Kamis, 30 Januari 2025

Somplang dan Mandor Tebu

Demi Marmut-Marmut lucu yang jadi kesayangan Somplang, ia rela tidak bermain bola sore hari. Pakan di dalam karung sudah habis. Teman-teman SD nya yang rajin mengajaknya bermain sore itu kembali menelan kekecewaan.

Ia mengambil karung dan bergegas ke sawah. Cahaya sore terasa hangat. Somplang mencari rumput-rumput yang hijau. Ia mulai menyabit, mengumpulkan di beberapa titik lalu memasukannya ke dalam karung.

Seekor ular melintas di hadapannya. Jarak dua langkah kaki. Kepalanya tegak dan lidahnya menjulur. Somplang tegang tangannya berhenti menyabit. Ada gundukan berisi daun-daun yang mencurigakan. Ia pun mundur ke belakang. Tanpa pikir panjang ia mengambil karung dan berlari ke tempat di rasa nyaman. Karungnya masih enteng, rumput-rumput yang ia kumpulkan belum diambil. Ia menatap ular yang masih menegakkan kepalanya. Ular itu merebahkan kepalanya dan pergi menyusuri semak-semak. Wajahnya pucat, dan tangannya meraba area kemaluan. Basah.

Somplang mengambil rumput-rumput yang sudah terkumpul. Buru-buru ia memasukkan, wajah ular yang barusan ia lihat sangat menakutkan. “Jangan-jangan ular jadi-jadian,” ucapnya.

Ia bergegas menuju pematang sawah yang lebih tinggi. Ia melihat anak-anak sebayanya sedang bemain layang-layang. Ada yang bermain bola, dan gobak sodor. Sawah berubah menjadi area olahraga jika lepas panen.

Tangan kecilnya menyabit rumput-rumput di sekitar pematang sawah. Sesekali ia berhenti, memberi jalan pada orang yang lewat. Kadang Ibu-Ibu yang menggendong ubi penuh dalam rinjing, atau petani yang capingnya terlihat ada beberapa ekor belut di atasnya.

Ia berpindah tempat, dekat dengan kebun tebu milik perusahaan swasta. Mandor-Mandornya terlihat pendiam. “Jangan coba-coba mengambil batang tebu, kalau ketahuan kamu bisa di bawa ke Kalibagor, dan kamu akan di penjara di sana.” Kata-kata ayahnya membuatnya tak mau lama-lama menatap batang-batang tebu yang menggiurkan itu.

Karungnya mulai teras berat. Ia istirahat. Kembali menatap batang-batang tebu itu. Ia menelan ludah. Kata-kata ayahnya terngiang-ngiang. Pada saat yang sama, godaan untuk mencuri tebu semakin besar.

Senja mulai turun. Cahaya sore mulai redup. Ia pun tak terjebak dalam aram, seperti yang pernah ia alami ketika lepas mancing. Untung ayahnya masih melacak keberadaanya. Jika tidak mungkin ia akan di asuh oleh Hantu Cepet untuk waktu yang tidak diketahui.

Dengan gesit dan lincah ia menorobos ke dalam kebun tebu. Jantungnya berdebar. Ia diam sejenak. Tak ada tanda-tanda Mandor Tebu sedang berpatroli. Ia meraba batang tebu yang kekar dan menjulang tinggi. Tangan kanannya mengambil sabit dan mulai menebas batang tebu. Memotongnya pendek-pendek lalu memasukannya ke dalam karung. Di atasnya ia tutupi rumput.

Ia keluar dari kebun Tebu. Jantungnya masih dag-dig-dug. Wajanya kembali pucat manakala di jalan menikung menuju pulang berdiri mandor tebu bercaping. Mandor itu menatapnya. Ia pun berlari serampangan.

Tubuhnya terasa berat, membuat Ia mudah tertangkap. Cengkraman Mandor tebu terasa berat dan kuat.

“Ampun Pak!, Ampun?” ucap Somplang. Matanya mulai berair. Telinga kanannya terasa panas. Mandor Tebu menjawernya sepuluh detik.

“Jangan kau lakukan lagi!, berbahaya!” kata Mandor Tebu. Ia memasukkan kembali batang-batang Tebu yang telah dipotong-potong itu.

Somplang mengangguk. Mandor Tebu pergi begitu saja. Somplang masih berdiri menatap punggunnya. Ia pun berbalik dan menatapnya. “Pulang ayo!” pekiknya sambil mengelus jenggotnya.

Somplang lari terhuyung-huyung memanggul karung berisi rumput. Ingatan pada Marmut-Marmut yang lucut itu membuatnya cepat-cepat ingin sampai di rumah. Ia ingin menurunkan rasa takutnya dengan melihat Marmut-Marmut peliharannya.

“Guik-Guik-Guik,” Marmut-Marmutnya memanggil. Ketika Somplang sampai di depan kandang. Ia memasukkan rumput-rumput ke dalam kandang. Marmut-Marmut lucut itu saling loncat-loncat menyambut makan malamnya.

Menjelang tidur seorang tamu datang. Somplang mengintip dari celah pintu. Jantungnya mau copot. Ia mengenali tamu itu dari jenggotnya. Ayah mempersilahkan duduk. Lalu ayah beranjak ke dapur. Somplang memasang pendengarannya.

“Siapa Pak,” tanya Ibu.

“Teman Bapak, sekarang ia jadi Mandor Tebu.”

“O, Ibu siapkan Teh.”

Somplang duduk di pinggir Amben. Ibu memanggil dari dapur. Ia berdiri tegak. Wajahnya berkeringat.

“Kau antarkan Teh ini ke ruang tamu ya, Ibu mau goreng Ubi.”

Rabu, 29 Januari 2025

RATU MALAM

Malam-malamnya senantiasa terjaga,
entah sampai berapa lama 
Berpindah pindah dari kamar satu ke kamar kakak tertua 
Berjalan di bawah lampu minyak yang bergoyang-goyang nyalanya 
Membuka pintu memasang mata yang awas 

Satu persatu-satu ia mulai memukul-mukul nyamuk gendut penuh darah 
Sepasang mata terjaga lalu tenggelam lagi 
Menatap sosok gentayangan tiap malam jika serangan nyamuk tiba-tiba membludak 
Bau anyir dari banyaknya nyamuk yang ia pukul berkali-kali pada kaki, lengan, dan pipi anaknya

Rambutnya ia biarkan tergerai, jika tak siap ia seperti hantu yang baru pulang mudik 
Ia menutup pintu, rasa hangat tiba masuk ke dalam kamar berdinding bambu 
Ia tengah membakar baju-baju lawas sebagai obat pengusir nyamuk 
Asap-asapnya mengepul berkeliaran masuk ke segala sisi rumah 
Anak lelakinya bangun mengucek matanya, menatap ibunya yang sibuk mengaduk-aduk nyala api

Petualangan Keli Si Kelinci Pemberani

Pagi yang cerah di gang kelinci berubah mencekam. Rumah-rumah kelinci rusak dan asap hitam membumbung. Anak-anak dan orang tua banyak yang terbunuh. Keli, si kelinci sebagai kepala gang sangat sedih melihat keluarga lain terbunuh. Kesepakatan damai kembali hilang. Kejahatan pun terulang kembali, lagi dan lagi.

Keli duduk di atas rumput segar. Rumput yang segar dihadapannya tak lagi menarik. Perasaannya sedih, kalut, ditambah penyerangan Toto si Tikus got atas dasar perintah Sagon, si Anjing culas. Anaknya yang bontot jadi korban keganasan Toto saat fajar terbit. Kebiasaan mereka untuk sarapan bersama sambil mengobrol tentang usaha dan pendidikan sekolah berubah hening diiringi isak tangis pilu. Keli bersama kelinci lain menguburkan mereka dalam satu liang lahat yang besar. Pekikan dan sumpah meraka terikan. Mengutuk Sagon si Anjing licik, dan Toto si Tikus besar yang bengis.

Keli bersama kelinci yang masih tersisa, dari anak muda hingga sampai yang jompo mendatangi Igel si Elang Putih untuk mengadukan persoalan yang telah dialaminya. Terlihat Igel sedang menikmati makan siang, seekor ikan salmon dari Antartika.

“Wah, ada tamu rupanya,” ujar si Igel sambil turun meluncur dari atas pohon tinggi untuk menemui Keli dan teman-temannya.

Igel berjalan mendekati Keli yang telah dikenal lama. Igel terkejut ketika dari balik semak-semak yang tinggi muncul kawanan kelinci lainnya. Igel melompat keatas batu yang agak tinggi. Ia mengetukan paruhnya dan menatap Keli sambil mengepakan sayapnya. Pertanda pembicaraan boleh dimulai.

“Begini Tuan Igel, Anda sebagai juru damai tentunya memiliki pandangan tentang sebuah kejahatan yang diawali oleh penghianatan?” kata Keli geram. Mulutnya gemetar.

“Apa yang terjadi kawan?”

“Rumah kami di serang, sebagain besar tewas, Sagon telah melanggar perjanjian dan menyerang kami dengan ganas. Toto juga membantu penyerangan.” “Kurang ajar!, soal Sagon dan Toto biar kami yang mengurusnya. Sekarang kalian pulang. Kalau terjadi sesuatu, tiup peluit ini pasukanku akan datang untuk membantu kalian.”

“Terimakasih Tuan Igel, kami pulang.”

“ Berhati-hatilah.”

Dalam perjalanan pulang ketika melewati stepa, mereka dihadang oleh Sagon beserta pasukannya. Semak-semak tinggi sebagai perlindungan sudah jauh tertinggal.

“Jangan kau ganggu mereka, bawa aku saja sebagai santapan makan malam kalian. Dagingku empuk dan tulangku lezat,” kata Keli. Ia menoleh kebelakang, teman-temannya terlihat membeku dan gemetar.

“Aku mohon, jangan ganggu mereka?” ucap Keli.

“Terlambat!, kalian pengecut, mengadu pada si busuk Igel itu. Gara-gara kalian, persoalan jadi makin pelik. Sekarang kami tak lagi pedudi soal-soal perjanjian, yang penting perut kami kenyang dan tidur nyenyak, kelinci-kelinci busuk!, serang mereka semua!”

“Semunya!, cepat lari!” teriak Keli.

Keli dan teman-temannya lari pontang-panting. Kelinci-kelinci muda ataupun tua tak butuh lama untuk bertahan. Anjing-Anjing dibawah pimpinan Sagon langsung menerkam, dan menggigit lehernya. Suara minta tolong seketika berubah sunyi.

Hanya tersisa Keli, wajahnya pucat. Keli mengambil peluit lalu meniupnya kencang. Sementara Sagon dan pasukannya terus mengejar sambil mengejeknya.

“Menyerahlah Keli, dan terimalah kematianmu!” kata Sagon sombong.

“Tidak semudah itu!, kami ini para pejuang, sementara kau sang penghianat!” pekik Keli.

“Cepat kepung dia!” pungkas Sagon.

Keli terus berlari. Meloncat ketika pasukan Sagon hendak menerkamnya. Di susul lari zig-zag, tak menyerah. Satu tendangan dari Sagon ke arah perut Keli membuatnya terpental kebelakang, Keli mengerang kesakitan. Sagon dan pasukannya perlahan-perlahan mendekatinya.

“Bunuh dia!” Teriak Sagon.

“Aku kalah” ucap Keli lirih.

Keli memejamkan matanya. Tubuhya terluka parah, noda darah menempel pada bulunya yang putih.

Dalam detik menegangkan. Berkelebat ratusan ekor Elang menyerang dan membawa tubuh anjing ke udara. Lalu melemparkan ke tanah. Satu persatu pasukan Sagon hilang. Sagon terkejut melihat serangan dari Igel dan pasukannya membuatnya lari mencari perlindungan.

“Mau lari kemana penghianat, cepat tangkap dan lemparkan ke kawah gunung!” perintah Igel.

“Tidak!, ampun tuan Igel!” teriak Sagon.

“Sudah terlambat!”


“Keli, buka matamu?” kata Igel.

Keli membuka mata. Wajah Igel menenangkan. “Terimakasih,” tuturnya.

Sepekah kemudian setelah dirawat oleh Igel si Elang Putih. Keli kembali bugar. Keli menemui Igel yang sedang melatih anak-anaknya belajar terbang.

“Tuan Igel, aku pamit, terimakasih untuk pertolongannya.”

“Sama-sama.”


 Seekor anak kelinci terus mengintip dari sebuah celah.

“Bu!, ayah pulang!” ucap Tibo anak sulung Keli.

Keli terkejut dan berlari untuk memeluknya. “Syukurlah kalian selamat.”

Selasa, 28 Januari 2025

ISTANA CACING

“Hara, sudah waktunya kau cari Paman Coran. Tanah yang kita huni sudah semakin beracun, petani-petani itu sudah kerasukan, tega sekali menyiram air terlarang kedalam tanah berjuta-juta ton,” ucap Annelida sebagai ratu cacing.

“Mereka para petualang, sangat sulit dicari ibunda,” ucap Hara.

“Untuk apa kau kulatih di tanah yang ditimbuni banyak plastik, lalu kau menyerah sebelum berperang.”

“Baik Ibunda,” kata Hara.

“Sebelum berangkat besok, kau bawalah beberapa temanmu yang cakap. Ahli ruangan, Senjata, dan juga pandai membuat terowongan,” ucap sang Ratu. “Aku bisa sendiri Ibunda,”

“Kau lebih kuat, jika bersama mereka,”

Hara berangkat bersama ketiga temannya. Atas saran Gobed si ahli ruangan, mereka berangkat menyusuri selokan demi selokan, pematang demi pematang, tanah berpasir, dan sebuah bukit kecil. Di sanalah Coran tinggal bersama keluarga dan handai tolan.

“Kau harus menghindari selokan itu, di sana biasanya jam segini orang-orang itu membuang limbah pabrik, baunya membuat pusing kepala, dan airnya membuat permukaan kulit kita terbakar,” ucap Gorim, cemas.

“Terimakasih Gorim,” ucap Hara.

“Kalian duluan, perutku mules, kemarin terpaksa yang terpapar limbah,” ucap Golen.

Mereka mulai berjalan secara bersamaan hingga sampai di pematang sawah, mereka menulusuri rerumputan basah, matahar hangat membuat mereka tampak semangat. Tak henti-hentinya mereka bernyanyi untuk menghibur diri dari ketakutan yang bisa membuatnya celaka.

“Sembunyi!” teriaknya, meski Golen si ahli terowongan sudah berteriak, tetapi Hara teman-temannya terus saja bergerak. Seekor burung semak tengah berpatroli mencari sarapan pagi untuk keluarganya.

“Teman-teman sembunyi!, bahaya!, bahaya!” teriak Golen yang suaranya hampir hilang ditelan angin. Ia pun mengeluarkan cairan dari tubuhnya sebagai tanda peringatan.

“Kuharap mereka mencium bau yang kukeluarkan,” bisiknya. Ia pun terus mengeluarkan cairan khusus tanda bahaya.

“Kau cium bau busuk itu,” tanya Gorim pada Hara.

“Bau Golen, berhenti!” teriak Hara.

Golen bernafas lega, seluruh tenaganya hampir habis. Ia telah mengeluarkan salah satu senjata pamungkas yang membuat tubuhnya bergetar dan berminyak lebih banyak dari biasanya. Nafasnya tersengal. Mereka menghampirnya.

“Ada apa Golen,” tanya Hara.

“Burung semak sedang mondar-mandir, kalian berhati-hatilah, tinggalkanku sendiri, nantiku menyusul, aku belum cebok” Golen melipir menuju satu lubang lembab disanalah ia berhibinasi untuk waktu tertentu. Ia menutup hidungnya, bau belerang menyeruk ke segala sisi.

“Cari tempat yang nyaman!” ucap Gorim sambil lari masuk dalam celah tanah yang cukup dalam di susul Hara dan Gobed. Dari dalam tanah mereka menatap paruh burung yang tajam, cakar yang kokoh, mengais dan mematuk-matuk tanah sepanjang pematang sawah. Hasil patukannya membuat tanah-tanah sekitar hancur dan masuk kedalam celan tanah, di mana Hara dan teman-temanya sembunyi.

Burung semak terus berpatroli, gerakan kedua kakinya lincah, butir-butir tanah sampai masuk kedalam.

“Lari..!” teriak Golen, “Lompat ke sungai!, cepat!, jaga ibuku?! tambahnya. Golen tertangkap burung semak. Tubuhnya menggeliat keras di paruh burung semak. Ia terus berteriak memberi peringatan pada pada Hara, Gorim, Gobed. Gobed yang tubuhnya lebih besar menarik tubuh Hara, dan menggendongnya di punggung. Sementara Gorim berusaha membuka jalan.

Sungai kecil dangkal cukup deras. Diujung cabang sungai itu ada bukit kecil, tempat Coran bermukim bersama keluarga dan pasukannya.

“Turunkan aku Gobed, kita pasti akan tenggelem dan terserat arus bawah,” ucap Hara.

“Tidak, percayalah,” Gorim meyakinkan.


“Pengorbanan Golen akan sia-sia!” teriak Hara, disusul isak tangis.

Burung semak tinggal satu langkah lagi. Di saat yang bersamaan, ketiga lompat ke sungai kecil yang dangkal dengan air cukup deras. “Ibu...!” teriak Hara.

Ketiganya masuk sungai. Tubuh mereka limbung pontang-panting terbawa arus sungai. Hara nyaris tewas, manakala sebuah dorongan kuat dari Gobed berhasil mendorongnya kepinggir. Dengan sisa tenaga, Gobe mendorong tubuh Hara dan Gorim yang sudah lemas. Sementara tubuh Gobed timbul tenggelam. “Sudah waktunya,” ucap Gobed.

“Apa yang kau katakan, cepatlah naik,” bisik Hara lemah.

Gorim nyaris tak bergerak, hanya nafasnya yang menandakan ada kehidupan.

“Titip Gorim ya, nanti malam ia harus minum obat, ia sering lupa. Itu wasiat ibunya. Aku pergi dulu,” ucap Gobed. Tubuhnya mengejan dan mengeluarkan aroma bawang. Ia sekarat. Tubuhnya hanyut terbawa sungai kecil yang berarus deras.

“Gobed...!!! teriak Hara. Tubuh air yang deras menelan tubuh Gobed. Hara ambruk, pandangannya kosong, dan ia tertidur lelap. Daun talas yang besar menahan mereka dari tenggelam.

“Itu mereka tuan,” ucap salah satu pengawal Coran.

“Cepat lepaskan jaring!” perintah Coran.

“Siap tuan!”

Jaring diturunkan tepat sebelum mereka hanyut ke sungai yang lebih besar. Hara dan Gorim terbangun.

“Kita selamat Hara,” kata Gorim lemah.

Hara mengangguk lemas.

“Aku kehilangan dua temanku Paman, mereka anak-anak yang hebat.”

“Kita semua akan betemu mereka nanti? Ucap Coran menenangkan.

Gorim datang memakai baju hangat. Wajahnya lebih segar. Ia bergabung besama Hara dan Coran

“Sebenarnya apa yang terjadi dengan tempat tinggal kalian,” tanya Coran.

“Manusia tiap hari membuang limbah ke dalam tanah, banyak teman-teman kami tewas, dan tumbuh tidak sempurna. Kami berniat pindah mencari tempat tinggal baru,” jawab Hara.

“Setalah kalian pulih. Kembalilah bersama pasukanku. Jemput Ibumu dan seluruh penduduknya. Kita akan cari tempat yang lebih aman,” tutur Coran.

“Kemana Paman?”

“Kampung halaman Ibumu, Istana Cacing.”

Senin, 27 Januari 2025

Tragedi Bola

Di bawah pohon bambu yang rindang. Terdapat sebuat tanah lapang. Ukurannya tidak terlalu luas tetapi cukup untuk membuat permainan bola plastik tampak menyenangkan. Tanpa alas kaki, bola plasti berpindah dari kaki ke kaki. Sampai lelah, sampai ibu mereka memanggilnya dengan nyaring. Membuat kami lari terbirit-birit menuju rumah masing-masing. Bubar jalan.

Seorang pemain pengganti masuk. Romli namanya, ia terlalu senior bagi para pemain, termasuk aku sendiri. Aku tidak terlalu suka dengannya. Kata-katanya sering menyakitkan. Dan selalu membuatku tampak payah. Pernah ia berkata bahwa, diantara semua teman sebayamu itu, hanya kamu yang tidak punya saudara. Semua saudaraku, kata Romli. Entah kapan ia mengucapkan, tetapi aku ingat terus. Rasanya ingin membungkam mulutnya dengan kotoran kambing. Biar tahu rasa.

Ketidaksukaanku seperti terbaca olehnya. Ia menyeringai beberapa kali, dan kerap mengacungkan jempolnya kebawah. Aku tidak membalasnya, lagipula badannya terlalu besar buatku. Jika berkelahi dengannya, sudah bisa dipastikan aku yang akan terjungkal mencium tanah dan menangis kencang sebagai pertanahan terakhir.

Kedudukan masih kosong-kosong. Diantara kami sedang memperlihatkan bagaimana sebaikanya bermain bola. Tampaknya mereka termasuk aku sedang dalam puncak kesombongan menggocek bola plastik sedemikian rupa, hingga bisa meliuk-liuk seperti penari, lalu pada tendangan terakhir mencuri tendangan ke pojok gawang, sendiri melewati lawan juga kawan.

Bola kugocek memakai gaya kungfu. Berhasil melewati kaki-kaki lawan. Pada pertahanan tengah, Romli sudah berdiri, menyeringai, bahkan meludah untuk mengejekku. Menurungkan keahlianku sebagai penggojek bola plastik yang tidak bisa dianggap enteng.

Kutendang bola keras-keras, sial, mengengai kakinya yang kokoh. Romli tersenyum.

“Begitu saja keahliamu Su!” ucapnya sembari meludah keras-keras. Aku tahu Romli sedang mengujiku, tetapi yang kurasakan adalah penghinaan yang ringan diucapkan.

Bola melambung kebelakang menggelinding ke tempat pembuangan sampah. Dalamnya hanya satu meter, tetapi beberapa hari yang lalu ada banyak serbuk gergajian pohon kelapa. Dibakar, tetapi tak lagi nampak asap yang bisa kulihat. Seperti sudah mati.

Aku berhenti ingin mengambil bola plastik itu. Aku berpikir keras apakah api itu sudah mati dan tingga abunya saja.

“Lompat saja Su, apinya sudah mati!”perintah Romli.

Tanpa pikir panjang lagi aku lompat kebawah ke bekas bakaran serbuk gergajian pohon kelapa. Bola plastik kuraih dan kulemparkan ke atas. Beberapa detika kemudian. Kedua kakiku terasa dingin sampai ketulang, juga ada rasa kesemutan, lalu disusul rasa panas yang tak tertahan. Segera kunaik keatas, tetapi kedua kakiku masih sangat panas, juga gatal, yang tak bisa kugaruk.

Kedua kakiku kugosok-gosokkan ke atas tanah. Mencoba untuk meredam. Tetapi sia-sia, rasa panas itu teras ada. Pecah tangisanku. Gempar para tetangga, dan orang-orang dewasa segara sibuk untuk menolongku. Sedangkan Romli tak nampak batang hidungnya diantara orang-orang dewasa yang wajahnya sulit kuungkapkan.

“Bu! Tolong Su Bu!” tak ada jawaban. Nenekku muncul dari balik kerumunan. Meraka sedang berdiskui bagaimana meredama rasa panas yang tengah mendera kedua kakiku.

“Ibu masih dipasar, nanti juga pulang?” ucap nenek. Nenek menyuruhku untuk meminum dari gelas yang dibawanya. Rasanya nyaman, tetapi hanya sebentar. Selanjutnya tangisanku memecah kesunyian Gang Rapingun.

“Cepat bawa odol dan oleskan!” perintah seorang dewasa yang sulit kuingat wajanya.

Seketika rasa dingin menjalari seluruh punggung kaki termasuk seluruh jemariku. Hanya sekian detik, tak memapan. Aku kembali menangis. Orang-orang dewasa yang terus menatapku tak karuan.

“Ambil telor!” perintah salah seorang dewasa. Kali ini wajahnya kuingat. Orang dewasa itu, ayah temanku.

Amis segera menguar. Hidungku cepat-cepat mencium. Beberapa butir telor dipecahkan. Lalu dioleskan, rasa adem membutku tenang. Tetapi lagi-lagi hanya sesaat. Selanjutnya rasa panas terus kurasakan. Sementera Romli tak juga nampak. Sejak saat itu, Romli kuanggap sebagai musuk sampai kapanpun.

Dari balik pintu rumah. Sesorang muncul. Aku sangat kenal dengannya.

“Bu!” teriakku.

Entah dari mana informasinya. Ibuku mengangguk dan menggendong badanku yang mulai membutnya sulit bernafas.

“Kita pergi ke Desa Kesamen, berobat?”ucap ibuku. Aku mengangguk. Lalu menangis lagi.

Turun dari angkot, aku masih menangis.

“Bu, apa aku akan mati,” tanyaku seketika, kalimat yang tiba-tiba saja muncul di kepalaku.

“Huss, ngomong apa kamu. Itu rumahnya sudah dekat,” ucap Ibu.

Seorang Ibu menyambut. Ia perempuan berkebaya batik. Mempersilakahkan masuk. Setelah wawancara singkat, ibu menurunkanku dari gendongannya. Membiarkanku duduk di atas bale.

Lalu Ibu mengoleskan sesuatu dengan alat yang mirip setempel, hanya saja benda itu terbuat dari besi. Kurasakan hawa dingin segera menyergap. Ada rasa nyaman ketika ia bergerak ke area puser. Dan itu sangat menenangkan. Ajaib benar benda. Rasa panas pada kakiku tiba-tiba hilang.

Ibu pamit pulang, dan Ibu kembali menggendongku pelan-pelan. Tubuhku yang mulai berat membuat kaki ibu terlihat limbung. Tetapi Ibu segera memperbaiki kuda-kudanya.

Seminggu kemudian luka bakar di kaki mulai mengering. Hanya saja bau amis segera menyergap. Telor yang dipecahkan diatas kakiku telah mengerak dan membuat risih.

Hari kedelapan dan kesepuluh. Pelan-pelan kerak itu mulai mengelupas. Dan hari-hari penantian itu sangat melelahkan, tetapi saat itu pula aku menikmatinya sebagai sebuah pelajaran tentang kepercayaan.

Minggu, 26 Januari 2025

UJIAN PERTAMA TOPA SI ANAK TUPAI

Topa, si anak Tupai sedang duduk di batang pohon jengkol. Ia baru saja selesai berlatih melompat dari ranting satu ke ranting lainnya. Ia masih takut melompat dari dahan tinggi ke dahan yang rendah. Kepercayaan dirinya sangat menurun. Sejak manusia serakah itu menangkap kedua kakaknya, Tor dan Tan.

Ia berhenti mengunyah sarapan. Ia terkejut, ternyata seorang manusia yang tengah mengamatinya dan siap-siap memanjat pohon jengkol. Dahan yang duduki tiba-tiba bergoyang. Seorang anak manusia tengah naik pohon jengkol sambil meringis manahan gatal. Ulat-ulat bulu yang menempel sepanjang pohon jengkol, tewas tergencet dan bulu-bulunya menempel di kulitnya.

Topa tubuhnya menegang. Ia terlihat panik dan taku. Ia teringat kedua kakaknya yang ditangkap oleh manusia-manusia tak bertanggung jawab. Anak manusia berhasil naik sampai ke atas pohon dan mulai membidik Tupa. Rasa takut yang berlebih membuat tubuhnya sulit bergerak. Ia ingin melompat ke dahan pohon dukuh. Tetapi tubuhnya seperti menempel kuat pada dahan yang duduki.

Pandangannya gelap tiba-tiba ketika tanah kering dan padat yang dilesatkan oleh ketapel mengenai perutnya. Topa mengerang keras dan jatuh ke bawah. Tubuhnya tak bergerak.

“Bangun Topa!” teriak Pato, si burung Pelatuk. Juga riuh rendah teriakan dari burung Prenjak dan burung Kemaduan.

Anak manusia turun dari atas pohon jengkol. Puluhan ulat bulu yang belum tergerus tubuhnya sewaktu naik ikut tewas ketika tergerus tubuh manusia itu. Sampai di bawah sibuk menggaruk-garuk keseluruh bagian tubuhnya.

Sambil terus menggaruk ia bergerak menuju Topa. Pato, si burung Pelatuk dan teman-temannya kembali berteriak memanggil namanya.

“Bangun Topa!, bangun!” teriak Pato, si burung Pelatuk. Ditambah terikan dari Burung Prenjak dan Burung Kemaduan.

Topa bangun pada detik tangan manusia itu hendak meraihnya. Ia berusaha berjalan cepat ke samak-semak. Anak manusia itu semakin sibuk menggaruk tubuhnya yang gatal. Ia balik kanan sambil mengeluh.

“Lain kali, akan kutangkap kau!” teriak anak manusia.

Si anak manusia pun pergi. Topa kembali ke pohon jengkol menunggu Ibunya pulang. Ia tampak lelah.

“Bagaimana keadaanmu Topa,” tanya Pato.

“Perutku sedikit nyeri,” jawab Topa.

“Hampir saja kamu tertangkap,” ucap Pato, si burung Pelatuk. Burung Prenjak dan Kemaduan terlihat ikut khawatir.

“Terimakasih semuanya, terutama kau Pato” ucap Topa

Senja mulai turun.

“Kenapa menangis Nak,” ucap Sal, si Ibu Tupai.

“Aku hampir ditangkap anak manusia Bu,” ucap Topa sambil memeluk ibunya.

“Dasar anak manusia serakah,” kata Sal.

“Coba kalau ada Ayah,” kata Topa. Ia melepaskan pelukannya. Ia menghapus air mata, dan duduk di batang pohon dekat dengan sarang.

Tuka, si ayah Topa tewas ketika ingin menolong kedua anaknya. Sebuah peluru dari senapan angin tepat menghajar kepalanya. Ia pun jatuh tersungkur bersimbah darah. Topa dan Sal tampak terkejut dan sedih. Mereka hanya bisa melihat ayahnya dari atas pohon tak bisa membantunya.

Sebuah suara mengejutkan mereka.

“Hei kalian cepat berjalan. Kalau lambat upah kaliah akan dipotong. Tupai-Tupai ini harus sampai sebelum acara karnaval,” bentak seorang manusia berbadan besar brewok panjang kepada pendorong gerobak yang didalamnya ada kandang-kandang besi berisi ratusan ekor Tupai.

“Bu, apakah ada kakakku di dalam kandang itu,” tanya Topa. Mereka sedang di atas pohon duren.

“Ibu tak tahu, coba kita lihat lebih dekat,” ajak Ibunya.

Mereka berdua turun dari atas pohon Duren. Mereka berdua sembunyi diantara daun-daun pohon duren. “Tor, Tan!” teriak Topa dari balik dedaunan. Tupai-tupai dalam kandang itu hanya terdiam. Wajahnya tampak putus asa. “Tor!, Tan!” teriak Topa lebih keras lagi.

“Mereka bukan kakakmu Nak?” ucap Sal, Ibu Topa.

“Aku yakin Bu, mereka Tor dan Tan, aku kenal bulunya? Kilah Topa.

“Bukan!, mereka bukan Tor dan Tan, ayo kita pergi sebelum manusia-manusia serakah itu mengetahui keberadaan kita. Keduanya kembali menaiki pucuk pohon Duren.

“Kau belum tidur Topa,” ucap Ibunya.

“Belum mengantuk Bu,” jawab Topa.

Malam semakin larut. Keduanya masih terjaga.

“Topa, kau rindu dengan kakakmu.”

“Kaukah itu Bob?” tanya Sal.

Bob si Burung hantu muncul memperlihatkan dirinya. Suaranya yang besar cukup mengagetkan mereka.

“Ada karnaval di negeri para badut. Mereka bersama hewan lain akan tampil digelanggang arena. Hati-hati jangan sampai tertangkap. Jika beruntung kalian bisa melihat Tor dan Tan beraksi di sana. ”

“Apa kau serius Bob,” ucap Sal.

“Tentu saja.”

“Terimakasih Pak Bob,” ucap Topa.

Bob si Burung Hantu, tertawa. “Sama-sama Nak.” Ia pun pergi. Mereka masuk kedalam sarang. Dan malam terus saja berjalan tanpa bulan yang bersinar.

Sabtu, 25 Januari 2025

DIORAMA BADUT

Akhir-akhir ini memang cuaca sangat panas, ditambah badut-badut itu makin gencar meneror dan sesekali membunuh, jika terpaksa. Orang-orang mulai malas untuk berjalan di trotoar, para badut itu sering berkerumun menjelma polisi yang tak punya lencana. Sekedar menggertak atau mencibir, bahkan seringkali ghibah untuk memuaskan intelektualnya.

Kendit mengelap keringat yang membanjiri mukanya. Handuk kecil hijau berubah warna, deterjen telah mengurainya pelan-pelan. Tanco yang dioleskan pada rambutnya ada yang berhasil lolos hingga bergelantungan pada ujung rambut.

Ia memperhatikan Tauke ‘membetulkan’ kacamata yang berkali-kali lolos dari hidungnya yang licin. Ini waktu istirahat yang paling ditunggu. Tauke itu sudah tak berhenti menenggak es limun yang dipesan dari pedagang depan tokonya.

Sebentar senyap, sebentar tegang. Bunyi musik mencekam itu pelan-pelan mendekati mereka.

"Mereka telah kembali, berapa banyak pengikut mereka," Guman Tauke.

"Tidak tahu bos." Jawab Kendit.

"Sekelompok badut telah memenggal nurani di sepanjang Jalan."

Jalanan tampak ramai, orang-orang bernyanyi-nyanyi seperti lelucon kesiangan. Orang tak lagi malu untuk menyemprot sana menyemprot sini. Tangannya mengacung-acungkan ke langit. Atau mungkin menantang langit. Seberapa pantaskah mereka.

Kendit menatap kerumunan para badut yang banyak tingkah. Nampak matanya membelalak, ia menubruk sebongkah wajah yang ia kenal saat masih mengeja huruf di bangku sekolah. Wajahnya tampak merah. Riasan badut tak menghalangi Kendit untuk mengenalinya. Atau memang betul wajahnya seperti itu, tanpa harus meminum darah, atau marus. Wajahnya tetap merah. Itu tak baik, bahkan di jauhkan sejauh-jauhnya. Haram.

Mungkin hanya riasan yang membuatnya tampak semerah saga, atau jiwanya telah karam oleh darah. Atau betul-betul menenggelamkan diri pada lautan merah, meski hanya semata kaki. Walau hidungnya tak mau berbohong, ia telah mencium bubuk mesiu seharian. Bersama dengan genangan merah, atau ia tak sengaja merias wajahnya, hingga tampak semerah darah.

Touke mengajak Kendit keluar. "Ini malam minggu kau harus menghirup udara segar," begitu katanya. Ia tentu punya alasan. Semua orang punya alasan. Kadang melakukan sesuatu juga tanpa alasan. Semua hal bisa terjadi. Meski banyak alasan akan mempertegas sebuah kesalahan.

Kendit memegang erat besi pegangan yang berada di bawah sadel. Udara malam mengelus rambutnya yang berombak. Touke mengayuh sepedanya di jalan raya yang dipenuhi lampion-lampion aneka warna. Orang-orang berpakaian bagus berjalan kaki menuju satu titik secara bersamaan.

"Kemana kita Bos."

"Pasar Malam, di sana tidak hanya kemeriahan yang akan kau temukan, tapi juga rindu yang bisa kau temukan."

Kendit tersenyum.

Sepeda Onta berhenti. Mereka berdua berjalan beriringan. Layaknya ayah dan anak.

Mereka sampai pada kedai yang ramai dipenuhi gelak tawa dan berdenting minuman yang ditenggak secara bersamaan. Cahaya Petromak menerangi kedai malam itu.

"Selamat datang, lama tidak berjumpa." Kata seorang pengunjung. Matanya tampak terpejam ketika ia tersenyum.

"Kau tampak gemuk sekarang." kata Touke.

"Berkat kau, aku bisa seperti ini."

"Jangan ungkit-ungkit terus, tak baik." Jawab Touke.

"Linda?" kata bapak bermata sabit itu. Ia melambaikan tangan pada pelayan kedai.

Seorang gadis berbaju merah datang menghampiri meja kami. Ia menghidangkan minuman dengan jari jemarinya yang tampak terawat. Bosnya sendiri sudah menenggak minuman sebelum berdiri di atas meja.

Gadis itu berdehem untuk mempersilahkan Kendit mengambil minumannya. Kendit menoleh kearahnya. Mata mereka saling berpandangan, dan Kendit tampak kikuk dibuatnya. Mata sipitnya telah membuat Kendit kalang kabut. Ia tetap berdiri di depan Kendit, dan tersenyum ke arahnya.

"Oh ya Linda, aku baru ingat kalau Kendit tidak minum," kata Touke.

"Maaf Paman, aku tidak tahu. Segera ku bawakan minuman yang lain."

"Anakmu rupanya sudah besar. Ia cantik seperti ibunya" Kata Touke.

Pria bermata sabit tertawa.

Selanjutnya yang Kendit dengar dari mereka berdua adalah bahasa yang seringkali digunakan oleh Touke. Sesekali mereka menatap Kendit dalam beberapa detik. Lalu mereka melanjutkan pembicaraan yang terputus-putus. Baru kali ini Kendit melihat sang Touke menghapus air mata beberapa kali. Termasuk bapak itu, kemudian mereka bersulang lagi dan suasana berganti dengan cepat.

Gadis yang dipanggil Linda oleh bapak itu muncul lagi dari dalam pintu yang gelap. Ada tirai yang tampak berkilaun dari pintu itu.

"Ini Kopinya," kata gadis itu.

"Terimakasih." Jawab Kendit.

"Rokok?" tanya gadis itu lagi.

"Maaf, itu juga tidak?"

"Hei Linda, bawakan saja semangkok bakso, pasti ia tak bisa menolak." kata Touke.

Pulang dari Pasar Malam, udara makin dingin. Kendit ganti mengayuh sepeda. Bosnya duduk dibelakang sambil terus bercerita. Sambil sesekali tertawa sedih. Kendit tak tahu harus menyimpulkan seperti apa. Karena Ia sedang menertibkan jantungnya sendiri, yang sedari tadi berdebar-debar. Seperti ada yang memompa secara sembunyi. Ia tak tahu kenapa berdenyut lebih kencang. Perasaan yang telah lama terkubur, kini kembali muncul.

Ia tak menggubris ocehan Kendit yang berbau formal itu. Ocehannya seperti kentut yang keluar buru-buru. Mengeluarkan aroma sebusuk mayat, yang telah dikebiri hak-haknya. Lalu terkubur sia-sia bersama bakat yang tak pernah ditemukan oleh pemandu bakat sehebat apapun.

Badut berwajah merah menenggak sari buah lontar dari gelas bambu hitam. Jakunnya naik turun. Nafasnya tertahan sejenak. Lalu ia menghembuskan nafas. "Ah..." terasa betul ia menikmatinya.

"Minuman ini bisa menjauhkan kamu dari impotensi, dan jumlah sperma kamu makin banyak, camkan itu baik-baik, kelak kalau sudah menikah, banyak-banyaklah minum legen," ucap badut berwajah merah.

"Kau tak mau Dit," tawarnya.

"Itu sudah lewat satu minggu guru, tak baik untuk kesehatan."

"Maaf, aku sudah lupa hari."

Badut berwajah merah tiba-tiba menatapnya tajam. Kendit menatap balik. Ditatapnya orang yang telah membangkitkan mimpi-mimpi besar, cita-cita, juga menceritkan kisah-kisah abadi. Seragam yang dulu ia pakai, berganti dengan pakaian sederhana. Tak lagi terselip pena di saku bajunya. Yang ada sekarang badut berwajah merah yang menggusarkan banyak pihak.

"Maaf," ucap Badut berwajah merah.

Kendit menghapus air mata yang turun tiba-tiba, menyeka dengan jempolnya. Mungkin terlalu lama beradu pandang dengan gurunya sendiri. Lelaki yang memilih jalan lain. Sebuah jalan terlalu terjal, tak biasa, dikecam, bahkan dituduh tak bertuhan.

"Kendit waktu istirahatmu sudah habis, nanti kau dicari Touke," ucap badut berwajah merah. Kendit tak mau menghindari gurunya, tak memilih jalan lain seperti buang muka ketika berpapasan di jalan, pasar, terminal, puskesmas, bahkan di sekolah.

Beberapa tahun kemdian badut berwajah merah menjelma raksasa yang ditakuti. Kepalanya besar, wajahnya tak presisi, kulitnya kasar, hidungnya besar, telinganya panjang, dan menimbulkan kegaduhan setiap ia jalan menelusuri lorong-lorong kelas.

"Bapak perlu istirahat sejenak," kata Kendit. “Orang-orang sudah mulia mendiktenya dengan suara-suara sumbang, menyakitkan, merendahkan dan berbagai gunjingan yang menohok,” tambah Kendit.

Badut berwajah merah hanya menoleh kearahnya.

"Tak usah," ucapnya. "Ketahuilah, kita tidak selalu baik di cerita orang lain, seperti penulis yang yang bermaksud mengucapkan JALAN, pembacanya menafsirkannya GURUN. aku tak bisa menghentikan semua lidah itu, tatapan itu, dan tentu saja ucapan itu." tambahnya.

Kendit tak menjawab sepatah kata. Ia sakit, tapi bukan badannya yang sakit. Nuraninya telah dipenuhi berbagai kilatan pedang dan sayatan sembilu. Ia menatap wajah yang dulu dirindukan, sederhana, tetapi menggema. Raksasa yang kalem, tuturnya menyentuh, dan jalannya tak membuat bising seisi ruang kelas. Kini badut berwajah merah menyusut, akalnya juga kesehatannya. Ia tampak kurus dan mengecil. Bahkan orang-orangnya mulai memakinya dengan Raksasa Kerdil.

"Kau tak perlu bersedih. Aku punya cara hidupku sendiri, kamu juga. Kita sama-sama hidup dengan cara masing-masing," ucap pria berwajah merah. Kendit menatapnya pilu. Ia harus menyaksikan orang yang dicintainya telah dikucilkan hingga makin mengecil. Rumah yang dirintis dengan segenap jiwa kini menolaknya, bahkan sampai bau tubuhnya.

Badut berwajah merah masuk kedalam gua, sebagai rumah baru yang tak pernah menolaknya. Ia tak peduli dengan keangkeran dan mistis. Hewan-hewan buas mungkin jadi teman setianya.

Kendit pulang. Kakinya kuat melangkah. Pikirannya melayang. Panas matahari yang menyengat, tak juga melepuhkan. Ia ingin merebahkan sejenak bersama segala yang keropos, tak bertulang, juga meluruskan prasangka-prasangaka.

Jumat, 24 Januari 2025

AYAH YANG DURHAKA KEPADA PUTRINYA

Selepas pulang mengaji Tina terkejut. Untuk beberapa saat ia hanya berdiri mematung di halaman rumahnya. Suasana rumah yang tak biasa membuatnya cemas dan gelisah. Apalagi ada mobil mewah dan selingan gelak tawa Bang Kobar, ayahnya sendiri.

Tina masuk ke rumah. Di ruang tamu ia lihat ada orang ‘asing’ yang sedang duduk berhadapan dengan Bang Kobar.

“Tin,” sapa Bang Kobar.

Tina berhenti. “Ya Ayah.”

“Beri salam pada calon suamimu,” ucap Bang Kobar enteng.

Tubuh Tina menegang, lutut gemetar. Ia seperti melihat malaikat maut. Al-Quran yang ia pegang hampir jatuh. Ia hanya mengangguk dan masuk kamar. Sejam kemudian, tamu itu pulang. Bang Kobar masuk kamar memasang wajah ceria. Banyak barang-barang yang ia bawa masuk. Satu persatu ia serahkan kepada Tina.

“Ini apa yah?"

“Jangan bodoh, semua barang-barang mahal ini adalah hadiah dari calon suamimu, Paman Tom. Ia akan melamarmu secepatnya,” Tukas Bang Kobar sambil membuka barang-barang satu persatu.

“Aku tak mau, kenapa ayah tak bicarakan dulu dengan Tina.”

“Anak dungu!, kau tak bisa menolak. Sekarang ayah jadi manusia bebas. Paman Tom yang melunasi semua hutang-hutang ayah. Camkan itu nak?” seringai Bang Kobar, sambil merobek pembungkus kado.

Tina memilin-milin bajunya sendiri. Ia merasa kebebasannya telah terjual mulai saat ini.

Sepekan kemudian Tina dilamar. Satu bulan kemudian berikutnya laki-laki itu menikahinya. Matanya selalu terpejam manakala tersenyum dan tertawa. Tina tak berani memandangnya. Ada luka yang pelan-pelan tumbuh di dadanya.

Malam hari Tina di boyong ke Ciputat. Perjalanan dari Bogor ia habiskan dengan melamun. Sebelum berangkat ia melihat ayahnya tertawa melepaskan kepergiannya dengan membawa koper besar yang terus menerus dipeluk. Bibirnya menjepit cerutu yang mengepulkan asap terus menerus.

Di kamar yang luas Tina duduk dipinggiran tempat tidur. Lantainya bagus, tidak seperti dirumahnya yang kasar dan kotor. Ia masih memakai gaun pengantin. Laki-laki asing itu masuk dan menatap Tina. Tina menunduk menatap lantai yang licin. Kedua tangannya memegang pundak Tina. Luka itu makin merekah dengan akar-akarnya menghujam kuat. Tetapi ia tak bisa mengelak. Matanya menutup kuat-kuat sejak lelaki itu mengangkat dagu Tina hingga lelah membuatnya tertidur.

Pukul 06.00 Tina terbangun.

“Allah, ampuni aku. Hamba terlambat solat subuh,” lirih ia berucap.

Selesai sholat ia melipat sajadah dan pergi ke ruang tamu, membuka gorden yang tebal dan mengaitkannya pada kayu apik.

“Tuan Tom keluar kota, ada pekerjaan di sana,” ucap seorang perempuan. Ia membawa secangkir teh dan meletakannya di atas meja. Tina menoleh dan mencoba tersenyum.

“Terimakasih tehnya.”

“Sama-sama Neng, kalau butuh bantuan. Bibi ada di belakang.”

Tina mengangguk. Dan ia tak ingin tahu nama Bibi barusan. Caranya menatap membuatnya teringat dengan Guru Matematika yang galak.

“Kau senang?” tanya tuan Tom pada Tina yang sekarang duduk di Taman Kota. Sebuah cincin berlian melingkar di jari manisnya.

“Tina mengangguk kecil, dan mencoba seramah mungkin. Melihat wajah Paman Tom yang tampak bersahabat membutanya tak lupa dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama.

Memasuki usia pernikahan yang yang kedua. Tina diberikan sebuah rumah mewah dan besar. Di garasi rumahnya terdapat dua mobil mewah. Satu mobil Eropa dan satu mobil lokal.

Tina mulai belajar mengendarai mobil. Kursus selama tiga bulan. Sementara Paman Tom mulai jarang di rumah. Pekerjaanya sebagai pengusaha ‘impor ekspor’ membuatnya sering ke luar negeri.

“Kau sudah bisa mengendarai mobil Tin?” tanya Tuan di pagi hari ketika mereka sarapan. Aneka macam hidangan tersedia. Sang Bibi selalu menolak setiap mereka makan bersama. Ia membawa satu piring makanan dan menyantapnya di kamar sambil menonton sinetron.

“Pekan ini aku akan coba bawa mobil sendiri,” ucapnya kikuk.

“Bagus, oh ya selama empat pekan aku akan pulang kampung, ibuku sedang sakit,” ujar Paman Tom. “Semoga Ibumu cepat sembuh,” tutur Tina.

Paman Tom di sambut di ruang tamu. Di sana sudah hadir keluarga besar. Anak-anaknya yang kuliah di Amerika juga ikut bergabung. Hatinya tiba-tiba menciut. Pendingin ruangan yang besar itu tak mempan mengusir gerah yang tiba-tiba menyergapnya.

“Sudah satu tahun kau meninggalkan rumah ini, apa yang kau lakukan di Indonesia,” tanya seorang perempuan dengan dialek korea selatan yang medok. “Berbisnis,” ucap Paman Tom.

“Sekarang kamu pandai berbohong!, Cepat tinggalkan Indonesia dan perempuan desa itu. Kalau tidak aku akan gugat cerai kau!, dan semua kerjasama akan di atur ulang. Semua keluargamu dan juga dirimu tak akan mendapatkan apa-apa. Dan kalian akan kembali tidur di emperen toko!” teriak perempuan itu. Sementara kedua anaknya menatapnya jijik.

“Baik,” ucapnya parau.

“Dasar lelaki tak tahu di untung!” teriaknya kembali. Ia meninggalkan ruang tamu. Anggota keluarga yang lain ikut bubar. Seorang laki-laki berjalan tertatih-tatih menggunakan tongkat mendekatinya.

“Tinggalkan dia,” ucapnya. Tangan kanannya yang keriput mencengkram kuat bahu Paman Tom. Ia pun meringis kesakitan. Ia buru-buru mengangguk. “Baik Ayah.” Jawab Paman Tom.

Tina pulang ke Bogor mengendarai mobil Eropa. Sampai di rumah ia disambut meriah. Soudara-soudaranya memperlakukan layaknya raja. Ia mencari-cari ayahnya. Tak ada di rumah.

“Kemana ayah.”

“Biasa di ‘kebon’, jawab salah seorang soudara ayahnya.

Tina meluncur ke ‘kebon’. Maksudnya tempat judi. Sampai disana suasana sepi. Ia menemukan ayahnya yang tertidur pulas. Tina membangunkannya. Ayahnya tertawa melihat putrinya pulang.

“Hebat sekali kau nak?” puji sang Bang Kobar. Sementara gelak tawanya tidak berhenti sampai di depan Mushola. Tempat yang penuh kenangan. Ia keluar dari mobil dan sholat magrib. Bang Kobar menolak untuk turun.

Ketika keluar dari Mushola ia berjumpa dengan salah seorang sahabatanya. Hatinya yang gembira berubah sedih. Kata-kata dari sahabatnya mengandung bawang.

“Dasar perek!” ucapnya kasar. Senyum Tina hilang berganti rasa sakit. Air matanya tiba-tiba saja jatuh.

Satu pagi ayah dan saudara-saudaranya mampir ke rumah. Mereka mengambil apa saja yang menarik baginya. Guci, Karpet Turki, sampai pembersih WC pun mereka ambil. Tina pun tak bisa berbuat apa-apa. Mereka berdalih apa saja. Ayah pun mengamininya.

“Kasihan, mereka sedang terlilit hutang, bantu mereka ya,” pinta sang ayah.

Tina mengangguk. Air matanya sulit terbendung. Begitu selesai dengan hajatnya, saudara-saudaranya pergi begitu saja. Hatinya tiba-tiba sangat kacau, pikirannya melanglang buana, dan Paman Tom, suaminya makin sulit dihubungi.

Tina menangis sendiri. Ruang tamu sangat sepi. Bibi pulang kampung melayat suaminya yang meninggal. Ia tertidur di atas sofa dan terbangun mendapati dirinya sudah di kepung saudara-saudara dari Bang Kobar. Mereka memasang wajah melas. Sementara Bang Kobar duduk mengangkat kaki di salah satu kursi yang biasa Paman Tom duduki.

“Ayah pinjam surat-surat rumah dan mobilmu ya.”

“ Untuk apa.”

“Pinjam duit ke bank, buat usaha ayah dan usaha saudara-saudaramu.”

“Tapi, aku harus izin sama suami dulu yah.”

“Tak perlu karena hari ini kawin kontrakmu sudah habis, dan nanti ayah akan bangunkan rumah yang lebih mewah dari rumah yang kamu tinggali.” Sorot mata Tina tiba-tiba berubah seperti mata beruang yang kena jebakan. Ia pun meninggalkan ruang tamu menuju ke kamarnya. Terdengar teriakan dan lolongan tangis yang menyayat. Bang Kobar tersentak, tetapi saudara-saudaranya cepat-cepat bereaksi agar kelicikan mereka tak tergagalkan oleh nurani yang tiba-tiba hadir pada benak Bang Kobar.

Mereka pergi meninggalkan rumah Tina yang mewah dan megah. Hampir seluruh perabotannya lenyap oleh tangan-tangan rakus saudara-saudara Bang Kobar. Mereka semua gila judi.

Di sebuah rumah judi yang ramai. Mereka bertaruh dengan sertifikat rumah dan mobil milik Tina. Sementara Bang Kobar sibuk menenggak bir sambil mengacungkan uang bergepok-gepok di atas meja judi.

Kali ini mereka menang. Semua uang hasil judi mereka bawa kabur. Sementara Bang Kobar terkapar di meja judi dengan nyaris telanjang. Uang bergepok-gepok itu lenyap oleh kelicikan sang bandar.

Tina mengurung diri. Wajahnya kuyu. Sementara perutnya mulai membesar. Dan ia kelihatan linglung.

Bang Kobar terbangun sendiri oleh tangisan Tina. Di dapatinya ia sedang duduk di atas amben di tengah ‘kebon’. “Ayah menjualku pada orang kota, ayah kejam!” teriak Tina sambil tergugu.

“Tidak, ayah ‘menikahkanmu’ pada orang kota, itu yang betul.” Pungkas ayah.

“Ini buktinya!” ucapnya. Nada perkatannya makin tinggi. Ayah yang masih pengar ingin membantah dan menutupi semua kejahatannya. Tetapi secarik surat lengkap dengan tangannya membuatnya terpaku. Dan ia membaca pada bagian yang paling menyengat kesadarannya.

“Sekarang ayah mau mengelak!” cecar Tina.

“Maafkan aku nak?”

Tina pergi dari ‘kebon’. Di ujung jalan sebuah mobil berhenti. Paman Tom keluar dari mobil itu. Tina langsung berlari ke arahnya. Ia ingin memeluknya.

“Kenapa kau jual rumah dan mobilmu!” Dasar pelacur bodoh!” umpat Paman Tom dan menghujani kedua pipi Tina dengan tamparan serta beberapa pukulan.

“Hentikan!, teriak Bang Kobar yang muncul dari balik pepohonan.

“Anak dan ayah sama saja. Sama-sama goblok!” hardik Paman Tom.

“Pergi! Pergi! teriak Bang Kobar.

Paman Tom tertawa lebar.

Paman Tom masuk masuk mobil dan melaju. Tina berdiri kaku dan rahangnya mengatup. Ia diam tak mengeluarkan sepatah kata. Ada darah yang keluar dari sudut bibirnya. Bang Kobar mengajak Tina pulang ke rumah dan menyuruhnya istirahata di kamar, tempat ia dilahirkan.

Ia meninggalkan Tina sendiri yang tertidur. Lalu berlari ke arah ‘kebon’. Mencari pohon kopi yang pernah di tandainya dengan getah karet. Ia menggali tanah di sekitar akar pohon tersebut. Ia berhenti mengambil tanah ketika tangannya menyentuh kotak yang terbungkus plastik.

Satu kotak perhiasan milik mendiang istrinya masih utuh. Ia ingin memberikan perhiasan itu untuk Tina sesuai sesuai wasiat terakhirnya. Senyum culas tiba-tiba hadir. Bang Kobar mengeluarkan kotak kecil dari dalam sakunya. Ia memasukan tiga buah kalung dan tiga cincin. “ini cukup untukmu nak.” Tukasnya sambil menyeringai. Sisanya, gelang jumlah yang banyak, siap-siap ia bawa ke ‘kebon’.

Rabu, 22 Januari 2025

Serangan Lebah Madu

Sore tadi Anto disengat oleh beberapa ekor lebah di bagian tangannya, sepulang bermain. Membuat Ibunya panik dan Ayahnya bingung, baru kali ini lebah-lebah peliharaannya berubah pemarah. Lelaki berhidung besar itu menghampiri Anto yang tengah duduk merintih di atas bale-bale rumah.

“Kamu kok bisa disengat lebah, kamu ganggu mereka ya?”

“Nggak Yah, cuma aku lempari rumah madu itu beberapa kali dengan batu?”

Ayahnya menggeleng, menghela nafas.

“Itu namanya mengganggu, kalau kamu tak ganggu pasti lebah-lebah tak akan menyengatmu?”

Beberapa hari berikutnya.

Ia menoleh ke arah kanan dan kiri, memastikan sekali lagi. Tak ada orangtuanya yang mengawasi. Perlahan-lahan ia berjalan menuju rumah madu. Tangan kanannya memegang sebilah bambu panjang. Langkahnya ia buat sepelan mungkin. Ia kini berjarak hanya satu meter dengan rumah madu. Suara dengungan makin terdengar. Ratusan ekor lebah lain sedang berkumpul diatas madu, bersama seekor Ratu Lebah yang cantik.

Anto menoleh kebelakang sekali lagi. “Aman...” ucapnya lirih. Ia tersenyum, tepatnya menyeringai. Tiba-tiba ia melangkah lebih cepat dua sampai tiga gerakan. Dan bilah bambu yang ia bawa tiba-tiba melayang, menusuk, memukul bertubi-tubi, merusak, dan menghancurkan rumah madu dalam waktu singkat.

“Rasakan pembalasanku!, dasar lebah-lebah madu bodoh!” pekiknya. Situasi mulai membahayakan, tetapi Anto tak berhenti mengayunkan bilah bambu untuk lampiaskan dendamnya tempo hari.

Bilah bambunya terjatuh. Ketika tiga ekor lebah madu menghujamkan pantat runcingnya ke atas tangannya.

“Aduh!” Anto berlari, sambil menyingkirkan lebah-lebah yang melesat cepat, menempel, lalu menyengat bergantian.

“Tolong...!” teriak Anto. Lebah yang tadi hanya puluhan kini berjumlah ratusan. Lebah-lebah yang ada di rumah madu, keluar semua. Semuanya dalam mode menyerang. Dengungan yang terus bersliweran membuat Anto kehilangan fokus, lebah-lebah itu mulai menyerang wajahnya.

“Tolong...!” pekik Anto. Tanganya sibuk mengusir lebah-lebah yang semakin galak menyengat kedua telinga, menusuk kepalanya masuk melalui rambut-rambutnya, juga paha dan kaki.

Ratusan lebah itu terus mengerumuni tubuh Anto yang sedang berguling-guling di atas tanah. Menghindari sengatan lebah yang makin liar dan ganas. Beberapa saat kemudian, tubuh Anto tak bergerak dan lebah-lebah tak berhenti menyerang.

“Ayah!, tolong Anto Yah, dia di sengat lebah!” teriak Istrinya. Teriakannya seperti auman Singa jantan yang lapar. Ibunya menemukan Anto, ketika ia baru saja keluar dari kamar mandi di belakang rumah.

Ayahnya yang sedang mengupas buah kelapa di kebun dekat rumah pun berhenti. Ia mengenali teriakan itu. Ia pun bergegas berlari menuju rumah. Sampai di lokasi, cepat-cepat ia melepas baju untuk dijadikan kipas, menghalau ratusan ekor lebah yang makin tak terkendali. Nafasnya terengah-engah. Rahangnya mengatup keras.

“Cepat tolong Anto Yah!” Pekik Ibunya.

Ia mengangkat tubuh Anto yang terkulai lemas dan membopongnya. Ia berlari sepanjang jalan setapak yang dipenuhi semak-semak yang rebah. Menuju Puskesmas yang ada di dekat lapangan bola.

“Tolong anak saya, ia di sengat oleh lebah, sekarang dia pingsan,” pintanya pada perawat yang sedang berjaga.

Satu pekan kemudian.

“Ingat Nak?, jangan pernah lagi ganggu rumah madu itu, tak aman buatmu?” saran ayahnya sebelum ia pergi ke kebun untuk mengambil buah-buah kelapa. Anto mengangguk.

“Ya ayah,” ucap Anto lirih. Pada sekitar bola matanya masih menyisakan bengkak. Juga beberapa bagian tubuh lainnya, seperti pipi, tangan, tengkuk, dan kakinya.

Anto melihat punggung ayahnya sampai hilang diantara pohon pisang. Ia berjalan ke arah rumah madu. Tak ada lebah-lebah yang berterbangan. Rumah madu itu sebagiannya terlihat hitam. Ada ratusan ekor lebah yang mati berserakan di bawah rumah madu. Anto balik badan dan berlari mencari ibunya.

“Bu!, rumah madu kok kosong dan lebah-lebahnya pada mati!” seru Anto pada ibunya yang sedang memetik daun singkong.

“Ayahmu yang membakar, dia begitu marah pada lebah-lebah itu, menyerangmu hingga pingsan,” jawab Ibunya.

Anto terdiam dan duduk di bale-bale rumah.

“Anto yang salah Bu?, lebah-lebah itu tak bersalah,” ucapnya pelan. Ibunya mendengar dan duduk di sampingnya.

“Ada rumah madu yang baru dibuat oleh ayahmu,” tutur Ibunya.

“Dimana Bu!” ucap Anto semangat.

“Ibu mohon jaga sikapmu, agar lebah-lebah itu tak lagi marah, kasihan ayahmu, ia tak bisa jual madu pekan ini kepasar,” kata Ibunya.

“Iya..., tapi dimana sarangnya,”

“Di pohon Nangka, ingat jangan ganggu lebah-lebah itu lagi?” pinta Ibunya.

Anto tertegun memandangi rumah madu yang baru. Terikat kuat diantara batang pohon Nangka. Sepi, tak ada dengungan lebah. Ia nampak lesu dan memutuskan pulang. Tak diduga kedua matanya tiba-tiba keluar air mata.