”Bagaimana kalau Pak Sarno saja,” tanya seorang jamaah.
“Ngawur bacaanku masih blepotan,” jawabnya. “Diantara kalian apakah ada yang bisa jadi imam, bacaannya tartil, dan tahu rukun-rukun sholat?” sambung Ketua DKM.
Hanya gumaman dan suara saling melempar kesempatan. Bahu-bahu mereka beberapa kali ada yang mendorong. Rupanya di antara mereka ada yang terlihat cocok jadi imam.
Pak Sarno memeriksa HP nya. Ia mengeja nafas. Tak ada pesan balasan dari sang imam. Ia pun menatap jamaah satu persatu.
“Kau Bardi, kudengar kau dari pesantren ya, ayo maju, jadi imam!”
“Maaf Pak, memang saya mondok, tetapi waktu itu saya kena DO.”
Beberapa dari jamaah cekikikan. Wajahnya kaku menahan tawa. Pak Sarno mengelus jenggotnya yang mulai beruban.
“Kiamat sudah dekat nih,” ucapnya lirih.
“Kenapa Pak mules,” tanya jamaah lain. Ia mungkin perlu dibawa ke dokter THT.
“Ah tidak, akhir-akhir banyak kejadian yang tak lumrah,” ungkap Pak Sarno. Ia keluar dari Mushola dan berdiri di serambi. Menanti sang imam yang tak ada kabar.
Salah seorang jamaah menyusulnya.
“Sholat Isya sepuluh menit lagi, saya mohon Pak Sarno jadi imam,” pintanya. Suara-suara sepakat juga terdengar dari dalam.
“Baiklah, ini yang terakhir,” tutur Pak Sarno. Ia pun balik badan. Baru satu langkah suara sepeda motor berhenti di depan Mushola.
Seorang pria bergamis putih, tinggi, bersorban hitam, berjenggot panjang, berjalan menuju ke mushola dan langsung masuk kedalam.
“Apakah anda penggantinya,” tanya Pak Sarno.
“Ia mengangguk.”
Jamaah sudah lurus dan barisan sudah rapi. Bahu ketemu bahu. Pria bergamis sekarang berdiri di tempat imam dan menatap mereka satu-persatu. Pria itu mengerling ke arah Pak Sarno. Ia kaget bukan main.
Pria bergamis mengucapkan takbir. Surat Al Fatihah dilantukan. Suaranya cukup merdu. Jamaah mulai tenang setelah tadi kasak-kusuk. “Suaranya lebih bagus dari imam yang biasa,” bisik satu orang yang belum takbir ke jamah lain. Dan pada kalimat “wa lad-dollin”, lalu jamaah menjawab. “Aaamiiin.” Tanpa diduga tanpa disangka. Pria bergamis itu menoleh kebelakang menatap jamaah sejenak.
“Kompak ni yee!” ucap pria bergamis lantang.
Jamaah yang tadi khusuk mulai gelisah. Diantara mereka bahkan yang mulai menurunkan tangannya. Membatalkan diri, tapi masih dalam barisan. Pak Sarno yang persis di belakang imam yang paling shock.
“Apa yang kau lakukan hah!” Teriak Pak Sarno.
Ia malah menyentuh dagu Pak Sarno dengan cepat. Pak Sarno kaget dan tak sempat mengelak.
“Ih..., kamu cucok deh,” ungkapnya. Dan ia tertawa nyaring.
Cepat-cepat ia keluar dari pengimaman dengan menyibak jamaah. Jamaah hanya saling pandang manakala pria bergamis itu keluar dan menyalakan motor.
“Siapa tadi Pak Sarno,” ucap salah seorang jamaah.
Pak Sarno menggeleng. Jamaah lain pun membatalkan diri. Tak ada yang inisiatif untuk maju kedepan. Semua dilanda kepanikan. Azan Isya pun berkumandang. Sang imam yang biasa datang sempoyongan dengan wajah babak belur. Jamaah menyambutnya. Pak Sarno memapahnya.
“Hati-hati,” ucap sang Imam sebelum ia ambruk pingsan.
0 Comments:
Posting Komentar