Rabu, 09 April 2025

"Ayah Nggak Kaya! Ayah Miskin!"

BABAK 31
Ramai lapangan komplek suatu perumahan. Anak-anak dan orang dewasa dari ibu-ibu sampai bapak-bapak, semua ada di sana. Semua penasaran atas kegiatan yang baru muncul di komplek itu. Mereka ingin melihat para pendekar silat yang nantinya unjuk kebolehan dan akan melatih para putra putri mereka.

Pembukaan dan pertunjukan silat tradisional pun di mulai. Para pendekar silat itu berpakaian hitam-hitam dengan ikat pinggang beragam. Mulai dari hitam, biru, dan juga putih. Hanya saja para pendekar berikat pinggang putih itu sikapnya lebih tenang. Usut punya usut lelaki ber-ikat pinggang putih adalah ketua pelatihnya.

Mereka berkumpul di tengah lapangan setelah nama-nama mereka dipanggil. Anak-anak itu berlari pemanasan dengan suasana meriah dan semangat, maklum ini baru pembukaan pertama.

Tampak satu anak yang berwajah sendu menatapi anak-anak yang lain riang ikut latihan. "kau ingin ikut, baru pembukaan tidak apa," tanya ayahnya.

"Nggak ah, sudah terlambat," ucap si anakdengan kesal.

"Kenapa kamu ngasih tahunya mendadak, ayah bisa siapin uang. Sekarang ayah tak pegang uang," jawab si ayah.

Si ayah mencuri pandang wajah anaknya. Punggung si anak terlihat sibuk untuk menghapus jejak air mata yang tiba-tiba melelah.

"Ayah nggak kaya! ayah miskin!" ucap si anak yang makin sibuk menghentikan air mata yang tak diiringi dengan isakan.

Si ayah terdiam mencoba mencerna perasaan yang sedang dialami oleh anaknya. Ada sayatan kecil yang cukup memerihkan hatinya.

"Nanti belajar sama ayah saja, gulat."

"Nggak mau sendiri, maunya sama temen-temen."

Para pendekar itu melakukan pemanasan lima meter dari tempat duduknya. Matanya sibuk megawasi sekitar. Si anak juga tampak awas melihat para pendekar-pendekar itu.

"Ayah kenapa orang itu cuma pakai tangan satu."

sang ayah tampak mengawasi orang yang telah di teliti sang anak.

"Tangan sebelahnya sedang sakit," ucap sang ayah.

Selasa, 08 April 2025

INTRAPERSONAL

BABAK 30
Ia menangis sesenggukan dipelukan bundanya, kedua matanya basah. "Abang penjual es krim tak perlu dipanggil ke rumah, jika tidak memungkinkan. Cukup kamu bawa uang dan beli di tempatnya saja," kata ayahnya. Nasihatnya dicerna sebelum ia berubah sedih dan menangis. Ia lupa atau belum ada intruksi. Ayah harap kamu tak perlu menunggu intruksi, sebaiknya kamu belajar berinisiatif.

Mungkin penolakan tak sengaja yang dilakukan oleh penjual eskrim mona seribu-seribu membuatnya terluka. Ia mencoba mengejar dari rumah dengan pikiran positif dapat memanggil penjual es krim itu agar dapat berkunjung sejenak di depan rumahnya.

Ketika ia menangis ayah dan bundanya memberikan kesempatan meluapkan 'emosi' yang tak bisa ia bendung dengan logikanya yang mungkin masih terbatas. Atau ia mungkin merasa bersalah pada kesimpulan yang tak begitu tepat di mata orang dewasa. Ia mencoba untuk tak merepotkan orang terdekatnya dengan berlari menyusuri jalanan komplek rumahnya dengan hasil di luar dugaannya.

"Beli es krim di warung kak Syifa saja ya, ditemani ayah," kata bunda setelah lima menit tangisannya mereda.

"Ayo ayah temenin," katanya merajuk, kedua matanya masih berkaca-kaca.

"Yuk," ungkap ayahnya.

Sampai halaman rumah wajahnya berubah cerah. "Yah, itu abang es krim mona ada di sana," katanya cepat-cepat.

Adiknya menyusul dengan mata mengantuk. "Kau mau," tanya ayahnya.

"Nggak mau," katanya beberapa kali. Setelah ayahnya menawarkannya keempat kalinya ia memegang kerucut es krim.

"Ya udah," katanya, agak cemberut.

Ketika pulang ia disapa oleh anak perempuan kelas 5. Ayahnya yang menjawab dengan mengembalikan sapaannya. Kedua anak itu berjalan ke rumah. Adiknya berhenti untuk menyapa temannya.

"Kenapa tak menjawab sapaan kakak itu," kata ayahnya penasaran.

"Aku jawab yah, ayah saja nggak dengar."

Beberapa menit yang lalu ia bercerita kalau ada kakak yang merasa tak nyaman dengan nyanyiannya. Padahal ia tak bermaksud untuk menyindirinya. Ia terlihat ingin memperbaiki 'kesalahan' yang mungkin bukan kesalahan. "Aku kan cuma nyanyi-nyanyi yah, eh mereka marah," katanya sambil menghentakkan kaki kanannya. Sang ayah mencari sebuah jawaban, tampak ia berpikir. Kedua alisnya mengkerut. "Mungkin suaramu terlalu tinggi, atau mungkin kamu perlu menjaga sikap," kata sang ayah agak ragu-ragu menjawab.

"Nggak yah, ayah mah begitu, kan aku cuman nyanyi yah." Sekali lagi ia berusaha untuk membenarkan sikapnya. Ayahnya juga belum mengetahui isi lagu itu langsung memberikan kesimpulan.

"Kakak itu kenapa menyapa, kamu tahu alasannya."

"Nggak yah."

"Kakak itu sedang meminta maaf dengan cara lain."

Ia berhenti dan menatap ayahnya, seperti mencari-cari kebenaran yang tersembunyi.

Senin, 07 April 2025

Peniru Ulung

BABAK 29
"Silahkan kamu keluar, hitung sampai tiga. Satu, dua, tiga, keluar!" kata sang anak menerikun intruksi sang ayah bila sedang marah. Nadanya persis sama, dengan jari telunjuk yang menunjuk ke atas.

Ayah terdiam, tepatnya terpukul KO (Knock Out) beberapa detik melebur mencerna kata-kata putranya yang baru saja terucap persis seperti yang ia semburkan jika menemukan hal-hal yang tidak tepat menurut pikirannya. Ia baru menyadari bahwa anaknya sekarang menjadi peniru ulung tanpa sangka.

Suasana tegang menjadi cair, mendengar ungkapan anaknya yang tepat sekali memilih diksi sama yang sering ia gunakan. Ayah beserta kedua anaknya tertawa keras (ngakak besar). Kejujuran anaknya telah mengubah beberap hal yang sering ia anggap benar.

Ayah beranjak dari tempat tidur lalu menuju ke kantor pribadinya. Merenung barang sejenak, mungkin ia akan lebih berhati-hati ketika sedang marah. Anaknya bukan lagi bayi yang tak bisa melawan ucapannya. Ia sedang dalam masa "pemberontakan" hingga sering merepotkannya.

Mungkin juga sang ayah menganggap kebenaran hanya milik orang-orang dewasa. Tanpa memberikan ruang cukup bagi anak tujuh tahun untuk mengekpresikan kekuatan ucapannya. Berikanlah sedikit ruang padanya, atau kalau ayah mau berbagi cerita dengan sang anak, maka akan sangat bahagia. Jika ayah bisa merasakannya.

Sang anak sudah beranjak menjadi peniru yang lebih kritis dari pada sang ayah. Pandai menyimpan semua kata-kata sang ayah, hingga suatu saat bisa menggunakan untuk "menyerangnya dan menentangnya."

Ayah makin lama makin berubah menjadi anak kecil yang kehilangan mainannya. Justru kalian yang semakin dewasa melebihi usia dan fisik. Jarang sang ayah beranjak dari kenyamanan berpikir ke pikiran yang lebih jernih. Lalu memandang segala sesuatu pada sang anak memang sesuai kebutuhan dan perkembangan sang anak.

"Maafkan ayah ya?" kata itu yang terucap dalam-dalam. Mungkin kalian tak akan mendengar. Itu suara lubuk nak, jadi kalian tak bisa mendengar. Mungkin kalian akan melihat perubahan meski harus tertatih-tatih.

"Maaf, kalian harus terlahir dengan ayah terburuk." kata itu juga tak mungkin kalian dengar. Mungkin kalian akan bisa sedikit merasakan perbedaan dari hari ke hari.

Agar kalian tak merekam jejak buruk dalam ingatan yang terus terpasung dalam. Ayah tak ingin menjadi pemberi ruang untuk kalian agar menjadi peniru ulung dalam segala perbuatan "buruk" sang ayah.

Mungkin ayah perlu mengungkapkan satu hal. "Kemustahilan bukan suatu fakta, melainkan hanya sebuah pendapat." Muhammad Ali. Jika kalian tak keberatan mendengarnya dan menjalaninya. Sebuah prinsip hidup yang amat terang benderang.

Atau jika kalian punya waktu sejenak. Ayah berusaha untuk menutup pintu hal-hal buruk agar terbuka lebar pintu-pintu kebaikan. Jika tidak, ayah akan lupa membuka pintu-pintu kebaikan karena mengunci rapat-rapat pintu keburukan dan ayah terlena di sana.

Dua kalimat terakhir tak perlu diambil hati jika kalian belum siap.

Tulisan ini di produksi 04 Mei 2021

Minggu, 06 April 2025

Seperti Harimau

BABAK 28
"Aku mau mengulang pelajaran sama ayah saja ya," ungkap si anak.

"Kenapa?" selidik ayahnya.

"Bunda kalau ngajarin galak banget seperti harimau," kata si anak.

Ayahnya tersenyum mendengar ungkapan anaknya yang mulai mengerti letak kenyamanan. Tentang kesiapan memilih dengan siapa ia akan belajar.

"Kasih tahu donk yah, jangan galak-galak kau ngajarin," tambahnya.

Ayahnya mengangguk pelan. "Ya, nanti akan ayah kasih tahu." Ungkap si ayah.

Malam itu sang ayah rupanya banyak belajar tentang ungkapan jujur dari sang anak yang mulai memahami tentang perasaannya sendiri.

Untuk mengungkapkan sebuah perasaan, orang dewasa saja mungkin butuh kesiapan mental agar tak salah ungkap.

Ayahnya menyadari betapa daya ungkap seperti membalik gunung yang begitu kuat. Membutuhkan daya ledak agar semua rasa sedih dan senang bisa dirasakan pada orang-orang yang dekat.

Mari rengkuh dan peluk mereka ketika menjelang tidur. Jika kalian punya sedikit tenaga untuk berbagi kisah dengan si anak, maka lakukanlah.

Mungkin sedikit ciuman pada pipi si anak membuatnya terlelap dan terbawa sampai mimpi. Mungkin saja bisa bertahan atau mengalahkan ketika ia sedang mimpi buruk sekalipun.

Anak-anak semakin tumbuh besar, dan kita besar dengan mereka. Mungkin sang ayah belum layak menjadi kandidat ayah terbaik, setidaknya bisa mengurai tenaga menjadi waktu-waktu yang kalian butuhkan.

Semoga.

Sabtu, 05 April 2025

RAKSASAN KERDIL DAN PARA BADUT DARI LORONG GELAP KOTA

Sebuah kumpulan cerpen yang bergerak meluas membentuk segmen-segmen kekuatan kota, pengaruh politik, tumpah tindih sosial, 'kekejaman sejarah', dan semua turunananya. Sejenak kita kenali terlebih dahulu judul-judulnya.

1. Raksasa kerdil dan para Badut Dari lorong gelap kota

2. Sepiring nasi dan sayur kopi hitam

3. Ular Kobra dan jejak kreasinya

4. Vespa dan Sekotak Donat

5. Kolot-Kolotok dan sejarak Bakiak

6. Beruang Menaiki Seekor Kambing

7. Humor-Humor Iklan dari Iklan Alat Cukur

8. Bau Mulut dari Tukang Sunat

9. Seorang anak kecil di tubuh orang dewasa

10. Angin Yang segar untuk badan yang merepotkan

11. Buku Kuning dan Petuah yang merepotkan

12. Minyak Wangi untuk sebuah bangkai yang perutnya membesar

13. Cangkang Keras Yang Mengkerut Isi Dagingnya

14. Empat Huruf Dan Hal-Hal Yang Merepotkan

15. Tukang Kibul dan Teknologi Yang Bikin Geleng-Geleng

16. Menjual Buih Untuk Pamrih ke Yang Lain

17. Melihat Luar untuk memotong Yang Dalam

18. Aroma dan Kebencian dari Bibir para cerdik pandai

19. Lingkaran yang membunuh dan bagaimana belajar menjadi penjilat

20. Bagaimana gonggongan itu melumpuhkan genggaman

21. Bagaimana membangun kota mati dan menghancurkannya sekali lagi

22. Bagaimana siput menjalani latihan untuk mengalahkan kancil

23. Makan siang jengkol, lalu jengkel, dan jungkelan

24. Pencuri Sepeda dan Penyuka Jagung marning

25. Malam dan cerita tentang seorang Ninja

26. Helikopter dan perasaan seekor kambing jantan

27. Bahasa Tubuh dan Pecahnya sebuah peperangan

28. Lagu Kemarau dan adu mulut para Ibu

29. Sejarah Kata Untuk memberikan kata yang lain

30. Percayalah hal-hal yang menyenangkan itu tidak ada

31. Seorang Guru yang Memaki murid-muridnya

32. Kelinci Yang Mati oleh Gigitan Anjing

Rawakalong,Juni, 2022

SURAT DARI JIM TRELEASE

BABAK 47
Dari kliping yang kubuat dalam bundelan berisi beragam topik, ku temukan satu tulisan yang membuat terpaku (membaca kembali). Surat dari Jim Trelease begitu judulnya. Yang diterbitkan oleh komunitas Read Aloud Indonesia-Reading Bugs. Satu tema yang sesekali aku selipkan dalam diskusi bersama guru-guru di SMP.  Dari 2004-sekarang aku masih menjadi bagian dari guru pendidik. Metode membaca nyaring begitu saja muncul ketika obrolan mengenai perkembangan siswa, ternyata itu ada akarnya. Akarnya itu adalah endapan informasi yang kuperoleh dari tulisan Jim Trelease di tahun 2008, tahun dimana aku masih 'bingung' bagaimana menyelesaikan naskah skripsi. Kira-kira 17 tahun kemudian informasi mengendap dan tetap bisa dipanggil kembali manakala dibutuhkan dalam konteks diskusi yang relevan. 

Informasi read aloud hadir otomatis keluar lewat sinapsis yang terhubung dengan kemampuan verbal. 

Neuroplastisitas rupanya bekerja dalam situasi yang dibutuhkan. Karena sifatnya yang mudah beradaptasi secara tidak didaktik.

Apa yang dikatakan oleh Prof Bambang Sugiharto benarlah adanya. Saat ini ia mengajar di Universitas Katolik Parahyangan, Pascasarjana FSRD ITB, dan UIN Sunan gunung Gunungjati (Bandung).  Menurutnya membaca itu  bukan sekadar hobi tetapi sebagai kultur budaya. Ia menjawab mengapa perlunya disiplin membaca buku secara tekun dan secermat mungkin. Selain sebagai gudang informasi membaca buku juga bisa membentuk nalar analitik dan sintetik. 

Dalam pembentukan nalar auditori, kehadiran membaca nyaring juga membentuk sinapsis agar otak terus memperbaharui dirinya sendiri. Menyimpan kekuatan kosa kata dan menabungnya menjadi pergulatan dialektika adalah bentuk persiapan sedini mungkin bagaimana menyerap kosa kata yang akan di keluarkan suatu saat nanti, itu salah dua keberadaan membaca nyaring.

Mari simak surat dari Jim Trelease secara tekun.

Ketika mendengar bahwa buku saya diterjemahkan lagi kedalam bahasa yang berbeda dari belahan bumi lainnya, hatiku tersentuh--bukan karena kebanggaan personal tetapi lebih kepada menyadari bahwa karya terbaik kedua orangtuaku telah mencapai ujung bumi lainnya.

Ketika saya masih kecil, keluarga kami tidak memiliki kemewahan di dalam rumah. Selama itu kami tidak memiliki kesadaran pribadi dan tinggal di rumah susun. Tetapi dalam kondisi yang berbeda, orangtua saya telah melimpahi kekayaan dengan cara yang berbeda.

Kami tinggal selama 12 tahun di rumah susun sewa yang dipenuhi oleh lembaran kertas. Koran (kadang kala sampai dua penerbitan) secara rutin hadir di rumah kami setiap hari. Ibu juga berlangganan begitu banyak majalah, sampai suatu hari sang loper mengatakan kepada ayah, bahwa kalau semua pelanggan di jalurnya berlangganan sebanyak yang dilakukan Ibu, maka tentu ia akan mati kelelahan. Kami ke-empat putra Ibu, sewaktu kecil tidak pernah mengerti masalah perbedaan gender yang sering membagi majalah menjadi pria dan untuk wanita. Yang kami semua tahu dan pedulikan hanyalah bahwa semua terkirim ke dalam kotak pos dan semua memiliki gambar yang indah di dalamnya. Kami tidak menyadari bahwa seseorang menjadi melek gambar sebelum melek huruf. Jika kamu belum pernah melihat seekor gajah atau bahkan dalam gambarnya, maka ketika tiba masa membaca kata "g a j a h", bagaimana kamu dapat memahami arti dan maknanya?

Saya adalah gambaran anak yang ingin tahu segala, dimana ibu akan melimpahkan saya kepada ayah ketika ia pulang dari kantor seraya mengatakan,"bawa dia", sebelum akhirnya ibu tumbang kelelahan. Ayahlah yang pertama kali menyadari bahwa ketika ia membacakan cerita, maka hal itu akan menenangkan dan membuat saya fokus. Andai saja dia tahu bahwa membacakan cerita-yang dilakukannya hingga saya besar-juga berarti menambah perbendaharaan kata dan pengetahuan dasarku, memperluas rasa keingin-tahuanku, dan menstimulasi keinginanku atas bacaan. Untuk dia rasanya itulah yang paling bisa dilakukannya dengan benar. Jadi ketika ayah duduk membacakanku buku dari perpustakaan, majalah, dan koran harian setiap malam, sesungguhnya dia telah memperkenalkan pada saya kenikmatan membaca. Hal ini seperti yang selalu dikatakannya, "ini adalah semua tempat yang bisa kamu kunjungi untuk bersenang-senang jika kamu mengerjakan pekerjaan sekolah dan belajar membaca."

Karena saya bersekolah di SD yang sangat ramai (94 anak), maka sangat sedikit waktu yang menyenangkan di kelas membaca. Hampir seluruh waktu yang ada ditujukan untuk latihan mengeja dan dikte. Kalau saja saya di rumah tidak mengalami hal menyenangkan dalam membaca, mungkin saya akan beranggapan bahwa kegiatan membaca itu memang tidak menyenangkan dan akan membencinya, seperti yang kami lakukan di sekolah. Tapi sebaliknya, saya justru berpikir, "membaca memang bukan pesta, namun jika hal ini bisa memberiku kegembiraan yang sama seperti yang dulu dilakukan oleh orang tuaku dengan lembaran-lembaran kertas, maka saya akan bisa mengatasi kejemuan dalam hidup." Dan hal ini memang terbukti.

Berada dalam rumah dengan dikelilingi oleh bermacam lembaran kertas dan bacaan, dengan alunan suara huruf yang dieja bercampur semangat sebuah cerita, apakah mengherankan kalau saya kemudian menjadi seorang kutu buku sekaligus penulis? sebuah formula yang sangat kuat, sederhana, bukan formula rahasia yang dimiliki oleh perusahaan multinasional, dan dimiliki oleh setiap keluarga yang memang ingin membesarkan seorang pembaca-inilah inti buku Read Aloud.

Andai kedua orangtua saya masih hidup sekarang, mereka pasti akan sangat bangga menjadi bagian dari peluncuran edisi Indonesia kali ini. Sebagaimana yang saya rasakan. (12 November 2008 08:12).

Tulisan ini ku kliping begitu saja, tanpa mencantumkan 'sumbernya' dari mana, sumber dalam artian dari mana aku diberikan naskah ini, mungkin belasan tahun lalu ada yang mengajakku untuk gabung di komunitas ini, karena satu hal aku tak mengikutinya. Setelah kucoba cari lewat website resmi https://readaloudindonesia.com/about/ pun tak kunjung kutemukan. Sebagai bagian dari dokumen peradaban, maka ku beranikan diri untuk menuliskannya kembali di blog ini, sebagai perayaan ku atas penting dan nikmatnya. Semoga bermanfaat bagi anak-anaku kelak ketika membaca blogku ini, dan untuk semua guru di jaga raya bisa menularkan kepada para muridnya, dan yang tak kalah penting bisa bertemu dengan orang yang memberikan naskah ini. terimakasih. Salam Pak Pelita. Cekap Semanten.

Dongeng Sebelum Tidur

BABAK 27
Malam menjelang, agak larut dari seperti biasanya. Entah sedang riang suasana hatinya, entah kesadaran mulai nampak malu-malu.

Seorang ayah tanpa segan, penuh hormat pada kesempatan yang langka. Yakni menidurkan anaknya dengan pengantar dongeng. Mungkin hanya terjadi pada film-film.

Tapi, kita perlu menyakinkan diri sendiri tentang dongeng yang masih terdengar dari sudut-sudut kamar yang sederhana, gubuk yang tampak memprihatinkan, serta dari kolong-kolong jembatan. Kita harus percaya itu, walau hanya sebatas keajaiban.

Agaknya kita harus melipir sejenak pada anak muda yang membawakan lagu dongeng sebelum tidur, dalam naungan Wayang sebagai nama bandnya. Mereka membuat bekas yang manis pada setiap kepingan masa.

Ya dongeng menjadi semacam pelipur lara atas drama yang sedang direnda oleh setiap kepingan zaman.

"Yah, katanya ingin cerita," Tanya seorang anak lelakinya. Sang adik ikut jua berkomentar. Tentang seputar cerita.

Sebelum tidur sang ayah mulai mengenalkan tokoh utamanya, yakni seekor semut hitam yang mendiami sebuah lubang.

Ia kenalkan tentang sifat-sifat semut, hewan yang suka bertatap muka dan saling menyapa. Mereka suka bekerjasama, jika memperoleh buruan atau mangsa, dan saling menjaga bayi-bayi mereka.

Ada keriangan ketika selesai mendongeng untuk sang anak. Meski tak memperoleh imbalan yang "menyenangkan", setidaknya terbayar lunas jam-jam yang melelahkan.

Tawa yang meledak, sorot mata yang ceria, dan bibir-bibir yang tersenyum puas. Mereka menyimpulkan dengan caranya sendiri.

Sang ayah menemaninya sampai mereka tertidur. Ia berharap mereka bertemu dengan semut-semut perkasa yang sopan dan saling membantu. Lalu keesokan harinya, mulut mungilnya bercerita tentang mimpi-mimpinya yang berisi petualangan dahsyat.

Jumat, 04 April 2025

Hanya Ada Satu Kata: DIAM!

tampak seperti pecundang

membisu dan kaku

tak mau berekspresi dan tak mau posisi

menjalani setiap peredaran hati


bibir terkunci rapat

seolah mendapat rapot rapat

bersama wejangan yang hangat

muncul dalam dekapan rapat


ia selemah-lemah keyakinan

ia serapuh-rapuhnya pertahanan

ia sekoropos-keroposnya pikiran

ia setepo-teponya jalinan

HAKIKAT KESUKSESAN

KESUKSESAN BUKAN SEBUAH MIMPI TANPA AKSI. IA ADALAH KUMPULAN DARI SEBUAH TEKAD MEMBARA, USAHA YANG TERUS MENERUS TAK KENAL LELAH, DOA YANG TAK PERNAH PADAM, AZZAM YANG KUAT, DAN CITA-CITA YANG MULIA. ORANG YANG SUKSES ADALAH ORANG-ORANG YANG BISA MENGHADIRKAN CARA-CARA HIDUP YANG BERKUALITAS, KETAATAN KEPADA ALLAH DENGAN SEBENAR-BENARNYA TANPA ADA KEMUNAFIKAN, KEFASIKAN DAN KEMAKSIATAN.

ORANG-ORANG YANG SUKSES SEJATI SELALU ORIENTASINYA KEPADA ALLAH, SEGALA SESUATU YANG IA LAKUKAN HANYA UNTUK MEMPERSEMBAHKAN YANG TERBAIK BAGI ALLAH DAN RASULNYA. IA TAK MAU MENGECEWAKAN-NYA, MENGHIANATI-NYA, DAN MENDURHAKAI-NYA.

DALAM BENAKNYA HANYA ALLAH YANG TERSIMPAN DI DALAM QOLBUNYA, NAMA-NYA SELALU DISEBUT. IA SELALU MEMPERBAHARUI, MENJAGA, MEMPERBAIKI HUBUNGANNYA DENGAN ALLAH SERTA HUBUNGANNYA DENGAN MANUSIA. SEKALIPUN DUNIA MENGECEWAKANNYA IA TAK MENGHIRAUKAN, ASAL IA TAK MENGECEWAKAN ALLAH. IA MENJADI SESUATU APAPUN KARENA INGIN MEMBUAT ALLAH TERSENYUM, TAK INGIN MEMBUAT ALLAH MALU DAN BERPALING TAK MENGHIRAUKAN KEADAAN DIRINYA. INILAH KESUKSESAN YANG KUPAHAMI. DAN KITA HARUS 'KERAS' PADA DIRI SENDIRI DAN TEGAS PADA ORANG LAIN. AKTIVITAS YANG TIDAK TERLALU PENTING DI BUANG ATAU DI TUNDA DULU. KEMBALILAH PADA ALLAH DENGAN SUKARELA. 

1 MEI 2009 11:09:54 WIB

INSIDEN MEMASUKI 'DUNIA' LAIN

BABAK 26
Dalam merintis penulisan sebuah novel, kamu nanti akan menghadapi banyak rintangan kesulitan. Entah harus membaca berton-ton novel, ratusan teks cerpen, mendaki gunung-gunung esai, melintasi sungai filsafat, ekonomi ataupun politik. Semakin panjang halaman naskah novel yang harus kau tempuh, maka akan semakin banyak pula imajinasi yang akan kamu bangun. Dan kamu harus selalu cukup energi untuk menulis sampai halaman terakhir. Kerelaanmu untuk kekurangan waktu kongkow bersama teman-temanmu membuat otakmu terlatih menghadapi bacaan sulit nantinya. Dan kamu juga harus membuat perhatian pada cratmanship (kepengrajinan) agar tidak ada kesenjangan antara bentuk dan isi—sebagai salah satunya, juga pada editing yang ketat. Sekali lagi, Kekeraskepalanmu untuk terus membaca, membuat otakmu tetap ajeg menghadapi teks-teks yang tidak mudah untuk didekati diera keberlimpahan teks.

Sambil menonton tayang EL Shinta TV dalam program Innovator, gagasan tentang makna novel muncul begitu saja. Mari kita simak catatan yang tertanggal 23 Februari 2014, Novel adalah suatu gagasan cerita yang berisi prinsip-prinsip hidup, pengakuan rasa, penegasan jatidiri, ungkapan jiwa yang misteri, gabungan dari beragam paradigma yang bisa membentuk pola hidup yang bisa menopang sebuah peradaban. 

Pada tanggal yang lain (28 Agustus 2014) juga menemukan definisi sendiri tentang Novel. Novel juga bermakna sebagai penjelasan terhadap ketegasan yang muncul akibat tekanan-tekanan yang selalu diperlihatkan dan dirasakan oleh lingkungan sekitar. Efek dari penulisan jenis ini akan memunculkan kritik sosial yang sepadan.  Ia memiliki tujuan menemukan salah satu kekayaan kata yang dapat  'meruntuhkan' atau memajukan sebuah peradaban itu sendiri. Ia juga bisa berbasis pada norma yang hidup dari budaya, rasa karakter masing-masing manusia. 

Apabila nanti naskah ceritamu terbengkalai atau mati suri, maka datangkan ide kreatif yang bisa melepasmu dari kemandekan dan menghilangkan penyesalan seumur hidup, karena tak pernah bisa menyelesaikan naskah secara idealis. Jika juga naskahmu tak kunjung muncul di dunia cetak, maka hukumlah tulisanmu lebih berat lagi, agar penerbit yang menolak naskahmu akan menyesal, menyesal yang tak tergantikan. Itulah cara mendidik naskahmu agar tak selalu mencari penjelasan.

Mari melipir sejenak pada penggalan pikiran menjelang tidur. Padanya selalu ada hal yang bisa dikerjakan. Coba simak satu persatu. 

Perjalanan menulis seperti pendaki yang menyisakan perbekalan satu mie instan, sementara puncak gunung masih dalam bayang-bayang, perut lapar melilit, dan otak mesti terus berpikir.

Perjalanan menjadi seorang penulis, bukan seperti pemilik lampu aladin yang ongkang-ongkang kaki menyuruh ide ini itu melalui jin penunggunya agar keluar kapan saja dimana saja dan mesti beda dari kebiasaan lama.

Perjalanan menulis seperti persekutuan abadi antara minyak dan air, kadang antara ide, bentuk, isi, dengan proses menulis samasekali berbeda. Outline sudah serapih pasukan pengibar bendera, ketika eksekusi—semua yang jadi bahan masakan tercerai berai, meski begitu masih bisa dihidangkan dalam meja redaksi. Lalu penulis di hari-hari berikutnya mencari cara agar bisa tertib untuk menaklukkan permainan kata dalam tiap sesi menulis.

Perjalanan diatas mengingatkan saya pada satu undangan dari dewan kesenian jakarta (DKJ 2012). Atas undangan tersebut aku datang satu jam sebelum acara itu dimulai. Ada banyak pameran novel yang telah digitilasisasi mejeng dirak-rak yang dipola sedemikan keren. Tahun itu, tahun pertama saya selesaikan novel setebal 200 an halaman. Kastil Bermekaran judulnya.

Tak ada yang saya kenal di sana, hanya bermodalkan sedikit keyakinan, kepercayaan sebagai wartawan magang di sebuah lembaga kemanusiaan (NGO). Saat saya kirimkan novel itu lewat pos, empat rangkap sekaligus. Berdasarkan bahwa cerita yang baik adalah yang berjalan apa adanya—prinsip dasar menulis pada waktu yang lampu. Sama sekali belum terpikirkan untuk menulis sebuah novel dengan bentuk atau isi seperti apa nantinya. Apalagi memikirkan alur, angle, apalagi suara narator.

Novel Kastil Bermekaran mungkin tak dibaca sampai habis oleh para juri. Juri yang mumpuni bisa melihat kualitas novel dari halaman-halaman pertama saja. Itu membuat saya maklum. Tetapi ada kegembiraan ketika kartu undangan itu dikirimkan ke alamat rumah mertua di daerah Bintaro, dan ibu mertua yang menerimanya. Peristiwa ini sangat menyenangkan sebagai penulis pemula yang sanggup menyelesaikan satu naskah novel. Sekaligus memberikan suluh untuk perjalanan menulis yang tanpa terminal—satu perjalanan sunyi, menurut para penulis kesohor.

Novel itu jenis roman keluarga yang berkisah tentang penghianatan, cinta, dan pembunuhan lewat racun. Seharusnya novel itu bisa dipresentasikan sebagai cerita yang menarik. Meski cara menuliskannya mirip anak SD yang baru membuat jurnal, toh panitia sayembara DKJ 2012 tetap mengundang saya dalam malam sayembara anugrah. Ini menimbulkan keharuan.

Saat masuk ke TIM, sebuah tempat bergengsi yang saya tempuh dari tempat kerja (condet) dengan cara tersesat beberapa kali. Mengingat jalan adalah satu diantara kepayahan yang saya miliki. Seseorang yang saya yakini sebagai bagian dari panitia memberikan sebuah makalah yang ditulis oleh A.S Laksan—dari sini aku menemukan nama tersebut sebagai guru sekaligus empu dalam menulis, meski belum pernah bertemu secara kopi darat. Tetapi saya bisa memutar ulang sebanyak yang saya mau, materi-materi yang disampaikan lewat platform digital baik youtobe ataupun blognya. Saya akui nama itu sebagai mentor dalam tulisan-tulisan saya nantinya. Perjalanan ini membut saya gembira dan selalu merayakan dengan caranya sendiri. Baik ketika mampu menulis—mendekati apa yang dimodelkan oleh Mas Sulak, begitu orang-orang terdekat memanggilnya.

Mengenalnya seperti abang yang memberikan buku-buku bagus secara cuma-cuma dan ia juga menunjukan bagaimana cara membacanya. Ada banyak buku yang berserekan di sekitar kita, ambil yang bagus dan bacalah setekun mungkin. Perhatikanlah cara mereka menulis, kira-kira begitu pesannya. Tulisan yang buruk pun tetap memiliki ide dan itu bisa sangat mencerahkan. Itu semua tidak terlepas dari crafmanship seseorang yang terus tumbuh dan meningkat setiap saat.

Sayembara menulis novel DKJ dianggap oleh Mas Sulak sebagai insiden untuk memunculkan para penulis prosa yang potensial, saya setuju. Ada satu insiden lain yang membuatbsaya amat malu, dan itu terjadi saat malam anugrah menulis novel DKJ 2012. Malu atas kerendahan hati seseorang.

“Bang ikutan lomba juga?”

“Ya ikut?” jawabnya ditambah senyum sedikit.

Belakangan setelah mengikuti sepak terjang mereka dengan memendam kekaguman jenis tertentu. Orang yang pernah saya tanya, dengan mengabaikan kelancangan, waktu yang sempit, yang mungkin dimiliki oleh orang tersebut. Nanti yang muncul kemudian adalah penyesalan terdalam dan selalu mengutuki dengan ragam gegabah, arogan tak bisa membaca situasi. Mata saya yang siwer tak bisa membedakan mana peserta dan juga mana pendekar sastra. Semua tampak sama, mereka yang hadir disana bisa dibilang mumpuni di bidang penulisan, yang sama berharap apakah namanya nanti disebut sebagai pemenang atau juara harapan.

Orang yang tetap rendah hati tersebut, tetap menjawab pertanyaan remeh dari seorang yang sok tahu soal sastra, dengan hati-hati permintaan maaf orang itu bernama Anton Kurnia. Ingatanku tetap mengendap meski menginjak 13 tahun lamanya.

Seorang perempuan di samping saya bertanya apa profesinya. Saya jawab wartawan. Ia mulai mencecar beragam pertanyaan seputar dunia wartawan. Kebingungan mulai melanda, bagaimana sebaiknya jenis jawaban apa yang hendak saya sampaikan agar ia bisa menakar. Jangan-jangan perempuan itu seorang redaktur, itu membuat posisi saya sekarang tampak lebih menyedihkan.

Setelah keringat dingin mulai hangat, seiring pertunjukan musik yang dibawakan oleh Payung Teduh. Sebuah aliran musik yang baru mendarat di kedua telinga saya waktu itu, yang kebanyakan sudah nyaman dengan SOS, SLANK, PADI, JAMRUD, PETERPAN, juga DEWA. Saya membeku sesaat setelah Payung Teduh menunjukkan kebolehannya.

Tiba saatnya para pembicara dan juga murid hadir di depan saya. Setelah Anton Kurnia berbicara (belakangan baru tahu setelah aktif menyelusuri jejak para penulis indonesia), saya merasa lega sekaligus malu yang kesekian. Untuk mengatasi rasa malu dan takut tersesat pulang ke Bintaro, saya bergegas undur diri dari perhelatan hebat itu. Saat itu saya tak masuk nominasi, apalagi harapan, tetapi lomba DKJ telah memenangkan pikiran saya dengan bertemu (mengenal) dengan para penulis hebat, seperti A.S Laksana, Anton Kurnia, dan Abidah El Khaliqi. Setelah sebelumnya saya membaca karya Andrea Hirata, Habiburrahman, Asma Nadia, Tere Liye, dan lainnya. Hal ini menjadi semacam ledakan dan bisa keluar dari cangkang sebelumnya. Bagi saya ini adalah insiden dialektika yang mahal untuk saya perjuangkan, tentu saja setelah memeras intisari dari semua karya dan bagaimana menangkap isi bacaan untuk kemudian diwujudkan dalam kultur paradigma.

Mengalami pembacaan sekelumit di atas, perasaan ini tak begitu merana (sakit). Perayaan membaca saya sebelum ‘kenal’ dengan mereka, menjadi semacam penawar atas karya yang pernah saya baca. Sekaligus mulai mencicil satu persatu karya-karya yang pernah mereka sebutkan dalam berbagai diskusi sastra dan kepenulisan.

Saya sendiri terbebas dari rasa sakit—seperti yang dituturkan (dialami) oleh penulis kambing dan hujan, Mahfud Ikhwan. Menurutnya sejak bangku kuliah pertama sudah mendekati—menikmati karya-karya Kuntowijoyo dan buku-buku sastra lainnya. Pikiran dan perasaan begitu ‘hampa’ ketika bertemu buku-buku di luar bacaannya dan itu membuatnya terasa menyakitkan, begitu kira-kira seperti yang ucapkan dalam sebuah siniar.

Sejak mengenal mereka, saya susun ulang amunisi dalam menulis. Itu terasa menyulitkan. Berpindah alam. Kalau bicara hasil, karya yang saya tulis masih jauh dari mereka, tiga kali mengikuti sayembara menulis DKJ masih jauh dari Harapan, apalagi Juara. Saya sedang tidak memaksudkan DKJ sebagai tonggak satu-satunya penentu mutu sastra. Setidaknya mereka punya kapasitas untuk menilai karya sastra, yang ‘enak’ dibaca. Mutu karya yang sedang saya susun masuk kategori menyedihkan, mungkin tidak buruk. Satu kali cerpen anak yang saya tulis dan ikutkan pada lomba menulis mendapati peringkat tiga, dari 200an naskah. Kabar ini menjadi semacam pelipur lara. Selanjutnya saya tak lagi mendapati juara dalam rentang waktu lama. Masing-masing juri punya selera yang berbeda, sedangkan karya bagus tidak mengenal selera, mungkin soal interpretasi. Semacam ini tidak perlu diperdebatkan dengan serius.

Dari lomba dan membaca karya secara konsisten, dan mulai berpikir bagaimana sebuah cerita akan dipresentasikan dengan cara seperti apa. Untuk selanjutnya saya mulai terbebas terlepas dari kutukan As Laksana—jangan-jangan saya bukan sedang meniti sebagai penulis tetapi sebagi pengetik. Meski tetap saja merangkak dan hasilnya masih saja jumpalitan. Inilah percobaan bentuk yang saya perjuangkan, meski saya tidak tahu karya mana yang masuk eksperimental. Tugas saya membaca karya bagus sebagai cara mencari informasi yang cukup, dan terus menulis (tidak mengetik), sebagai sarana untuk memperbaharui cara menulis—terus begitu sampai entah kapan. Saya tidak bisa menjamin, karena ini adalah kerja kreatif.

Jika hasil menulis, entah itu novel dan jenis tulis lain masih saja jungkir balik sambil terus mengikuti mereka. Nantinya novel dan lainnya tak juga nangkring sebagai juara—harapan. Maka perayaan lain masih bisa saya lakukan yaitu pembacaan atas karya pemenang novel DKJ yang diterbitkan dan yang karya-karya bagus lainnya. Semua tindakan itu sangat menggembirakan sebagai puncak ritual menikmati sebuah teks hasil pemenang dan karya puncak lainnya. Ini menjadi semacam penanda sebagai pembaca yang mencari buku-buku bagus diantara lebatnya hutan buku.

Pada situasi semacam ini, ditengah-tengah rumitnya menyelesaikan sebuah naskah, saya ingin mengunyah Kereta Semar Lembu, sebagai novel pemenang dan saya ingin membacanya. Ini yang bisa saya lakukan, di tengah buramnya pengetahuanku tentang karya bagus. Dari sini saya bisa menjelajah buku-buku lain yang sepadan. Tanpa mengurangi rasa hormat, membaca buku-buku bagus, adalah berawal dari begitu rendah hati para panitia lomba DKJ 2012 yang mengirimkan undangan lewat Pos kerumah mertua saya (sekali lagi), padahal karya yang saya kirimkan, saya duga tidak masuk seleksi, pun mereka masih berbesar hati. Cara mereka mengapresiasi menimbulkan api tekad yang pelan-pelan tumbuh untuk mencintai dunia rekaan, di luar profesiku sebagai guru. Dari sini pengetahuan tentang membaca, menulis, karya rekomendasi, mulai tekun, saya anggap ini sebagai tonggak sejarah menyelami dunia sastra sekaligus insiden terbaik dalam menekuni dan memasuki ‘dunia’ lain. Cekap Semanten.

Kamis, 03 April 2025

Pola Asuh

BABAK 25
Orang tua bijak mengatakan, yang dibutuhkan ketika berhadapan anak-anak di rumah, banyak sekali metode, tips, seminar-seminar, pada saat bersamaan ia akan luntur ketika beranjak dari ruang-ruang kelas pengasuhan. Memang kebanyakan dari mereka konsisten menjalankan dan menggunakan prinsip-prinsip pengasuhan untuk mendampingi tumbuh kembang anak, dan hasilnya bisa menjadi sesuatu. Kebanyakan dari mereka juga luntur setelah pematari pengasuhan menutup kelasnya. Sebagai pegangan, setidaknya ada dua hal yang bisa diterapkan ketika mendampingi anak-anak di usia tumbuh.

Mengelola emosi adalah semacam perisai agar tidak ikut-ikutan marah ketika anak sedang meluapkan emosinya. Ketegasan penting sebagai unsur penengah agar tetap terhindari kontak fisik yang tidak terkontrol. Marahnya anak-anak menjadi cermin bahwa, mereka sedang belajar untuk berdialog dengan intonasi yang tinggi, egonya sedang puncak-puncaknya, dan mungkin merasa paling benar sendiri. Itu menjadi pembeda dan menurunkan emosi anak-anak yang sedang meluap-luap kapan saja.

"kalau mengingatkan jangan pakai nada tinggi dong!" ucap seorang anak kepada ayahnya. Ayahnya kadang menanggapi dengan wajar, sebab bisa mengelola emosi yang ada. Seringkali gagal malah ikut-ikutan bernada tinggi. Untuk hal ini ayah masih kalah denganmu Nak. Sebab ada wilayah ke aku an yang sedang ayah tunjukan. Tetapi lupa bagaimana mendengarkan nasihat darimu Nak.

Rendahkan kata-katamu ketika mendapati anak-anakmu sedang dalam kondisi tak stabil. Cara ini bisa menjadi peluntur suasana hatinya yang lelah pulang sekolah, pelajaran, hubungan pertemanan, dan seterusnya. Bila mengalami tantrum sebab seluler, ini memerlukan pendekatan yang berbeda. Maka caranya beri informasi bahwa ketergantungan terhadap seluler dan meninggalkan atuaran rumah yang dibuat bukan untuk mengekang tetapi untuk tumbuh kembangmu Nak. Sejauh ini kurang tepat berarti ada banyak ego yang harus ayah turunkan agar kamu bisa memberi masukan apapun. 

Ayah mungkin tahu tentang beberapa pengasuhan, selalu gugur pada saat menemukanmu dalam kondisi yang sulit ayah jangkau. Bahkan emosi cenderung meledak sebelum kalimat pertamamu selesai. Ternyata tak semudah itu ya Nak? kali ini biarkan ayah menyelami dulu sebanyak mungkin, sekonsisten mungkin, tentang turunkan frekuensi serendah mungkin agar bisa mencerna kalimat bukan membabi buta mencercamu sebab perkara mubah. Soal seluler ayah berharap kamu betul-betul bijak dan tidak terjebak pada penghambaan kepada setan gepeng.

Kata ilmu pengasuhan, Komunikasi menjadi penting sebab dari lahirnya harmonisasi sebuah hubungan antara dua subjek dan objek. Parah-parahnya dari sepuluh komunikasi yang telah dibangun bersama, lalu ada yang nyantol barang satu atau dua kebijakan yang kalian miliki. Masuk ke alam bawah sadar. Tiap ayah memasakan sesuatu untuk anak-anaknya. Mereka tak lupa untuk mengucapkan terimakasih. Tak pernah lupa (kecuali jika sedang marahan). Berani mengkritik ayah ketika 'hanya' memerintah saja (kebanyakan) dari pada mengembalikan pengasuhan sesuai tempatnya.

Sampai saat ini adalah tarik ulur sebagai cara ayah untuk membimbingmu pada tindakan yang di rasa tepat. Seperti main layang-layang, katanya. Entah ini benar atau tidak, ini selalu menjadi endapan komunikasi agar nantinya komunikasi tumbuh alami. Tidak menyimpan ketakutan, tekanan, bahkan feodal.

Yang lebih penting menurut pengasuhan, katanya mendengarkan adalah salah satu kunci agar ayah dan anak bisa berjalan sesuai dengan fitrahnya.