Selasa, 07 Januari 2025

CALON SARJANA TINGGAL TUNGGU WISUDA

Mereka janji akan bertemu di taman setelah sepekan yang lalu keduanya berkenalan. Satunya mengenalkan diri sebagai mahasiswi kedokteran di sebuah kampus ternama. Sedangkan pemuda itu mendeklarasikan sebagai mahasiswa psikologi. Satu sama lain saling mengagumi, cara klasik untuk mengukur hukum pertemuan dengan perkenalan.

Keduanya saling bertemu untuk kedua kalinya. Saling mengobrol ngalor ngidul tak ada dendam yang menjebak rasa rindu. Mungkin belum, keduanya tampak menjajaki untuk kesekian kalinya.

Mereka saling menatap mengukur kasih. Kicau burung seperti nyanyian india sebagai lagu pengiring rasa padu itu. Tukang taman yang berada jalur aman untuk mengawasi sambil menyabit seperti pengawal kerajaan yang rajin tutup mulut.

“Apa perlu mengikat pertemuan pada arah yang serius?” tanya pemuda itu sambil terus menyembunyikan tangan kanannya di balik jaket kulit coklat prodak Cianjur.

“Maksud abang?” Tanya gadis itu, tangan kanannya berkali-kali membetulkan poni yang berantakan.

“Janur kuning lengkap dengan undangan?” ungkap sang pemuda.

“Ah..., jangan buru-buru. Penjajakan saja dulu?” tangkas gadis itu.

Jawaban gadis itu oleh pemuda seperti penolakan halus. Ia berdiri spontan. Membetulkan rambutnya. Lalu memakai topi yang membuat gadis itu terkejut.

“Kau supir ya?” cecar gadis itu.

“Ngawur, aku ini calon sarjana tinggal tunggu wisuda,” elak sang pemuda.

“Bohong!, kau pikir aku bodoh, itu topi khas sopir!” desak sang gadis.

“Maaf...” polos sang pemuda. Ia menurunkan topi dan duduk lemas di kursi taman.

Gadis pujaan sang pemuda pergi sambil membawa hadiah dari sang pemuda. Tiba-tiba ia berhenti. Dan balik kanan berjalan menuju pemuda yang pucat pasi duduk melepas topi dan menggoyangkan sebagai kipas.

Pemuda mendongak melihat wajah pujaan hatinya kembali. Ia tersenyum dan berdiri menyambutnya.

“Maaf, aku juga bukan calon sarjana tinggal tunggu wisuda.”

“Siapa kamu.”

“Babu orang kaya yang sibuk bekerja, permisi.”

Hening. Taman sunyi. Kicau burung berhenti. Dan tukan taman itu tiba-tiba menghilang. Keduanya balik kanan. Tanpa pernah menoleh ke belakang.

Selasa, 31 Desember 2024

OLIGARKI

Terdengar suara tembakan. DOR! Semua pelari melesat menuju lintasan. Bergerak cepat berlomba menuju garis finis. Penonton yang membludak memenuhi stadion memberi semangat pada jagoannya masing-masing. Otot-otot paha pelari yang terlatih semakin terlihat, latihan bertahun-tahun untuk menjadi yang tercepat dalam beberapa detik saja. Impian semua atlet di dunia manapun.

Nomor punggung sepuluh sudah melesat cepat mendahuli lawan-lawannya. Kecepatan larinya seperti cheetah, pelari tercepat diantara kucing-kucing besar di Afrika sana.

Pada detik yang hampir bersamaan, pelari bernomor punggung tujuh mulai menyusulnya dengan kecepatan yang mengagumkan. Seolah tak punya pusar, lari dan lari. Penonton dibuat kagum oleh penampilannya. Pendukungnya makin bersemangat, mereka berteriak dan bertepuk tangan. Histeris.

Peluh keringat nampak mengkilat menerpa tubuh pelari yang sedang kerasukan, matanya ada yang melotot menahan nyeri menyerang otot paha. Larinya semakin tertinggal.

Yang lain masih memiliki nafas banteng. Semakin sayu matanya semakin ganas larinya. Kini kelompoknya makin terpisah. Satu tertinggal masih berlari sambil menahan nyeri. Hanya darah yang terus mendidih mempertahankan nama baik negaranya. Mereka adalah petarung yang siap mati di medan perang, dengusannya mampu menanggalkan pedang-pedang tajam. Keringat makin bercucuran membuat para pelari seperti di sauna.

Lomba lari seratus metar tingga beberapa puluh meter lagi. Menyisakan dua pelari di barisan pertama. Saling mempertahan kecepatan berlarinya. Garis finis sudah terlihat. Kecepatannnya semakin mengagumkan, siapa yang mencapai garis finis dialah yang terbaik. Harga dirinya dan negaranya menjadi jaminan. Namanya akan menjadi legenda dari setiap pelari terbaik dari segenap penjuru dunia.

Penonton makin histeris manakala pelari nomor tujuh dan sepuluh semakin liar, tidak terkendali, seperti kecepatan mesin, mereka berdua memiliki kecepatan yang nyaris sama. Pelari nomor tujuh melewati garis finis nyaris sama dengan pelari nomor sepuluh. Keduanya merayakan dan sama-sama mengaku sebagai pemenangnya.

“Kita coba tanya wasit lapangan, siapa yang tercepat!” usul pelari nomor sepuluh.

“Siapa takut!” pungkas pelari nomor tujuh.

Keduanya menghadap wasit. Penonton ikut hening. Mereka seperti tahu ada yang sedang diperebutkan. Hanya bisik-bisik kecil lewat mata juga mulut-mulut yang terkatup.

Microphone berdesis, semuanya menahan nafas. “Untuk pemenang lomba lari jarak 100 meter adalah pelari dengan nomor punggung sepuluh,” ucap sang wasit.

Tidak hiruk pikuk seperti lazimnya ada seorang pemenang. Mereka seperti menentang, tetapi bingung bagaimana cara mengungkapkannya. Diam tak bicara sepatah kata.

Pelari nomor tujuh datang menghadap kepada wasit. “atas dasar apa anda!, kenapa dia yang menang! Keputusan salah akan merugikan yang lain, anda tahu itu!” protes pelari nomor punggung tujuh.

“Memang dia yang menang, kau mau apa!” tanya wasit balik. Alisnya makin naik.

“Kasih satu alasan yang logis kenapa dia yang menang!” ucap pelari nomor punggung tujuh, marah.

“Ketika menginjak garis finis, mulutnya terbuka, giginya yang tonggos membuatnya sampai duluan di garis finis. Salah sendiri gigi kau tidak tonggos. Kuharap you paham ya!” jawab sang wasit tajam. Pelari nomor punggung tujuh turun dari podium menggeleng tak percaya.

HAKIM RAKUS

Emir tengah duduk di kursi pesakitan, pandangan matanya menatap seorang hakim yang sedang duduk mengawasinya. Kepalanya menunduk menatap koper yang berisi lempengan-lempengan batu yang ia susun sebelum menjalani sidang. Koper diletakkan dekat dengan kedua kakinya. Kedua tangannya mencengkrem lengan kursi jati warisan zaman kompeni. Emir tengah menghadapi tiga tuntutan.

Pertama, tuntutan dari kakaknya, Aldino. Mobil yang ia pinjem untuk mengantarkan temannya ke kampus apes, kecelakaan. Kakaknya yang superduper pelit menuntutnya dengan ganti rugi seratus juta karena telah menghilangkan dua spion mobilnya.

Kedua, tuntutan dari temannya. Masing-masing menuntut ganti rugi sebesar lima puluh juta. Karena telah membuat anjing termahal sedunia kehilangan ingatan pada tuannya (temannya).

Ketiga, Emir tak sengaja menyenggol temannya hingga masuk got yang menyebabkan Arloji bertahta berlian dari Paris mati total.

Emir sudah mencoba segala cara, tetapi tidak berguna sama sekali. “Ini negeri yang aneh,” batinnya. Ia menatap ke arah hakim yang sudah bersiap-siap membacakan putusannya.

Kopernya ia angkat dan dilitekkan di depan kakinya. Hakim mendelik menatap koper itu. Ia tersenyum senang dan membayangkan bagaimana banyaknya uang yang akan diterimanya. Tanpa berpanjang kata, si Hakim mulai membacakan putusannya.

“Untuk kasus pertama, kakakmu harus membelikan sepeda motor Yamaha YZR-M1 yang pernah dipakai oleh legenda hidup motoGP,Valentino Rossi,” ucap sang Hakim meyakinkan. Aldino terhenyak, wajahnya sepucat salju.

“Kasus kedua dan ketiga, kalian harus memberikan Honda RC212V yang pernah dikendarai oleh Dani Pedrosa. Dan satu lagi, kau harus memberikan honda Ducati Desmosedici, yang pernah dikendarai oleh Casey Stoner,” kata Hakim tegas. Ia mengetuk palu tiga kali, dan kembali menyidang kasus-kasus yang lain. Koper pun berpindah tangan, si Hakim mengedipkan matanya ke arah Emir. Ia berencana akan berlibur ke luar negeri membawa semua anggota keluarga, serta menginap di hotel mewah berbintang tujuh.

Selesai menyidang, si Hakim membuka koper. Matanya membelakak; Jika Tuan Hakim memutuskan tidak adil, akan kubunuh dengan koper ini. Secarik kertas berisi pesan Emir terbaca oleh si Hakim. Tangannya gemetar meraba lempengan batu pipih yang dikiranya uang berlimpah. “Jika aku tak menolongnya, kepalaku sudah berdarah dihantam koper berisi batu-batu ini,” bisiknya lirih. Ia sangat terkejut sembari tersenyum kecut.

Kakaknya tak mampu memberikan apa yang diminta Pak Hakim, ia hanya mampu membelikan motor bebek, Emir merasa senang dan menerimanya. Kedua temannya yang penipu itupun hanya mampu memberikan motor klasik kesayanganya dan motor metik yang baru lunas. Mereka terpaksa memberikan karena tak mau merasakan dinginnya lantai penjara.

Jumat, 27 Desember 2024

Balada Anak Kos

Di warung makan sederhana Andri sedang mengantri menuggu giliran memesan menu makanan. Ia berencana untuk makan di kosan., alias bungkus. Teman-teman satu kosan sudah mudik ke kampung halaman, mengisi waktu liburan.

Di depannya dua gadis sedang memesan makanan.

“Bang bungkus tiga ya?, pakai semur ati, orek tempe, capcay, jangan lupa kasih sambel.”

Aroma semur ati menguar kemana-mana. Begitu juga sambel medok di campur irisan pete. Andri menelan ludahnya sendiri. Dari subuh ia sudah mengelus-elus perutnya, bukan oleh mulas ingin buang air besar.

Abang itu mulai membungkus pesanan gadis itu. “Yang dua menunya apa?” tanya si abang sambil mengikat nasi bungkus itu dengan karet geleng merah. “Yang dua samain aja bang?” jawab gadis itu.

Abangnya membungkus pesanan dalam waktu yang mengagumkan. Semunya diberikan karet gelang merah, tak ada sobekan pada kertas nasi.

“Berapa bang?”

“24 ribu neng?”

Gadis itu membayar dan kemudian bergegas pergi.

“Saya pesan empat bungkus bang,” ucap gadis selanjutnya.

“Pakai apa,” tanya abang warung.

Abang warung sudah menaruh nasi di atas kertas nasi, lalu dibentuk cekung agar nasi tidak tumpah. Tangan kanannya sudah memegang gagang sendok menunggu lauk apa saja yang di pesan oleh sang gadis.

“Pakai lele goreng, sayur nangka, tahu goreng satu, kasih sambel ya bang?”

Si abang mengambil kesemua lauk itu cekatan. Meletakaknnya di atas nasi putih. Lalu membungkus dengan karet gelang kuning.

“Terus,” kata si abang yang sudah siap dengan pesanan kedua.

“Telor balado, orek tempe, capcay, tahu goreng satu, juga sambelnya bang.”

“Dua lagi pakai apa neng.”

“Samain saja bang lauknya.”

Hening sejenak.

“Semunya 32 Neng,” kata si Abang. Si gadis itu pun membayar dan lekas pergi.

Andri menoleh ke belakang. Tak ada orang yang mengantri di belakangnya. Ia menatap berbagai menu yang ada di depannya. Seperti dosen yang melihat mahasiswa presentasi.

Si abang menatapnya. “Pesan berapa?” ucap si abang. Andri kikuk meremas uang kertas yang sedang digenggamnya.

“Satu saja bang,” jawab Andri mantap.

“Pakai apa,” tanya si abang.

“Ini apa bang,” tanya Andri menunjuk menu secara bergantian.

“Sayur nangka, lodeh, capcay, opor, ati, dan lainnya ” jawab si abang agak manyun.

“Kuahnya saja bang, banyakin ya.”

Untuk sejenak si abang tertegun, kedua alisnya mengkerut. Ia menatap Andri cepat-cepat, lalu mengguyur nasi itu dengan kuah sayur nangka, lodeh, opor dan ati. Andri makin kikuk dan memberi intruksi lagi kepad si abang.

“Jangan lupa sambelnya bang.”

Si abang membungkusnya dengan cekatan setelah menambahkan satu sendok sambal. Ia memberikannya kepada Andri.

“Berapa bang?” tanya Andri. Keningnya banjir oleh keringat. Dan ia makin kuat meremas uang kertasnya.

“4000 ribu saja?” jawab si abang.

Ia tampak lega, lalu memberikan uangnya.

“Nih saya kasih gorengan Tahu gratis,” ucap si abang agak meleleh. Gorengan tahu itu tampak gendut dan menggiurkan.

“Terimakasih ya bang?” tutur Andri. Bergegas berbalik ingin keluar dari warung makan. Tak di duga, dua gadis tadi kembali lagi dan tengah duduk mengantri, meraka tersenyum manis padanya. Andri cepat-cepet pergi dari warung makan, menyesal tak sempat membalas senyum dari kedua gadis manis itu.

Somplang dan Batu Nisan

Selepas asar Somplang pergi ke rumah neneknya mengantarkan rantang bekal buat buka puasa. Jalan terdekat adalah menerobos setapak diantara makam-makam yang rebah. Apalagi kalau berhasil melewati makam bertanda salib besar di salah satu sudut kuburan itu. Teman-teman Somplang akan berhenti meledek dengan label cupu. Setapak demi setapak Somplang mulai berjalan. Tubuhnya tiba-tiba merasa dingin, ia seperti diawasi oleh ratusan mata yang tak bersahabat.

“Aduh!” teriak somplang. Kakinya menabrak batu nisan.

“Kenapa Som?” tanya seorang dari arah gubuk pertama.

“Aku tersandung batu Nisan, gimana ini?” Reflek Somplang menjawab. Ia menoleh kanan kiri tak ada orang sama sekali. Bahkan penjaga makam yang biasa duduk di gubuk pertama pun tak ada. Makam benar-benar kosong.

“Jalan saja tak apa,” perintah sebuah suara yang berat dan serak. Kali ini dari arah makam bertanda salib itu.

Somplang melirik batu nisan itu. Agak bergeser. Lalu berjalan. Tubuhnya mulai basah. Ia ingin kembali ke jalan semula. Tapi urung, kini ia sudah berada di tengah-tengah makam.

“Hei kau yang menabrak Nisan, benerin dulu, main kabur saja.” Sebuah suara cempreng dari arah gubuk kedua.

Somplang berhenti. Ia menoleh berkali-kali. Hanya ia sendiri dengan nafas yang mulai berat.

Ia melangkah kembali. Mencoba abaikan suara itu. Toh batu nisan hanya geser dikit.

“Bocah geblek!, ayo benerin!” suara itu muncul lagi. Somplang mencoba mengamati sekitar, tak bosan. Jantungnya terasa mau lepas. Di gubuk kedua, ada seorang laki-laki berwajah bayi sedang duduk menatapnya. Dan jari telunjuknya menuju ke arahnya.

“Cepat!” tuturnya galak matanya melotot memutih.

Ia meletakkan rantangnya cepat-cepat. Gemetar tangannya. Lututnya terasa lemas. Somplang membetulkan letak nisan yang doyong sedikit menjadi tegak kembali, dibawah tatapan lelaki berwajah bayi. Setelah selesai ia kembali menatapnya sambil menjulurkan lidahnya dan lari lintang pukang. Lelaki berwajah bayi berubah merah, dan tertawa lebar.

Somplang menoleh, lelaki itu berubah kembali menjadi berwajah bayi. Ia tengah melambaikan topeng yang menyeramkan itu. Dan ia tertawa lebar. Satu persatu teman-temannya keluar dari arah yang terduga. Makam yang sunyi jadi ramai oleh tawa temannya. “Sial!” umpat Somplang.

Terdengar tawa menggema dari alam yang berbeda. Besar dan berat.

Somplang dan teman-teman yang usil lari terbirit-birit. Dan batu nisan yang dibetulkan oleh Somplang kembali miring.

 

Hapus Pesan Sebelum Pulang

Boneng mematikan mesin truk. Lalu ia turun sambil menentang handuk kecil oren yang biasa pakai untuk lap ketika berkeringat. Ia mampir ke warung kopi langganannya. Kopi hitam sudah menunggu. Masih panas. Seorang perempuan datang sambil membawa pisang goreng. Ia meletakan tepat di hadapan Boneng. Sekilas ia melirik ke arah perempuan itu. Perempuan itu tersenyum.

“Kau sudah baca pesanku,” kata Boneng.

“Pesan yang mana, aku tak melihatnya,” kata perempuan itu. Sambil mengalihkan perhatiannya pada pengunjung lain. Menerima pesanan dari pengunjung lalu kembali ke dalam warung.

Pemilik warung yang ayahnya sendiri sudah memantaunya dari jauh. Tetapi ia tak bisa berbuat banyak. Anak perempunannya rupanya tak menghiraukan nasihatnya. Ia masih bercakap-cakap dengan Boneng.

“Sri, satu piring pisang goreng jangan lupa,” seru seorang pengunjung yang baru turun dari truk.

“Antri!” teriak Sri dari dalam.

Lima belas menis kemudian Sri keluar dari warung membawa pesanan. Satu nampan besar berisi puluhan kopi dan beberapa piring pisang goreng. Setelah memutar mengantarkan pesanan. Sri kembali lagi ke arah warung. Kesempatan ini tak boleh hilang. Boneng melancarkan aksinya lagi.

“Kau sudah baca kan?” tanya Boneng.

“WA-ku banyak, tak sempat membacanya satu persatu,” ucap Sri.

“Berarti kau tak menyimpan nomorku,” cecar Boneng. Ungkapan yang menyalahi kaidah pendekatan.

“Siap bilang, dari mana kau tahu, jangan asal tuduh!” pungkas Sri.

“Habis kau tidak tahu pesanku, mana mungkin tidak tahu, itu pesan yang terbaik yang pernah kukirimkan untukmu, masa sih, kau tak pernah anggap semua perhatianku selama ini,”

“Bukan begitu Mas Boneng, jangan salah sangku dulu, jangan-jangan ke semua perempuan kau lakukan hal yang sama?” ungkap Sri curiga. Ayahnya di dalam mengacungkan kedua jempolnya tinggi-tinggi.

“Jadi Sri nggak percaya sama aku,” tegas Boneng. Ia menyeruput kopi dalam-dalam.

“Bukan nggak percaya, sekarang begini saja. Coba aku lihat HP mu!” pinta Sri.

“Lihat saja!” kata Boneng, terdengar emosi.

HP berpindah ke tangan Sri. Beberapa detik ia tampak menang. Pada detik berikutnya Boneng blingsatan, kopi yang masih panas tiba-tiba diminumnya cepat-cepat. Tandas. Ia pun berkali-kali melonggarkan kaosnya.

“Dasar buaya!, sok ganteng!, playboy cap kuda!, kata Sri. Ia pun buru-buru masuk ke dalam warung.

Boneng yang merasa kecolongan, mengejar Sri sampai ke dalam warung. Didapatinya Sri yang tengah menangis di pelukan ibunya. Ayahnya sedari sudah memilin-milin kumisnya yang tebal dan panjang.

“Jangan pernah ke warung ini lagi, ngakunya belum punya pacar, tetapi WA dari peremuan banyak banyak, bayar hutang-hutangmu sekarang juga!” kata Sri marah.

Ayahnya mendekati Boneng. “Matilah aku sekarang,” bisik Boneng. Pandanganya menunduk ketika ayahnya sudah ada di hadapannya. Pengunjung lain ikut hening, mereka berhenti menyeruput kopi dan mengunyah pisang goreng. Menanti putusan terakhir untuk seorang Boneng.

“Lihat Bapak, sampeyan laki-laki kan?” tanyanya, suaranya berat. Boneng makin lemas. Mungkin ini petualangannya yang terakhir.

Boneng mengangguk.

“Lain kali, hapus pesanmu sebelum pulang, HP-mu sudah bersih dari chat dari wanita lain, kamu harus belajar lagi sama Bapak, main cantiklah?” ungkap Ayah Sri. Semua pengunjung yang tadinnya cemas. Langsung riuh, ada yang tertawa, memukul meja, berisiul, dan seterusnya. Sri berlari ke arah ayahnya, dan menghujaninya dengan cubitan.

Hikayat Penjaga Wartel

Seorang penjaga wartel sedang istirahat. Nama wartel itu, wartel mawar. Ia membalik sebuah tulisan: TUTUP. Duduk ia di beranda depan. Air dari got kecil menyambutnya. Kadang bau kadang tidak. Di depan wartel banyak kontrakan kecil yang di huni dari beragam suku. Mulai dari Batak, jawa, sumatera, sunda, dan seterusnya. Mereka sering mampir ke wartel pada waktu-waktu mendesak.

Saat istirahat, penjaga wartel membuka cemilan. Minum beberapa teguk dari air kemasan dan makan camilan. Di samping tempat duduknya tergeletak cemilan lain, seperti kripik, kue, marning, dan seterusnya yang dibelinya dari warung sebelah.

Seorang anak kecil usia 5 tahunan datang mendekatinya. Lalu duduk disampingnya sambil terus melihat ke arah penjaga wartel. Kedunya sudah sering bertemu, tetapi kesempatan untuk duduk bersama, bisa dihitung jari.

“Kamu sudah mandi belum?” tanya penjaga wartel sambil menyesap air yang tidak sehat untuk ginjal, jika sering-sering.

Anak kecil itu mengangguk. Ibunya dari seberang berkata. Suara cukup lantang. Tetapi masih bisa ditoleransi.

“Jangan ganggu Omnya, dia lagi istirahat,” ucap ibunya dalam bahasa sunda. Lalu si Ibu kembali lagi dengan cucian menggunung.

Anak kecil itu mengangguk-angguk menggemaskan.

“Lucu banget sih kamu,” ucap penjaga wartel.

Anak kecil itu tertawa. Lalu kedua matanya langsung fokus pada sepotong kue yang terbungkus plastik bening. Dan ia tak berhenti menatap.

“Kamu mau kue ini?” ucap penjaga wartel.

Anak kecil itu hanya tersenyum. Tetapi matanya tetap pada kue yang terbungkus plastik bergambar daun salak. Dan ia tersenyum lagi.

“Mau nggak?” tanyanya lagi.

Pesan Ayah

“Dari tadi saya perhatikan kau hanya mondar-mandir. Mungkin saya bisa bantu mencarikan atau memilih kain yang ingin kau beli?, saran Ibu pemilik Toko.

“Ayah menyuruhku mencari kain, tetapi aku tak mengerti bagaimana corak dan warnanya,” jawab Anton. Tas ransel yang menggelayut dipunggungnya masih menempel sekarang ia turunkan.

Anak itu mengeluarkan beberapa lembar amplop cokelat. Aroma kue bolu muncul dari balik amplop. Ia terus menukar antara amplop satu dengan yang lain. Si Ibu tampak gemes melihat Anton yang sudah sepuluh menit mampir di tokonya.

“Aku lupa pada amplop mana kutaruh tulisan itu? ucapnya sambil tersenyum. Senyum agak ganjil dan tatapan matanya terasa jauh.

“O, kira-kira amlop mana surat itu berada?” ucap si Ibu sambil menggeledah tiga amplop coklat.

“Aku tidak tahu Bu?, mungkin yang ini Bu?” ucap Anton sambil tersenyum disertai gumam tak jelas dan tawa yang tertahan. Ia kesulitan untuk kontak mata dengan Ibu pemilik toko.

RUMAH MASA DEPAN

Badrun salah seorang tukang (ahli) bangunan sedang menunggu Pak Lebay, Bosnya. Ia telah menyelesaikan satu bangunan rumah bersama anak buahnya. Tak lama Pak Lebay. Mereka duduk-duduk di sofa ruang tamu. Udara sekeliling masih mengeluarkan aroma cat.

“Bagaimana kabarmu Drun, sudah lama nggak ketemu,” tanya Pak Lebay.

“Baik Pak, rumah juga sudah siap huni,” jawab Badrun bangga.

Pak Lebay tersenyum. Badrun bungah.

Pak Lebay beranjak berdiri. Mulai melihat-lihat hasil pekerjaan Badrun. Ia mulai dari ruang tamu.

“Kenapa kau pasang keramik warna-warni.”

“Karena melambang hati yang gembira, semua yang Pak Lebay lihat nanti adalah berdasarkan filosofi kehidupan.”

“OK.” Pak Lebay mulai berkeliling.

Ia tertegun melihat sebuah pipa bening transparan yang terpasang di sepanjang dinding lantai atas ke lantai bawah yang nanti berahir di septik tank.

“Ini adalah filosofi keterbukaan di mana masing-masing dari kita manusia punya kekurangan dan kelebihan, jadi tak perlu sombong.”

Pak Lebay manggut-manggut. Ia tersenyum melihat kasur yang dibuat persis peti mati.

“Sebagai manusia biasa kita wajib untuk terus instropeksi diri agar kelak manusia bisa menjadi lebih baik.”

Pak Lebay mau turun dari lantai dua. Dan satu-satunya jalan agar sampai ke lantai bawah dengan prosotan. Secara otomatis anak tangga itu akan menarik diri seperti seekor ular yang gagal mematuk mangsa. Ia pun turun sambil melewati akuarium ikan yang terbuat dari pipa-pipa transparan yang terpasang melilit sepanjang ruangan.

Kamar-kamar juga terlihat membingungkan. Di hiasi oleh bermaca-macam terompet. Hingga para penghuni bisa bangun tanpa perlu weker. Terompet-terompet itu bisa bunyi secara otomatis.

Pak lebay geleng-geleng kepala. Ketika ingin menyalakan lampu tak ada satupun saklar yang terpasang di dinding.

“Bagaimana lampu-lampu itu bisa menyala Drun.”

“Menyalakan lampu tamu dengan tepukan tangan. Lampu kampar berdehem. Lampu kamar mandi batuk. Lampu dapur bersin. Lampu luar dengan hentakan kaki tiga kali.”

“O,” Gelengan kepalanya makin sering.

Pak Lebay keluar, tiba-tiba pintu tertutup sendiri.

“Jangan khawatir Pak, tinggal bersiul tiga kali, maka pintu dapat terbuka kembali.”

“Semua ini apa tidak berlebihan dan akan merepotkan penghununinya Drun?”

“Saya jamin tidak Pak, semua sudah saya perhitungkan. Bahkan untuk menyiram Tinja ketika BAB pun mudah sekali, tinggal menepuk dinding tiga kali. Sudah saya siapkan buku petunjuk bagi konsumen yang ingin membeli rumah ini.”

“Hanya dapur yang terlihat normal,” tutur Pak Lebay.

“Simbol kejujuran Pak,” jawab Badrun mantap.

Pak Lebay mengangguk-angguk. Mereka duduk kembali di ruang tamu.

“Begini Drun, kedatangan bapak ke sini adalah untuk menginformasikan...” Badrun memotong ucapan Pak Lebay.

“Ada yang beli ya Pak!”

“Bukan..., rumah yang kamu bangun ini adalah hadiah khusus buat kamu.”

“Buatku Pak!”

Pak Lebay mangangguk. Badrun tak percaya, tubuhnya tiba-tiba kaku, mengejang, dan ia mulai menangis. Pak Lebay menepuk bahunya. Ia pamit untuk pulang. Membiarkan salah satu anak buah terbaiknya menangis keras di ujung sofa.

Kamis, 26 Desember 2024

PLEASE DON’T JUDGE A BOOK BY ITS COVER

Sebagai Ketua DKM, Pak Sarno harus ambil keputusan. Melihat jamaah yang mulai gelisah. Timer yang dipasang untuk menunjukkan waktu iqomat sudah tak berbunyi. Ini sudah melebihi waktu yang ditentukan. Tetapi imam yang biasa bertugas tak kunjung datang.

”Bagaimana kalau Pak Sarno saja,” tanya seorang jamaah.

“Ngawur bacaanku masih blepotan,” jawabnya. “Diantara kalian apakah ada yang bisa jadi imam, bacaannya tartil, dan tahu rukun-rukun sholat?” sambung Ketua DKM.

Hanya gumaman dan suara saling melempar kesempatan. Bahu-bahu mereka beberapa kali ada yang mendorong. Rupanya di antara mereka ada yang terlihat cocok jadi imam.

Pak Sarno memeriksa HP nya. Ia mengeja nafas. Tak ada pesan balasan dari sang imam. Ia pun menatap jamaah satu persatu.

“Kau Bardi, kudengar kau dari pesantren ya, ayo maju, jadi imam!”

“Maaf Pak, memang saya mondok, tetapi waktu itu saya kena DO.”

Beberapa dari jamaah cekikikan. Wajahnya kaku menahan tawa. Pak Sarno mengelus jenggotnya yang mulai beruban.

“Kiamat sudah dekat nih,” ucapnya lirih.

“Kenapa Pak mules,” tanya jamaah lain. Ia mungkin perlu dibawa ke dokter THT.

“Ah tidak, akhir-akhir banyak kejadian yang tak lumrah,” ungkap Pak Sarno. Ia keluar dari Mushola dan berdiri di serambi. Menanti sang imam yang tak ada kabar.

Salah seorang jamaah menyusulnya.

“Sholat Isya sepuluh menit lagi, saya mohon Pak Sarno jadi imam,” pintanya. Suara-suara sepakat juga terdengar dari dalam.

“Baiklah, ini yang terakhir,” tutur Pak Sarno. Ia pun balik badan. Baru satu langkah suara sepeda motor berhenti di depan Mushola.

Seorang pria bergamis putih, tinggi, bersorban hitam, berjenggot panjang, berjalan menuju ke mushola dan langsung masuk kedalam.

“Apakah anda penggantinya,” tanya Pak Sarno.

“Ia mengangguk.”

Jamaah sudah lurus dan barisan sudah rapi. Bahu ketemu bahu. Pria bergamis sekarang berdiri di tempat imam dan menatap mereka satu-persatu. Pria itu mengerling ke arah Pak Sarno. Ia kaget bukan main.

Pria bergamis mengucapkan takbir. Surat Al Fatihah dilantukan. Suaranya cukup merdu. Jamaah mulai tenang setelah tadi kasak-kusuk. “Suaranya lebih bagus dari imam yang biasa,” bisik satu orang yang belum takbir ke jamah lain. Dan pada kalimat “wa lad-dollin”, lalu jamaah menjawab. “Aaamiiin.” Tanpa diduga tanpa disangka. Pria bergamis itu menoleh kebelakang menatap jamaah sejenak.

“Kompak ni yee!” ucap pria bergamis lantang.

Jamaah yang tadi khusuk mulai gelisah. Diantara mereka bahkan yang mulai menurunkan tangannya. Membatalkan diri, tapi masih dalam barisan. Pak Sarno yang persis di belakang imam yang paling shock.

“Apa yang kau lakukan hah!” Teriak Pak Sarno.

Ia malah menyentuh dagu Pak Sarno dengan cepat. Pak Sarno kaget dan tak sempat mengelak.

“Ih..., kamu cucok deh,” ungkapnya. Dan ia tertawa nyaring.

Cepat-cepat ia keluar dari pengimaman dengan menyibak jamaah. Jamaah hanya saling pandang manakala pria bergamis itu keluar dan menyalakan motor.

“Siapa tadi Pak Sarno,” ucap salah seorang jamaah.

Pak Sarno menggeleng. Jamaah lain pun membatalkan diri. Tak ada yang inisiatif untuk maju kedepan. Semua dilanda kepanikan. Azan Isya pun berkumandang. Sang imam yang biasa datang sempoyongan dengan wajah babak belur. Jamaah menyambutnya. Pak Sarno memapahnya.

“Hati-hati,” ucap sang Imam sebelum ia ambruk pingsan.

API TEKAD SEORANG GURU

BABAK 3

Seorang guru tengah mendampingi kepulangan siswa. Kepalanya dipenuhi oleh hal-hal yang sifatnya pengamanan. Anak-anak yang didampingi setelah pulang sekolah, memiliki kebutuhan untuk bermain. Saat itu gerimis masih menyisakan rintik-rintik satu dua. Basah, lantai tempat bermain yang sudah didesain mirip wahana bersih dari kotoran kaki dan kucing yang sering merepotkan pekerja kebersihan, tetapi jika ikhlas akan jadi cahaya pada saat terbujur kaku di pembaringan.

Dari lantai atas seorang pemilik gedung tengah mengawasi situasi setelah hujan. Kedua matanya menangkap guru yang tengah mondar-mandir mendampingi anak-anak ditingkahi gelak tawa lepas, tanpa memikirkan apakah nanti merepotkan sang guru, ketika dirinya terlalu lama mainnya, atau orang tuanya sedikit berempati pada guru tersebut higga tak mau menunda-nunda untuk menjemput ananda tanpa mengisi kepalanya, dengan lauk pauk alasan.

Bukan bermaksud untuk merepotkan orang tua, tetapi setidaknya meminta jatah untuk menyadari bahwa kebutuhan guru selanjutnya adalah bentuk pendampingan lain, misalnya menyiapkan pekerjaan lain yang berkaitan dengan peserta didik, ya mereka (para mereka) sedang melakukan siklus pertarungan moral yang terus diacung-acungkan, agar etika yang mereka benamkan di alam bawah sadar anak-anak, tak cepat-cepat menguap begitu saja ketika langkah pertama di ruang tamu. 

Lalu pada malam hari menjelang tidur, guru berusaha mencuri waktunya sekadar helaian nafas untuk memikirkan apa yang akan dilakukan besok bersama kelasnya, jika beruntung kalian akan didoakan lewat sujud-sujud panjang-pendek sambil menahan nafas dan istighfar berulang kali atas kata-kata bernada entah, pada ujung helaian kalian akan didoakan segenap jiwa raga tanpa memerdulikan apakah kalian sudah memberikan kenyamanan atau tidak.  

Bagi seorang guru pengabdiannya adalah seberapa besar ia menggenapkan setiap titah jejak seorang guru. Kalau kecewa, itu tidak mungkin. Guru berangakat dari titah seorang "nabi" yang bergerak mengajak dan menunjukan, titah seorang guru bergerak pada lautan niat yang terus menerus diperbaharui tanpa lelah untuk lillah setiap detak jantung.  Jadi seorang guru berpikir ngeluh pun harusnya jauh-jauh, apalagi untuk terpuruk pada kekecewaan berlapis. Yang dipakai oleh guru adalah standarnya pencipta alam semesta, hingga debu-debu ketakpuasaan selalu ada yang menyingkirkan oleh niat bijak bestari pada nilai adiluhung yang terus dijaga oleh api tekad seorang guru. Sebuah prinsip yang tak boleh ditawar. 


Orang tua yang memanfaatkan kebajikan seorang guru yang rela menunda pekerjaan pribadinya, dan mengutamakan anaknya yang membutuhkan bantuan lebih saat kepulangan sekolah sudah melewati batas tunggu. Mestilah menjadi bijak mandiri, pada posisi yang sedang dibicarakan, jika guru yang menyingkarkan jauh-jauh perasaan keluh lelah dan menerima jenis pendampingan yang berjam-jam hingga ia sulit bergerak lantaran anak muridnya tak kunjung dijemput atau memaksanya pulang lewat tatapan orang tua yang sudah mengerti bagaimana "beban" kerja yang sudah mulai berjalan Argonya ketika pukul 07.00 tiba. Tanpa memandang jauh kedalam, bahwa waktu didik di sekolah sudah selesai, kini tiba giliran orang tua melanjutkan apa yang sedang dititahkan oleh sekolah pada orang rumah. Maka menjemput adalah kegiatan sakral, karena ada estafeta dialektikta moral, karakter, juga sebaris tauhid, tengah dilanjutkan pada ketika mereka keluar dari gerbang sekolah.

Meski guru tak perlu menyudutkan dirinya agar dihormati dengan pedang pora sekalipun, tetapi penghargaan setara bukan menjilat adalah jenis kehangatan lain yang tengah dibangun oleh dua pendidik besar antara guru dan orang tua. 'Spesies' guru adalah mahluk yang keberadaannya ada pada ananta, hingga posisinya jangan pernah menyulitkan peradaban yang sedang dibangun bersama-sama. Atau setidaknya tidak meruntuhkan secara mudah apa-apa yang sudah dbangun atas nama karakter dengan susah setengah hidup diperjuangkan.

Kalau engkau mampu memasuki medan pertempuran dengan biaya tinggi, karena prestise yang sedang kalian bangun di tempat baru, orang-orang baru, dan identitas baru. Maka lembutlah pada perang sebelumnya yang kau titipkan anak-anakmu dengan biaya yang mencicil hingga selesai masa perang dan engkau meninggalkan sejumlah tagihan yang menyulitkan pemangku kebijakan untuk menjalankan sistem keuangan dan kesejahteraan guru pada tiap lini masa tanpa pernah memotong sesenpun. Medan perang seperti ini perlulah kau renung-renung barang sejenak, ketika jelang tidur atau ketika masa rehat nikmat ditemani secangkir kopi ternama dan roti yang jarang dijual di warung-warung kopi umumnya. Agar nantinya namamu tetap harum meski jejakmu sulit untuk dijangkau, atau setidaknya engkau memberikan lokasi terkini, agar kami bisa bersikap.

Jika seorang guru yang dulu pernah diberi "beban" untuk mendampingi anak mendengar bahwa kau meninggalkan tagihan, tetapi ditempat lain kau bisa melunasi kontan pembayaran tanpa pernah sekali untuk berhutang, jika posisinya seperti itu, mohon kami diberikan pencerahan agar tidak timbul praduga-praduga heran bercampur takjub. Mungkin ratusan juta kau bisa sodorkan tanpa pernah ragu pada lembaga baru, sementara kami disini berjibaku untuk mengatur keuangan agar bisa melunasi gaji guru yang nggak boleh ditunda-tunda. Ini perkara pelik yang mestinya duduk bareng menghadapi hal ini, tetapi kau meninggalkan begitu saja tanpa pernah memberikan jeda atas hubungan yang pernah mesra-mesra dibangun. Kau memaksudkan apa, apakah karena kau tahu medan perang yang kau buat bisa kau lucuti peralatan alat perang tanpa pernah berperang, atau disana banyak malaikat tak bersayap yang selalu bertasbih jika mendengarmu memasukan anak-anakmu ke medan perang dibekali senjata canggih dan membayar lunas di muka, lalu tak perlu repot-repot untuk melakukan i'tikad baik.

Cekap semanten. Jika tak mencukupkan untuk memberikan pernyataan terakhir, marilah sejenak untuk mengisi ulang perlengkapan isi kepala, membenahi tutur cakap, membereskan nilai-nilai yang semakin berceceran, memberikan wadah luas agar adonan yang sudah ada tak begitu saja dibuang, lalu mengisinya dengan baru tetapi tetap bergizi nilai pandang hidup, meski para pendatang baru silih berganti dengan mata jernih jujur siap untuk dibikin adonan dengan minyak karakter, polesan gizi pijakan epistimologi, Etika, Logika, bisa juga metafisika. Yang lain bisa dicurahkan pada sesi lain.