Selasa, 31 Desember 2024

OLIGARKI

Terdengar suara tembakan. DOR! Semua pelari melesat menuju lintasan. Bergerak cepat berlomba menuju garis finis. Penonton yang membludak memenuhi stadion memberi semangat pada jagoannya masing-masing. Otot-otot paha pelari yang terlatih semakin terlihat, latihan bertahun-tahun untuk menjadi yang tercepat dalam beberapa detik saja. Impian semua atlet di dunia manapun.

Nomor punggung sepuluh sudah melesat cepat mendahuli lawan-lawannya. Kecepatan larinya seperti cheetah, pelari tercepat diantara kucing-kucing besar di Afrika sana.

Pada detik yang hampir bersamaan, pelari bernomor punggung tujuh mulai menyusulnya dengan kecepatan yang mengagumkan. Seolah tak punya pusar, lari dan lari. Penonton dibuat kagum oleh penampilannya. Pendukungnya makin bersemangat, mereka berteriak dan bertepuk tangan. Histeris.

Peluh keringat nampak mengkilat menerpa tubuh pelari yang sedang kerasukan, matanya ada yang melotot menahan nyeri menyerang otot paha. Larinya semakin tertinggal.

Yang lain masih memiliki nafas banteng. Semakin sayu matanya semakin ganas larinya. Kini kelompoknya makin terpisah. Satu tertinggal masih berlari sambil menahan nyeri. Hanya darah yang terus mendidih mempertahankan nama baik negaranya. Mereka adalah petarung yang siap mati di medan perang, dengusannya mampu menanggalkan pedang-pedang tajam. Keringat makin bercucuran membuat para pelari seperti di sauna.

Lomba lari seratus metar tingga beberapa puluh meter lagi. Menyisakan dua pelari di barisan pertama. Saling mempertahan kecepatan berlarinya. Garis finis sudah terlihat. Kecepatannnya semakin mengagumkan, siapa yang mencapai garis finis dialah yang terbaik. Harga dirinya dan negaranya menjadi jaminan. Namanya akan menjadi legenda dari setiap pelari terbaik dari segenap penjuru dunia.

Penonton makin histeris manakala pelari nomor tujuh dan sepuluh semakin liar, tidak terkendali, seperti kecepatan mesin, mereka berdua memiliki kecepatan yang nyaris sama. Pelari nomor tujuh melewati garis finis nyaris sama dengan pelari nomor sepuluh. Keduanya merayakan dan sama-sama mengaku sebagai pemenangnya.

“Kita coba tanya wasit lapangan, siapa yang tercepat!” usul pelari nomor sepuluh.

“Siapa takut!” pungkas pelari nomor tujuh.

Keduanya menghadap wasit. Penonton ikut hening. Mereka seperti tahu ada yang sedang diperebutkan. Hanya bisik-bisik kecil lewat mata juga mulut-mulut yang terkatup.

Microphone berdesis, semuanya menahan nafas. “Untuk pemenang lomba lari jarak 100 meter adalah pelari dengan nomor punggung sepuluh,” ucap sang wasit.

Tidak hiruk pikuk seperti lazimnya ada seorang pemenang. Mereka seperti menentang, tetapi bingung bagaimana cara mengungkapkannya. Diam tak bicara sepatah kata.

Pelari nomor tujuh datang menghadap kepada wasit. “atas dasar apa anda!, kenapa dia yang menang! Keputusan salah akan merugikan yang lain, anda tahu itu!” protes pelari nomor punggung tujuh.

“Memang dia yang menang, kau mau apa!” tanya wasit balik. Alisnya makin naik.

“Kasih satu alasan yang logis kenapa dia yang menang!” ucap pelari nomor punggung tujuh, marah.

“Ketika menginjak garis finis, mulutnya terbuka, giginya yang tonggos membuatnya sampai duluan di garis finis. Salah sendiri gigi kau tidak tonggos. Kuharap you paham ya!” jawab sang wasit tajam. Pelari nomor punggung tujuh turun dari podium menggeleng tak percaya.

0 Comments:

Posting Komentar