Minggu, 14 April 2019

Pertempuran

BAB
Empat Puluh Delapan
Lanjutan

Aku dan Nara berpandangan senang. Kami berdua bersyukur dapat melalui semua ini dengan selamat. Kami berpelukan layaknya ABG ketika baru nikah.

Tak lama kemudian sebagian pasukan elit turun kebawah. Memeriksa keadaan. Dalam hitungan jam, para aparat kepolisian begitu terpukul dan kaget. Khususnya Polisi yang tak percaya kalau di dalam kastil bawah tanah ada penyimpanan narkoba dalam jumlah fantastis. Mereka shock di tempat yang seharusnya menjadi benteng perbaikan mental malah menjadi sarang nomor wahid penghacuran moral dan peradaban.

Polisi Saryo dan para prajurit elit menyalami kami berdua. Ada raut simpati yang mereka tunjukan kepada kami berdua. Mereka mengucapkan banyak terimkasih. Aku dan Nara naik ketas dengan tangga darurat yang di sediakan. Sampai diatas aku dan Nara kagum pada bangunan ini. Selain padang safanan yang maha indah, di kota kecil seperti ini ada kastil yang maha indah tetapi beraura menyeramkan.

Polisi Saryo sudah mendekat kepada kami berdua. Ia tersenyum kerja kerasnya menghasil temuan yang heboh. Ia menyalami kami berdua sekali lagi. Kali ini genggamannya lebih erat.

Pertempuran

BAB
Empat Puluh Delapan
Lanjutan

Aku mengusap-usap lubang kotak itu, tetapi tidak ada respon. Aku kehilangan ide. Ku lihat Nara yang sedang meneliti di temani dengan Polisi Saryo dan Seorang Sniper.

“ Na, coba kau kesini sebentar. Ada sesutu di sini.” Nara menghampiriku di susul dengan Polisi Saryo dan Seorang Sniper. Sebagian pasukan yang ikut berjaga-jaga di belakang.

“ Aku menemukan lubang kotak ini, Na!.” Aku berteriak senang.

Ku lihat Nara diam sesaat. Wajahnya yang ikut terkena bias cahaya senter menyiratkan kalau ia sedang berpikir. Mimik dan gerak-geriknya kini memang berbeda setelah keluar dari penjara, sebenarnya apa yang dilakukan selama di penjara sana.

Nara kelihatan ingin menyerah. Sejenak ia seperti teringat sesuatu. Buru-buru ia mengeluarkan kotak itu dari tas cangklongnya yang di beri dari Polisi saryo. Nara mengamati kotak tersebut dengan cermat.

“ Apa yang akan kau lakukan dengan kotak itu.” Tanyaku penasaran.

“ Entahlah, sepertinya aku...”. Tiba-tiba Nara semangat.

“ Betapa bodohnya aku.” Nara memukul jidatnya sendiri.

“ Kau menemukan sesuatu.” Tanya Polisi Saryo, diikuti Seorang Sniper.

“ Sepertinya iya.” Nara kemudian mengambil kotak tersebut dan menempelkan bagian bawahnya ke lubang yang ada di dinding tersebut.

“ Lihat kotak ini pas sekali dengan lubang persegi empat ini.” Nara begitu senang. Tetapi kemudian tak terjadi apa-apa. Kotak itu menyisakan sebagian dan menonjol ke luar.

Jumat, 12 April 2019

Hari Yang Aneh

BAB
Empat Puluh Delapan
Lanjutan


Polisi Saryo hendak merangkak menuju ke titik persembunyian Sniper. Desingan peluru terus berseliweran di atas kami. Dalam waktu yang singkat Polisi Saryo sudah sampai di belakang Sniper. Tembakan perlindungan mulai di letuskan.

“ Marko kau merangkak ke Nara. Dia butuh perlindunganmu!.” Perintah Polisi Saryo.

“ Baik!.”

Sekuat tenaga ku merangkak ke arah Nara. Jaraknya memang dekat, tetapi di bawah desingan peluru jarak sedekat itu terasa jauh. Ku lihat Nara merundukkan kepala lebih dalam, manakala sebuah rentetan peluru berdesingan di atas kepala. Gundukan tanah ini benar-benar pertahanan yang bagus. Sampai di sana ku tepuk bahu Nara. Tidak ku jumpai wajah tegang seperti ku lihat ketika di kejar oleh laki-laki bertopeng sepulang dari pasar. Mungkin dia merasa sudah lebih siap, Ia tersenyum melihat kedatanganku.

“ Apa kabar Mas!.” Teriak Nara sambil tersenyum.

“ Baik.” Aku menggelengkan kepala, melihat Nara. Dalam situsai begini ia masih bisa bercanda. Mungkin tekanan di penjara selama 4 tahun membuatnya semakin terbiasa dengan situasi mencekam seperti ini.

“ Mas bisa merobohkan dua orang yang sedang menembaki kita itu!.” Tantang Nara.

“ Tidak tahu, kita coba saja!.”

Hari Yang Aneh

BAB
Empat Puluh Delapan


Menjelang Fajar. Mesin pick Up di matikan. Kami turun dari mobil tua itu. Polisi Saryo meneropong keadaan sekitar. Alat canggih itu bisa melihat di kegelapan. Sesaat alisnya mengkerut. Dari penjelasannya kalau Pasukan elit yang di tempatkan sebelumnya untuk menjaga kastil dari serangan musuh kini terkapar di beberapa titik. Kemungkinan besar mereka adalah anak buah Polisi Marno. Rupanya seorang sniper yang datang jauh-jauh dari Jayapura sudah menembak mereka semua. Syukurlah Polisi Saryo tidak lewat jalan utama, dia memotong jalan lewat bukit-bukit rahasia. Aku merasakan kalau aku akan melewati sebuah pagi yang berbahaya bersama Nara.

“Kalian harus berhati-hati. Dan maafkan saya sudah melibatkan urusan negara ini pada kalian. Kastil ini kembali di jaga ketat, mereka belum kapok temannya terkapar peluru. Kalian harus hati-hati.”

Aku mengangguk bersama dengan Nara.

“Bukan waktunya untuk minta maaf, lebaran masih jauh. Inilah takdir kami yang kini sedang ku hadapi.”

Polisi Saryo tersenyum. Polisi Saryo yang kini sudah naik pangkat. Lebih menyukai dengan panggilan Polisi Saryo, tak masalah menurutku itu lebih membumi.

Minggu, 07 April 2019

Datang dan Pergi

BAB
Empat Puluh Tujuh


Semua manusia yang menghuni mayapada ini tidak bisa terlepas dari himpitan masalah. Masalah kecil sampai yang besar begitu mudahnya hinggap pada kehidupan manusia. Kepergiannya juga tak bisa di pertahankan barang 1 menit saja. Masalah hidup seakan menguap bila sudah terpecahkan. Maka sungguh benar kesulitan itu akan tergantikan dengan kemudahan yang datang begitu cepat.

Cobaan itu datang kembali. Aku dan Nara di jemput pagi buta oleh sekelompok pasukan yang bersenjata lengkap. Mereka adalah anak buah Polisi Saryo. Tak ku dengar Mobil Pick Up yang biasa di gunakan mereka ketika menjemputku dan Nara di rumah. Setelah berpamitan dengan Ibu Mertua dan titip Qaiser. Aku dan Nara bergegas mengikuti langkah mereka yang tidak terdengar. Satu sisi tentara bisa jadi monster pembunuh bila salah langkah dan salah komando. Di sisi lain bisa menjadi pahlawan kebajikan seperti yang ku lihat pada gerak langkahnya. Aku bisa menyimpulkan ketika penyerbuan ke ruang bawah tanah. Sampai di pinggir jalan raya, mobil pick sudah menunggu, tepat di bawah pohon Jambu Monyet yang rindang berdekatan dengan Gardu Pos.

PUTU WIJAYA

Bagian 2


Namun hanya pengarang yang sudah mahir dengan realisme belaka mampu melakukan akrobatika semacam itu. Demikianlah Putu Wijaya. Novelnya Bila Malam Bertambah Malam (yang ditulisnya pada usia 19 tahun, namun baru terbit 1971, dan kelak dijadikannya pula naskah drama) adalah kisah tentang keluarga bangsawan Bali dengan alur yang lurus dan penokohan yang kokoh serta latar belakang yang gamblang. Ketegangan yang terbina dengan baik sepanjang kisah menyembunyikan solusi tak terduga di bagian akhir. Adapun Pabrik (ditulis 1967, terbit 1975) adalah realisme dengan sturuktur yang longgar, dan kelonggaran inilah yang membuat semua peserta konflik menampilkan diri bergantian dengan kejutan masing-masing. Seperti mengejek sikap berpihak yang biasa diamalkan kaum sastrawan kita, Putu mengungkai sisi gelap kaum buruh seraya menelanjangi kaum majikan. Dengan gaya pencitraan yang patah-patah, staccato, justru berhasil menjaga kelancaran cerita.

Naskah drama Putu Wijaya, yang mendasari pentas teaternya, bersitumpu pada situasi dramatik murni, di mana bahasa selalu tak memadai sebagai alat percakapan. Seakan terbangun oleh Improvisasi, naskah drama Putu adalah tarik-menarik antara lisan dan tulisan. Kalimat-kalimat tak berujung pangkal dalam Dag-Dig-Dug (1974) adalah tanda kepikunan suami istri berusia lanjut dengan segenap kesulitan mereka berkomunikasi dengan sekeliling maupun riwayat mereka sendiri. Tokoh-tokoh dalam Aduh (1973) yang hanya disebut "salah seorang", "salah satu" atau "entah siapa" juga menguar tanpa tujuan, hanya supaya peristiwa terselenggara di pentas. Anu (1974) mempermainkan tokoh-tokohnya sendiri, yang pada dasarnya tak mampu menyatakan diri, dengan kata "anu" di sepanjang naskah untuk menyampaikan apa yang terungkapkan. Adapun Edan (1976) adalah penghadap-hadapan dua kelompok yang tak tahu apa yang sesungguhnya mereka kerjakan.

Sumber: Penghargaan Achmad Bakrie 2007

Pak Tua Penjaga Bengkel

BAB
Empat Puluh Enam
Lanjutan


Aku tak bisa berpikir lama-lama karena Nara sudah dalam keadaan yang membahayakan. Dia terpojok di antara lumpur-lumpur sawah. Aku berlari kearahnya dan menerkam tubuh orang itu kuat-kuat. Keberanianku muncul bila sudah terpojok begini. Ku tonjok mukanya, tetapi ia tidak bergeming, mungkin pukulanku terlalu lemah atau dianya yang sudah terlatih. Ia malah mencengkram leherku kuat-kuat, aku tak berkutik, nafasku sesak. Sorot matanya merah bernafsu ingin membunuhku. Ku lihat Tato yang sama bergambar burung Rajawali yang pernah ku lihat ketika berkelahi dengan salah seorang maling. Mungkinkan orang yang sama. Dalam sesak nafas yang berat ku lihat orang yang satunya lagi sudah kembali berdiri. Ku lirik Nara sibuk mencari-cari sesuatu. Apa yang sedang ia lakukan.

Pandanganku mulai berkunang-kunang. Tiba-tiba dengan cepat tangan kanan Nara menghantan kepala orang yang sedang mencengkram leherku dengan batu di tangan kanannya, darah segar meluncur dari keningnya. Cengkaramnya mulai lunak dan aku membebaskan diri dari tangan kekarnya. Orang itu ingin bangkit kembali, tetapi Nara sudah menendang orang itu kebelakang. Syukurlah Nara masih waras tak menghantam kembali dengan batu di tangannya. Temannya kaget melihatnya tersungkur kebelakang. Ia terkapar, sementara darah mengucur dari keningnya. Nafasnya tersengak-sengal. Ia tak lagi memegang pentungan. Mungkin terlempar dan hanyut di sungai kecil.

Pak Tua Penjaga Bengkel

BAB
Empat Puluh Enam

Bengkel sepeda tampak sepi. Aku ngeri melihat tampang penjaga yang pernah menyembelih kucing itu ketika ku pulang kerja. Aku memperhatikan ban depan, aku senang tidak kurang angin. Hujan atau tidak aku selalu membawa payung. Aku tidak ingin melihat istriku Nara basah kuyup.

Seorang penjaga menjajari laju sepeda, wajahnya tampak tegang.

“Mas Marko bisa kau kayuh sepeda lebih cepat lagi!.” Seorang penjaga memberi intruksi.”

“ Ada apa Pak!.” Aku cemas.

“ Lihat di belakangmu!.”

Aku dan Nara menengok kebelakang 3 detik. Gerombolan orang berjumlah 6 orang tengah membuntuti kami. Mereka semua bertopeng. Jaraknya masih 15 meter. Mereka membawa pentungan yang terselip punggung lewat kaos dalamnya. Ku kayuh sepeda secepat-cepatnya melewati jembatan kali klawing. Aku beradu cepat dengan mereka, aku heran kemana Para Polisi yang biasa jaga di perampatan. Toko-toko rata sepi tak di buka. Skenario apalagi yang akan kuhadapi. Hal mengerikan apalagi yang harus aku dan Nara hadapi.

Jumat, 05 April 2019

Sang Penjaga

BAB
Empat Puluh Lima


Sejak ayam jantan berkokok, aku dan Nara sudah bangun pagi buta. Menggelar sajadah untuk sujud panjang-panjang. Agar awal pagi bisa di lalui dengan lancar. Mungkin para anak buah penjaga kastil yang pernah melihat Alm. Anis berkomunikasi dengan Nara bisa menyebabkan Nara celaka. Atau setidaknya ada gejala kearah sana, begitulah kesimpulan awal yang berani ku terka-terka.

Selesai Sholat Shubuh, aku biasa mengantarkan Nara berdagang dengan sepeda Onta. Keluar dari gang rumah, orang-orang yang dikirim oleh Polisi Saryo sudah tiba di desa Kaligondang. Aku tahu ketika Nara membisikkan ke telingaku tentang orang-orang misterius itu. Nara hafal betul satu-persatu penduduk Desa Kaligondang. Kalaupun tak hafal nama, dia akan mengenali wajahnya.

Sepanjang perjalanan menuju kepasar. Dua orang bersepeda mengikuti kami berdua. Sepedanya terlalu bagus untuk ukuran seorang petani. Aku dan Nara memutuskan untuk bicara dengan mereka. Rupanya Polisi Saryo benar-benar melakukan apa yang di ucapkan.

Kamis, 04 April 2019

Svetlana Alexievich

“ Ini cara saya melihat dunia, melalui suara –suara individual yang berbunya secara bersamaan,” katanya.

Di dalam wawancara dengan Dalkey Archive Press, Alexievich mengungkapkan bisa menghabiskan tiga hingga sepuluh tahun untuk melakukan penelitian sebelum menulis novel. Keahlian sebagai wartawan amat berguna untuk mewancara dan malakukan investigasi sebagai bahan tulisan.

Pada 1983, ia menamatkan novel pertamanya berjudul The Unwomanly Face Of War. Novel itu mengupas kisah satu perempuan Soviet yang terlibat langsung dalam perang dunia II. Meraka berusia 15 hingga 30 tahun dan tidak gentar berada di garis depan peperangan sebagai serdadu, pengemudi tank, bahkan pilot pesawat tempur. Akan tetapi, jasa-jasa para perempuan itu dilupakan begitu perang usai.

“ Kaum laki-laki seenaknya mengubur pengorbanan yang telah dilakukan para perempuan ini,” ujar Alexievich.

Menurut Alexievich, seusai perang, hidup para perempuan itu semakin rumit. Di masa damai, para perempuan harus merahasiakan keterlibatan mereka dalam peperangan agar para lelaki mau menikahi mereka. Ketidakadilan penulisan sejaran inilah yang membuat Alexievich terdorong untuk menceritakan kembali sejarah dari mulut orang-orang yang mengalaminya.

TAK DISUKAI 

Masyarakat Soviet tidak menyukainya. Alexievich dianggap memutarbalikkan fakta dengan menulis bahwa keberhasilan Soviet di Perang Dunia II adalah akibat kontribusi perempuan. Ia dinilai sebagai penulis disiden (yang tidak sepakat dengan pendapat seseorang atau kelompok) dan penentang ideology komuisme.

Anggapan ini tidak membuat Alexievich ketar-ketir dan tetap aktif menulis. Pada 1991, The Boys of Zinc terbit dengan premis pertikaian Timur dan Barat untuk suatu hal yang sia-sia. Judul tersebut diambil dari peti jenazah seng yang membawa pulang jenazah para serdadu muda yang tewas di pertempuran itu.

Presiden Alexander Lukashenko naik pita dan menuduh Alexievich menghina ideology komunis dan militer Soviet. Hidup Alexievich pun mulai diwarnai tuntutan hokum dari pemerintah Belarus. Dua buku menyusul terbit pada 1993 dan 1997,yaitu Enchanted With Dead tentang orang-orang yang bunuh diri akibat runtuhnya Soviet,dan Voice From Chernobyl yang menyuarakan derita para korban bencana ledakan nuklir.

Sejak saat itu, Alexievich dianggap sebagai musuh pemerintah. Kehidupan pribadinya disadap dan diikuti para agen. Ia juga dilarang tampil di acara-acara public. Tahun 2000, International Cities Of Refuge Network menawarkan suaka politik kepada Alexievich sehingga ia pindah ke Paris, Prancis.

Setelah itu, ia berpindah-pindah ke Jerman dan Swedia. Beasiswa penulis menjadi penunjang hidupnya. Pada 2011 meskipun masih ada tekanan dari rezim pemerintahan baru, Alexievich kembali ke Belarus dan terus menulis. Novel terbarunya, Second-hand Time, terbit pada 2013.

Kegigihannya bertahun-tahun untuk menyuarkan mereka yang terbungkam suaranya mengantarkannya pada Nobel Sastra 2015.

“Ini cara saya melihat dunia, melalui suara-suara individual yang berbunyi bersamaan.”

• Karya:
o The Unwomanly Face Of War (1985)
o The Last Witnesses (1985)
o The Boys Of Zinc (1991)
o Enchanted With Death (1994)
o Voices from Chernobyl (1997)
• Penghargaan:
o Nobel Sastra (2015)
o Prix Medicis Essai (2013)
o Peace Prize of The German Book Trade (2013)
o Ryszard kapuciski Award for Litarary Reportage (2011)
o Oxfam Novib/PEN Awar (2007)
o National Book Critic Circle Award (2005)
o HerderPrize (1999)
o Friedrich-Ebert-Stiftung-Preis (1998)
o Leipziger Book Prize on European Understanding (1998)
o Andrei Snyavasky (1997)
o Tuchholsky-Preis (1996)

Penulis: Laraswati Ariadne Anwar
Sumber : Kompas, selasa, 13 Oktober 2015

Selasa, 02 April 2019

NARA: Menemui Polisi Saryo

BAB
Empat Puluh Empat
Lanjutan

Aku menghirup nafas setengah dalam.

“ Langsung saja Pak Saryo, waktu peristiwa penyergapan dulu ada seorang gadis yang bersama Nara, bapak masih ingat.”

Polisi Saryo terdiam sejenak.

“ Oh yang selalu berada di belakang Nara itu, aku ingat sekarang. Kalau tidak salah namanya Alm. Anis kan.”

“ Iya betul Pak?"

“ Terus.”

“ Ketika Anis tertembak, dalam sakaratul mautnya ia memberikan sebuah kertas. Dalam kertas tersebut Anis menceritakan sebuah penemuan yang...” Nara tak meneruskan ceritanya.”