Keduanya saling bertemu untuk kedua kalinya. Saling mengobrol ngalor ngidul tak ada dendam yang menjebak rasa rindu. Mungkin belum, keduanya tampak menjajaki untuk kesekian kalinya.
Mereka saling menatap mengukur kasih. Kicau burung seperti nyanyian india sebagai lagu pengiring rasa padu itu. Tukang taman yang berada jalur aman untuk mengawasi sambil menyabit seperti pengawal kerajaan yang rajin tutup mulut.
“Apa perlu mengikat pertemuan pada arah yang serius?” tanya pemuda itu sambil terus menyembunyikan tangan kanannya di balik jaket kulit coklat prodak Cianjur.
“Maksud abang?” Tanya gadis itu, tangan kanannya berkali-kali membetulkan poni yang berantakan.
“Janur kuning lengkap dengan undangan?” ungkap sang pemuda.
“Ah..., jangan buru-buru. Penjajakan saja dulu?” tangkas gadis itu.
Jawaban gadis itu oleh pemuda seperti penolakan halus. Ia berdiri spontan. Membetulkan rambutnya. Lalu memakai topi yang membuat gadis itu terkejut.
“Kau supir ya?” cecar gadis itu.
“Ngawur, aku ini calon sarjana tinggal tunggu wisuda,” elak sang pemuda.
“Bohong!, kau pikir aku bodoh, itu topi khas sopir!” desak sang gadis.
“Maaf...” polos sang pemuda. Ia menurunkan topi dan duduk lemas di kursi taman.
Gadis pujaan sang pemuda pergi sambil membawa hadiah dari sang pemuda. Tiba-tiba ia berhenti. Dan balik kanan berjalan menuju pemuda yang pucat pasi duduk melepas topi dan menggoyangkan sebagai kipas.
Pemuda mendongak melihat wajah pujaan hatinya kembali. Ia tersenyum dan berdiri menyambutnya.
“Maaf, aku juga bukan calon sarjana tinggal tunggu wisuda.”
“Siapa kamu.”
“Babu orang kaya yang sibuk bekerja, permisi.”
Hening. Taman sunyi. Kicau burung berhenti. Dan tukan taman itu tiba-tiba menghilang. Keduanya balik kanan. Tanpa pernah menoleh ke belakang.