Kamis, 30 Mei 2019

PUTU WIJAYA

Bagian Kelima


Putu Wijaya dalam mengerjakan bidangnya lebih rileks dibanding para sastrawan lain. Bila kaum sastrawan berhasrat memurnikan bahasa, dan bila kaum panulis populer hendak memanjakan publik, maka Putu memadukan, juga memparodikan, peran keduanya. Ia mengangkut bahasa jalanan dan segenap derau ke ranah sastra, ia melakukan apa yang disebutnya teror mental kepada publik. Mengarang, bagi penulis yang terlahir dengan nama I Gusti Ngurah Bagus Putu Wijaya ini, adalah melazimkan bahasa bergerak sendiri. Dan gerakan yang bisa seenaknya ini hanya pada tahap tertentu belaka meminta campur tangan si pengarang. (Maka dari tangan Putu lahirlah makna baru sejumlah kata kerja seperti "membetot", "menggebrak", "berkibar", bahkan kata baru seperti "dangdut". ) Ia membiarkan ceritanya terbuka, seakan mengelak dari tata atau struktur, seakan mengalir dan tanpa akhir, agar khalayak mampu menyempurnakan bagaikan milik sendiri.

Dengan kejengahan akan realisme ia telah memperbaharui khazanah sastra Indonesia pada 1970-an dengan sejumlah novel dan naskan sandiwara non-linier, lalu dengan sikap main-main yang radikal ia menjadi pendongeng pascamodern. Fiksi Putu yang anti-struktur-tepatnya, meluruhkan sendiri struktur yang perlahan dibangunnya-adalah perbantahan dengan sikap totaliter atau perayaan akan keagamaan. Barangkali tanpa kiprah Putu, sastra kita tetaplah sastra yang mengerutkan dahi, atau sastra yang melakukan pembaharuan untuk disiplinnya sendiri. Ia telah membuka jalan bagi para sastrawan yang kemudian untuk bersikap terbuka akan berbagai jenis yang selama ini terabaikan oleh seni tinggi. Demikianlah Penghargaan Achmad Bakrie 2007 bidang kesusastraan ini diberikan kepada Putu Wijaya.

0 Comments:

Posting Komentar