Kamis, 17 April 2025

SEKOLAH MEMANGGIL KEPEKAAN

BABAK 38

Bagi jiwa yang tidak memiliki hubungan dengan Tuhan-Nya maka ketersediaan nilai kesadaran akan hubungan-Nya terus menyusut. Kemuliaan-kemuliaan yang melekat pada setiap jiwa akan mengkerut jika tak terdapat secuil kepekaan dalam pikiran juga dadanya. Ia membiarkan karat mengganggu perjalanan nuraninya. Ia juga tak cepat-cepat mengkoreksi coretan itu dengan lafal-lafal dari langit, melepaskan begitu kehendak yang sempat terbesit dalam pikiran jernih. Ia rela menuangkan segelas gelap yang membutakan langkah-langkahnya, bahkan tongkatpun tak juga memberinya jalan kemudahan. Ia malah mengeratkan ikatan yang telah lama mengungkungnya diam-diam, lalu tanpa disadari muncul benjolan yang menyerap terus menerus kelembutan hingga tak berbekas.

Ketaknormalan yang merajalela tak juga ditanggapi sebagai panggilan Tuhan agar ia lekas-lekas mengoreksi catatan keimanannya. Jika tak sanggup ada pilihan hati yang bisa menyokongnya menjadi detak-detak semangat dan inspirasi bagi manusia lain. Sebagai cipatan-Nya insan menyediakan secuil potensi agar gerak lisan dan jiwanya tak hitam jelaga. Sesekali tisu putih yang berubah menjadi krecek akan terasa nikmat, jika tak disadari keberadaannya.

Yang lain, penggerak roda pikiran menjadi lebih mulus ketika semua fungsi tubuh mengarahkan pada kebahagiaan yang hakiki. Insan menjadi lebih terpanggil pada kenyataan hidup di depan matanya, meski statusnya sebagai insan 'papa' menjadi incaran mulut-mulut yang miskin kasih sayang. Mereka juga butuh pertolongan, tinggal menunggu momen saja.

Malaikat turun ke bumi menyapa sang Nabi terakhir ingin menyampaikan mandat dari Tuhan-Nya. Ia mengatakan "Wahai Nabi tak jauh dari Anda ada seorang "Malang" yang nantinya akan masuk neraka." Setelah selesai ia melesat pergi dari hadapannya.

Lalu lewatlah seorang ibu yang tengah menggendong anaknya yang tak berhenti menangis sebab lapar yang menohok. Wanita "malang" yang bekerja di tengah lumpur kegelapan tengah menggigit sebagian kurmanya. Ia menghentikan gigitannya dan berjalan tergesa-gesa menyambangi si anak dan memberikannya. Malaikat turun dan menjalankan mandatnya bahwa si wanita "malang" itu akan menjadi penghuni surga.

Level keibaan wanita "malang" itu pada level yang membuatnya nasib si wanita berubah seketika, tidak perlu menunggu waktu lama agar takdir si wanita "malang" menjadi takdir yang mulia. Itulah definisi dari insan yang berfilantropi.

Jiwa yang keras jua menjadi titik gelap hingga ia tak bisa menyerap kejadian dari Tuhan. Bahkan Ahli kegiatan langit pun tak bisa membedakan sebuah peristiwa. Ketika banjir melanda dan air sudah menyentuh lututnya, menyentuh dadanya, bahkan ketika air sudah sampai loteng ahli kegiatan langit tetap menolak semua pertolongan manusia. Ketika ia protes dengan Tuhannya. "Mana pertolongan Mu" kata si ahli kegiatan langit. "Aku sudah memberi pertolongan kepadamu sebanyak tiga kali" kata Tuhannya. Hati yang keras telah membuatnya menolak semua kebenaran (pertolongan) dari para penolongnya. (Hanya Tuhan Yang Tahu).

Rabu, 16 April 2025

DRAMA DI PAGI HARI

BABAK 37
Pagi itu sebuah keluarga kecil bangun. Alarem sudah bunyi menjerit-jerit sedari sepuluh menit lalu. Kokok ayam tak terdengar lagi. Seorang ayah bangun dengan letih. Beberapa tahun belakang ia ingin mengakhiri saja profesi sebagai guru. Di kepalanya sudah tertanam beberapa pola di masa depannya. Salah satunya, ia ingin serius untuk meniti karir sebagai seorang penulis. Setidaknya ia bisa bertahan karena ada ambisi yang meluap-luap di kepalanya. Ia bisa mengajar di mana saja dan kapan saja. Soal mendidik tidak terbatas ruang dan waktu. Tak perlu meniti rutinitas yang bisa membunuh bakatnya secara kejam.

Setelah ia bangun. Kedua anaknya ikut bangun. Istrinya tak lama bangun. Sementara anak ketiga yang masih bayi sudah bangun lebih dari semunya. Tengah berbicara dengan dunianya. Ketika lampu di kamarnya dihidupkan, ia kaget lalu tersenyum kepada orang yang telah dikenalnya. Ayahnya sendiri.

Ayahnya pergi ke toilet menjalini rutinitas yang tak pernah bosan. Berak. Di tengah asih buang hajat ia mendengar bunda dari anak-anak tengah mengulang materi untuk ulangan pekan ini. Bunda yang pernah mendapat beasiswa kedokteran rupanya sedang menerapkan pola belajar yang dulu pernah digelutinya, mencoba diturunkan kepada anaknya. Kepada anak lelakinya tradisi itu cukup berhasil, kepada anak perempuannya agak mentah. Darah seniman ayahnya rupa mengalir deras di tubuhnya. Ia menolak pelan-pelan, ia sedikit mirip kepada cara ayahnya yang membuat jawaban di kepalanya.

Ayahnya selesai buang hajat. Tradisi intelektual itu masih saja berlangsung, mungkin bundanya ketika tidurpun mimpinya tentang algoritma, kalkulus, kimia, yang memusingkan ayahnya. Sampai kegiatan sarapan tradisi ilmiah itu masih alot. Ayahnya menikmati sepiring nasi uduk yang dibelinya bersama kedua anaknya. Mencuri tradisi yang sedang panas di pagi hari. Anak perempuannya ikut kabur bersama kakaknya mengendari motor yang di jokiin oleh ayahnya. Ia tampak gembira menghindari sejenak tradiri yang membuat wajahnya sering cemberut. Bundanya ketus ditinggalkan ketiga orang yang dicintainya. Tanganya masih mengenggam modul yang di buat oleh guru-gurunya di sekolah.

"Kertas dibuat lap sepatu ayah saja." Pungkas bundanya. "Buat apa dibuat, kalau kamunya tidur. Besok setelah sekolah, tidur saja, bangun sinetron, kalau disuruh belajar banyak sekali acaranya. Makanlah, ngantuklah, kartunlah, gemlah, kalau begitu hapus saja gemnya, semua pertanyaan bunda, tak ada yang bisa kamu jawab." Tambahnya, wajahnya nggak enak dilihat.

Kakaknya ingin mengelak, bahwa ia tak segaris dengan adiknya yang menurutnya akan mempersulit main gem setelah pulang sekolah.

"Nggak, dua-duanya nggak ada yang main gem!" Bunda mulai mengaum. Teritorinya mulai terganggu. Ayahnya menjadi pendengar saja. Ia pikir ini wilayahnya. Hewan saja punya teritorinya apalagi manusia yang punya segala-galanya dari hewan buas itu.

Ayahnya manggut-manggut saja dalam hati. Bunda sedang mewariskan pola yang membuatnya dulu disegani dalam dunia aljabar dan turun-turunannya. Permainan di luar sana lebih ganas dari apa yang dibayangkan oleh kedua anaknya. Ia coba mewariskan jurus-jurusnya agar mereka sedikit bertahan di lahan yang culas serba instan.

Ayahnya mengira mereka akan merengut sampai di sekolah. Ketika berpamitan hanya anak lelakinya yang mau cium tangan, sementara ia menolak tegas. Di hadapan bundanya. Sampai di sekolah wajahnya jernih setalah ia melihat temannya dan menyapanya. Begitu juga kakaknya. Transisi emosinya begitu cepat. Mungkin orang dewasa setidaknya berkenan melihat kejadian ini. Tapi, sepertinya untuk ayah saja. Terimakasaih kalian telah mengajari kami.

Selasa, 15 April 2025

BELAJAR MENGENDARAI SEPEDA

BABAK 36

Awal yang baik. Ia mau belajar tentang keberanian, dan kemampuan untuk mengendalikan rasa takut. Ia sedikit ragu untuk mengayuh pertama kalinya tanpa menggunakan roda bantuan. Kedua alisnya naik keatas dan membentuk formasi menguasai diri. Setiap Ia berpikir keras untuk melakukan sesuatu hal baru, perubahan pertama adalah Alis terangkat, bola mata agak melebar, bibir terkatup, ada keseriusan tertangkap pada wajahnya.

"Ayah aku masih takut." Katanya pelan.

"Kamu bisa nak, seimbangkan badan, santai saja,lihat jalan, dan jangan lupa rem." Kata Ayah. Bagi keduanya mereka mencoba selalu menerapkan pijakan ketika melakukan sesuatu.

Sepeda meluncur. Ayah tahu kamu bisa membunuh rasa takut. Meredam keraguan. Dan memeluk keberanian. Sepeda meluncur dengan kecepatan sedang. Permulaan yang baik. Ayah lupa kalau di depan rumah ada saluran air (got) setinggi betis orang dewasa. Dengan kondisi sebagian tertutup oleh rumput liar. Ia sudah berada dalam mode khusus, ayah tak ingin mengubah konsentrasi. Tangan kecil kamu belum seimbang, tak mengurangi kecepatan, dan masih kaku. Ia terjerembab dengan posisi jatuh yang tidak berbahaya. Dia gunakan kakinya untuk menginjak rumput. Lalu di keluar got dengan wajah tegang.

Ayah tak ingin kamu panik berlebih. Walau jantung ayah berdetak cepat. Ayah ingin kamu menguasai ketegangan. Ia menangis dengan kondisi yang lebih berani. Karena dia berani untuk keluar dari zona nyaman. Sepedaannya bukan dengan roda tiga lagi. Aku memeluknya. Memberi ketenangan. Dan memberi listrik keberanian dan apresiasi. " Kamu hebat, sudah bisa naik sepeda roda dua." Kamu sudah mengalahkan rasa takut, takut untuk jatuh.

"Aku nggak mau naik sepeda lagi, sepedanya rusak ayah." Gerutunya sambil menangis.

Ayah tahu kalau ungkapan itu sebaliknya. Ciri khas putranya. Karena esok harinya, kamu ngajak ayah untuk belajar sepeda. Hasilnya subhanallah, meluncur dengan beberapa meter, lalu kamu berteriak girang, lupa rasa sakit, jatuh karena berhasil mengendalikan sepeda, menyeimbangkan, dan fokus. Senyumnya mengembang. Ayah mengikuti dari belakang. Ayah tertinggal jauh di belakang." Ayah aku bisa yah". Jalanan komplek berhasil kamu taklukkan.

Selamat untuk rasa berani.

Senin, 14 April 2025

PERISAKAN

BABAK 35
Apa yang kau rasakan, sudah lama ayah rasakan. Ayah harap kau bisa melalui dengan lapang dada. Kau menyebutnya Bully (Perisakan) untuk pertama kalinya. Ayah ingin sekali memelukmu pada kau selesai berbicara. Ayah menahan diri, karena kau kenal sekali dengan respon ayah pada saat-saat titik itu lemah. Maksudnya, nanti saja peluknya ketika kau merasa tak lagi bisa menopang. Mungkin itu maksudnya.

Hari itu kau bisa menyebutkan siapa saja yang sering dibully, termasuk dirimu sendiri. Ayah ini korban Bully, oleh kakak kelas, senior, lingkungan, bahkan orang dewasa. Ada rasa sakit muncul padahal tak ada satupun bekas luka sayatan di bagian tubuh ayah. Tapi rasanya pedih, dan kau bisa merasakan dengan tatapan itu.

Ayah pernah melihatmu menangis ketika pertahanan terbaik mereka koyak. Tidak apa, untuk sementara bisa menghentikan sejenak kelakuan mereka. Meski itu tak selalu tepat, kau harus bisa berdiri tegak menerima badai dan apapun itu. Sampai mereka menurunkan topi dan memberi sedikit empati. Ayah ingin marahi mereka dengan cara ayah, tetapi ayah takut bisa membutmu lebih rapuh. Apalagi kau punya penilaian ajeg, padahal usiamu masih 8 tahun. Air matamu suatu saat menjadi sekuat baja, jika kau banyak belajar.

Berani bicara adalah harapan ayah agar kau bisa menolak sesuatu yang tidak nyaman menghampirimu. Agar mereka tak terlalu kuat menekanmu pada semua lini, mungkin ayah yang salah dalam beberapa pola asuh, dan itu belum terlambat. Ayah coba kenali dan kuatkan apa yang terlihat lemah pada diri ayah. Kamu adalah prodak sekolahan yang tak pernah gagal, karena kau sendiri yang menciptkan kekuatan itu.

Malahan ayah yang kadang merasa lemah dengan cara membatasi beberapa gerak dan langkahmu, Itu mungkin keliru. Tujuan ayah setidaknya bisa kau kenali, dengan cara mengenali penyebab awal Bully-Bully itu. Dan semakin kau menyadari lebih awal, kau bisa mengatasi dengan caramu sendiri, bukan dengan cara ayah. Ayah menjadi semacam mentor untuk melatihmu menjadi petarung terbaik. Best Of The Best.

Kau seperti mengumadangkan perang melawan Bully dengan cara tak biasa. Mengenalinya, membatasinya, dan membuat mereka menyadari perbuatan Bully sama sekali tak nyaman. Kau mencatatkan ingatan yang ayah dengar setiap kau menyebutnya dalam pembicaraan, bagi ayah itu sudah cukup.

Mungkin ayah perlu sedikit bersabar, agar kau bisa memunculkan pertahanan terbaik. Kau bisa melalui dengan kuat tanpa perlu menyalahkan diri terus menerus.

Pada masa-masa awal usia kau berani kelur rumah tanpa ayah. Itu bagian terbaik dari perkembanganmu ketika usiamu beranjak 5 tahun. Ini prestasi yang bisa kau ukir sendiri dalam menghempaskan rasa takut. 

Minggu, 13 April 2025

Kebanggan Seorang Ayah

BABAK 34

Satu malam jelang tidur.

"Kenapa tak silat lagi Mas," tanya si Ayah. Tangannya yang kukuh memeluk pinggangnya yang masih ramping.

"Naik sabuknya lama yah," katanya. Tangannya yang mungil meraih tangan ayahnya, lalu mengencangkan lebih erat lagi.

Lalu...

Ayah mendengarkan gerak bibirnya. Ada gurat sedih sempat terlintas. Ada wajah yang ingin berontak, tetapi ia sendiri tak tahu atau belum tahu soal apa yang harus dilakukan. Mungkin berhenti dari latihan adalah bagian dari jawaban.

Ia tak pamit pada pelatih, juga pada ayahnya. Pada pelatih ia seperti ingin melakukan demo atas keberpihakan yang salah. Ini agak lucu, bocah delapan tahun ingin menjungkirbalikan sebuah keadaan. Mesti mungkin saja terjadi, tetapi hal itu adalah awal dari ia mengerti tentang pencapaian.

Ayah mengangguk bukan untuk membenarkan, tetapi telinga ini setiap saat siap mendengarkan keluh kesahmu. Menjawab setiap pertanyaan. Jika ayah tak bisa menjawab, maka Ayah akan menangguhkan beberapa saat, setidaknya bisa mengintip buku, atau kalau tak sempat bisa melayang ke dunia mbah. Yang jelas, kau akan tumbuh seiring dengan waktu yang kau simpulkan sendiri. Maaf jika ayah tak sabar, tetapi paling tidak ayah bisa merobohkan ego yang kerap menunggangi semua hal. Bahkan kebaikan yang kau tawarkan, bisa menjadi petaka bagi Ayah. Bila ayah tak pintar mengolah Ego. Ego akan tetap bercokol meski kelak berpisah pada saat yang memungkinkan

Nama pelatihmu sama dengan nama ayah. Kadang kau menertawakan dan meledek soal nama ayah. Kau tak pernah menggerutu soal nama, adikmu yang kerap mengejek, maksudnya bercanda soal-soal nama, jika ayah kena 'mental' kalian akan tertawa keras. Lalu kembali pada tempat semula.

Soal nama pelatihmu, ayah kira bisa menangkis hujan air mata yang mulai kau tampilkan pada saat-saat tertentu. Itu kemampuan yang mesti kau rawat. Tak apa lelaki juga bisa menangis, jika itu menenangkan. Soal sabuk, ayah tahu kapan kau menitikkan air mata, kaupun tak bertanya. Ayah mulai menandai, air mata yang kau keluarkan diam-diam, meski hanya berkaca-kaca itu adalah simbol kau akan mengakhiri sesuatu. Begitu simpel, tetapi cukup tegas. Ayah simpati, kau mulai memustuskan sesuatu tanpa campur tangan ayah bunda.

Kau akan tumbuh terus Nak?, tetaplah kuat.

Sabtu, 12 April 2025

Sekolah Bukan Pabrik Robot

BABAK 33

"Kamu begitu saja nggak bisa, itu kan soal mudah!" Ucap ibunya sambil membereskan buku-buku yang berantakan, pelajaran seni sedang berlangsung secara daring.

"Lain kali harus lebih fokus," tambahnya.

Adi yang merasa kesulitan, merasa keyakinan untuk memantapkan hati karya pupus. Perasaan terdalam seperti tak ada, ia kehilangan pijakan untuk menyambung perasaan yang setengah hidup sejak bangun pagi , agar bisa nyaman menghadapi guru seni itu.

Ajaib, ia kehilangan fokus di beberapa bagian, sementara momen terus saja berjalan. Ibunya yang sedang sibuk dengan kegiatan pribadinya merasa terganggu. Inilah momen yang mungkin Adi hindari, ia ingin menyelesaikan sendiri, tetapi ia belum sanggup untuk multitasking dalam soal-soal tertentu.

Ibunya kehilangan momen ketika Adi berhasi mencuci piringnya sendiri, pekerjaan di toilet, bahkan bisa menjaga adiknya yang masih kecil, mengajak bermain dan seterusnya.

Sekolah tidak dirancang untuk membuat anak didiknya menjadi robot dan menguasai banyak tanpa kesalahan, dan Adi bukan robot yang gampang distel tanpa kendala apapun. Ia adalah perangkat kompleks yang unik dan tentu saja ciptaan Tuhan. Hingga memperlakukan atas dasar-dasar tertentu dan program-program tertentu yang sesuai dengan perkembangan anak. Mari sudahi prasangka seperti itu.

Jumat, 11 April 2025

Cerita Anak Kepada Ayahnya

BABAK 32
"Aku udah tahu ayah, kalau ada yang marah mereka akan mengajak satu gang untuk musuhi aku yah, udah kebaca!" kata si anak pada Ayah pada satu sore.

Ayah berharap pada waktu yang bisa memberi kesempatan padamu agar kuat untuk mengucapkan sebuah alasan. Maaf jika ayah memakai seharusnya, kalau kamu memberi kepercayaan diri pada kekuatanmu maka hal ini tidak akan terjadi. Barang mainan itu, yang tempo hari temenmu titipkan. Berkurang jumlahnya, seharusnya kamu bisa mengucapkan hal-hal yang semestinya. Tanpa bermaksud untuk menggurui, ayah hanya belajar pada banyak kesalahan, kau mestinya juga demikian.

Ini sejarah yang kau cipatkan sendiri, kami melayani kepercayaan yang sudah demikian rupa untuk kami percayai, memang agak muter, tetapi dengan cara inilah sesuatu bisa dapat dibicarakan dengan selayalaknya.

Kami memercayai dengan kata dan sikap, akan halnya demikian roda yang kau putar sendiri. Jawabanmu mencoba menentramkan sedemikian rupa bentuk kekhawatiran yang kau baca dengan mudah melekat pada ayah.

"Masih banyak teman lain yah, di gang 3 dan 4, jadi aku tak begitu peduli."

Bila demikian perjalanan akan sedikit menenangkan ayah. Tetaplah kuat, dan menangis bukan berarti lemah, kau sudah berusaha dengan baik. Tangisan adalah senjata terbaik jika memang bisa meredam segala kekuatan yang tak bisa kau tangkis sekarang ini, di usiamu yang genap 8 tahun. Jadi berusahalah...

Agar ayah tahu kau mudah beradaptasi pada situasi yang paling buruk yang kini satu persatu mampir pada hidupmu.

Kamis, 10 April 2025

Skema Pembelajaran

BABAK 32
Ia membiarkan putranya untuk merasakan sebuah kenyataan hidup. Bahwa ada hal-hal di sekitarnya yang tak melulu soal kenyamanan. Di luar sana ada banyak ketidaknyamanan jika kamu enggan untuk berdamai, minimal pada perasaanmu sendiri.

Ia melihat putranya berpindah dari satu titik ke titik yang lainnya. Rupanya hari itu ia tak mendapatkan "nasi box" yang rutin disediakan oleh masjid dekat rumahnya. Ada kesedihan dalam hatinya. Ia ingin putranya belajar tentang kesiapan untuk menerima hal yang sesuai dengannya, dan kesiapan untuk menerima hal yang tidak di sukainya.

"Ada hari lain, jika kamu menginginkan"

Putranya masih diam tak menjawab sepatah kata.

"Bukan rezeki kamu, lain kali ada kesempatan lain," tambah ayahnya.

Rabu, 09 April 2025

"Ayah Nggak Kaya! Ayah Miskin!"

BABAK 31
Ramai lapangan komplek suatu perumahan. Anak-anak dan orang dewasa dari ibu-ibu sampai bapak-bapak, semua ada di sana. Semua penasaran atas kegiatan yang baru muncul di komplek itu. Mereka ingin melihat para pendekar silat yang nantinya unjuk kebolehan dan akan melatih para putra putri mereka.

Pembukaan dan pertunjukan silat tradisional pun di mulai. Para pendekar silat itu berpakaian hitam-hitam dengan ikat pinggang beragam. Mulai dari hitam, biru, dan juga putih. Hanya saja para pendekar berikat pinggang putih itu sikapnya lebih tenang. Usut punya usut lelaki ber-ikat pinggang putih adalah ketua pelatihnya.

Mereka berkumpul di tengah lapangan setelah nama-nama mereka dipanggil. Anak-anak itu berlari pemanasan dengan suasana meriah dan semangat, maklum ini baru pembukaan pertama.

Tampak satu anak yang berwajah sendu menatapi anak-anak yang lain riang ikut latihan. "kau ingin ikut, baru pembukaan tidak apa," tanya ayahnya.

"Nggak ah, sudah terlambat," ucap si anakdengan kesal.

"Kenapa kamu ngasih tahunya mendadak, ayah bisa siapin uang. Sekarang ayah tak pegang uang," jawab si ayah.

Si ayah mencuri pandang wajah anaknya. Punggung si anak terlihat sibuk untuk menghapus jejak air mata yang tiba-tiba melelah.

"Ayah nggak kaya! ayah miskin!" ucap si anak yang makin sibuk menghentikan air mata yang tak diiringi dengan isakan.

Si ayah terdiam mencoba mencerna perasaan yang sedang dialami oleh anaknya. Ada sayatan kecil yang cukup memerihkan hatinya.

"Nanti belajar sama ayah saja, gulat."

"Nggak mau sendiri, maunya sama temen-temen."

Para pendekar itu melakukan pemanasan lima meter dari tempat duduknya. Matanya sibuk megawasi sekitar. Si anak juga tampak awas melihat para pendekar-pendekar itu.

"Ayah kenapa orang itu cuma pakai tangan satu."

sang ayah tampak mengawasi orang yang telah di teliti sang anak.

"Tangan sebelahnya sedang sakit," ucap sang ayah.

Selasa, 08 April 2025

INTRAPERSONAL

BABAK 30
Ia menangis sesenggukan dipelukan bundanya, kedua matanya basah. "Abang penjual es krim tak perlu dipanggil ke rumah, jika tidak memungkinkan. Cukup kamu bawa uang dan beli di tempatnya saja," kata ayahnya. Nasihatnya dicerna sebelum ia berubah sedih dan menangis. Ia lupa atau belum ada intruksi. Ayah harap kamu tak perlu menunggu intruksi, sebaiknya kamu belajar berinisiatif.

Mungkin penolakan tak sengaja yang dilakukan oleh penjual eskrim mona seribu-seribu membuatnya terluka. Ia mencoba mengejar dari rumah dengan pikiran positif dapat memanggil penjual es krim itu agar dapat berkunjung sejenak di depan rumahnya.

Ketika ia menangis ayah dan bundanya memberikan kesempatan meluapkan 'emosi' yang tak bisa ia bendung dengan logikanya yang mungkin masih terbatas. Atau ia mungkin merasa bersalah pada kesimpulan yang tak begitu tepat di mata orang dewasa. Ia mencoba untuk tak merepotkan orang terdekatnya dengan berlari menyusuri jalanan komplek rumahnya dengan hasil di luar dugaannya.

"Beli es krim di warung kak Syifa saja ya, ditemani ayah," kata bunda setelah lima menit tangisannya mereda.

"Ayo ayah temenin," katanya merajuk, kedua matanya masih berkaca-kaca.

"Yuk," ungkap ayahnya.

Sampai halaman rumah wajahnya berubah cerah. "Yah, itu abang es krim mona ada di sana," katanya cepat-cepat.

Adiknya menyusul dengan mata mengantuk. "Kau mau," tanya ayahnya.

"Nggak mau," katanya beberapa kali. Setelah ayahnya menawarkannya keempat kalinya ia memegang kerucut es krim.

"Ya udah," katanya, agak cemberut.

Ketika pulang ia disapa oleh anak perempuan kelas 5. Ayahnya yang menjawab dengan mengembalikan sapaannya. Kedua anak itu berjalan ke rumah. Adiknya berhenti untuk menyapa temannya.

"Kenapa tak menjawab sapaan kakak itu," kata ayahnya penasaran.

"Aku jawab yah, ayah saja nggak dengar."

Beberapa menit yang lalu ia bercerita kalau ada kakak yang merasa tak nyaman dengan nyanyiannya. Padahal ia tak bermaksud untuk menyindirinya. Ia terlihat ingin memperbaiki 'kesalahan' yang mungkin bukan kesalahan. "Aku kan cuma nyanyi-nyanyi yah, eh mereka marah," katanya sambil menghentakkan kaki kanannya. Sang ayah mencari sebuah jawaban, tampak ia berpikir. Kedua alisnya mengkerut. "Mungkin suaramu terlalu tinggi, atau mungkin kamu perlu menjaga sikap," kata sang ayah agak ragu-ragu menjawab.

"Nggak yah, ayah mah begitu, kan aku cuman nyanyi yah." Sekali lagi ia berusaha untuk membenarkan sikapnya. Ayahnya juga belum mengetahui isi lagu itu langsung memberikan kesimpulan.

"Kakak itu kenapa menyapa, kamu tahu alasannya."

"Nggak yah."

"Kakak itu sedang meminta maaf dengan cara lain."

Ia berhenti dan menatap ayahnya, seperti mencari-cari kebenaran yang tersembunyi.

Senin, 07 April 2025

Peniru Ulung

BABAK 29
"Silahkan kamu keluar, hitung sampai tiga. Satu, dua, tiga, keluar!" kata sang anak menerikun intruksi sang ayah bila sedang marah. Nadanya persis sama, dengan jari telunjuk yang menunjuk ke atas.

Ayah terdiam, tepatnya terpukul KO (Knock Out) beberapa detik melebur mencerna kata-kata putranya yang baru saja terucap persis seperti yang ia semburkan jika menemukan hal-hal yang tidak tepat menurut pikirannya. Ia baru menyadari bahwa anaknya sekarang menjadi peniru ulung tanpa sangka.

Suasana tegang menjadi cair, mendengar ungkapan anaknya yang tepat sekali memilih diksi sama yang sering ia gunakan. Ayah beserta kedua anaknya tertawa keras (ngakak besar). Kejujuran anaknya telah mengubah beberap hal yang sering ia anggap benar.

Ayah beranjak dari tempat tidur lalu menuju ke kantor pribadinya. Merenung barang sejenak, mungkin ia akan lebih berhati-hati ketika sedang marah. Anaknya bukan lagi bayi yang tak bisa melawan ucapannya. Ia sedang dalam masa "pemberontakan" hingga sering merepotkannya.

Mungkin juga sang ayah menganggap kebenaran hanya milik orang-orang dewasa. Tanpa memberikan ruang cukup bagi anak tujuh tahun untuk mengekpresikan kekuatan ucapannya. Berikanlah sedikit ruang padanya, atau kalau ayah mau berbagi cerita dengan sang anak, maka akan sangat bahagia. Jika ayah bisa merasakannya.

Sang anak sudah beranjak menjadi peniru yang lebih kritis dari pada sang ayah. Pandai menyimpan semua kata-kata sang ayah, hingga suatu saat bisa menggunakan untuk "menyerangnya dan menentangnya."

Ayah makin lama makin berubah menjadi anak kecil yang kehilangan mainannya. Justru kalian yang semakin dewasa melebihi usia dan fisik. Jarang sang ayah beranjak dari kenyamanan berpikir ke pikiran yang lebih jernih. Lalu memandang segala sesuatu pada sang anak memang sesuai kebutuhan dan perkembangan sang anak.

"Maafkan ayah ya?" kata itu yang terucap dalam-dalam. Mungkin kalian tak akan mendengar. Itu suara lubuk nak, jadi kalian tak bisa mendengar. Mungkin kalian akan melihat perubahan meski harus tertatih-tatih.

"Maaf, kalian harus terlahir dengan ayah terburuk." kata itu juga tak mungkin kalian dengar. Mungkin kalian akan bisa sedikit merasakan perbedaan dari hari ke hari.

Agar kalian tak merekam jejak buruk dalam ingatan yang terus terpasung dalam. Ayah tak ingin menjadi pemberi ruang untuk kalian agar menjadi peniru ulung dalam segala perbuatan "buruk" sang ayah.

Mungkin ayah perlu mengungkapkan satu hal. "Kemustahilan bukan suatu fakta, melainkan hanya sebuah pendapat." Muhammad Ali. Jika kalian tak keberatan mendengarnya dan menjalaninya. Sebuah prinsip hidup yang amat terang benderang.

Atau jika kalian punya waktu sejenak. Ayah berusaha untuk menutup pintu hal-hal buruk agar terbuka lebar pintu-pintu kebaikan. Jika tidak, ayah akan lupa membuka pintu-pintu kebaikan karena mengunci rapat-rapat pintu keburukan dan ayah terlena di sana.

Dua kalimat terakhir tak perlu diambil hati jika kalian belum siap.

Tulisan ini di produksi 04 Mei 2021