Selasa, 04 Februari 2025

KAKEK DALANG

Siti melotot melihat kakek Dalang datang menghampiri Ibunya yang sedang mengangkat jemuran di halaman rumah. Senja mulai turun merayap. Mungkin Ibu lupa, tadi siang ia membantu kendurian di rumah Pak Nasir. Dan buru-buru ia pulang menggandengku melipir sebentar dari hiruk pikuk hajatan sang empu rumah.

“Kenapa Ti?” tanya Ibunya.

Siti Menggeleng, ia cepat-cepat bersembunyi dibelakang Ibunya. Tanganya mencengkram lengan ibu kuat-kuat.

“Aduh sakit Ti, kau kenapa?”

“Eh, kek Dalang ada apa?”

“Pete ini tak habis kumakan, ini ada sisanya, untuk Siti?” kata Kek Dalang. Ia menyodorkan dua keris pete yang sudah berwarna hitam.

“Siti,” tutur Ibunya.

“Nggak mau, buat Ibu saja,” kataku. Kusembunyikan wajahku dibelakang punggung Ibu. Badanku terasa berat, aku ingin lari, tapi seperti ada tangan kekar yang mencengkram kedua kakiku.

“Nduk?” bujuk ibuku.

Aku diam saja. Kupejamkan mataku erat-erat melihat Kek Dalang.

“Emm” kututup Hidungku kuat-kuat.

“Siti,” ucap ibu, tangannya yang masih beraroma lodeh menyentuh tanganku.

Aroma busuk tiba-tiba menguar kemana-mana. Tetapi kulihat ia tetap tenang saja, tanpa pernah memencet hidungnya sendiri.

“Apakah hanya aku yang bisa merasakannya,” batinku.

“Dikasih pete malah merem, ora ilok-nggak sopan!” ketus Kek Dalang. Ia memberikannya pada Ibu. Tangan Ibu seperti kena lumpuh-akibat stroke ringan-menerima dua keris pete. Nurut saja. Kek Dalang pamit pulang ke rumah, jaraknya dari rumahku hanya tujuh kali kedipan mata. Tangan kanannya memagangi tongkat sebagai panduan berjalan.

Kubuka mata dan mengintip dari belakang Ibu. Cepat-cepat kupejamkan mata untuk kesekian kali. Punggung Kek Dalang ada lelehan darah mirip caramel, apakah itu benar caramel?

“Siti, kau kenapa, aduh sakit Ti, ayo lepaskan Ibu?”

Kulepas pelukanku. Ibu jongkok menatapku. Gigiku saling beradu. Mataku beradu dengan mata indah milik ibu.

“Wajahmu pucat Nduk, ada apa, Istighfar nduk!” aku langsung digendong oleh Ibu, meski ibu agak sempoyongan. Aku makin berisi dan tinggiku hampir sampir sama dengannya.

“Kek Dalang Bu?” kataku lemas.

“Kenapa Kek Dalang, ia baik kok, kasih pete?” jawab Ibu sambil mengacungkan dua keris pete yang agak loyo ke depan wajaku.

“Kek Dalang tadi nggak ada kepalanya, kayak ada ususnya, dan baju belakangnya banyak darah Bu?” ucapku pelan sekali. Dan tiba-tiba pandanganku gelap.

Dua keris pete yang makin loyo jatuh mencium tanah.

“Oalah gusti pangeran (Ya Allah)! Innalillah...” Begitu kata-kata ibu yang sempat kudengar dan pelukannya makin erat. Bersamaan itu pula gema azan maghrib berkumandang dari Mushola Baitul Mustaqim.

Senin, 03 Februari 2025

Perjalanan Sang Demonstran

Babak 5

'Menyapa' Gentong Babi
Untuk pulang ke rumah bukan perkara mudah. Sekarang betul-betul gawat. Tinggal menunggu dijemput saja. Elang masih duduk di pal, sampai kepala desa hilang dari pandangan. Sisanya kesunyian yang kembali memberi ruang pada angin, sejak dari tadi ia berhenti berhembus.

Pikir Elang bisa menggetarkan suara, udara, ataupun pita suara sendiri. Ia hanya menekuri gulali yang menggunung di kedua telapak tangannya. Mau diapakan gulali sebanyak itu, ia harus menghemat odol, agar giginya tetap awet sepanjang pelarian. Mengantongi dalam tas bekas terigu adalah perkara yang benar, pikirnya.

Cepat-cepat ia meninggalkan pal, tempat ia duduk. Orang di depan sana dari tadi menyapu jalanan yang tak ada daun berserakan. Mungkin ia tanda bagi para serdadu yang sudah menandai buronannya. Bergegas ia naik angkot menuju kota, tempat terbaik untuk bersembunyi. Orang berlagak jadi tukang sapu itu blingsatan. Ini angkot terakhir dari desa menuju kota. Elang mengepalkan tangannya. Orang itu membanting keras sapunya dan berlari ke satu arah.

Di kota ia mengganti rambut palsunya dengan model yang baru. Tak perlu kau tanya dari ia mendapatkannya. Berikanlah kesempatan padanya untuk mengembangkan ceritanya sendiri. Sekuat dan semampunya.

Ia bergabung dengan orang-orang kuat yang sedang berada di selokan. Rakyat biasa yang tenaganya luar biasa. Membuat gorong-gorong atau menggali tanah untuk kabel-kabel aneka rupa itu.

Dari siang mereka membangun, begitu juga malamnya. Layaknya robot, mungkin akan tumbang menjelang dini hari. Tanpa sempat bersih-bersih, apalagi mandi, menyikat gigi, atau berendam air hangat. Esok hari mereka terjebak pada rutinitas yang mereka pilih, atau terpaksa memilih.

Simsalabim, pikir Elang. Berdirilah gedung-gedung berotot, halaman jalan yang terhampar mewah, mobil-mobil saling beradu kecepatan, diselipi makian ala Firaun. Tak pelak ratusan hari bersama peluh, ikut menggali ditimbuni bebatuan. Lalu aspal-aspal jalanan menghegomoni seluruh ekosistem, tak perduli suara kodok menjerit, kijang lintang pukang, burung-burung menangis, dan semut-semut bermigrasi. Musuh bersama itu menghela nafas sambil menaikan kaki pada kaki lain, lalu tertawa keras berbantal uang berlipat-lipat.

“Ini menyedihkan,” kata Elang. Para pelayan setia diam, ketika namanya tak disebut-sebut pahlawan oleh kaki tangan “Firaun”. Tetap membisu, meski usus-usut melilit menelan indomi setengah matang tanpa telor dan cesin. Mereka hanya melolong dalam gelap, melenguh seperti sapi perah, lalu lupa waktu, seperti kuda pedati yang berjalan seharian.

“Kita mudah lupa, tak pandai merawat ingatan.” Seloroh pelayan setia (salah satu rakyat di negeri ini)

“Sekali waktu makan ikan peda, jangan oncom mulu?” timpal yang lain.

“Bukan main katamu, bongkrek kau makan tiap hari.” Sanggah pelayan setia.

“Sesama pemakam ampas jangan saling bertengkar.” Ucap Elang. Ia pikir akan ada yang tertawa minimal tersenyum. Mereka hanya berlalu dari kuruman dan berdengun seperti lebah.

Mereka sedang mencipatkan surga versi sendiri, tanpa dibebani kata-kata yang sulit, seperti barusan. Itu mungkin terlalu klise, tetapi mereka cepat sekali tersinggung. Mungkin perut mereka teramat melilit, tak sanggup memikirkan hal-hal rumit. Kenyang adalah puncak kemewahan, diantara derai tawa anak-anak berbaju komik. Surga yang telah ada tak satupun dari mereka dapat mencicipi seperti buah mangga tepi jalan. Mereka (titisan “Firaun”) menjilati tiap hari tanpa menyisakan sedikitpun kenangan. Panasanya jilatan mereka (kaum vampir) membuat hutan-hutan terbakar. Dari jilatan apinya muncul kastil putih dengan penghuni berdasi dan senyum meremehkan.

Pelayan setia membuka pintu dengan gembira, meski perut tak tersentuh bongkasan nasi. Bekerja dengan bahagia, dan membuka mata di pagi hari dengan dalih melunsi hutan piutang. Sementara kalian menelan api, berselimut api, kudapan pagi api, dan hidup kalian dikelilingi monyet-monyet rakus dan pendendam.

Mestinya kalian belajar untuk berkata tidak, meski itu sulit. Pada mereka yang suka mengulur waktu, bikin alasan, pembenaran. Baik di kampus, rumah, panggung, peluh-peluh mereka terasa wangi. Bahkan teramat wangi, mungkin mereka sedang membungkus kebusukan dengan wewangian dari toko parfum. Semua ini terasa menjengkelkan, ungkap Elang.

“Pilar-pilar datang!” teriak salah seorang pelayan setia.

“Dimana!” Tanya Elang.

“Pasar!” jawabnya, orang itu berlalu sambil berlari senang. Sikapnya membuat Elang tergerak. Sebagai ucapan terimakasih saja. Ia berjalan menuju pasar. Setidaknya menelan gembus di awal pagi bisa terhindar dari penghilatan yang berkunang-kunang. Ia mencoba menyelinap di antara kerumunan orang. Tubuhnya yang ceking seperti cacing yang elastis diantara tubuh-tubuh yang ada. Tiga pilar itu sedang duduk ramah sambil menyingkap jasnya. Ada kesan egaliter mungkin. Salah satunya berdiri, dan langsung menunjuk batang hidung Elang.

“Kamu!, ya kamu, lelaki bertas tepung terigu.”

Elang mengarahkan jari telunjuknya tepat dihidungnya. Bukan cara yang biasa, tetapi Elang sepertinya spontan melakukannya. Ia pun melangkah kedepan. Tiga pilar itu menatapnya.

“Nama kamu siapa,” tanya salah seorang berpeci, mungkin termuda dari tiga pilar itu.

“Elang.”

“Panggil aku, Ki,”

“Bacakanlah pidato ini, senangkan mereka dengan pesan-pesan menggelegar,” perintah orang tertinggi di tiga pilar dengan kulit terang. Elang menerima secarik kertas, di tulis dengan tangan yang disusun indah. Ia mengucapkan lantang

Nanti kita akan mendatangi, atau kita kedatangan satu kaum yang memeluk dunia kabur ini dengan perasaan yang kabur sambil memotong daun telinga. Saudara-saudara yang merindukan kemerdekaan, kita akan merayakan ulang tahun perkawinan dan merayakan kemiskinan besar-besaran, lalu mengiris pilu pada tiap tarikan nafas. Meluapkan sesaat akan kemiskinan yang terus menyergap adalah cara terbaik agar manusia menjadi lebih kuat dan siap, dan kita semua yang hadir itu adalah perpaduan itu semua.

Anak-anak kita yang akan lahir kemudian adalah anak semua zaman, kita akan terkaget-kaget melihat cara mereka menikmati hidup. Selayaknya orang-orang dewasa seperti kita dapat memetik barang sedetik. Bagaimana berbagai kenyamanan akan menerpa pada jejak langkahnya.

Ini soal generasi kawan, kelak anak-anak kita akan menyusul datang dan menyapa setiap membuka mata. Sebagian dari mereka duduk diatas singgasana hasil dari magang sebagai BONEKA OLIGHARKI. Pahit getir, susah ke tulang-tulang hingga generasi lupa atau tidak mengenali berbagai kemungkinan kehidupan selain dari kemlaratan, gelangandangan di negeri sendiri, rumahnya telah disomasi tanpa pernah mengetuk pintu pemilik rumah, itulah arogansi korporasi yang sedang dipertontonkan.

Elang menyeka peluh yang tiba-tiba mengucur seperti ASI yang tak lama disusui. Ia pun melanjutkan pidatonya. Pilar-pilar itu menganguk-angguk. Bahkan pemilik kumis mbaplang itu terus saja memperlihatkan deretan giginya yang putih.

Kepada para kekasih yang tengah menunggu cemas berpekan-pekan. Tetaplah tangkupkan kedua tangan telapak tangan ke atas langit, agar kemiskinan hanya sempat mampir di pojok-pojok rumah hanya dalam beberapa helaian nafas. Tanpa perlu menjerat pemiliknya hingga busung lapar menewaskannya. Ambil bagian dari hal mestilah mutlak keharusan, agar para kekasih bisa meraih dan memeluk lengan pujaannya. Terlelap dalam buaian, dan menghempaskan penderitaan sebanyak-banyaknya sekaligus sejauh-sejauhnya.

Elang mendekati para pilar dan menyerahkan kembali secarik kertas. Tangannya agak gemetar ketika berjabat tangan dengan pilar berpeci. “Kami tak menyangka ada mawar sedap ditengah bangkai-bangkai, baguslah itu pidatomu, kalau begitu…” pilar berpeci meraih secarik kertas dan menyerahkan pada Elang. “Aku ingin kau bacakan, kami bersabar menunggu di sini.” Tambahnya.

Elang kembali membaca sekali lagi.

Lucuti semuanya, hingga perkara-perkara tak jelas menjadi benderang. Karena kalian, kami selalu sembunyi dibalik ketakutan hingga membenarkan apa apa yang telah rusak. Kami yang meniti jembatan, lalu kalian menikmati setiap kepulan “nasi hangat” tiap bangun pagi. Meski ada sejuta alibi yang kami siapkan untuk melepaskan topeng-topeng dari wajah kalian, itu juga tak pernah kami lakukan. Bagaimana dengan anak-anak kami, kelangsungan hidup mereka. Apa kalian berani menanggung.

Mungkin jika leher sudah tenggelem, kalian akan teriak tak ada pahlawan yang muncul sepanjang tahun. Lalu membiarkan kami terlunta-lunta dinegeri orang tanpa pernah kalian berpikir bagaimana kami makan, tidur, BAB, dan seterusnya. Nurani kalian telah membiru kekurangan oksigen, hingga kalian menjualnya di pasar gelap, tempat menyelundupkan ginjal, hati, empedu, kepada lintah darat yang gemuk itu.

Tanpa permisi kalian membangun gedung-gedung pencakar langit. Membenarkannya dalam rapat-rapat elit, disertai kerlingan para gadis yang telah hilang akal. Taruhannya mahal, adalah diam sebagai pola perilaku yang akhir-akhir ini jadi senjata mematikan untuk membiarkan korban-korban gentayangan tanpa pernah kenal lagi jalan pulang. Meraka hanya melihat sejenak, lalu sibuk menikmati semangkuk bubur ayam yang dibelinya dipinggir jalan. Itu juga sebagai senjata untuk berlindung.

Cuci tangan adalah hobi kalian bila terdesak dari pertempuran keji yang kalian mulai. Imbalannya berupa puja-puji, pangkat, jabatan, harta, dan juga wanita. Wanita kadang kalian jadikan sebagai pelengkap penderita saja. Mustahil kalian bisa setia pada satu cinta. Tak ada penghargaan apalagi pemuliaan bagi seorang wanita.

Bongkar sampai akar-akarnya. Bakar semua tikus-tikus gemuk. Bongkar setengah gedung itu, agar kalian tahu bahwa pemimpin kalian adalah kecoak dan tikus-tikus kudis yang jarang berobat, meski mereka gemuk ada banyak kematian yang siap menjerat kapan saja.

Tanya! meski kalian harus ditanya! kemana saja kalian selama ini, bergaul seperti monyet. Monyet sesungguhnya rela berkorban menjadi monyet jalanan dengan topeng, payung kecil, motor, dan tas jinjingan: Sarimin pergi ke pasar. Mereka para sirkus jalanan akan menangis manakala melihat majikan bertengkar karena istri minta uang makan.Sementara kami telah dimatikan sejak kami singgah.

Tanya!, Tanya!, untuk apa kita punya mulut.

Elang mengakhiri pembacaan pidato dengan tepukan tangan oleh ketiga pilar. Penonton yang kebanyakan pengunjung pasar dan para pengangguran terselubung ikutan tepuk tangan. Tepuk tangan yang terlambat.

“Kau mau ikut mengembara barang beberapa saat,” tanya salah seorang pilar.

“Aku seorang buron, tak ingin menyusahkan tuan-tuan yang terhormat ini, hidup tuan bisa pelik dan bermasalah.”

“Para penguasa seringkali membungkam suara memakai cara-cara yang kita sadari, bukan metode yang baru. Mereka hanya memakai cara lama dengan alat-alat baru. Para cenayang yang tahu kapan dan dimana kita makan dan minum, bahkan ketika kita berak,” Ucap salah seorang pilar yang kelak di zaman modern lebih dikenal dengan Ki.

Elang diam tak menjawab sepatah kata.

Ia seperti mencari peluang dalam ruang yang semakin lama semakin tak mengizinkan dirinya berdiri bebas mengucapkan apapun tentang penguasa itu. Sebuah penguasa yang ia sukai jika mereka masih percaya pada cerita-cerita rakyat, dongeng, fabel, dan humor sebagai salah satu cara pendekatan humanis.

Langkah-langkahnya memang masih lebar, tetapi ‘cahaya’ itu tetap meneropong sampai hal-hal sepele. Sama persis yang tadi dikatakan oleh Ki. Hal-hal yang ia sadari sebagai kelaziman, sebuah tradisi lisan yang turun temurun mulai diusik sebagai sesuatu yang mesti dikubur hidup-hidup. Dan itu sangat menjijikan.

Elang seperti tak ingin mendengar lebih jauh tentang tiga pilar itu, tetapi nampaknya nasib telah menemukannya.

Dan perjalanan makin jauh, ia rindu pada anak dan istrinya. Air mata juga nampak malu-malu tumpah. Ia hanya senyum sedikit ketika ketiga pilar itu selalu menggodanya, malulah jika ia menangis. Padahal mereka sedang melakukan perjalanan untuk dibuang oleh pemerintahnya sendiri. Sebuah pemerintah yang kerap mual pada kata-kata mentah seperti ibu muda menginginkan sesuatu. Sehingga makin jelas, kutukan itu benar-benar nyata. Kepalanya telah disetubuhi penyakit ganas bernama tamak, rakus, sombong, kikir, dan tentu saja pengagum firaun.

Ia membuat garis-garis lurus di sekitar jendela kereta, sebuah peta perjalanan yang tampak jelas, dan ia sendiri yang menghitung jaraknya. Ia tersenyum kecut, jika ia pulang orang-orang itu akan pulang membawa petaka karena tak dapat pangkat. Mestinya mereka dapat mengikat tangannya lalu berkoar pada surat kabar buruannya telah tertangkap sedang ngopi di pinggir rel kereta bersama para penghuni de gull yang sedang istirahat. Kereta berhenti, Elang turun. Ketiga pilar menjulurkan kepala, seperti bocah SD yang sedang membeli kuaci dari pedagang tua.

“Kenapa,” tanya seorang pilar berwajah putih. Ia lelaki keturunan dari negeri jauh. Sebuah negeri yang dipimpin seorang raja.

“Kita punya kehidupan yang berbeda, aku tak ingin mengusik akhir cerita kalian. Selamat tinggal,” ujar Elang.

Kereta pelan-pelan berangkat.

“Kita bisa bicara banyak di alam baka, tentang penyakit menular para pejabat!” teriak seorang pilar memakai blangkon.

Elang mengepalkan tangan. Membusungkan dada. Berteriak lantang.

“Merdeka!” teriaknya.

Berkali-kali mereka saling memekik dan mengepalkan tangan.

Sore hari ia duduk di pematang sawah mengagumi sawah setelah panen. Angin sangat bersahabat. Burung bul-bul ramai berpindah-pindah mengais sisa padi. Ia menerima bisono rebus dari seorang yang menggendong jerami untuk pakan ternaknya.

“Gubuk itu ada penghuninya,” tanya Elang.

“Kosong Den, setelah panen gubuk itu akan ditinggalkan sampai roboh dan para petani akan membangun yang baru ketika padi punya banyak musuh,” jawabnya.

“Terimakasih.”

Setelah jauh, pemikul jerami sesekali menoleh ke arah Elang yang tetap duduk manis di pematang sawah. Mungkin dianggapnya sebagai dedemit yang muncul menjelang senja. Ia seperti mengutuki sepanjang perjalanan. Ia meludah ke kanan kiri sebagai bentuk tolak bala. Bentuk kedunguan yang mengakar bahar, sulit sekali mengikisnya.

Senja telah membuatnya semakin muram. Ia menanggalkan bajunya. Menceburkan pada belik setinggi ketiaknya, airnya terus saja meluber. Menenggelamkan kepalanya, ia tak ingin muncul-muncul. Biarlah ia ditemukan mati dalam belik dalam badan yang telanjang. Tetapi ia muncul, suara adzan yang sering ia dengar selalu mengusiknya dan kadang lebih banyak menenangkan.

Ia mentas dan berdiri di depan belik. Memakai baju yang sama, tetapi ia membukanya dan mencelupkan berkali-kali membanting-banting tak karuan. Belik itu sekali lagi dibuat kocar-kacir airnya. Burung kuntul yang ingin minum sebelum pulang ke peraduan pun enggan turun. Memilh terbang lagi dan mengencingi kepala Elang dengan kotorannya. Elang terbahak-bahak. Orang-orang yang mendengar sayup ketawanya menciptakan tokoh hantu baru diantara banyak nama-nama hantu. Elang akan menerimanya begitu saja, seperti sajak baru yang sering digubahnya menjelang tidur. Malam harinya setelah memakai baju yang masih basah. Ia mengamati langit yang bersih. Ia tak memedulikan rayuan kodok, jangkrik, bahkan suara aneh dari seberang hutan bambu. Matanya tak berkedip, karena langit begitu indah ketika jarinya berusaha melukis dengan cat yang berbeda. Ia tersenyum kecut, menertawakan angan-angannya. Matanya beradu pada dinding bambu yang banyak angin disana. Sekali lagi ia ingin mengubah susunan benda yang hidup di kepalanya. Meski itu sulit, karena penguasa selalu saja buruk sangka padanya. Padahal ia hanya ia meluruskan, agar mereka selamat dalam panggang neraka.

Dini hari ia terbangun. Meski ia tak sempat tidur panjang. Jantungnya berdegup lebih kencang. Suara-suara itu membuatnya cemas. Ia merasa lega, lalu melangkah keluar dan mendapati para pengobor malam. Diantara mereka membawa kandang jinjing, banyak sekali burung puyuh yang terlihat cemas akan nasib anak-anaknya yang masih kecil.

Ia kembali ke gubuk setelah para pengobor itu kocar-kacir menanggapi satu pertanyaan dari Elang.

Berbaring diantara bale kecil dan suara pengobor itu mulai berubah menjadi derap-derap yang teratur, ia mulai gundah dan menekan kelopak matanya lebih dalam. Bukan pada satu kelemahan, tetapi lebih kepada kekuatan yang nantinya dapat ia gunakan sewaktu-waktu. Ia ingin merasakan gelap lebih lama agar terang dapat ia reguk selama mungkin. Meski hanya membuka sesaat setelah semua kemarahan itu meluap serta mendarat.

Derap kaki itu perlahan memudar. Elang tampak tenang, ia mulai menyadari sesuatu itu pelan-pelan menghampirinya dalam jarak yang tak terduga. Telapak kakinya kini lebih peka terhadap bunyi-bunyi, bahkan kebijakan semu itu kerap terasa lebih pedas dari yang dibayangkan. Bahkan punggung dan jemarinya selalu saja mengajaknya waspada dari mata-mata dengki yang kata-katanya selalu saja menyengsarakan kehidupan.

Ketika malam pekat, Ia terbaring memunggungi gelapnya sawah. Hanya desir angin yang bisa dirasakannya. Mengimbangi detak jantung, tulang belulang, dan hembusan nafas diantara banyak dengkuran. Suara kodok, jangkrik, belalang kerik sedang berada dipihaknya.

Ia harus pergi dari kesunyian itu, meski kodok, burung malam memberinya semangat agar tetap saja nyenyak. Penguasa itu telah merenggut sebagian kehidupan nyaman, meski rumpang masih Roky sukai. Ini semacam latihan, karena penguasa itu lambat laun akan merenggutnya kejam.

Minggu, 02 Februari 2025

SUJUDMU KUNANTI

Semenjak kutinggalkan rumah sore itu, kau gendong cucu pertama sambil melambai tangan 
Sewaktu rambutmu yang masih hitam tergerai setelah lolos dari ikatan 
Sementara ayah tersenyum lepas sepulang kerja menuntun sepeda 
Lalu waktu menggilas roda putar hingga masa lekas sekali senja 

Anakmu telah melepas lelah di bangku kuliah, tak seiris tanah milikmu yang dimakan tuan tanah 
Kukira lelah itu menjadi ladang yang barokah berlimpah-limpah 
Sejak saat senyum itu mulai berubah tuntutan mengurai kepercayaan diri 
Pada jejak kata semasa adu mulut pertahankan kalimat pada dosen ingin menang sendiri 

Kututup lembaran-lembaran, pada kata ibu penyelamat hidup anak lelakinya 
Lalu mengubah perasaan luka menjadi harap penantian mulia 
Melihat keningmu sujud penuh cita di depan ka’bah yang dijaga 
Oleh langit dan bumi, juga doa-doa ikhlas dari mulut-mulut yang lapang dadanya 

Pada umur yang singkat ada harap panjang agar sujud panjangmu tak goyah 
Hinggap bertahun juga tak apa, asal bersih modal serta jalan berisi rido 
Pada doa berjalin taut berlipat-lipat, agar lengkap menurunkan jumawa 
Air mata tumpah pada sujud-sujud panjang yang lama dinanti, pada ka’bah yang jauh

Sabtu, 01 Februari 2025

LEWAT FM RADIO

Kirim salam sapa pada orang jauh sana
Juga lagu, pada ribuan kali putar
Pendengar di sisi sana tersipu malu
Pada pesan sendiri yang buat kau kuat melangkah

Menghitung sisa umur
Semenjak kau pulang terlampau dini
Pita kaset diputar mengecap rindu
Jalan ucap yang menyembunyikan wajah

Lega mendengar santun menjawab peluk tanpa tubuh 
Kau disana seperti apa wajahnya sekarang
Sudah berkerutkah? 
Di meja makan mungkin kau sedang tersenyum pilu

Kekasih yang telah lama tiada
Hanya bertuliskan nama pada batu nisan
Setiap sore kau tak jemu menunggu
Menitip kata kenang pada penyiar lewat FM radio

 Curug, 10 Juni 2023/ 03.19

Jumat, 31 Januari 2025

REUNI PETAKA

sepasang ibu muda datang membawa luka 
membawa tas mahal
dijinjing sepatu-sepatu mengkilap
langkah melayang hati berdebar 

berjumpa kawan lama
rasa terkubur itu kini bangkit lagi
sebab seulas senyum manja 
serta kerling mata memangsa 

memaksa meloloskan ikatan lama
yang direngkuh oleh masa, darah juga air mata 
api cepat membakar sekam asapnya berhembus pada buhul-buhul runtuh, 
goyah, lupa memiliki perjanjian bersama 
seiya sekata lalu rumah bukan lagi tempat manis untuk kau pedulikan

 Curug, 9 Juni 2023/ 04.38

Kamis, 30 Januari 2025

Somplang dan Mandor Tebu

Demi Marmut-Marmut lucu yang jadi kesayangan Somplang, ia rela tidak bermain bola sore hari. Pakan di dalam karung sudah habis. Teman-teman SD nya yang rajin mengajaknya bermain sore itu kembali menelan kekecewaan.

Ia mengambil karung dan bergegas ke sawah. Cahaya sore terasa hangat. Somplang mencari rumput-rumput yang hijau. Ia mulai menyabit, mengumpulkan di beberapa titik lalu memasukannya ke dalam karung.

Seekor ular melintas di hadapannya. Jarak dua langkah kaki. Kepalanya tegak dan lidahnya menjulur. Somplang tegang tangannya berhenti menyabit. Ada gundukan berisi daun-daun yang mencurigakan. Ia pun mundur ke belakang. Tanpa pikir panjang ia mengambil karung dan berlari ke tempat di rasa nyaman. Karungnya masih enteng, rumput-rumput yang ia kumpulkan belum diambil. Ia menatap ular yang masih menegakkan kepalanya. Ular itu merebahkan kepalanya dan pergi menyusuri semak-semak. Wajahnya pucat, dan tangannya meraba area kemaluan. Basah.

Somplang mengambil rumput-rumput yang sudah terkumpul. Buru-buru ia memasukkan, wajah ular yang barusan ia lihat sangat menakutkan. “Jangan-jangan ular jadi-jadian,” ucapnya.

Ia bergegas menuju pematang sawah yang lebih tinggi. Ia melihat anak-anak sebayanya sedang bemain layang-layang. Ada yang bermain bola, dan gobak sodor. Sawah berubah menjadi area olahraga jika lepas panen.

Tangan kecilnya menyabit rumput-rumput di sekitar pematang sawah. Sesekali ia berhenti, memberi jalan pada orang yang lewat. Kadang Ibu-Ibu yang menggendong ubi penuh dalam rinjing, atau petani yang capingnya terlihat ada beberapa ekor belut di atasnya.

Ia berpindah tempat, dekat dengan kebun tebu milik perusahaan swasta. Mandor-Mandornya terlihat pendiam. “Jangan coba-coba mengambil batang tebu, kalau ketahuan kamu bisa di bawa ke Kalibagor, dan kamu akan di penjara di sana.” Kata-kata ayahnya membuatnya tak mau lama-lama menatap batang-batang tebu yang menggiurkan itu.

Karungnya mulai teras berat. Ia istirahat. Kembali menatap batang-batang tebu itu. Ia menelan ludah. Kata-kata ayahnya terngiang-ngiang. Pada saat yang sama, godaan untuk mencuri tebu semakin besar.

Senja mulai turun. Cahaya sore mulai redup. Ia pun tak terjebak dalam aram, seperti yang pernah ia alami ketika lepas mancing. Untung ayahnya masih melacak keberadaanya. Jika tidak mungkin ia akan di asuh oleh Hantu Cepet untuk waktu yang tidak diketahui.

Dengan gesit dan lincah ia menorobos ke dalam kebun tebu. Jantungnya berdebar. Ia diam sejenak. Tak ada tanda-tanda Mandor Tebu sedang berpatroli. Ia meraba batang tebu yang kekar dan menjulang tinggi. Tangan kanannya mengambil sabit dan mulai menebas batang tebu. Memotongnya pendek-pendek lalu memasukannya ke dalam karung. Di atasnya ia tutupi rumput.

Ia keluar dari kebun Tebu. Jantungnya masih dag-dig-dug. Wajanya kembali pucat manakala di jalan menikung menuju pulang berdiri mandor tebu bercaping. Mandor itu menatapnya. Ia pun berlari serampangan.

Tubuhnya terasa berat, membuat Ia mudah tertangkap. Cengkraman Mandor tebu terasa berat dan kuat.

“Ampun Pak!, Ampun?” ucap Somplang. Matanya mulai berair. Telinga kanannya terasa panas. Mandor Tebu menjawernya sepuluh detik.

“Jangan kau lakukan lagi!, berbahaya!” kata Mandor Tebu. Ia memasukkan kembali batang-batang Tebu yang telah dipotong-potong itu.

Somplang mengangguk. Mandor Tebu pergi begitu saja. Somplang masih berdiri menatap punggunnya. Ia pun berbalik dan menatapnya. “Pulang ayo!” pekiknya sambil mengelus jenggotnya.

Somplang lari terhuyung-huyung memanggul karung berisi rumput. Ingatan pada Marmut-Marmut yang lucut itu membuatnya cepat-cepat ingin sampai di rumah. Ia ingin menurunkan rasa takutnya dengan melihat Marmut-Marmut peliharannya.

“Guik-Guik-Guik,” Marmut-Marmutnya memanggil. Ketika Somplang sampai di depan kandang. Ia memasukkan rumput-rumput ke dalam kandang. Marmut-Marmut lucut itu saling loncat-loncat menyambut makan malamnya.

Menjelang tidur seorang tamu datang. Somplang mengintip dari celah pintu. Jantungnya mau copot. Ia mengenali tamu itu dari jenggotnya. Ayah mempersilahkan duduk. Lalu ayah beranjak ke dapur. Somplang memasang pendengarannya.

“Siapa Pak,” tanya Ibu.

“Teman Bapak, sekarang ia jadi Mandor Tebu.”

“O, Ibu siapkan Teh.”

Somplang duduk di pinggir Amben. Ibu memanggil dari dapur. Ia berdiri tegak. Wajahnya berkeringat.

“Kau antarkan Teh ini ke ruang tamu ya, Ibu mau goreng Ubi.”

Rabu, 29 Januari 2025

RATU MALAM

Malam-malamnya senantiasa terjaga,
entah sampai berapa lama 
Berpindah pindah dari kamar satu ke kamar kakak tertua 
Berjalan di bawah lampu minyak yang bergoyang-goyang nyalanya 
Membuka pintu memasang mata yang awas 

Satu persatu-satu ia mulai memukul-mukul nyamuk gendut penuh darah 
Sepasang mata terjaga lalu tenggelam lagi 
Menatap sosok gentayangan tiap malam jika serangan nyamuk tiba-tiba membludak 
Bau anyir dari banyaknya nyamuk yang ia pukul berkali-kali pada kaki, lengan, dan pipi anaknya

Rambutnya ia biarkan tergerai, jika tak siap ia seperti hantu yang baru pulang mudik 
Ia menutup pintu, rasa hangat tiba masuk ke dalam kamar berdinding bambu 
Ia tengah membakar baju-baju lawas sebagai obat pengusir nyamuk 
Asap-asapnya mengepul berkeliaran masuk ke segala sisi rumah 
Anak lelakinya bangun mengucek matanya, menatap ibunya yang sibuk mengaduk-aduk nyala api

Petualangan Keli Si Kelinci Pemberani

Pagi yang cerah di gang kelinci berubah mencekam. Rumah-rumah kelinci rusak dan asap hitam membumbung. Anak-anak dan orang tua banyak yang terbunuh. Keli, si kelinci sebagai kepala gang sangat sedih melihat keluarga lain terbunuh. Kesepakatan damai kembali hilang. Kejahatan pun terulang kembali, lagi dan lagi.

Keli duduk di atas rumput segar. Rumput yang segar dihadapannya tak lagi menarik. Perasaannya sedih, kalut, ditambah penyerangan Toto si Tikus got atas dasar perintah Sagon, si Anjing culas. Anaknya yang bontot jadi korban keganasan Toto saat fajar terbit. Kebiasaan mereka untuk sarapan bersama sambil mengobrol tentang usaha dan pendidikan sekolah berubah hening diiringi isak tangis pilu. Keli bersama kelinci lain menguburkan mereka dalam satu liang lahat yang besar. Pekikan dan sumpah meraka terikan. Mengutuk Sagon si Anjing licik, dan Toto si Tikus besar yang bengis.

Keli bersama kelinci yang masih tersisa, dari anak muda hingga sampai yang jompo mendatangi Igel si Elang Putih untuk mengadukan persoalan yang telah dialaminya. Terlihat Igel sedang menikmati makan siang, seekor ikan salmon dari Antartika.

“Wah, ada tamu rupanya,” ujar si Igel sambil turun meluncur dari atas pohon tinggi untuk menemui Keli dan teman-temannya.

Igel berjalan mendekati Keli yang telah dikenal lama. Igel terkejut ketika dari balik semak-semak yang tinggi muncul kawanan kelinci lainnya. Igel melompat keatas batu yang agak tinggi. Ia mengetukan paruhnya dan menatap Keli sambil mengepakan sayapnya. Pertanda pembicaraan boleh dimulai.

“Begini Tuan Igel, Anda sebagai juru damai tentunya memiliki pandangan tentang sebuah kejahatan yang diawali oleh penghianatan?” kata Keli geram. Mulutnya gemetar.

“Apa yang terjadi kawan?”

“Rumah kami di serang, sebagain besar tewas, Sagon telah melanggar perjanjian dan menyerang kami dengan ganas. Toto juga membantu penyerangan.” “Kurang ajar!, soal Sagon dan Toto biar kami yang mengurusnya. Sekarang kalian pulang. Kalau terjadi sesuatu, tiup peluit ini pasukanku akan datang untuk membantu kalian.”

“Terimakasih Tuan Igel, kami pulang.”

“ Berhati-hatilah.”

Dalam perjalanan pulang ketika melewati stepa, mereka dihadang oleh Sagon beserta pasukannya. Semak-semak tinggi sebagai perlindungan sudah jauh tertinggal.

“Jangan kau ganggu mereka, bawa aku saja sebagai santapan makan malam kalian. Dagingku empuk dan tulangku lezat,” kata Keli. Ia menoleh kebelakang, teman-temannya terlihat membeku dan gemetar.

“Aku mohon, jangan ganggu mereka?” ucap Keli.

“Terlambat!, kalian pengecut, mengadu pada si busuk Igel itu. Gara-gara kalian, persoalan jadi makin pelik. Sekarang kami tak lagi pedudi soal-soal perjanjian, yang penting perut kami kenyang dan tidur nyenyak, kelinci-kelinci busuk!, serang mereka semua!”

“Semunya!, cepat lari!” teriak Keli.

Keli dan teman-temannya lari pontang-panting. Kelinci-kelinci muda ataupun tua tak butuh lama untuk bertahan. Anjing-Anjing dibawah pimpinan Sagon langsung menerkam, dan menggigit lehernya. Suara minta tolong seketika berubah sunyi.

Hanya tersisa Keli, wajahnya pucat. Keli mengambil peluit lalu meniupnya kencang. Sementara Sagon dan pasukannya terus mengejar sambil mengejeknya.

“Menyerahlah Keli, dan terimalah kematianmu!” kata Sagon sombong.

“Tidak semudah itu!, kami ini para pejuang, sementara kau sang penghianat!” pekik Keli.

“Cepat kepung dia!” pungkas Sagon.

Keli terus berlari. Meloncat ketika pasukan Sagon hendak menerkamnya. Di susul lari zig-zag, tak menyerah. Satu tendangan dari Sagon ke arah perut Keli membuatnya terpental kebelakang, Keli mengerang kesakitan. Sagon dan pasukannya perlahan-perlahan mendekatinya.

“Bunuh dia!” Teriak Sagon.

“Aku kalah” ucap Keli lirih.

Keli memejamkan matanya. Tubuhya terluka parah, noda darah menempel pada bulunya yang putih.

Dalam detik menegangkan. Berkelebat ratusan ekor Elang menyerang dan membawa tubuh anjing ke udara. Lalu melemparkan ke tanah. Satu persatu pasukan Sagon hilang. Sagon terkejut melihat serangan dari Igel dan pasukannya membuatnya lari mencari perlindungan.

“Mau lari kemana penghianat, cepat tangkap dan lemparkan ke kawah gunung!” perintah Igel.

“Tidak!, ampun tuan Igel!” teriak Sagon.

“Sudah terlambat!”


“Keli, buka matamu?” kata Igel.

Keli membuka mata. Wajah Igel menenangkan. “Terimakasih,” tuturnya.

Sepekah kemudian setelah dirawat oleh Igel si Elang Putih. Keli kembali bugar. Keli menemui Igel yang sedang melatih anak-anaknya belajar terbang.

“Tuan Igel, aku pamit, terimakasih untuk pertolongannya.”

“Sama-sama.”


 Seekor anak kelinci terus mengintip dari sebuah celah.

“Bu!, ayah pulang!” ucap Tibo anak sulung Keli.

Keli terkejut dan berlari untuk memeluknya. “Syukurlah kalian selamat.”

Selasa, 28 Januari 2025

ISTANA CACING

“Hara, sudah waktunya kau cari Paman Coran. Tanah yang kita huni sudah semakin beracun, petani-petani itu sudah kerasukan, tega sekali menyiram air terlarang kedalam tanah berjuta-juta ton,” ucap Annelida sebagai ratu cacing.

“Mereka para petualang, sangat sulit dicari ibunda,” ucap Hara.

“Untuk apa kau kulatih di tanah yang ditimbuni banyak plastik, lalu kau menyerah sebelum berperang.”

“Baik Ibunda,” kata Hara.

“Sebelum berangkat besok, kau bawalah beberapa temanmu yang cakap. Ahli ruangan, Senjata, dan juga pandai membuat terowongan,” ucap sang Ratu. “Aku bisa sendiri Ibunda,”

“Kau lebih kuat, jika bersama mereka,”

Hara berangkat bersama ketiga temannya. Atas saran Gobed si ahli ruangan, mereka berangkat menyusuri selokan demi selokan, pematang demi pematang, tanah berpasir, dan sebuah bukit kecil. Di sanalah Coran tinggal bersama keluarga dan handai tolan.

“Kau harus menghindari selokan itu, di sana biasanya jam segini orang-orang itu membuang limbah pabrik, baunya membuat pusing kepala, dan airnya membuat permukaan kulit kita terbakar,” ucap Gorim, cemas.

“Terimakasih Gorim,” ucap Hara.

“Kalian duluan, perutku mules, kemarin terpaksa yang terpapar limbah,” ucap Golen.

Mereka mulai berjalan secara bersamaan hingga sampai di pematang sawah, mereka menulusuri rerumputan basah, matahar hangat membuat mereka tampak semangat. Tak henti-hentinya mereka bernyanyi untuk menghibur diri dari ketakutan yang bisa membuatnya celaka.

“Sembunyi!” teriaknya, meski Golen si ahli terowongan sudah berteriak, tetapi Hara teman-temannya terus saja bergerak. Seekor burung semak tengah berpatroli mencari sarapan pagi untuk keluarganya.

“Teman-teman sembunyi!, bahaya!, bahaya!” teriak Golen yang suaranya hampir hilang ditelan angin. Ia pun mengeluarkan cairan dari tubuhnya sebagai tanda peringatan.

“Kuharap mereka mencium bau yang kukeluarkan,” bisiknya. Ia pun terus mengeluarkan cairan khusus tanda bahaya.

“Kau cium bau busuk itu,” tanya Gorim pada Hara.

“Bau Golen, berhenti!” teriak Hara.

Golen bernafas lega, seluruh tenaganya hampir habis. Ia telah mengeluarkan salah satu senjata pamungkas yang membuat tubuhnya bergetar dan berminyak lebih banyak dari biasanya. Nafasnya tersengal. Mereka menghampirnya.

“Ada apa Golen,” tanya Hara.

“Burung semak sedang mondar-mandir, kalian berhati-hatilah, tinggalkanku sendiri, nantiku menyusul, aku belum cebok” Golen melipir menuju satu lubang lembab disanalah ia berhibinasi untuk waktu tertentu. Ia menutup hidungnya, bau belerang menyeruk ke segala sisi.

“Cari tempat yang nyaman!” ucap Gorim sambil lari masuk dalam celah tanah yang cukup dalam di susul Hara dan Gobed. Dari dalam tanah mereka menatap paruh burung yang tajam, cakar yang kokoh, mengais dan mematuk-matuk tanah sepanjang pematang sawah. Hasil patukannya membuat tanah-tanah sekitar hancur dan masuk kedalam celan tanah, di mana Hara dan teman-temanya sembunyi.

Burung semak terus berpatroli, gerakan kedua kakinya lincah, butir-butir tanah sampai masuk kedalam.

“Lari..!” teriak Golen, “Lompat ke sungai!, cepat!, jaga ibuku?! tambahnya. Golen tertangkap burung semak. Tubuhnya menggeliat keras di paruh burung semak. Ia terus berteriak memberi peringatan pada pada Hara, Gorim, Gobed. Gobed yang tubuhnya lebih besar menarik tubuh Hara, dan menggendongnya di punggung. Sementara Gorim berusaha membuka jalan.

Sungai kecil dangkal cukup deras. Diujung cabang sungai itu ada bukit kecil, tempat Coran bermukim bersama keluarga dan pasukannya.

“Turunkan aku Gobed, kita pasti akan tenggelem dan terserat arus bawah,” ucap Hara.

“Tidak, percayalah,” Gorim meyakinkan.


“Pengorbanan Golen akan sia-sia!” teriak Hara, disusul isak tangis.

Burung semak tinggal satu langkah lagi. Di saat yang bersamaan, ketiga lompat ke sungai kecil yang dangkal dengan air cukup deras. “Ibu...!” teriak Hara.

Ketiganya masuk sungai. Tubuh mereka limbung pontang-panting terbawa arus sungai. Hara nyaris tewas, manakala sebuah dorongan kuat dari Gobed berhasil mendorongnya kepinggir. Dengan sisa tenaga, Gobe mendorong tubuh Hara dan Gorim yang sudah lemas. Sementara tubuh Gobed timbul tenggelam. “Sudah waktunya,” ucap Gobed.

“Apa yang kau katakan, cepatlah naik,” bisik Hara lemah.

Gorim nyaris tak bergerak, hanya nafasnya yang menandakan ada kehidupan.

“Titip Gorim ya, nanti malam ia harus minum obat, ia sering lupa. Itu wasiat ibunya. Aku pergi dulu,” ucap Gobed. Tubuhnya mengejan dan mengeluarkan aroma bawang. Ia sekarat. Tubuhnya hanyut terbawa sungai kecil yang berarus deras.

“Gobed...!!! teriak Hara. Tubuh air yang deras menelan tubuh Gobed. Hara ambruk, pandangannya kosong, dan ia tertidur lelap. Daun talas yang besar menahan mereka dari tenggelam.

“Itu mereka tuan,” ucap salah satu pengawal Coran.

“Cepat lepaskan jaring!” perintah Coran.

“Siap tuan!”

Jaring diturunkan tepat sebelum mereka hanyut ke sungai yang lebih besar. Hara dan Gorim terbangun.

“Kita selamat Hara,” kata Gorim lemah.

Hara mengangguk lemas.

“Aku kehilangan dua temanku Paman, mereka anak-anak yang hebat.”

“Kita semua akan betemu mereka nanti? Ucap Coran menenangkan.

Gorim datang memakai baju hangat. Wajahnya lebih segar. Ia bergabung besama Hara dan Coran

“Sebenarnya apa yang terjadi dengan tempat tinggal kalian,” tanya Coran.

“Manusia tiap hari membuang limbah ke dalam tanah, banyak teman-teman kami tewas, dan tumbuh tidak sempurna. Kami berniat pindah mencari tempat tinggal baru,” jawab Hara.

“Setalah kalian pulih. Kembalilah bersama pasukanku. Jemput Ibumu dan seluruh penduduknya. Kita akan cari tempat yang lebih aman,” tutur Coran.

“Kemana Paman?”

“Kampung halaman Ibumu, Istana Cacing.”

Senin, 27 Januari 2025

Tragedi Bola

Di bawah pohon bambu yang rindang. Terdapat sebuat tanah lapang. Ukurannya tidak terlalu luas tetapi cukup untuk membuat permainan bola plastik tampak menyenangkan. Tanpa alas kaki, bola plasti berpindah dari kaki ke kaki. Sampai lelah, sampai ibu mereka memanggilnya dengan nyaring. Membuat kami lari terbirit-birit menuju rumah masing-masing. Bubar jalan.

Seorang pemain pengganti masuk. Romli namanya, ia terlalu senior bagi para pemain, termasuk aku sendiri. Aku tidak terlalu suka dengannya. Kata-katanya sering menyakitkan. Dan selalu membuatku tampak payah. Pernah ia berkata bahwa, diantara semua teman sebayamu itu, hanya kamu yang tidak punya saudara. Semua saudaraku, kata Romli. Entah kapan ia mengucapkan, tetapi aku ingat terus. Rasanya ingin membungkam mulutnya dengan kotoran kambing. Biar tahu rasa.

Ketidaksukaanku seperti terbaca olehnya. Ia menyeringai beberapa kali, dan kerap mengacungkan jempolnya kebawah. Aku tidak membalasnya, lagipula badannya terlalu besar buatku. Jika berkelahi dengannya, sudah bisa dipastikan aku yang akan terjungkal mencium tanah dan menangis kencang sebagai pertanahan terakhir.

Kedudukan masih kosong-kosong. Diantara kami sedang memperlihatkan bagaimana sebaikanya bermain bola. Tampaknya mereka termasuk aku sedang dalam puncak kesombongan menggocek bola plastik sedemikian rupa, hingga bisa meliuk-liuk seperti penari, lalu pada tendangan terakhir mencuri tendangan ke pojok gawang, sendiri melewati lawan juga kawan.

Bola kugocek memakai gaya kungfu. Berhasil melewati kaki-kaki lawan. Pada pertahanan tengah, Romli sudah berdiri, menyeringai, bahkan meludah untuk mengejekku. Menurungkan keahlianku sebagai penggojek bola plastik yang tidak bisa dianggap enteng.

Kutendang bola keras-keras, sial, mengengai kakinya yang kokoh. Romli tersenyum.

“Begitu saja keahliamu Su!” ucapnya sembari meludah keras-keras. Aku tahu Romli sedang mengujiku, tetapi yang kurasakan adalah penghinaan yang ringan diucapkan.

Bola melambung kebelakang menggelinding ke tempat pembuangan sampah. Dalamnya hanya satu meter, tetapi beberapa hari yang lalu ada banyak serbuk gergajian pohon kelapa. Dibakar, tetapi tak lagi nampak asap yang bisa kulihat. Seperti sudah mati.

Aku berhenti ingin mengambil bola plastik itu. Aku berpikir keras apakah api itu sudah mati dan tingga abunya saja.

“Lompat saja Su, apinya sudah mati!”perintah Romli.

Tanpa pikir panjang lagi aku lompat kebawah ke bekas bakaran serbuk gergajian pohon kelapa. Bola plastik kuraih dan kulemparkan ke atas. Beberapa detika kemudian. Kedua kakiku terasa dingin sampai ketulang, juga ada rasa kesemutan, lalu disusul rasa panas yang tak tertahan. Segera kunaik keatas, tetapi kedua kakiku masih sangat panas, juga gatal, yang tak bisa kugaruk.

Kedua kakiku kugosok-gosokkan ke atas tanah. Mencoba untuk meredam. Tetapi sia-sia, rasa panas itu teras ada. Pecah tangisanku. Gempar para tetangga, dan orang-orang dewasa segara sibuk untuk menolongku. Sedangkan Romli tak nampak batang hidungnya diantara orang-orang dewasa yang wajahnya sulit kuungkapkan.

“Bu! Tolong Su Bu!” tak ada jawaban. Nenekku muncul dari balik kerumunan. Meraka sedang berdiskui bagaimana meredama rasa panas yang tengah mendera kedua kakiku.

“Ibu masih dipasar, nanti juga pulang?” ucap nenek. Nenek menyuruhku untuk meminum dari gelas yang dibawanya. Rasanya nyaman, tetapi hanya sebentar. Selanjutnya tangisanku memecah kesunyian Gang Rapingun.

“Cepat bawa odol dan oleskan!” perintah seorang dewasa yang sulit kuingat wajanya.

Seketika rasa dingin menjalari seluruh punggung kaki termasuk seluruh jemariku. Hanya sekian detik, tak memapan. Aku kembali menangis. Orang-orang dewasa yang terus menatapku tak karuan.

“Ambil telor!” perintah salah seorang dewasa. Kali ini wajahnya kuingat. Orang dewasa itu, ayah temanku.

Amis segera menguar. Hidungku cepat-cepat mencium. Beberapa butir telor dipecahkan. Lalu dioleskan, rasa adem membutku tenang. Tetapi lagi-lagi hanya sesaat. Selanjutnya rasa panas terus kurasakan. Sementera Romli tak juga nampak. Sejak saat itu, Romli kuanggap sebagai musuk sampai kapanpun.

Dari balik pintu rumah. Sesorang muncul. Aku sangat kenal dengannya.

“Bu!” teriakku.

Entah dari mana informasinya. Ibuku mengangguk dan menggendong badanku yang mulai membutnya sulit bernafas.

“Kita pergi ke Desa Kesamen, berobat?”ucap ibuku. Aku mengangguk. Lalu menangis lagi.

Turun dari angkot, aku masih menangis.

“Bu, apa aku akan mati,” tanyaku seketika, kalimat yang tiba-tiba saja muncul di kepalaku.

“Huss, ngomong apa kamu. Itu rumahnya sudah dekat,” ucap Ibu.

Seorang Ibu menyambut. Ia perempuan berkebaya batik. Mempersilakahkan masuk. Setelah wawancara singkat, ibu menurunkanku dari gendongannya. Membiarkanku duduk di atas bale.

Lalu Ibu mengoleskan sesuatu dengan alat yang mirip setempel, hanya saja benda itu terbuat dari besi. Kurasakan hawa dingin segera menyergap. Ada rasa nyaman ketika ia bergerak ke area puser. Dan itu sangat menenangkan. Ajaib benar benda. Rasa panas pada kakiku tiba-tiba hilang.

Ibu pamit pulang, dan Ibu kembali menggendongku pelan-pelan. Tubuhku yang mulai berat membuat kaki ibu terlihat limbung. Tetapi Ibu segera memperbaiki kuda-kudanya.

Seminggu kemudian luka bakar di kaki mulai mengering. Hanya saja bau amis segera menyergap. Telor yang dipecahkan diatas kakiku telah mengerak dan membuat risih.

Hari kedelapan dan kesepuluh. Pelan-pelan kerak itu mulai mengelupas. Dan hari-hari penantian itu sangat melelahkan, tetapi saat itu pula aku menikmatinya sebagai sebuah pelajaran tentang kepercayaan.

Minggu, 26 Januari 2025

UJIAN PERTAMA TOPA SI ANAK TUPAI

Topa, si anak Tupai sedang duduk di batang pohon jengkol. Ia baru saja selesai berlatih melompat dari ranting satu ke ranting lainnya. Ia masih takut melompat dari dahan tinggi ke dahan yang rendah. Kepercayaan dirinya sangat menurun. Sejak manusia serakah itu menangkap kedua kakaknya, Tor dan Tan.

Ia berhenti mengunyah sarapan. Ia terkejut, ternyata seorang manusia yang tengah mengamatinya dan siap-siap memanjat pohon jengkol. Dahan yang duduki tiba-tiba bergoyang. Seorang anak manusia tengah naik pohon jengkol sambil meringis manahan gatal. Ulat-ulat bulu yang menempel sepanjang pohon jengkol, tewas tergencet dan bulu-bulunya menempel di kulitnya.

Topa tubuhnya menegang. Ia terlihat panik dan taku. Ia teringat kedua kakaknya yang ditangkap oleh manusia-manusia tak bertanggung jawab. Anak manusia berhasil naik sampai ke atas pohon dan mulai membidik Tupa. Rasa takut yang berlebih membuat tubuhnya sulit bergerak. Ia ingin melompat ke dahan pohon dukuh. Tetapi tubuhnya seperti menempel kuat pada dahan yang duduki.

Pandangannya gelap tiba-tiba ketika tanah kering dan padat yang dilesatkan oleh ketapel mengenai perutnya. Topa mengerang keras dan jatuh ke bawah. Tubuhnya tak bergerak.

“Bangun Topa!” teriak Pato, si burung Pelatuk. Juga riuh rendah teriakan dari burung Prenjak dan burung Kemaduan.

Anak manusia turun dari atas pohon jengkol. Puluhan ulat bulu yang belum tergerus tubuhnya sewaktu naik ikut tewas ketika tergerus tubuh manusia itu. Sampai di bawah sibuk menggaruk-garuk keseluruh bagian tubuhnya.

Sambil terus menggaruk ia bergerak menuju Topa. Pato, si burung Pelatuk dan teman-temannya kembali berteriak memanggil namanya.

“Bangun Topa!, bangun!” teriak Pato, si burung Pelatuk. Ditambah terikan dari Burung Prenjak dan Burung Kemaduan.

Topa bangun pada detik tangan manusia itu hendak meraihnya. Ia berusaha berjalan cepat ke samak-semak. Anak manusia itu semakin sibuk menggaruk tubuhnya yang gatal. Ia balik kanan sambil mengeluh.

“Lain kali, akan kutangkap kau!” teriak anak manusia.

Si anak manusia pun pergi. Topa kembali ke pohon jengkol menunggu Ibunya pulang. Ia tampak lelah.

“Bagaimana keadaanmu Topa,” tanya Pato.

“Perutku sedikit nyeri,” jawab Topa.

“Hampir saja kamu tertangkap,” ucap Pato, si burung Pelatuk. Burung Prenjak dan Kemaduan terlihat ikut khawatir.

“Terimakasih semuanya, terutama kau Pato” ucap Topa

Senja mulai turun.

“Kenapa menangis Nak,” ucap Sal, si Ibu Tupai.

“Aku hampir ditangkap anak manusia Bu,” ucap Topa sambil memeluk ibunya.

“Dasar anak manusia serakah,” kata Sal.

“Coba kalau ada Ayah,” kata Topa. Ia melepaskan pelukannya. Ia menghapus air mata, dan duduk di batang pohon dekat dengan sarang.

Tuka, si ayah Topa tewas ketika ingin menolong kedua anaknya. Sebuah peluru dari senapan angin tepat menghajar kepalanya. Ia pun jatuh tersungkur bersimbah darah. Topa dan Sal tampak terkejut dan sedih. Mereka hanya bisa melihat ayahnya dari atas pohon tak bisa membantunya.

Sebuah suara mengejutkan mereka.

“Hei kalian cepat berjalan. Kalau lambat upah kaliah akan dipotong. Tupai-Tupai ini harus sampai sebelum acara karnaval,” bentak seorang manusia berbadan besar brewok panjang kepada pendorong gerobak yang didalamnya ada kandang-kandang besi berisi ratusan ekor Tupai.

“Bu, apakah ada kakakku di dalam kandang itu,” tanya Topa. Mereka sedang di atas pohon duren.

“Ibu tak tahu, coba kita lihat lebih dekat,” ajak Ibunya.

Mereka berdua turun dari atas pohon Duren. Mereka berdua sembunyi diantara daun-daun pohon duren. “Tor, Tan!” teriak Topa dari balik dedaunan. Tupai-tupai dalam kandang itu hanya terdiam. Wajahnya tampak putus asa. “Tor!, Tan!” teriak Topa lebih keras lagi.

“Mereka bukan kakakmu Nak?” ucap Sal, Ibu Topa.

“Aku yakin Bu, mereka Tor dan Tan, aku kenal bulunya? Kilah Topa.

“Bukan!, mereka bukan Tor dan Tan, ayo kita pergi sebelum manusia-manusia serakah itu mengetahui keberadaan kita. Keduanya kembali menaiki pucuk pohon Duren.

“Kau belum tidur Topa,” ucap Ibunya.

“Belum mengantuk Bu,” jawab Topa.

Malam semakin larut. Keduanya masih terjaga.

“Topa, kau rindu dengan kakakmu.”

“Kaukah itu Bob?” tanya Sal.

Bob si Burung hantu muncul memperlihatkan dirinya. Suaranya yang besar cukup mengagetkan mereka.

“Ada karnaval di negeri para badut. Mereka bersama hewan lain akan tampil digelanggang arena. Hati-hati jangan sampai tertangkap. Jika beruntung kalian bisa melihat Tor dan Tan beraksi di sana. ”

“Apa kau serius Bob,” ucap Sal.

“Tentu saja.”

“Terimakasih Pak Bob,” ucap Topa.

Bob si Burung Hantu, tertawa. “Sama-sama Nak.” Ia pun pergi. Mereka masuk kedalam sarang. Dan malam terus saja berjalan tanpa bulan yang bersinar.