Ia tetap mengalah dan mencoba untuk beradu argumen dengan anak yang ingin jadi pemimpin (imam sholat, dll). Ia seperti tak ingin digurui dalam bidang apapun. Mulai dari antrian yang memiliki tujuan untuk saling bergantian. Bersabar dan regulasi emosi. Dan seterusnya.
Pendangkalan dengan mengatakan "aku lebih tua" lalu dengan itu ia seenaknya mengatur semua konsep yang sudah ada dan mengacaknya seacak-acaknya. Lalu ia bungah karena berhasil menundukkan semua pikiran yang muncul untuk meredam kekonyolannya. Namun, entah mana dan darimana bahwa pikiran "aku lebih tua" dengan balutan ego yang meninggi diejawantahkan dalam bentuk dominasi pikiran juga bahasa tubuh.
Tak elok tentunya juga berpikir bahwa masa anak-anak dihiasi dengan tekanan. Tekanan dari pola asuh yang lagi-lagi menjadi ruang tindak yang bisa menjadikan anak-anak mempunyai cara "bertahan" dari lingkungan yang membuatnya taat pada aturan. Mungkin dikepalanya aturan bukan untuk ditaati, tetapi dilanggar selanggar-langgarnya.
"Kalau bisa patungan Yah, agar ia bisa dipindahkan sekolah lain yah." Pernyataan si anak menjelang kepulangan sekolah.
Sejatinya pikiran-pikiran anak selalu bertebaran melayang dalam memorinya. Apa yang keluar adalah simbol bahwa tekanan itu demikian dahsyat hingga sanggup melontarkan mata yang tajam hingga meruntunkan susunan mental anak yang di bawah usianya.
Tidak hanya itu Guru, kalian boleh sekali-kali simak di sela-sela kesibukan yang menggunung dan 'tata krama' yang melelahkan, lalu lupa bahasa tubuhnya begitu 'menakutkan' nyali anak-anak yang tak terbiasa untuk bertahan dari gempuran bahasa tubuh yang baru sama sekali terlihat oleh mata belia.
Ia seperti punya sensor yang bisa mendeteksi siapa saja yang bisa jadi sasaran empuk untuk digongseng oleh otak reptil yang telah meronta-ronta. Pelan-pelan keluar akal-akal bulus hingga bisa menyalurkan secara membabi buta. Ia tidak lagi bisa mengerem barang sejenak agar apa yang ia lakukan dapat ditimang-timang apa nanti resikonya. Jika itu terus berlangsung maka hal-hal yang berbahaya di matanya tak lagi berjarak, ia sangat-sangat mudah untuk membully siapapun tanpa penghalang berarti. Termasuk dirinya sendiri tanpa ia sadari.
Kenapa ini bisa terjadi. Ia bisa jadi korban bullying di rumah. Karena ia mahluk terlemah yang sering dilemahkan oleh orang yang terkuat di rumahnya. Entah itu ayah, bunda, bibi, Yang bantu-bantu di rumah, kakak, adik, kakek, atau nenek. Yang bisa menguras seluruh rasa percaya diri yang telah di kumpulkannnya lama sekali. Raganya tampak kuat, sejatinya jiwanya penuh luka dan menghitam seperti patukan kobra berkali-kali.
Keluar dari cangkang yang rapuh di rumah, ia mencari objek yang ia akan lampiaskan dengan cara yang lebih kuat dan tergesa-gesa. Ia belum menyadari kalau ia telah menyerap segala jenis tindakan fisik yang menempanya dengan serampangan tanpa ada penjelasan apapun. Kenapa aku dipukul, dicubit, di jitak. Meski penjelasannya ada kau tak mungkin bisa menyadari dengan cepat. Kau seperti berdiri di persimpangan jurang yang dalam dimana-mana. Penjelasan adalah pembenaran bukan mulai membenahi apa-apa yang mungkin keliru, dan ia tak menyadari telah mewarisinya pelan-pelan. Hingga kau sulit membedakan mana rasa sakit dan nyaman, karena kau seringkali melewatkan masa nyaman meski sedikit. Karena ruang itu tak kau dapatkan meski rumahmu seperti taman wisata.
Ia sosok yang lemah di rumah, lalu menjelma 'monster' di luar ketika menemukan mangsa yang empuk untuk digigit oleh taringnya yang panjang serta tajam. Sekali lirik ia bisa membidik mana sasaran yang empuk dan yang memberi benteng pada anak-anak yang terlihat kuat di mata 'pedangnya'. Tak gegabah untuk sekedar mengeluarkan taringnya, bisa jadi anak-anak yang kuat bisa mencabut taringnya lalu mematahkannya semudah roti bakar.
Bentuklah harga diri yang bagus pada jiwa anak agar bisa membawa perasaan nyaman dan kuat dan dapat berkumunikasi secara wajar. Lalu tak lagi canggung untuk mengingatkan pada apa-apa yang telah diajarkan secara benar, dan tak lupa untuk selalu rendah hati. Agar kawan-kawanmu menjagamu dari jarak yang tak engkau sangka-sangka.
Konsep diri yang keren agar tak jiwamu mudah goyah ketika mendapati dirimu dalam guncangan bully atau yang mendekatinya. Semuanya berlangsung tanpa bisa kendalikan, dan tidak semua mata mengawasi. Selalu ada celah, bagi kuku-kuku tajam yang selalu diasah oleh pola asuh orang tua yang bersembunyi dibalik arogansi yang menyebalkan. Mari coba lihat dan acungkan tiga jari kedalam bukan sebaliknya.
Tulisan di produksi 06 September 2022