

"Baiklah." Kataku.

Gerombolan bebek habis. Angkot oren nomor 4 melaju. Naura melambaikan tangan.

Kukayuh sepeda memasuki jalur setapak panjang yang rebah diantara lajur pepohonan. Kugunakan jalan lintas untuk memangkas jarak. Sebaiknya hati-hati, ular semak sering tak permisi menyebrang jalan, ia terlalu sibuk mengerjar tikus-tikus nakal.

Di ujung jalan setapak terlihat kandang peternakan ayam yang besar. Agen penjual bibit-bibit ayam. Beberapa orang dewasa keluar hilir mudik. Pemilik peternakan membuka jalur pembelian secara grosir ataupun eceran. Dari ayam biasa yang harganya cukup di kantong sampai yang hampir punah dari peredaran juga ada, tentu saja dengan harga tinggi.

Setelah melakukan transaksi, kuikat keranjang berisi anak-anak ayam di atas boncengan. Lalu mengayuh sepeda dengan perasaan yang mengembang dan menggelembung.

"Ra, apa yang bisa ku bantu."

"Tolong kau bawakan pesanan itu kemeja pelanggan."

Ibu Mona membawa jus tomat. Memberikannya padaku. Jamuan yang tak terduga.

"Terimakasih bu."

Ada meja yang kosong. Di meja itu ada lebel besar yang di laminating, angka 54. Seperti yang terdapat di atas pintu masuk restoran.

"Kau jangan takut. Itu hanya replika. Meja no 54. Kau masih ingat kisah tante cantik yang meninggal karena kopi beracun. Untuk mengenang kisah itu, ibu saya memesan sebuah meja yang persis dengan yang ada di TV. Ibu saya mengikuti sidang pertama hingga pembacaan vonis hakim. Ibu saya mengambil Table 54 sebagai nama restoran ini.

"Pesanan terakhir." Ucap Naura.

Restoran tutup setengah jam kemudian.

"Kenapa kalian jadi 'patung' begitu."

"Kon-sen- trasi Bu." Ujar Naura.

"Kau kelihatan gugup Ra, biasanya kau tak seperti itu?"

"Panas tahu."

"Oh." ledek Bu Mona.

Mie dengan rasa baru akhirnya bisa kami nikmati bertiga. Kami berdua tidak banyak bicara. Semua pembicaraan di dominasi Bu Mona. Tentang menu barunya, pertama bertemu dengan ayah Naura, saat mengandung Naura, dan masih banyak lagi. Sesekali Naura mengalami perubahan bahasa tubuh. Biasanya Naura sangat asik dan ceria. Ada apa ini, mungkinkah, rasanya tak mungkin.

Aku pamit dua puluh menit kemudian. Waktu segera senja, dan gelap segera datang. Tak ingin terjebak dalam ambiguitas rasa. Kukatakan pada Naura kalau mi buatannya sangat lezat. Dia tersenyum dan bersembunyi di balik punggung ibunya seperti anak TK yang baru masuk sekolah. Kepalanya saja yang terlihat.

"Aku pulang Ra, jaga ibumu baik-baik."

"Ngaco." Nara tersenyum.

"Terimaksih ya, eh, tunggu sebentar." Naura muncul dari balik punggung ibunya dan berjalan cepat menuju salah satu ruangan. Lalu keluar dengan membawa sesuatu.

"Akhir-akhir ini cuacanya sangat dingin, pakailah sweter ini." Naura mengulurkan sebuah sweter. Seorang putri titanium dari klan bidadari memberikan sebuah hadiah, mimpi apa semalam. Ini bukan mimpi, aku bisa merasakan hembusan nafasku sendiri.

Kupakai langsung sweter itu di hadapan mereka berdua. Menganggukan kepala sejenak.

Kukayuh sepeda kuat-kuat. Orang-orang yang kujumpai pada jalan yang kulalui terlihat tampan dan cantik. Pada sisi jalan seolah muncul aneka macam bunga ditingkahi pelangi yang muncul tanpa aba-aba. Kepalaku terasa melayang berhalusinasi.

Jumat, 21 Februari 2025

19. Senyum Telah Kembali

Persahabatan tak mengenal reuni. Bagi kami reuni adalah cara standar untuk menikmati interval dari tahun-tahun tak bertemu. Itu sah-sah saja, tapi bagiku reuni adalah kekakuan dalam memahami sebuah waktu yang seharusnya berlalu tanpa perlu memanggilnya kembali dalam satu wadah, reuni. Ini seperti memberi instruksi pada teleporter agar berhenti sejenak mengunjungi berbagai dimensi.

Lelah berkeliling melihat kebun kopi sambil berbicara hangat. Kami pergi ke kandang ayam milik ayah yang jaraknya dua puluh menit dari rumahku. Mungkin di sana kami akan menjumpai ayah sedang mengaduk-aduk empan untuk ayam-ayam peliharaannya.

Sampai di kandang ayam. Ia menyambut kami senang. Tangannya terlihat masih basah, ia mengelap dengan celemek bergambar anak ayam gemuk yang terikat di perutnya. Kebun kopi memang belum layak disebut sebagai kebun kopi pada umumnya, begitu juga dengan kandang ayam yang belum layak disebut peternakan dengan jumlah ayam ribuan ekor. Setidaknya kami bisa hidup tanpa tangan di bawah.

"Sudah makan siang."

"Belum yah."

"Kita pulang dan saya buatkan mi ramen untuk kalian. Hidangan penutupnya es kelapa. Lalu setelah itu kita akan nonton kasti, bagaimana?" ucap ayah semangat.

Stadion mini Kaligondang ramai ceria. Para penonton tumpah ruah, mereka dari berbagai kalangan dan usia. Secuil hiburan yang bisa mereka rasakan. Menguarai letih dan penat seharian di sawah, atau bekerja di kota. Sementara pedagang-pedagang kecil berharap dapat sedikit laba untuk memperpanjang harapannya. Setidaknya bisa memastikan beras dan lauk pauk bisa dibeli setelah dagangan mereka laku terjual.

"Kau mau Ben." Serempak kedua tangan Naura dan Kiera mengulurkan gelas plastik berisi berondong.

"Dari tadi saya duduk disini, nggak ada yang nawarin" keluh Ares, bibirnya manyun lima senti.

"Ini Res, buatmu." Ayah memberikan gelas plastik ukuran besar berisi berondong jawa. Ares tersenyum merekah.

"Terimakasih Pak."

"Pertandingan Kasti akan berlangsung lima menit lagi, bagi penonton yang masih diluar dan mimiliki karcis segera masuk." Suara dari operator terdengar merdu.

Setelah memberikan karcis masuk pada salah seorang panitia. Ia terlihat senang berjumpa dengan ayah.

"Pak Marko, apa kabar."

"Baik, kau sendiri."

"Masih siap berpetualang." Panitia itu menjawab bangga, mengandung aroma patriotik. Wajahnya Renegede banget.

"Tulang-tulang saya semakin sulit untuk bergerak, sudah waktunya pensiun." Jawab ayah.

"Legenda hidup Mike Tyson saja naik ring lagi, bagaimana menurutmu Pak?" "Saya paling tahu kondisi fisik saya, jadi kau jangan pancing-pancing soal petualangan itu," kata ayah yang terdengar keberatan.

"Film The Grey 2 mungkin akan dilanjutkan, penonton butuh kepastian, tapi kita bukan penontonkan?" ucap panitia itu.

"Kau benar, saatnya kau yang akan jadi pemain," jawab ayah. Panitia itu seperti tak puas dengan jawaban ayah. Ia pamit sambil sedikit membungkukkan badannya. Rambutnya yang gondrong bergelombang membuatnya tampak sangar sekaligus tampan.

Pertandingan Kasti dimulai.

Para pemain kasti sudah berada di posisinya masing-masing. Bola pertama berhasil dipukul dengan baik dan melambung ke atas. Ibu berlari sprint dan terus berlari melewat pos demi pos. Bola menukik dan berhasil ditangkap oleh lawan. Ritme permainan semakin menarik. Ibu berlari dan dengan gesit menghindari bola yang dilesatkan kearahnya. Ada satu pos terakhir yang harus dilewati oleh ibu. Bola dilesatkan keras. Sasaranya adalah bagian tubuh ibu. Penonton berteriak, bola itu hampir mengenai paha. Tiba-tiba ibu mengerem mendadak. Bola itu mengenai angin. Penonton bertepuk tangan. Lalu ibu kembali berlari menuju homebase. Naura dan Kiera tampak senang. Wajah Kiera yang selalu pucat terlihat bersemu merah lantaran banyak berteriak. Naura juga tersenyum. Ares tak berhenti mengunyah brondong jawa alias popcorn.

Sampai di homebase, Ibu disambut oleh teman-temannya. Mereka berjingkrak-jingkrak gembira. Sejenak melupakan usia. Aku gembira, ibuku kembali kuat. Beberapa kali ibu menghapus jejek air mata. Kedua matanya menyisir para penonton. Ketemu. Ibu melambaikan tangannya ke arah kami.

"Gina!!!, ayo semangat!!!." Ayah berteriak seperti auman singa. Suara kuat dan menggema. Lapangan Kaligondang tak sebesar stadion Gelora Bung Karno. Suara ayah membuat para penonton menengok ke arah kami. Merasa dipanggil namanya, ibu makin sibuk menghapus air mata.

"Ayo semangat bu!" Giliranku berteriak.

"Rupanya disana ada Pak Marko. Legenda hidup dari Kesamen. Ia memberi semangat kepada orang yang disayanginya. Ya, pemain kita telah kembali. Beri tepuk yang meriah untuk pemain legenda kita, Gina Pratiwi!." Suara komentator membakar semangat. Tepuk makin meriah. Pertandingan di lanjutkan.

Ibu telah kembali pulih, begitu juga dengan Kiera. Meski terlihat kurusan. Tetapi senyum mereka telah kembali, membuatku lebih bersemangat. Sampai kapan, aku tak tahu.




Kamis, 20 Februari 2025

18. Buku Harian Kiera


 
Selesai kemotherapi di Rumah Sakit Kanker Fuda, Guangzhou. Kiera dan ayahnya memilih tempat istirahat di kota Bandung. Baginya tempat itu dirasa sangat nyaman. Surga yang selalu dirindukan.

Udara terasa lebih segar. Kiera duduk di kursi roda, ayahnya mendorongnya dari belakang. Keduanya berhenti pada satu gerbang besar dan mengisi buku tamu, lalu mereka berjalan menuju kotak Donasi. Taman Pustaka bunga Bandung segera menyapa mereka, dengan aneka macam bebungaan sedap dipandang.

"Yah kenapa ibu tak pernah pulang. Apa ia tidak kangen dengan kita," kata Kiera.

"Ayah tidak tahu."

"Apa ada pria lain yang lebih kaya." Kiera tampak sinis.

"Kiera?" ungkap ayahnya sambil mengatupkan kedua rahangnya.

"Ibu sudah memutuskan sebuah ikatan."

"Ikatan dengan ayah mungkin telah terurai, tetapi denganmu, ikatannya tetap menyambung sampai kapanpun.

"Rumah di Jakarta bagaimana Yah."

"Ayah jual, buat persiapan kuliahmu."

"Ayah dengar kau punya teman dekat di sekolah, siapa namanya?"

"Kok ayah tahu?"

"Itu tidak penting?"

"Namanya Beni, biasnya dipanggil Ben. Ia kadang pendiam, ceria, cool, cuek, rambutnya grondong, sedikit jutek, tapi ia cowok yang baik," kata Kiera. "Kau suka," celetuk ayahnya.

Kiera memandang bunga-bunga yang sedang bermekaran. Semilir angin menyapu jilbab yang menutupi kepalanya yang botak.

"Maaf, kau tak nyaman dengan pertanyaan ayah."

Kiera menggelang. Ia kembali memandang taman-taman indah berisi aneka macam bunga-bunga.

"Sosok Beni memberi saya semacam semangat," ucap Kiera. "Apa itu salah, rasa suka hadir begitu saja." Tambahnya

"Kapan-kapan kau ajak ke rumah dong?"

Pak Alex mendorong kursi roda sampai ketengah taman pustaka Bandung hingga kakinya letih melangkah. Memeluk pundak Kiera dengan lembut, seperti sentuhan ketika Kiera baru menginjakkan kakinya di Kota Purbalingga. Tuntutan pekerjaannya membuat Kiera mengikuti kemanapun ia bekerja. Selama di Rembang, Kiera menginap di rumah bibinya.

"Kenapa ayah harus berpisah dengan Ibu sih," Kiera bertanya kembali. Terdengar helaian nafas panjang dari ayahnya.

"Ayah tak pernah meninggalkan ibumu. Mungkin ayah yang jarang memperhatikan Ibumu."

"Soal Ibu kawin lagi apakah itu benar."

"Ayah hanya berharap semoga ibumu menemukan kebahagiannya."

"Saya tak tahu cara berpikir ibu, ia manusia atau monster sih, demi uang ibu tega meninggalkan kita," sewot Kiera.

Keduanya terdiam. Langit tampak bersih, kumpulan awan mengarak-arak. Seputih kapas, membentuk gugusan.

"Ayah tahu nggak kemotherapi nano?"

"Baru dengar, kamu tahu dari mana."

"Naura, teman sekolah."

"Nanti ayah cari tahu."

Malam semakin pekat, Pak Alex duduk di ruang tamu dengan segelas kopi gayo sebagai temannya. Ia tampak serius. Wajahnya datar. Ia terlihat sedang membaca sebuah artikel di ruang tamu. Kedua matanya menubruk kalimat yang mulai menganggu pikirannya.

"Kemoterapi nano adalah salah satu terapi minim resiko dalam pengobatan kanker. Konsentrasi partikel nano dalam waktu lebih lama meningkatkan tekanan darah di jaringan kanker. Akibatanya, aliran darah yang keluar-masuk tumor pun terhenti. Karena tak mendapatkan asupan makanan yang diantar darah, perlahan sel kanker mongering. Setelah itu barulah butiran nano pecah, obat tertahan selamanya dalam jaringan tumor."

Pak Alex menutup majalah yang dipesan dari salah seorang teman. Ia menyeruput kopinya yang tak lagi mengepulkan asap. Tangan kanannya menjambak-jambak rambutnya tanpa menyakitinya. Ia meletakkan majalah tersebuat pada rak yang kosong. Ia melangkah masuk dan menutup pintu rumah serta menyelotnya.

Kiera tertidur sambil memeluk buku hariannya. Ayahmu mengambilnya hati-hati meletakannya diatas meja kecil. Ia mengambil selimut dan menghamparkan sampai sebatas leher. 

Ia kembali duduk di luar. Bandung sedang nyenyak diselimuti kabut tipis yang pelan-pelan bertengger dipucuk-pucuk pohon. 

Ia mengati buku harian putrinya, sampulnya berwarna merah muda. Lalu ia membukanya. 

***-Untuk Beni-***

Ayahnya tersenyum membaca judulnya. Beberapa lembar foto ada didalamnya. Ia mengambil foto-foto itu. Melihatnya. Dan ia mengucek matanya berkali-kali. Ia pun mulai membaca halaman demi halaman. Ia terlihat semakin sering mengucek matanya. Kalau mau tahu, itu sangat merepotkan. Karena menghapus jejak itu lebih sulit dari pada membuat jalan setapak. 


Rabu, 19 Februari 2025

17. Sisi Lain

Hujan kembali turun. Ia menemani kami yang tengah menekuri soal-soal ulangan tengah semester. Kelasnya dicampur antara kelas satu, dua, dan tiga. Siapa dapat siapa, kami senang mendapatkan teman duduk yang tak terduga. Tujuannya mungkin supaya saling kenal, tapi bagi para penganut paham moduisme, mereka sangat menanti-nantikan kegitan UTS yang menggetarkan itu. Cara apapun mereka keluarkan, salah satunya pura-pura membantu adik kelasnya, padahal tong kosong nyaring bunyinya, otak kosong garing bulshitnya, itu tulisan di kaosnya Eka Kurniawan.  

Aku tak terlalu pintar, bodoh kadang-kadang, jadi tak begitu pengaruh soal duduk dengan adik kelas manapun. Aku pantang mencontek. Ia adalah aib, mengandung pamali, dan bukan sifat seorang ksatria, begitu kata guru agama yang tak mau lepas dari ingatanku.

Dua pengawas dari sekolah lain sedang duduk di depan kelas. Mereka terlihat muda, salah satunya terlihat gelisah. Ia kerap mengelap wajahnya dengan kacu yang diambilnya dari saku belakang. Mukanya terlihat pucat dan bekeringat. Mungkin lambungnya berulah. Sedangkan satunya lagi, enak-enakan ngudud (merokok) sambil terus mengawasi kami. Aku semakin bingung, kita para murid lelaki dilarang keras merokok, tetapi sebagian guru merokok seenaknya tanpa memperdulikan perasaan kami.

"Heh, fokus saja, jangan ngeliatin bapak begitu, mau ngrokok juga!" 

"Nggak Pak!" kataku, kaget. Jantungku makin blingsatan.

Dulu ketika aku masih MI, mendengar: guru digugu dan ditiru, guru kencing berdiri murid kencing berlari. Sekarang mungkin semboyan itu makin bergeser saja ke arah yang makin mengenaskan. Bisa saja semboyannya berubah makin kejam saja, singkat dan membunuh. Guru kencing berdiri, murid kencingin guru. Pengetahuanku sangat rendah waktu itu, jadi aku tak tahu masalah etika ini, siapa yang memulai dan dan siapa yang akan mengakhiri. Aku juga tak tahulah, macam mana.

"Kau tahu yang duduk tak jauh dari sampingmu adalah seorang vokalis. Suaranya mirip Duta SOS." Kataku pelan pada kiera. Setelah bosan mengamati para pengawas dari dua puluh menit yang lalu.

"Yang mana Kak," tanyanya penasaran.

"Rambut lurus, belah tengah, jam tangan di kanan, lengan bajunya digulung, dan ada bekas luka bakar di pipinya."

"Oh, kalau tidak ada luka bakar, ia pasti sangat tampan," ujar Kiera.

"Ia cowok yang jarang bicara, berbeda sekali ketika ia sedang manggung. Ia salah satu korban konflik perang yang terus berlangsung sampai sekarang."

"Oh kasihan, namanya siapa kak."

"Maleo, bersama bandnya mereka sering mencari donasi buat panti asuhan yang mereka tinggali," ucapku berbisik, pengawas itu makin tak enak dipandang.

"Heh kalian berdua, sudah selesai belum!" kata salah seorang pengawas. Satu pengawas lainnya sibuk mengedarkan berkas untuk ditanda tangani.

"Mereka punya konser setiap akhir bulan di Alun-Alun Purbalingga," ucapku lebih pelan lagi.

"Kakak mau nonton?" tanya Kiera.

Aku mengangguk saja.

Lewat kode rahasia. Ares minta 'pertolongan'. Ku tuliskan beberapa jawaban kepada Ares. Aku memang tak pandai dalam soal hitung, tetapi soal bantu membantu aku tak ingin ketinggalan. Dengan sangat hati-hati ku lemparkan bola kertas ke padanya.

"Yang sudah selesai boleh di kumpulkan, tak perlu lama-lama, kayak jawabannya benar aja." Kata salah seorang pengawas berbibir hitam itu.

Hujan berhenti mendadak, senyap, adem, dan terdengar ritual menetes. Burung-burung gereja mulai keluar dari peraduan. Mencari makanan untuk menyambung pahala dan ketaatan.

"Duluan Ki," kataku.

"Ok kak, saya juga sudah selesai."

Aku berdiri dan berjalan keluar kelas. Wajah Ares terlihat murka. Ia telah membuka kertas contekan yang kuberikan beberapa menit yang lalu. Bukan jawaban seperti yang ia harapkan. Tetapi, sebuah tulisan: kerjakan sendiri, aku juga nggak tahu jawabannya. Tangannya mengepal, kedua matanya melotot. Suara tawaku mengkerdilkan niat busuk Ares yang terselubung.

"Hei, kamu bisa diam tidak!" teriak sang pengawas sambil melempar puntung rokok kearahku. Segera kupergi dari hadapannya. Dari balik jendela, kulihat Ares menjulurkan lidahnya dan tertawa tanpa suara. Baru berjalan beberapa langkah. Karma itu sudah menyergapku. Naura menyusul keluar dan duduk bersama beberapa teman-temannya. Mirip segerombolan burung yang berlindung dari tetes-tetes hujan. Ada yang terasa menusuk dadaku. Aneh, rasanya sakit dan perih. Cemburukah. Kulihat junior italia ganteng itu terus mencoba menawarkan makanan. Segera kutertawakan diriku sendiri. Siapa aku ini, jangan terlalu percaya diri, nggak baik.

"Kenapa kak, cemburu ya?" tanya Kiera.

Aku tak menjawab. Aku tak mau menambah beban moral yang sedang ku perbaiki. Kiera bak pemburu berita, kepo banget. Anak baru in, kadang-kadang merepotkan juga.

"Mau kemana, ikut kak."

Aku mencoba menatap Naura, mencari sebuah jawaban. Kiera mengekor di belakangku. Ada hembusan keegoisan. Hanya sesaat, Naura kembali sibuk makan coklat bersama dengan teman-temannya, jaraknya masih sopan. Kira-kira dua kali orang dewasa bersin, namaku dipanggil.

"Ben, mau kemana, ikutan dong!?" Ia berlari-lari kecil menghindari terkaman gerimis. Meninggalkan beberapa teman cowok yang salah langkah. Tatapan mereka membuat seperti genangan air. Junior ganteng Italia itu mengunyah makanan yang ditawarkan ke Naura dengan cepat-cepat. Tatapannya tak pernah lepas ke arahku, ia seperti seorang sniper.

Ini sisi lain, yang tak bisa kucegah. Sampai kapan, aku tidak tahu. Kutatap junior Italia ganteng itu. Ketika ia balik menatapku aku buru-buru mengalihkan pandangan. Berjalan ke arah kantin, membeli beberapa gorengan. 

Baru lima langkah bahuku dicengkram, reflek kumenoleh. Sebuah pukulan cepat tak sempat kumengindar mendarat di atas pelipis. Buk!, aku terhuyung-huyung kebelakang. 

"Kak Ben!" Teriak Kiera yang sudah berjalan duluan. 

"Jangan Sok Ganteng Ya, anak kere!" teriak Junior itu. 

Pikiranku agak kacau, pukulannya keras banget. Detak jangtungku tak karuan. Darahku mengucur merembes ke pakaianku. Kuraba, ada kulit yang robek, dan darah itu begitu kental dan kulihat telapak tanganku penuh darah. 

Aku tak sempat membalas junior itu, yang wajahnya semerah kepiting rebus. Pikiranku melambung pada peristiwa mengerikan, darah ini warnanya sama seperti darah yang muncrat dari batok kepala kakaknya Intan. 

"Maksudnya apa!," Teriak Noura. 

"Kenapa kau belain dia Ra, dia cuman anak kere, pulang pergi naik angkot!"

"Itu urusanku, mulai detik ini jangan pernah memanggil namaku!" 

Situasi makin kacau, ketika ia ingin memukulku kembali. Ares muncul dari kelas dan mencengkram tubuhnya. Dan aku memilih pergi bersama Noura dan Kiera untuk mengobati lukaku di UKS. Guru pengawas menertibkan mereka. 


"Kenapa kau tak melawan Ben," tanya Noura. 

"Tak sempat, pukulannya keras banget, kayak sabet ekor ikan pari." 

"Darah, nggak berhenti-henti kak, ini nggak baik kak," katanya, ia lalu lari ke arah kantor. 

"Ia cemburu sama kamu Ben," ucap Noura, sambil tangannya terus menekan lukaku. 

"Harusnya ia lebih cerdas mendekatimu." 

Noura tertawa kecil. 

"Ia tak lebih dari anak kecil yang terus merengek minta mainan." katanya. Ketika kulirik seluruh bajuku sudah memerah. Pakaian Noura ikut memerah. 

Kiera datang bersama guru yang bisa bertugas di UKS. Dan kepalaku makin terasa pusing. Ini sisi lain yang kuterima sebagi resiko, jika dekat-dekat dengan mereka. 

"Kau perlu ke dokter Ben?" nasihat guru penunggu klinik. 


Selasa, 18 Februari 2025

16. Suasana


Suasana dalam kotak samurai (Bus)tenang seperti kakus. Ini senin pagi yang kelabu. Hujan deras turun sejak malam. Subuh baru reda. Pedagang keliling yang biasa ku lihat, belum nampak satupun, mungkin masih meringkuk dalam sarungnya.

"Hai kak Ben," sapa Kiera, ia sudah tersenyum indah sepagi ini. Aku merasa tak nyaman ketika beberapa cowok di bus ini ikut menatap kami. Mungkin mereka para veteran korban cinta sebelah tangan. Beberapa dari terdengar berbisik, mungkin menyumpahi kami atau malah mendoakan kami.

"Hai Ki," Ku balas sapaannya.

Suasana tenang dalam bus berubah gaduh. Anak-anak STM dari desa Kembaran wetan naik bergerombol. Beberapa dari meraka kukenal. Satu sisi mereka bagai perisai dari tatapan cowok yang terasa dengkinya, sisi lain mereka berisik sekali. Keadaan ini menguntungkan, seperti mendapat bala bantuan. Anak-anak STM itu tak pernah membahas soal uban di kepalaku, ataupun nilai akademik. Mereka cukup peduli dengan teman yang di kenalnya, meski tak begitu dekat.

"Di sampingmu siapa, gebetan baru ya," tambahnya.

Aku tersenyum saja. Mau menjawab apa.

"Hei, nama kamu siapa," kata si Jeger.

Tiba-tiba Kiera memakai masker bergambar Doraemon. "Maaf saya mengantuk, saya mau tidur dulu, kau cari kenalan lain saja," jawab Kiera, aku tak mengira ia akan memberikan respon yang sama sekali tak lazim.

Anak STM itu kembali ke gengnya, tertawa tidak jelas dan syukurlah sampai sekarang mereka tetap tak mengusikku. Lalu mereka tampak kikuk sendiri setelah sang Jeger agak ganjil sikapnya.

"Mereka temanmu?" tanya Kiera.

"Ya."

"Dulu, kakak saya juga pernah berseragam STM. Tapi, ayah tak setuju. Lalu, terjadilah pertengkaran sengit diantara mereka. Hingga pada satu malam kakak kabur menuju bandara, menyusul bibinya di Jepang, sampai sekarang saya belum bertemu lagi."

"Kenapa ayahmu tak setuju?"

"Kata ayah, seorang perempuan tak pantas sekolah di STM, nanti jadi anak liar, dan bla-bla, dua-duanya tak ada yang mengalah."

Kami hening sejenak. Menikmati sisa hujan yang menyisakan gerimis kecil. Bus berjalan pelan, mungkin sekitar 20-40 km/jam. Kami memasuki desa Kalikajar, atau orang menyebutnya Trenggiling.

"Kak?"

"Ya."

"Kau percaya kematian."

"Tentu, ia bagian hidup yang tak bisa ditawar."

"Apa ada bagian takdir yang bisa diubah oleh manusia."

"Orang-orang yang tak sempurna fisiknya, tapi ia tidak menyerah. Mereka adalah para pengubah takdirnya sendiri. Para pemain basket dengan kursi rodanya, pendaki gunung dengan satu kaki palsu, para pelukis dengan jari jari kaki, dan ada jutaan orang yang menolak patah dan melawan takdirnya sendiri, hingga mereka dapat mensyukuri kehidupan dengan cara mereka sendiri."

Kiera bercerita kalau kankernya sudah stadium empat. Harus bolak-balik Purbalingga-Bandung untuk kemotherapi, menghajar sel "brengsek" yang terus menggerogoti sel beradab lainnya.

"Ini kemo yang ke tiga," ucapnya.

Aku terdiam lagi.

"Di panti jompo aku punya sahabat, namanya nenek Beky. Aku senang mendengarkan ia bercerita, tentang masa lalunya, buku-buku yang ia baca, dan juga kehidupan pribadinya." Kucoba alihkan suasana.

"Seperti apa nenek Beky itu" ujarnya

"Penuh teka-teki?"

Ia tersenyum.

Bus berhenti di Pasar Badhog Center. Aku turun, Kiera ikut turun.

"Kenapa kau ikut turun."

"Jalanan ini bukan milikmu."

Kami berbicara sepanjang trotoar. Udara sangat dingin. Ketika berbicara mulut kami mengepulkan asap. Pembicaraan kami sejenak terhenti. Hujan kembali turun sangat deras. Kami berdua terpaksa berlindung di emperan toko mainan. Kulihat gadis berkerudung dan berseragam yang sama dengan kami. Ia tengah menunggu seorang kasir.

"Kak Ben, itu Naura, sedang apa ia pagi-pagi begini," Ujar Kiera.

"Nggak tahu."

Kami harus merapatkan diri ke dinding kaca. Naura keluar dari Toko mainan dan berdiri di samping Kiera. Tatapannya dingin penuh selidik. Hujan telah menyita lima puluh persen kecerdasan rasa. Kugulung celana sampai dibawah lutut untuk agar tetap kering.

Sesaat kami beradu pandang. Aku diam membisu seperti terkena jab dari atlit MMA. Aku berdiri diantara dua putri titanium dari klan bidadari sekaligus. Syukurlah, itu hanya sebentar.

"Sejak ada kamu di sekolah, para perempuan di sekolah mulai kebat-kebit loh, mungkin takut diputusin sama kekasihnya. Para cowok mulai oleng kepalanya, kerap menoleh setiap melihatmu. Mungkin hanya Beni yang berleher beton, tak ingin menoleh ke arah manapun," kata Naura.

"Mungkin kita punya selera yang sama ya kak." Kata Kiera.

Jantungku berdegup keras. Gadis Jakarta ini memiliki keberaniaan untuk mengungkapkan sesuatu.

"Bisa jadi," ucapa Naura enteng.

Hujan mulai reda. Tak bebas rasanya terjebak dalam ambiguitas. Aku mencoba bertahan dalam kenyamanan yang tidak biasa. Aku mencoba mengais-ngais kata-kata yang bisa menghilangkan kecanggungan kami bertiga.

Rintik-rintik gerimis menjalar semua sisi, menimbulkan rasa dingin yang nyaman. Kesempatan ini tak bisa ku abaikan. Tatapan mata Naura sontak berubah menjadi dingin. Rasa yang kutumbuhkan untuk "menyayanginya" perlahan ku tekan sampai batas akhir kekuatanku. Meski harus kubayar nantinya dengan kekosongan yag terus menerus menghantui. Maunya apa gadis ini?.

Kami bertiga berjalan beriringan.



Senin, 17 Februari 2025

15. Demi Ibu


Alun-Alun Purbalingga menjadi tempat asik untuk rehat sejenak dari berbagai tumpukan masalah yang pelik. Tua, muda, kakek, nenek, ibu-ibu hamil, bayi yang dalam gendongan, anak-anak bermata jeli, mereka menumpahkan 'kekesalannya' pada sebuah nama: Alun-Alun Purbalingga. Mereka juga berbagi tempat dengan puluhan ekor kuntul yang bersarang di atas dua pohon beringin besar.

Lapangan berumput, kursi-kursi berjajar, dan akar-akar besar pohon beringin, jadi pilihan mereka untuk duduk. Anak-anak dari sekolah lain juga banyak yang bersliweran. Gaya mereka mematikan, bertingkah macam Lupus, Andi Lau, anak-anak Meteor Garden, Ali Topan, Wiro Sableng, Si Buta dari gua hantu, dan mengeong seperti Bruce Lee.

Sambil tersenyum, Naura mengeluarkan Biola berwarna hitam malam. Ia mulai memainkan Biola, mereka yang sedang duduk-duduk menikmati intervalnya, mulai menolehkan kepalanya ke arah kami. Aku ikut terpapar suara indah biola yang digesek mesra.

Naura tidak hanya mahir menggunakan Crossbow Barnet Ghost 350, tetapi juga pandai memainkan biola. Penonton terdiam, Ibu-Ibu membawa anaknya ke pangkuan, anak-anak sekolah berhenti menjahili temannya, dan mulut-mulut berhenti mengunyah. Pelan-pelan mereka membuat lingkaran besar dan mengepung kami.

Kaleng biskuit mulai berisik, uang logam banyak berjatuhan.

Tepuk tangan terdengar, aku merasa senang. Walau jarang yang ada yang memperhatikanku. Pada saat yang bersamaan, kuperhatikan kaleng biskuit tak sebrisik tadi. Meski penonton terus saja melemparkan uang logam pada jarak yang memungkinkan.

Ia beralih pada Gitar dan mulai memainkan. Sebuah lagu lama yang ia nyanyikan, Dan dari band SOS. Aku tak beruntung, mereka benar-benar mengabaikanku. Mereka mungkin berkosentrasi penuh pada lagu yang dibawakan serta pada wajahnya.

Setelah berhasil mengaduk-ngaduk perasaan pengunjung dengan permainan Biola dan Gitar, Naura seperti memberi jarak pada penonton untuk mengambil kesimpulan sendiri, tak ingin menjadi pengaku seniman atau apapun namanya. Ia tersenyum dan membungkuk mengucapkan terimakasih atas respon pengunjung yang ku lihat puas.

Ambigu, suatu penyakit yang berusaha ku jauhi. Tetap jaga jarak dengannya, meski ia tampak tak risih. Aku tidak ingin terjebak dalam kepercayaan diri yang tak terukur, kemungkinan buruk bisa saja terjadi. Naura hanya manusia biasa, bukan gadis biasa, ku pikir itu dua hal yang berbeda. Ini bisa jadi soal memantaskan diri, meski aku tak berusaha memantaskan apapun.

Tatapan para cowok keren di sekolah itu membuatku memantaskan diri. Junior ganteng berwajah Italia itu salah satunya, ia inspirasiku. Aku angkat topi pada kegigihannya mendekati Naura. Mereka ideal untuk disandingkan. Jujur mereka sangat ideal.

Yang terjadi sebaliknya, benteng kokoh menjulang kerap dibangun Naura setiap Junior ganteng berwajah Italia mencoba sesuatu. Bagiku, semua itu terasa misterius. Sampai benteng yang sulit ditembus itu akan bertahan. Jika yang datang seorang pemuda yang nyaris tanpa cela.

Lamunanku buyar, saat beberapa penonton mengeluarkan lembaran puluhan ribu dan menyerahkan ke dalam kaleng bekas biskuit yang ku pegang. Aku mengangguk pada mereka dan tersenyum tak berdosa. Naura yang berdiri di sampingku ikut membungkuk, mengucapkan terimakasih.

Kututup kaleng biskuit yang mulai membuatku pegal. Sementara Naura sibuk merapihkan Biola dan Gitarnya. Seorang lelaki bertopi jepang datang mengagetkanku.

"Pacarmu sangat berbakat," kata lelaki itu.

Aku bingung menjawabnya.

"Terimakasih Pak," jawab Naura enteng.

"Kau tampak bersemangat," tambahnya.

"Tentu saja, ini untuk orang yang kami sayangi, betulkan Ben?"

Aku mengangguk. Sudah berapa kali aku mengangguk, pembaca mungkin bosan aku tak kreatif soal jawab menjawab.

Mengakui sebuah ikatan tanpa ikatan adalah kesepakatan konyol. Bersikap jujur memang pahit, tetapi terasa manis di kemudian hari. Kata orang bijak: Pacaran mengajarkan pada kita agar jadi pacar yang baik, bukan suami yang baik. Kata-kata itu terus saja menghantuiku. Apakah benar?atau hanya semacam perisai agar tidak terjerumus dalam pergaulan tanpa batas.

"O, kalian anak muda yang hebat." Katanya. Setelah itu ia pergi sambil memasukan lembaran dua puluh ribu.

Dari arah lain, seorang pemuda memakai kalung akar bahar datang menuju ke arah kami. Tampangnya pucat dan kekar.

"Kau pacarnya bukan?"

"Bukan bang," kataku.

"Kalau begitu saya kasih lima ribu." Ia berlalu setelah memberikan uang, kepalanya digeleng-gelengkan.

"Kenapa kau tak mengaku saja pacar, siapa tahu dapat dua puluh ribu," ucap Naura, ucapannya mengalir saja, tanpa ada beban.

"Maksud kamu," tanyaku penasaran.

"Hanya mengaku saja, itukan mudah?"

"Dasar aneh."

"Kau yang aneh, cepat kejar bapak itu?" perintah Naura.

"Untuk apa," aku makin sewot.

"Dua puluh ribu, kau tak mau."

Aku lari ke arah pemuda tadi. Aku bisa melihat kecemasanku, tapi tak bisa kutampakkan. Semoga Naura sedang tidak merekayasa atau melakukan konspirasi 'keji' yang sempat membuatku terjungkal ke jurang. Suasana ini, seperti kapal yang berlabuh pada dermaga yang telah ditentukan, menjatuhkan sauh dan menurunkan para penumpang. Ini soal kepastian saja.

Lelaki berkalung akar bahar itu langkah kakinya seperti kijang. Berjalan dengan kecepatan berlari. Langkahnya panjang-panjang dan agak gemulai. Ia seperti pemain sirkus yang punya kedua kaki tambahan.

"Bang!, tunggu!" teriakku terengah-engah.

Ia berhenti dan memutar tubuhnya. Tak di sangka, ia meletakan kedua tangannya pada pinggang, seperti model. Tubuhnya terasa ingin rebah ke belakang. Ia tersenyum, tapi mulutnya cepat-cepat ia bekap menggunakan jari jemarinya yang tampak lentik. Apakah ada yang salah dengan kedua mataku? Aku memutuskan untuk balik kanan saja.

"Hei anak muda, kau sudah memanggil saya, pamali tahu?" katanya. Terpaksa ku putar tubuhku sendiri, aku dibuat kikuk olehnya. Seandainya ada pilihan lebih baik dimarahi oleh Pak Taro dari pada bertemu lelaki dari kaum tulang lunak. Jakunku naik turun ketika ia menatapku lekat-lekat, seakan kue tart yang siap dijilat dan dilahap dengan satu gigitan. Aku benar-benar bisa melihat kecemasanku sendiri.

"Bang, maaf, gadis tadi memang 'pacar' saya," ungkapku cemas. Naura mungkin hanya memberiku semangat, dengan begitu abang ini bisa memberi tips yang lebih besar. Pikiranku kembali dangkal soal persepsi, salah persepsi bisa-bisa Naura akan kabur lintang pukang.

"Sudah abang duga, kalian memang cocok, kalau begitu saya kasih dua puluh ribu ya," ucapnya sambil jemarinya cepat-cepat menyentuh daguku dan mengangkatnya. Rasa tegang menyerangku. Ingin rasanya pipis di celana. Aku disergap ketakutan yang akut.

"Makasih ya, ih, kamu ganteng deh, cucok deh." Tambahnya. Ia berlalu dari hadapanku. Lutut terasa lemas. Aku seperti diserang oleh hama yang paling mematikan di muka bumi.

Semua itu demi ibu.


Minggu, 16 Februari 2025

14. Senja Tersenyum

Tiga bulan telah berlalu. Terbangun sendiri setiap tiga jam. Mengolesi zambuk pada bagian kepala yang terluka. Perlahan-lahan wajahnya lebih cerah. Tubuhnya tampak kurus, tapi lebih segar. Jalannya tak lagi terhuyung-huyung. Kepala Ibu tak perlu di bor untuk mengambil gumpalan darah yang membeku, rupanya dengan obat yang seharga dua puluh ribu mampu mencairkan darah beku yang menghambat sel-sel saraf. Sakti betul vonis sang dokter, tapi tak mampu mengalahkan ketentuan langit.

Tiap sore kubaluri kedua kaki ibu dengan ramuan alami. Dari jahe, cengkeh, lengkuas, dan air tajin. Bahan tersebut dilumatkan dengan cara ditumbuk, setelah itu dimasak dengan air tajin. Ibu bilang, semut-semut yang menggrayangi kakinya seolah hilang berganti rasa dingin yang menenangkan.

Senja mulai menapak.

Terdengar bunyi pintu diketuk diiringi salam. Aku agak kikuk, setelah membukakan pintu. Di hadapanku berdiri Naura dan Ibunya yang menatapku secara bersaman.

"Ibumu ada," tanya Bu Mona.

"Ada, mari silahkan masuk," sial kenapa aku gugup begini.

Mereka masuk kamar ibu, Naura terlihat lebih pendiam. Aku gembira melihat Ibu mulai merespon setiap pertanyaan dari Bu Mona, meski agak lama.

"Ben, ajak temanmu petik rambutan di kebun," ucap ayah.

Aku melangkah keluar. Naura mengikutiku dari belakang. Angin lembut membelai. Kupetik rambutan menggunakan galah bambu yang ujungnya terbelah, mencapit setiap tangkai lalu memutuskannya. Rambutan jatuh ke tanah dengan pasrah. Beberapa rambutan tampak terkelupas, codot telah mencicipinya, tapi tak menghabiskannya.

"Hati-hati Ra, banyak semut merah, konon bisa mengubah warna kulit menjadi semerah darah."

"Mitos itu?"

Aku tersenyum, ia pun ikut tersenyum.

Senja makin kentara. Naura dan Bu Mona pamit pulang. Kami bawakan beberapa ikat buah rambutan yang telah masak. Mereka berdua jalan bersisian. Aku masih menatap punggung mereka sebanyak yang bisa kulihat. Kucoba praktekkan hal menarik yang sering ku lihat di film-film. Naura akan menoleh atau tidak. Tampak konyol, tapi menantang untuk dijadikan eksperimen.

Kuhitung sampai sepuluh. Dalam hitungan ke delepan, Naura masih tetap tak menoleh ke belakang. Bahkan sampai hitungan ke sembilan. Memasuki hitungan ke sepuluh, sebuah keajaiban mengejutkanku. Ketika kubuka mata pada hitungan ke sepuluh, Bu Monalah yang justru menoleh ke belakang sambil tersenyum. Lalu mereka tampak tertawa tanpa basa-basi. Mungkin Naura telah bersepakat dengan ibunya untuk mengerjaiku. Sampai sekarang, aku merasa tak mengalami kemajuan apapun dalam soal perasaan. Masih adakah waktu mengurai rasa yang primitif, amatir, sekaligus menyedihkan. Dalam posisi seperti ini kadang kekosongan yang seringkali hinggap, menyerbu pikiranku.

Kulihat ke arah senja, ia malah tersenyum. Tidak apa, tak apalah.

Sabtu, 15 Februari 2025

13. Merawat Ibu

Ibu Mona menutup restorannya lebih awal. Ia tersenyum pada Naura, Putrinya. Kami duduk di ruang istirahat, ada terasa di belakang restoran. Naura memeluk celengan besar berbentuk ayam jago. Ia membantingnya kuat-kuat ke atas lantai. Terkuak tumpukan uang kertas dan koin yang tak beraturan. "Kau bisa bantu saya Sel," pinta Naura. Kiera mengangkat jempolnya melampaui kepalanya. Aku ikut membantu mereka berdua.

"Akan kukembalikan nanti?" ucapku.

"Saya tak meminta," kata Naura.

"Kak, terimalah, walau nggak banyak." Kiera ikut memberikan amplop merah gendut.

Aku reflek menatap mereka berdua. Apakah mereka sedang bersaing, rasanya tidak mungkin. Kuucapkan terimakasih kepada mereka berdua sebelum pamit pulang. Mereka memberiku senyuman di sore hari. Mimipi apa semalam?

Dari balik kaca tembus pandang, Ibu Mona mengacungkan dua jempolnya melampau kepalanya. Aroma keyakinan muncul begitu saja. Kegelapan seolah meredup berganti pelita.

Tabib yang diceritakan bang Zoro keluar dari ruang prakteknya. Ia tampak terjaga dengan balutan jilbab panjang dan gamis longgar merah marun. Separuh wajahnya tertutup cadar, menyisakan dua bola mata yang tajam. Ia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kami mendengarkan seksama dalam tempo yang lama.

Ia kembali ke ruang praktek dan memapah ibu ke ruang tamu. Kami menanti cemas tentang terapi apa yang ia berikan.

"Nama Ibu siapa,"

kata tabib bercadar. Ia memberi pertanyaan ketika sudah duduk diantara kami. Persis yang dilakukan oleh kak Egi beberapa waktu yang lalu.

"Hah, apa," Ibuku meminta pengulangan.

"Nama Ibu siapa." Tanya tabib bercadar.

"Gina." Ibu menjawab dengan suara gagap. Ia kesulitan mengingat namanya sendiri.

"Di depan ibu siapa?" Kali ini aku yang tegang.

Ibu diam dan memandangku dengan ragu. Tetapi tidak mengerikan seperti malam-malam yang lalu.

"Emm, siapa ya." Aku makin tegang, ibuku masih belum ingat juga.

"Coba diingat lagi," ungkap sang tabib.

"Nggak tahu," jawab ibu. Kepalanya di gelengkan beberapa kali.

Tatapan ibu tidak sekosong dan menyeramkan seperti sebelumnya. Benturan keras di kepalanya membuat syaraf-syarafnya terganggu. Syukurlah bukan mengarah Skizofrenia." ucap tabib. Ia menjelaskan kalau gejala paling khas dari skizofrenia paranoid yang sering mengalami delusi (waham) dan halusinasi. Penderita skizofrenia paranoid cenderung mendengar suara-suara di dalam pikiran mereka dan melihat sesuatu yang tidak nyata.

Tabib bercadar lalu memeriksa bagian benturan. "Kau lihat ini, bagian kulit kepala yang terbentur terlihat gembur. Ini sumber masalahnya. Mulai malam nanti kau oleskan zambuk di area jatuh, saya sudah cukur rambutnya, itu memudahkan kau mengoles. Ketika mengoleskan zambuk kau harus hati-hati. Saraf lain bisa terkena. Ingat tiga jam sekali. Obat ini mudah didapatkan." Tuturnya.

Keluar dari pintu rumah tabib. Ibuku masih menggeram seperti menahan beban. Meracau tidak jelas. Susunan katanya kabur. Wajahnya masih memucat. Tetapi ekspresinya mulai bersahabat.

Jumat, 14 Februari 2025

12. Hasil CT Scan

Seorang perawat memanggil ayah. Aku bersama paman Erik dan bang Zoro. Mereka menguntit ayah dari belakang. Hasil CT Scan menyebutkan ada pendarahan di bagian kepalanya sebanyak 40 cc, mendengar informasi itu lututku seperti terkena peluru nyasar. Paman menepuk-nepuk bahuku. Ayah berkali-kali mengelap wajahnya yang tak berkeringat.

Biaya untuk CT Scan cukup mahal. Pihak rumah sakit berkenan memberi tenggang waktu. Kuanggap sebagai mukjizat, di saat kondisi keuangan ayah dan paman sedang tidak baik.

Aku duduk termenung di halte Kaligondang. Lima menit kemudian Bus bergambar samurai berhenti. Aku duduk di samping bang Zoro. "Gimana kabar ibumu," tanya bang Zoro.

"Masih sama bang."

Jalanan masih terlalu sepi. Samurai kotak berjalan lebih lambat dari biasanya. Aku tak keberatan, ini masih setengah enam pagi.

"Soal kalung yang pernah abang berikan padaku, ternyata benda yang mengerikan."

"Mengerikan bagaimana." Ujar bang Zoro, alisnya yang hitam hampir bertemu.

"Kalung itu namanya kalabubu, hadiah bagi prajurit muda yang berhasil membawa kepala manusia yang dibunuh dengan tangannya sendiri," begitu bang.

"Bang, kok malah bengong?"

"Seram juga ya."

Kotak samurai berhenti di Pasar Badhog Center. Aku turun dan berjalan kaki di sepanjang trotoar menuju sekolah. Trotoar masih ramah bagi pejalan kaki. Udara masih menyengat tulang. Ku kenakan sweater pemberian Naura. Nafasku mengepulkan asap.

Jari-jari sepede terdengar mengiringi langkahku. Sepagi ini siapa yang rajin bersepeda. Aku tak menoleh ke samping. Tak ingin cari masalah. Terdengar bunyi lonceng sepeda. Seperti memberi kode.

"Ben, kemana saja kau." Ku toleh ke samping. Naura tersenyum. Kedua kakinya mengayuh sepeda Evergreen-Citybike coklat muda dengan keranjang diatas roda depannya. Ia berhenti dan menepikan sepedanya. Menurunkan standar satu.

"Ibuku kena stroke, jatuh di kamar mandi."

Kami terdiam sejenak. Suasana masih lengang, kami berbicara sambil mengeluarkan asap dari dalam mulut. Wajah Naura terlihat memucat menahan dingin.

"Bareng Yuks"

"Dulun Ra."

Naura tersenyum geli melihat tingkahku yang kacau. Ia membaca jelas gerak-gerikku yang tampak kikuk. Ia duduk diboncengan dan memegang erat besi yang ada di bawah sadel. Kucoba seimbangkan sepeda, kapan terakhir aku naik sepeda.

"Tak ada yang perlu kau khawatirkan. Biarkan mereka iri melihat kita. Junior Italia itu yang membuatmu tak enak hati kan."

"Bukan."

"Lantas."

Aku diam.

"Atau kau tak nyaman memboncengkan gadis seperti saya."

"Bukan itu, aku tak ingin membingungkan malaikat."

"Tak ada sejarahnya malaikat gamang mencatat. Mahluk ciptaan dari cahaya tak pernah mangkir dari tugas mulianya. Tak pernah melenceng, backstreet, atau bersikap acuh, kau ada-ada saja Ben."

"Siapa tahu, kita nggak pernah tahu, aku hanya membayangkan, apakah malaikat tersenyum atau bermuram durja. Ketika ada seorang laki-laki memboncengkan seorang putri titanium dari klan bidadari."

"Kalau kau tak ingin membuat malaikat gamang menulis, halalin saja. Kau tak takut nikah muda kan?"

Aku kembali tersudut. Enteng sekali Naura berucap, ia serius atau hanya iseng saja. Memainkan sebuah perasaan saja, ia tak peduli kata-katanya meneror atau tidak. Kata-katanya barusan masih mendengung-dengung: "Kau tak takut nikah muda kan?" kalimat ini begitu menikam mentalku. Apakah malaikat tersenyum atau tidak, aku tidak tahu.

Sekilas mungkin aku berhasil mengacaukan pedekate yang dilakukan oleh sebagian anak-anak lelaki. Walau hanya memboncengkan Naura dengan sepeda Evergreen-Citybike miliknya sendiri sampai halaman sekolah. Tapi cara ini seperti membuat gledek siang bolong. Mengejutkan sekaligus meruntuhkan anak-anak MAN Idolaku yang tekun untuk mendekatinya.

Kucoba menghindari aura buruk yang mulai gentanyangan. Semua mata tampak awas melihat kami berdua masuk halaman sekolah. Melenggang kangkung anggun menuju parkiran sepeda.

Terdengar teriakan, suara meja yang dipukul keras, sebagian malah bertepuk tangan. Aku tak berani menengok dan menebak suara itu. Iblis di pagi hari sedang memuntahkan sarapannya. Siapa tahu?

Di pintu gerbang tadi aku berpapasan dengan Pak Taro. Berhenti sebentar dan memberi tanda hormat. Menaikkan tangan setinggi telinga. Naura tetap anggun duduk di boncengan. Tatapan Pak Taro lebih hangat. Keberhasilan misi kami mengantarkan undangan Pensi ke Ponpes Cendrawasih membuat hubungan kami dengan Pak Taro terlihat harmonis.

Aku masuk kelas dan menghampiri kursi yang kurindukan. Mereka tampak kaget melihatku tampangku yang makin tirus. Ares tak kelihatan batang lehernya. Mungkin ia sedang berjingkrak-jingkrank melihat tim basket favoritnya menang telak. Naura menawarkan segelas jus tomat yang di belinya dari kantin Pak Badrun. Aku tak bisa menolak soal jus, atau menolak pemberiannya. Aku kadang agak sulit membedakan.

Bel listrik melengking panjang sebanyak tiga kali lengkingan. Kami berkemas-kemas dan bergegas pulang. Ruangan kelas kembali berdengung seperti kerumunan lebah. Mereka mengeluarkan isi kepala dan rencana-rencana setelah pulang sekolah.

Aku selalu memberi jarak pada diriku sendiri. Hingga tak ingin terbawa euphoria teman-teman setelah pulang sekolah. Lagi pula aku tak begitu suka keramaian. Kuputuskan duduk sentimental di pinggir trotoar menemani pohon waru yang banyak tumbuh di sepanjang trotoar.

"Bengong terus, para bidadari pada nangis nanti?"

Aku terdiam.

"Kau kenapa?"

"Besok sore terakhir untuk melunasi pembayaran CT Scan Ibuku, jadi aku harus mencari tambahan uang."

"Kau sedang tak buru-buru kan?"

"Ya, kenapa."

"Kemana saja kau kak, seperti di telan bumi." Tanya Kiera.

Kamis, 13 Februari 2025

11. Ibu Jatuh Sakit

Usai bel pulang sekolah aku dilanda kekosongan, hampa, dan tubuh terasa ringan. Perubahan perasaan yang jarang terjadi. Aku tak pandai menafsirkan sebagai gejala apa. Seperti kehilangan orientasi. Kepalaku berdengung panjang untuk beberapa saat.

"Ben ada Pamanmu!, ucap bang Zoro. Bus berhenti, aku melangkah keluar, mendekati Paman yang nampak murung.

"Saya mencemaskan keadaan ibumu Ben," Kata Paman.

Kotak samurai berjalan.

"Ibuku kenapa Paman?"

"Jatuh di kamar mandi." Mendengar jawabannya. Tubuhku seperti melayang.

Sampai di rumah, ku dapati Ibu terbaring lemah di kamarnya. Aroma pesing menyeruak berbaur uap tinja. Tangan kananku memegang segelas air putih hangat. Ibuku menunjuk gelas yang ku bawa. Aku menyerahkannya hati-hati. Aku mulai curiga, ibu minum dengan tangan kiri, tangan kanannya lemas dan jari-jemarinya terlihat kaku.

"Lho... kok nangis, ada apa." Ibu bertanya, wajahnya sedatar piringan hitam. Ku beranikan memeriksa. Ya Allah, kakinya mulai tak solid, kaki kanan tampak mulai tak bertenaga. Aku menangis bombai, karena ia tak merespon tangisanku. Kupeluk erat tubuhnya, abai dengan semua aroma yang bikin mual.

Paman disampingku terlihat gelisah. Mental kuruntuh melihat pisang emas yang ku berikan jatuh ke lantai. Jemari ibu mulai tak merespon, mungkin ada saraf yang tidak berfungsi.

Kami berdua menatap wajah ibu yang mulai tak presisi. Tatapannya kosong, seperti kebon pisang. Ibuku yang kuat dan tegar kini mulai kehilangan kekuatan. Terbaring tak berdaya di atas pembaringan. Mungkinkah malaikat sudah menyapanya lebih dini.

"Beni sudah pulang, kok lama banget." Kata Ibuku. Aku yang sedang duduk di dekatnya tak dianggap sama sekali.

"Ini Beni Bu?" ucapaku gemetar, saat yang sama ibuku menatap jauh, pandangannya menembus mataku.

"Lah itu siapa, saya kok ibu nggak kenal." Aku berpikir keras agar logika waras tetap ada.

"Ini Paman Erik Bu?"

Ibu tertawa sepenuh kerongkongan. Tampak mengerikan seperti mahluk yang berbeda. Ia seperti di tempat yang jauh. Tatapannya seganjil penyembah tempat-tempat purba. Tempat paling mistis yang didiami Jin mungkar. Tangannya seperti menggapai sesuatu yang jauh dan kesulitan meraihnya.

"Paman susul ayahmu di pasar."

Aku mengangguk.

Lima belas menit kemudian. Paman pulang bersama ayah. Kaos oblongnya tampak lepek. Ini mengingatkanku pada peristiwa serangan lebah yang membuatku babak belur. Sambil menggendongku paman berlari menuruni bukit menuju ke puskesmas sambil mengutuki lebah-lebah sialan itu.

Para tetangga mulai berdatangan menjenguk.

"Ben, tolong kau ke rumah Kak Egi, minta ia memeriksanya."

"Baik Yah."

"Ibumu jatuh di kamar mandi!" ucap kak Egi, tangan kanannya mengusap keningnya yang tak berkeringat.

"Iya kak."

"Baik, tunggu sebentar." Ia masuk ke kamar dan keluar dengan celana bahan lebar, kemeja longgar, dan menyelusupkan gagang kacamata di balik kerudung hitamnya.

"Ma!, saya ke rumah bapak Marko, istriya sakit."

Tak lama seorang ibu datang dari dalam. Di belakangnya ada Kekey. Gadis SMP yang pernah menggegerkan seluruh kampung. Mengejar kelinci peliharaannya yang lepas sampai masuk ke dalam hutan sabuk. Hutan yang terlarang bagi kami, anak remaja yang masih grasak-grusuk tak sabaran. Dua hari kemudian, ditemukan oleh Paman Erik sedang duduk manis di dalam gubuk reot, sambil menggendong kelinci kesayangannya. Sejak saat itu ia mampu bercerita tentang hal-hal yang di luar nalar.

"Tunggu," kata Kekey.

Suaranya membuat langkah kami terhenti. "Kak saya punya sesuatu buat kakak." Ia mengulurkan dua batang coklat silverqueen.

"Satu untuk Uncle Erik, satu untuk kak Ben."

"Terimakasih Key."

"Sama-sama."

Kekey mengangguk lucu. Mencoba memperdaya kakaknya. Tatapan kak Egi lebih dominan. Kekey mundur teratur dan masuk ke dalam rumah. Tertawanya terdengar sampai luar. Kami bergegas kembali ke rumah melalui jalanan setapak. Rumah kak Egi berada di lembah kecil yang banyak di tumbuhi pepohonan. Satu tempat yang cukup nyaman untuk berkontemplasi.

Suara gemuruh terdengar di kejauhan. Atap-atap rumah yang terbuat dari seng terdengar berisik. Hujan mulai mendekat, kak Egi mengeluarkan payung besar. Aku berlindung satu payung dengannya. Tak tercium aroma apapun dari balik tubunya. Hanya udara siang yang berhasil ku endus. Bukan pula aroma menyengat bawang merah yang pernah di miliki oleh perempuan yang berhasil mencuri banyak perhatian para lelaki, kecuali aku. Anak bau kencur dilarang keras ikut-ikutan perkara orang dewasa. Aku, tepatnya kami hanya melihatnya dari jauh. Itu saja sudah cukup, sebagai modal untuk tak norak berseragam putih abu-abu.

Butiran-butiran hujan seperti kecepatan peluru yang sudah memiliki alamat. Mengguyur deras si kaya atau si miskin. Hujan juga mampu memanipulasi situasi, tepatnya perasaan. Ia kerap mengingatkanku pada Kiera dan Naura yang jujur mengartikan pertemanan. Ia bisa jadi senjata untuk membunuh kenangan tentang Intan, sahabat sewaktu SMP. Jiwanya sedang di rundung trauma tak berujung.

"Coba julurkan lidahnya?" kak Egi memberi instruksi.

Serbuk putih menghujam ke bawah lidahnya. "Tensi ibu kamu tinggi sekali, saya beri obat untuk menurunkan tensinya."

Aku sedikit lega, ibu masih memahami instruksi dari kak Egi, meski perlu berungkali. Paman Erik duduk disamping Ayah.

"Nama Ibu siapa." Kak Egi mencoba memanggil ingatannya. Setelah beberapa menit berlalu, kak Egi mengulangi.

"Nama saya." Ibu diam sebentar, dan mengucapkan sesuatu yang sulit kami pahami.

"Ibu Gina." Kak Egi membantu ingatannya.

"Kalau ini siapa," kak Egi menunjuk ke arahku. Aku ingin melihat reaksinya. Rasa takutku makin memuncak ketika bola mata ibu masih memandang tembus ke arahku. Tak terasa air mata ku meleleh. Ayah dan Paman memegang erat bahuku.

"Saya lupa," jawab Ibu, senyumnya tampak ganjil. Rasa nyeri menerkam dada. Kak Egi belum menyerah, bertanya tentang Ayah, Paman, tetangga yang di kenal, serta peristiwa penting lainnya. Hasilnya mengecewakan.

"Ibu Gina amnesia," Ucap Kak Egi. "Kalian bersabar ya."

Ini mimpikah, tapi aku bisa merasakan hembusan nafas, jantung yang berdegup, serta aroma tubuh ayah dan paman. Logika sehat menakar sekaligus menalar sebuah kenyataan. Ajaran guru ngaji agar memandang satu hal dengan dua sudut pandang yang berbeda, agar logika terbalik mencapai sasaran. Rasanya sulit kuterima dalam kondisi sepert ini.

"Pak Marko, sebaiknya Bu Gina di bawa ke Rumah Sakit, mungkin perlu di lakukan CT scan agar kita tahu apa ada yang terluka."

Ayah mengangguk.

"Yah, aku ke rumah Ares dulu ya."

Hujan menyisakan gerimis. Jalan raya tampak sepi, orang malas keluar setelah hujan deras turun. Pertanyaan-pertanyaan tentang CT scan mulai mengangguku. Apakah ibu bisa sembuh kembali?. Bayangan hal buruk berkelebat memenuhi pikiran. Aku tak mau Ibu berkeliling desa tanpa sehelai baju ditubuhnya.

Sepeda kukayuh cepat-cepat. Menghantam genangan air dan menerobos udara dingin. Sepedaku sempat oleng, kuseimbangkan cepat-cepat. Seekor ular menegakkan kepalanya diam-diam. Ia mungkin marah, ingin menyebrang jalan tapi terhalang oleh laju sepedaku.

Sampai di rumah Ares, ku jumpai ia sedang bermain basket di lapangan samping rumahnya. Angkot antik yang keren tampak terpakir gagah dibawah pohon mangga. Ares rupanya tampak berusaha keras untuk menguras lemak yang menggelayut manja pada lingkaran tubuhnya. Bola basket yang didriblennya berkali-kali membuat suara gaduh.

Ku tunggu sampai ia selesai berolahraga. Ada banyak kursi-kursi malas terbuat dari akar bangkotan terpaku di tepi lapangan. Ku sapa kedua orang tuanya. Mereka sedang duduk santai menikmati siswa waktu siang.

"Wajahmu seperti remah-remah, ada apa?"

"Ibuku sakit, kau bisa antar untuk berobat."

"Sakit?."

"Ibu jatuh di kamar mandi."

Ares terdiam. Ia beranjak kedalam rumah, berbincang sebentar dengan kedua orang tuanya. Lalu keluar tergopoh-gopoh. "Ben ayo berangkat," ucap Ares. Aku berpamitan pulang. Mereka melambaikan tangan. Ares membawa angkot kesetanan. Ia tidak ingat kalau membawa seorang teman yang sedang panik. Remnya tak ia injak secara penuh, bahkan ia melakukan drift ketika di tikungan tajam.

"Kau naik ke atas kap angkot!, kita terbang lagi!"

"Kau sudah gila ya!" protesku.

"Justru aku tak mau kau gila, ayo cepat!" Ia memerintah lagi.

"Kenapa tak lewat jalan biasa saja?"

"Sudah, jangan protes?"

Ares telah jadi korban sains. Atau sains telah menemukan bakatnya. Ku tekan kuat-kuat tombol kuning. Parasut keluar dan mengembang secara cepat. Membumbung ke tinggi melewati pepohonan. Aku kembali duduk di samping Ares. Ia mengemudikan paramobil dengan tuas otomatis yang ada di dekat setir.

Langit sore tampak indah, matahari berwarna keemasan. Angkot terbang jadi pusat perhatian di sore hari. Para petani dan warga yang sempat melihatnya berteriak. Antara takut dan senang. Mereka berungkali melambaikan tangannya. Kami mengudara selama lima belas menit di atas kota Purbalingga.

Kami sampai di sebuah Rumah Sakit yang mentereng. Lantai licin memantulkan cahaya. Bersih dan nyaman. Ada satu hal yang mungkin kami ragukan, rumah sakit ini terlalu mewah bagi kami. Ruang penerima tamu saja dikerumuni karyawan dengan baju tanpa lipatan, berdasi dan tampak bersih.

Ayah melangkah tegap, dada membusung, dan kepala tegak menghampiri meja informasi. Aku menguntitnya di belakang, memandang punggungnya yang mulai bungkuk. Aroma teh rosela selalu melekat menyatu dengan keringatnya. Aku cemas pada mimik pegawai yang terlampau ramah.

"Bapak ada uang deposit lima juta?" Ucap salah karyawan RS itu. Wajahnya memang menarik tapi tak kompromi soal kemiskinan.

"Maaf Pak, kami belum ada, permisi kalau begitu," kata ayah.

Ayah membungkuk sedikit, memberi hormat pada mereka. Sambil berlalu ayah membelai kumis dan jenggotnya yang lebat. Menimbang, memeriksa, dan memutuskan sesuatu.

"Ben kita pulang, tak perlu berkecil hati, pasti ada jalan."

Aku mengangguk. Sudut mataku mulai berair.