Senin, 13 Januari 2025

Seorang Maling dan Polisi Berwajah India

Seorang maling tengah terpojok di sebuah jalan buntu. Setelah sebelumnya berusaha lari dari kejaran para penghuni Gang Masjid dan sekitar baik tua ataupun muda. Mereka berhasil menjebak serta menyudutkan maling pembobol kotak amal di tempat sudah direncanakan. Wajah-wajah pengepung tampak beringas dan menyimpan kobaran api amarah.

Maling itu terduduk dan menatap para pengepung. Wajahnya sudah seputih terigu. Uang yang ia curi dari kotak amal, ia genggam erat-erat. “Cepat kembalikan uang itu?” ucap seorang berpeci berkali-kali. Uban putihnya menyembul dari balik peci hitamnya.

Maling itu menggeleng-gelengkan kepala.

“Tidak!” jawabnya. “Pergi saja kau!,” Teriaknya. Nafasnya tersengal.

HP jadul yang ia kantongi sudah tujuh kali berdering. Tangannya seperti ingin merogoh dan mengambil, tetapi salah seorang dari pengepung tiba-tiba menyambar lehernya dan memitingnya kuat-kuat.

“Sudah Pak Ustaz, biar kami yang menyelesikan!” teriak seorang yang maju mendekati maling itu. Dan tenaga Pak Ustaz kalah kuat dengan para pemuda yang sedang diselimuti kebencian.

Seorang lain berlari cepat dan memberikan pukulan kuat mengarah ke perut. “Akhrh!” sontak maling itu melenguh keras. Tubuhnya merosot kedinding tembok berlumut. Ia melenguh kesakitan ketika tendangan keras mendarat tepat di kepalanya yang sejak dua malam terserang vertigo.

“Ampun Pak, Ampun?” rintih maling itu pelan. Darah sudah meleleh memenuhi mulutnya, ketika bogem kasar dari orang bertato menghujam keras berkali-kali. “Dasar maling busuk!” ucapnya sambil memberikan tambahan tendangan ke perutnya. Wajahnya makin sangar.

“Ampun?” Suaranya makin lemah lalu hilang dibalik pukulan dan tendangan liar bergantian mengenai tubuhnya yang ringkih.

Pandangannya gelap. Uang yang digenggamnya lepas bersimbah darah. Dan ia kalah sekali lagi melawan ketiberdayaan, ketidak
pedulian, janji-janji manis yang diucapkan oleh mulut para penguasa.

“Bakar manusia bangsat ini!” seru seorang dari balik kerumunan. Tangannya mengacungkan jerigen dan menyeringai kasar.

Maling itu tak berkutik. Ringkihan dan minta tolong tak lagi terdengar. Tubuhnya telah kaku, telentang siap menerima hukuman maha berat.

“Bakar!” ucap orang itu lagi. Kali ini ia maju kedepan. Siap-siap menuangkan derigen yang berisi BBM yang sedang naik terus.

“Berhenti! Jangan main hakim sendiri!” ucap seorang polisi berwajah India yang tiba-tiba saja muncul seperti dalam adegan film-film stasiun televeisi swasta.

Ia memeriksa maling naas itu. Memeriksa denyut nadinya. Wajah maling itu telah membisu. Ia berdiri menatap wajah orang-orang yang masih menyimpan marah berlapis geram. Polisi itu melepas topi dan memberikan penghormatan terakhir.

“Orang ini sudah mati!” ucapnya. Seketika orang-orang yang terlibat dalam penghakiman mematung, beberapa menyesal, yang lain menghela nafas puas merasa telah menuntaskan kemarahan pada maling yang telah lama meresahkan.

HP jadul dalam saku maling itu terus berdering. Nyaring terdengar. Orang-orang menunggu siapa yang menelepon pada orang yang sudah terbujur kaku. Termasuk Polisi berwajah India itu. Ia menarik nafas dan merogoh saku dan mengambil HP tersebut.

Polisi berwajah India tertegun sejenak sebelum menekan tombol jawab. Dan ia menekan tombol suara nyaring (loud speaker) agar terdengar orang-orang yang telah main hakim sendiri.

“Ayah kapan pulang, aku sudah laper banget!, kata Ibu, beras di rumah sudah habis, cepat pulang ya Yah. Halo ayah, kok diam aja, Halo Yah, Ayah...!, Yah...?!

Minggu, 12 Januari 2025

Guru Magang

BABAK 4

Close Reading (pembacaan dekat) atas nama pengabdian dan api tekad seorang guru. Bagaimana pendidik mengekstrasi karakter dalam setiap individu dan subyek hukum lainnya, misalnya pedagogi, psikologi, dan seterusnya. Nantinya diharapkan ada siswa-mahasiswa yang akalnya diisi oleh pengetahuan, raganya diisi oleh kekuatan, dan ruhaninya diisi keimanan. Ini selaras pendidikan yang diinisiasi oleh Nabi Muhammad Sollohualaihi wasallam kepada para sahabat sebagai murid-murid terbaik abad kejayaan islam. Kejayaan seperti itulah yang perlu dikekalkan sampai bertemu lagi dengan beliau, Nabi Muhammad Saw.

Api tekad menjadi guru magang di sebuah sekolah bukan perkara mudah, diabaikan, ditelantarkan begitu saja. Mesti ada pilihan kepribadian yang hendak dimunculkan, bukan untuk gagah-gagahan, tetapi lebih kepada perayaan atas pencapaian atas sebuah nilai, yaitu pengabdian terhadap sebuah nilai itu sendiri (misi). Jalannya kadang rumpang, tetapi sesungguhnya ia hendak menampilkan satu elitis yang tidak hanya bermain pada wilayah benefit semata. Ia longgarkan mencapai titik pada wilayah sensori yang tak terhingga. Dengan kata lain, tidak mudah mlempen pada reaksi-reksi tertentu yang berangkat dari wilayah personal yang kadarnya terlalu rendah. Guru magang menindaklanjuti dirinya mencapi titik klimaks pada nuansa rigid hingga tak mudah disusupi oleh persoalan-persoalan yang rendah visionernya, sebut saja praduga-praduga, asumsi-asumsi, dan segenap reputasi yang dibangun dari segenap ketidaksukaan pada indvidu. Ini menyedihkan.

Kepemimpinan seorang kepala yang pemimpin bisa memberikan satu alasan penting pada guru magang. Ketika menjadi guru magang di sebuah sekolah baru mendatangkan ketercapaian pada kesadaran akan predikatnya sebagai seorang guru, pendidik, pengajar, mentor, fasiltator, pendampingn dan seterusnya. Kata-katanya mungkin sudah diucapkan berulang kali oleh pendidik yang bertebaran di bumi pertiwi ini. Sedapat mungkin lahir dan bisa memaknai dengan cara lain, memperbaharui apa-apa yang usang dan mengokohkan apa-apa yang sudah jalur pendampingan. Tidak bermaksud untuk melengkapi keinginan guru magang, setidaknya bisa meredam egosentris yang siap menyapu siapa saja kapan saja.

Diorama seorang guru magang dibangun berdasarkan pengalam sebelumnya. Ia dengan sadar melihat tempat magangnya dengan latar belakang penilaian sebelumnya. Entah ia sebagai seorang yang benar-benar pendatang baru, atau seorang yang masuk dalam line up premier meski memijak bumi dan mengosongkan gelas lain. Membiarkan sejenak wadah lain yang sudah terisi penuh dengan pengalaman-pengamalan yang mewah, dan bisa menahan diri agar tidak terjebak pada penuturan serba tahu. “berbicaralah sesuai kaumnya” bisa menjadi semacam peraturan diri agar tidak mudah berkhotbah pada situasi yang mestinya rendah hati, inisiatif tanda ia bergerak, membangun reputasi bagus, mencitrakan diri halal, tetap menghargai tuan rumah adalah kebijakan lain. Meski ia datang dengan perbekalan yang berlimpah, jika tak dibilang cukup, haruslah merunduk, jika tidak ingin menunduk, atau tiarap.  Berkeinginan mengubah segala hal mestilah dikontrol, niat baik saja kadang tidak cukup, jika kantong meminta cara (saran) saja jauh panggang dari api. Mestilah jadi pemula pada ladang baru yang hendak dijelajahi, dibajak, dirabuk, bahkan diinjak :)

Ekstrasi karakteri guru baru dengan membawa catatan lama bisa melahirkan sikap penting atau tidak penting, bahkan apriori yang brutal. Semua pernah memiliki buku yang berisi catatan lama sebagai panduan berpijak. Yang nanti bisa jadikan pelengkap sekaligus merespon setiap lintasan kegiatan. Misalnya, menghitung setiap kegiatan dengan rupiah yang bisa didapat adalah salah satunya, betul semua orang memerlukan uang itu sebagai sarana, bukan sebagai tujuan, meski ini sangat tipis bedanya. Perbedaannya pada keihlasan yang kalian sendiri dan Tuhan yang bisa mengukur dan menakar. Panduan buku berisi catatan lama kalian 'simpan' dulu, bukan untuk dibuang, tetapi buka halaman baru untuk mencatat sekaligus menerjuni setiap reaksi dan respon positif dan negatif, agar nantinya kalian bisa bergulat dengan tindakan atas dasar tidak hitam putih tetapi dari seluruh sudut pandang yang ada. 

Sebagai mentor di sekolah alam, dan saat itu menjadi guru baru berstatus magang, mencoba membuka kran dialetikanya. Menyadari betul bahwa pembaca buku mestilah memiliki pikiran terbuka, dan mengabaikan sejenak tentang teknis penulisan dan seterusnya agar memperoleh beragam cara tutur yang bisa diserap, dan terhindar dari katak yang selalu merindukan tempurungnya .

Kemungkinan dari setiap guru adalah mahir menciptakan tempurung untuk pikirannya sendiri. Sehingga untuk mengaktifkan bluetoth teramat suka. Apakah hanya kematian yang dapat membuka pikiran terbaiknya?. Adakalanya Firaun menjadi tolak ukur dari kegelapan yang terus menutupinya, sampai nyawa tercerabut dari badannya. Seperti itukah dialektika yang ingin dibangun wahai para guru?

Guru baru memperlakukan dirinya sebagai pembaca baru atas lembaga yang ia ‘baca’ mestilah sungguh-sungguh. Sebagai laboratorium hingga penilitian-penelitian atas nama pengabdian tercetak jelas dalam langkah, pikiran, juga tindakan nantinya. Selanjutnya bisa menjadi penjaga definisi atas peran dirinya sebagai seorang guru.

“Seorang guru ketika melewati gerbang (pagar) sekolah, mestilah ia meletakan pakaian terbaiknya (ego, dialektika, epistimologi, dan seterusnya) agar bisa menerima pakaian lain sebagai bagian dari dialektik baru, yang sesungguhnya saling kait-mengait”

Kalimat di atas diucapkan tidak dalam ruang-ruang seminar, tempat duduk yang nyaman, meja yang bersih dari merek terkenal, tetapi dituturkan dalam keadaan duduk melingkar (circle time) sambil menikmati kudapan pagi (gorengan dan teman-temannya). Dalam ruang tidak luas, memaksimalkan ruang kantor dan diantara rak-rak buku berisi buku-buku pedagogig dan yang sejenisnya. Guru-guru baru tetap mengunyah setiap kalimat-kalimat yang meluncur dari sang kepala sekolah, meski kebanyakan kalimat didaktik, tetapi sesungguhnya jika berangkat dari arus kesadaran, maka bisa menyerap setiap pendekatan yang bersifat didaktis-psikologi. Juga membosankan bila setiap dari guru otonom dengan cara berpikir dan tak membuka peluang bahwa ada metode mendidik unik yang tidak di dapatkan ketika 'berseragam' lain.

Jika kalian antipati dengan istilah unik, mungkin kata khas boleh juga dipakai, sebagai dasar pembaharuan mestilah terus menerus dilakukan. Karena guru akan menghadapi setiap anak yang bukan zaman kalian, mereka (anak-anak) memiliki zaman yang tidak ada di zaman kalian. Ungkapan lain dari Ali bin Abi Thalib* tadi, bisa menjadi kapak bagi guru yang telah beku pedagogignya, lalu suatu hari ia sendiri yang menghantam kebekuan itu dengan kapak yang telah digenggamnya lama. Hanya mereka (guru) yang bisa menghantam isi kepala agar tak lagi beku dan berkarat, hingga nanti bisa menjadi para mujadid dan mujahid, dilatari kesadaran bukan keterpaksaan. Sebagaimana buku dan membacanya bisa menjadi kapak bagi pikiran yang beku Naiyeng-jawa.

Lembaga-lembaga yang pernah disinggahi dengan amanah yang sama, yaitu guru. Tak bisa menjadi laku terpuji jika penyebab keluarga ada pada dendam dan kecewa yang berkobar-kobar. Marah boleh, tetapi segera sudahi, dan maafkan mereka. Demi kesehatan kalian. Mendampingi siswa setiap hari berangkat dari kekecewaan bahkan rasa dendam kesumat, meskti tampak normal dan patut diacungi jempol besar-besar, tetapi sesungguhnya sedang melakukan kebaikan yang bertumpu pada transaksional, sampai kapan terus bertindak dengan dasar pikir seperti itu.

Lelaku diatas mestilah disudahi, jika pernah merawa kecewa dengan seseorang yang sekarang atau dulu, duduk dan mengampu kebijakan. Kebijakan dirasa tak mewakili aspirasi diri atau teman-teman yang meletakan kepercayaanya untuk mengubah kebijakan agar sesuai dengan kehendak dan pikiran terbaiknya. Lalu dikemudian hari, karena merasa tak pernah digubris selayaknya para demonstran, bahkan tak menjadi bahasan penting di rapat-rapat pemilik kebijakan, bahkan dirasa telah menjadi warga kelas dua dari sebuah perguruan bernama lembaga pendidikan. Semua itu segera bungkus dan masukan dalam tong sampah, dan mulailah membuka diri atas hal-hal yang tidak sesuai keinginan dan yang sesuai dengan keinginan.

Lalu mempraktikan pendampingan dengan perintah-perintah kekecewaan menggunung yang kapan saja bisa meletus. Lalu menghamburkan asap; siswa selalu menanyakan dimana wali kelasnya, karena setiap ada celah walikelas mlipir sejenak ke dapur sekadar minum kopi dan berasyik masyuk dengan rekan sejawat tanpa pernah mengabarkan, atau lebih berani meminta izin kepada ketua kelas jika dirinya keluar sejenak mengisi amunisi dalam ruang-ruang kejujuran serta keikhlasan. Meski menurut kacamata guru sulit diindrawi pengamalan dari sebuah keikhlasan. Tahu-tahunnya pekerjaan sudah rapi, ketika salah seorang rekan guru tak masuk kelas karena di dera sakit. Ini juga patut diwaspadai.

Kiranya cukup menghadirkan pembicara demi pembicara yang tak membawa dampak yang diharapkan. Kata pembicara dari sekolah lain. Sambil mengumumkan bahwa Li wajhillah lebih dari segala-gala. Tak perlu menunggu momen ketika melihat hal-hal yang kurang tepat dengan budaya sekolah, budaya organisasi, dan ekosistem budaya. Seberapapun hebat sang pembicara mengupas segala lini pendidikan tanpa pernah guru membuka diri atas peluang-peluang yang bisa diterapkan menjadikan pendampingan makin lama makin mumpuni. Selepas itu, konsep yang mendengung dikepalanya luput begitu saja seperti burung elang yang menyambar setangkup roti yang sedang dimakan oleh turis di pinggir pantai. Keluar dari pintu seminar, menguap begitu saja tanpa pernah mengendap, tetapi lega sudah menggugurkan kewajiban dari program yayasan. Sekilas betul, tetapi itu sungguh menyesatkan, karena tidak dimaknai sebagi fasilitas peningkatan pedagogig guru.

Hangat-hangat tahi ayam, setelah keluar dari ruangan seminar menguar begitu saja, seperti tak pernah disiram oleh konsep-konsep pendidikan dari pakar praktisi. Bukan pakar yang duduk-duduk saja menanti draf-draf beratus halaman dari seorang stafnya tanpa pernah membacanya barang sejenak. Sukses menggulirkan lalu lari terbirit-birit liburan ke pulau dewata. Tetapi, pakar ini, berbeda dari yang lain. Ia bergelut dan berkoban. Seolah-olah sudah siap untuk dibenci, pada bagian ini dirinya sudah menjadi martir atas nama ketidakaturan ketidaktertiban yang sering memakan korban bagi guru-guru yang waras (berdedikasi) sebagai pembawa lentera di kegelapan.

Untuk menelusuri jejaknya dalam hal pengamalan dunia pendidikan yang lain dari pada lain. Seyogyanya memperhatikan cara mereka berpindah (berhijrah) dari wilayah yang menurutnya tak mendapati dirinya dalam posisi yang diharapkan. (Misal: rajin silaturahmi kedokter). Melalui perencanaan yang terukur berpindah peran menjadi seorang guru, yang mengajari para muridnya untuk terus menjaga sebuah definisi pendidik dan segala hal turunannya.

Sudah sepatutnya beralih dari wilayah-wilayah sensor pada wilayah simbolik, pada ruh sebagai guru. Guru yang tidak hanya menjejali pikiran muridnya dengan sejuta soal pintar, tetapi dibarengi tindak tanduk agar terus tumbuh. Pendek kata; ketika guru memberi soal mata pelajaran, tidak berhenti belajar, tetapi dari soal-soal itu siswa terpantik untuk mengulik semua jenis pengetahuan.

Jika tak keberatan ada kalimat yang mengatakan, guru yang membuat pintar para anak didiknya, hal itu sudah kelazimannya sebagai guru. Tetapi ia tidak puas hanya sekadar menjadikan semua siswa didiknya pintar-pintar, langkah berikutnya ia mesti memastikan agar siswanya bisa punya kemandirian sikap, dan semua turunannya agar semua keputusan tentang dirinya tidak diputuskan oleh orang lain, meski itu orang tuanya sendiri. Itu salah duanya, yang lain masih bertebaran pada langkah dan tawa mereka; yang katanya masa paling indah masa-masa di sekolah. Salah satu lirik lagu yang dinyanyikan alm Chrisye.

Kamis, 09 Januari 2025

Aku Puas!, Sangat Puas!

Saat sampai di tukang cukur dekat rumah. Sampingnya penjual nasi uduk, tempat kami jika kepepet tidak grecep untuk membuat sarapan, gantinya beberapa bungkus nasi uduk dan lontong sayur sebagai penggantinya. Karena menjelang masuk anak-anak sekolah, beberapa tempat cukur dipenuhi oleh anak-anak yang ingin merapihkan rambutnya. Dengan berbagai ragam mode. Tempat yang satu ini, adalah pilihan terakhir yang tidak ramai, seperti tempat cukur lain.

"Low Fade bang," kata seorang anak, ayahnya disamping bereaksi. Tetapi buru-buru untuk melihat situasi. Ia tersenyum dengan permintaan dari anaknya. Ia cukup lega.

"Yang dua jari dibawah (Pendek diatas telinga)" kata si abang.

"Ya," jawab anak itu.

Abangnya mempersilakan duduk dan menambah papan untuk menyesuaikan tinggi badannya. Menyelimuti kain khusus dari bawah leher sampai menutupi tubuh bagian bawah. Abangnya mengeluarkan alat cukur elektrik jenis Philips Clipper HC3426, jika tak salah. Dengan elemen dua ketajamanan yang bunyi khas mirip penyedot debu.

"Aku Puas!, Sungguh Puas...!" ucap seorang anak kepada ayahnya yang telah mengantarkan ke tukang pangkas rambut. Anak itu memilih sendiri jenis model yang ia ajukan kepada si tukang cukur rambut. Tukang cukur rambut menyanggupi model rambut yang si anak ajukan. Kongkalikong model rambut terjadi. Karena si anak mengetahui jenis rambutnya dan bagaimana menentukan jenis model yang tepat.

Tiga bulan sebelumnya. Mereka pergi ke tukang cukur di tempat yang berbeda, melakukan sebagaimana seharusnya dilakukan. Memangkas sedikit demi sedikit. Sampai model yang disepekati selesai dituntaskan.

Turun dari kursi cukur. Anak itu nyelonong di depan ayahnya tanpa menatap wajahnya. Terburu-buru keluar dari tempat cukur, sambil bercucuran air mata. Ayahnya membayar ongkos cukur dan menghampiri anaknya yang tiba-tiba menangis.

"Tukang cukur bodoh, aku bilang dia malah potong, ayah juga malah diem-diem aja!"

"Kamu boleh bilang lagi, kalau modelnya jelek!" kata Ayahnya. Membututi anaknya yang sungut-sungut. Lalu pulang naik motor, kepalanya beberapa kali menoleh kebelakang, memastikan anaknya baik-baik saja. Dan mulutnya mengatup menahan marah.

"Kenapa ayah yang bilang, aku kan malu yah!"

"Tidak perlu malu, kan jadi gini, kamu nggak suka hasil potongannya!"

"Dasar tukang cukung bodoh, nggak jelas!"

sampai rumah pun masih sama, anak itu urat lehernya masih kencang, dan terus saja mengeluarkan kata-kata tak suka pada tukang cukur, katanya tukang cukur baru belajar, aku ngomong begini malah nggak nurut, bilang anak itu.

Itu yang terjadi pada tiga bulan yang lalu.

Sekarang ini anak itu bolak balik bercermin. Menyeka potongan rambut, hasil usulan sendiri, tanpa ada unsur campur tangan ayahnya. Yang kemudian lahir senyuman mengembang tak henti setiap selesai bercermin.

Mengusulkan sesuatu lalu lahir ciptaan rasa yang membangun kedekatan dirinya dengan ayahnya. Sesuatu yang jarang dimiliki oleh ayahnya yang sebagian besar waktunya, diluar rumah.

Ayahnya yang di dapur, memasak nasi goreng, terasa lega pada telinganya yang sudah mulai berusia empat dekade. Melongok sejenak pada anaknya yang teriak dengan kencang."Aku puas!, sangat puas!

Selasa, 07 Januari 2025

Melayat

Seorang nenek meninggal sore hari. Somplang dan Ibunya melayat ke rumahnya sampai malam. Di sana terbujur kaku mayat yang sudah dislimuti kain batik (jarit) coklat motif bunga kenanga. Somplang menatap ke arah mayat yang terbungkus kain dan masih mengingat jelas bagaimana wajahnya ketika masih hidup. Jakunnya naik turun.

Ibunya bercakap dengan putri almarhumah. Usianya sebaya dengan ibunya. Somplang duduk di atas amben tak jauh dari jenazah itu. Rasa takut itu masih menjalari tubuh somplang. Ia meneguk ludahnya sendiri beberapa kali.

Hujan turun deras. Suasanya menjadi adem. Somplang duduk termangu dan masih mendengar jelas percakapan mereka. Sampai larut malam obrolan itu masih saja berlanjut.

Ibu mendekati Somplang dan duduk di sampingnya.

“Tidurlah, kita pulang setelah hujan reda,” bujuk ibunya.

Somplang tidur bersama ibunya. Nyenyak sekali. Pukul dua pagi ia terbangun. Jantungnya seperti copot ketika wajah ibunya berubah menjadi wajah mayat sang nenek. Matanya yang menakutkan itu tak berkedip memelototi wajah somplang. Somplang berkedip berharap hanya mimpi. Ketika membuka matanya ia masih di pelototi.

Ia memaksa utuntuk tidur dan bangun keesokan pagi. Mencari ibunya yang tak ada disampingnya. Ia duduk bengong sendiri. Ketika menengok ke arah jenazah yang masih terbaring, jantungnya berdebar kencang. Jenazah masih ada di tempat, dan masih tertutup wajahnya. Lalu ia tidur dengan siapa. Somplang mendengar ada suara berdehem. Dan itu suara yang ia kenal betul. Suara yang empunya sudah meninggal. Ia kabur lari membuka pintu dan bertubrukan dengan ibunya yang sedang membawa sarapan.

HADIAH

Badrun sudah sampai di rumah terlebih dahulu dibanding ayahnya. Duduk di kursi, siap untuk makan siang. Di atas meja makan sudah lengkap nasi dan lauk pauknya. Ada ikan balado merah dan tumis buncis, juga bala-bala. Ia menelan ludahnya sejenak. Lalu tangan kanannya mengambil piring, tak ketinggalan satu setengah centong nasi.

Suapan pertama ayahnya datang. Ia melihat dengan ujung matanya. Seperti kebiasannya, ayahnya meletakkan peci di gantungan, mencantolkan baju kokonya, dan melepaskan sarung berganti celana santai.

Ayahnya ikut gabung di meja makan. Mulai menyendok nasi dan menata lauk pauk secara acak di atas piring yang pinggirnya bergambar rumah dinasti Ming.

“Drun kau buru-buru sekali pulang, tak doa dulu?”

“Laper yah.”

“Sama?”

“Apalagi banyak yang tidur Yah, ketika ustaz ceramah. Emang boleh tidur Yah saat sholat jumat.”

“Aturannya tidak boleh, jika mereka tahu hadiahnya, mereka tak mungkin tidur saat khotib berkhutbah.”

“Emang hadiahnya apa Yah?

Sebelum ayahnya menjawab. Ibunya bergabung di meja makan. Ayahnya berhenti sejenak. Ia mengambilkan piring dan sendok di dekatnya lalu diberikan kepada istrinya.

“Terimakasih Yah?” ucap Bunda.

Ia mengangguk dan tersenyum tipis.

“Apa hadiahnya Yah,” desak Badrun.

“Mereka yang datang lebih awal sebelum khotib berbicara, sempat sholat sunnah dua rokaat, lalu berusaha melek mendengarkan seksama saat khutbah berlangung, meski banyak berdehem setiap satu menit, dapat hadiah bisa berenang di atas kolam berkaporit. Jernih tapi bisa memerahkan matamu. Yang datang pertengahan, sesekali berceloteh dan melototi anak-anak kecil yang berisik, peroleh hadiah bebas berenang di setu yang airnya berat kerena jarang mengalir. Apalagi yang datang terlambat, duduk dan ngobrol ngalor ngidul, mereka mendaptkan hadiah makan kerupuk kulit berkilo-kilo.”

“Itu kan yang datang Yah, yang tidur bagaimana?” cecar Badrun.

“Kalau tidurnya hanya merem melek masih sempat mengaktifkan telinganya. Itu mereka dapat hadiah telur onta. Tidurnya angguk-angguk dan air liur mulai keluar dari celah bibir, ceramah dari ustaz hanya ditangkap sayup-sayup, mereka dapat hadiah telur Angsa. Bagi orang-orang yang ketika khutbah duduk bersender di tiang masjid, lalu ketiduran dan masih bisa sigap ketika iqomat dikumandangkan. Mereka dapat hadiah telur bebek bakar khas Tegal. Masih untung mereka.”

“Ada yang sampai ngorok Yah,” ungkap Badrun.

“Mereka-mereka yang datang sholat jumat belakangan, duduk mencari tiang, tiga menit kemudian mereka tidur ngorok setelah khotib membacakan wasiatnya. Mereka mungkin paling ngenes soal hadiah yang mereka dapatkan. Mereka dapat hadiah telor-telor cicak yang putih dan kuningnya tak bisa diceplok.” Ucap Ayah. Bunda di sampingnya hanya senyum-senyum saja.

“Dikasih tulisan saja yah, “DILARANG TIDUR SAAT KHOTIB BERKHOTBAH DAPAT HADIAH TELOR CICAK DOANG!” kata Badrun semangat. “Lalu di pasang ketika hari jumat, pasti nggak ada yang tidur Yah,” tambah Badrun.

“Anak pintar,” puji bundanya.

Ayahnya berhenti mengunyah. Meneguk air putih, dua tegukan. “Boleh juga tuh,” kata Ayah sambil mengacungkan Jempol yang gede.

“Soalnya aku lihat Ayah tadi pas jumatan tidur nyender di tiang. Mana ngorok lagi. Terus dibangunin sama orang samping, padahal imam sudah takbir. Baru Ayah berdiri dan Takbir dech. Kata Pak ustaz, harusnya wudu dulu, jangan main takbir aja yah?” ucap Badrun cuek.

CALON SARJANA TINGGAL TUNGGU WISUDA

Mereka janji akan bertemu di taman setelah sepekan yang lalu keduanya berkenalan. Satunya mengenalkan diri sebagai mahasiswi kedokteran di sebuah kampus ternama. Sedangkan pemuda itu mendeklarasikan sebagai mahasiswa psikologi. Satu sama lain saling mengagumi, cara klasik untuk mengukur hukum pertemuan dengan perkenalan.

Keduanya saling bertemu untuk kedua kalinya. Saling mengobrol ngalor ngidul tak ada dendam yang menjebak rasa rindu. Mungkin belum, keduanya tampak menjajaki untuk kesekian kalinya.

Mereka saling menatap mengukur kasih. Kicau burung seperti nyanyian india sebagai lagu pengiring rasa padu itu. Tukang taman yang berada jalur aman untuk mengawasi sambil menyabit seperti pengawal kerajaan yang rajin tutup mulut.

“Apa perlu mengikat pertemuan pada arah yang serius?” tanya pemuda itu sambil terus menyembunyikan tangan kanannya di balik jaket kulit coklat prodak Cianjur.

“Maksud abang?” Tanya gadis itu, tangan kanannya berkali-kali membetulkan poni yang berantakan.

“Janur kuning lengkap dengan undangan?” ungkap sang pemuda.

“Ah..., jangan buru-buru. Penjajakan saja dulu?” tangkas gadis itu.

Jawaban gadis itu oleh pemuda seperti penolakan halus. Ia berdiri spontan. Membetulkan rambutnya. Lalu memakai topi yang membuat gadis itu terkejut.

“Kau supir ya?” cecar gadis itu.

“Ngawur, aku ini calon sarjana tinggal tunggu wisuda,” elak sang pemuda.

“Bohong!, kau pikir aku bodoh, itu topi khas sopir!” desak sang gadis.

“Maaf...” polos sang pemuda. Ia menurunkan topi dan duduk lemas di kursi taman.

Gadis pujaan sang pemuda pergi sambil membawa hadiah dari sang pemuda. Tiba-tiba ia berhenti. Dan balik kanan berjalan menuju pemuda yang pucat pasi duduk melepas topi dan menggoyangkan sebagai kipas.

Pemuda mendongak melihat wajah pujaan hatinya kembali. Ia tersenyum dan berdiri menyambutnya.

“Maaf, aku juga bukan calon sarjana tinggal tunggu wisuda.”

“Siapa kamu.”

“Babu orang kaya yang sibuk bekerja, permisi.”

Hening. Taman sunyi. Kicau burung berhenti. Dan tukan taman itu tiba-tiba menghilang. Keduanya balik kanan. Tanpa pernah menoleh ke belakang.

Jumat, 03 Januari 2025

5.Kieri

Kita punya rencana, tetapi Allah yang Maha Mengatur. Aku masih membawa buku harian milik Kiera yang terbenam aman dalam tas slempang. Gundukan tanah itu masih segar. Tak ada taburan bunga mewah. Padahal Pak Alex seorang pengusaha yang berkecukupan. Sebuah papan nisan sederhana menorehkan nama, tanggal lahir dan selesai hidupnya.

Siapapun akan melihat makam berpikirr ulang untuk melakukan hal-hal buruk. Kecuali keburukannya mendarah daging. Setengah jam berlalu. Para pelayat sudah kembali pulang. Ibu, ayah dan Paman Erik juga sudah pulang. Bu Mona dan suaminya juga sudah lebih dulu meninggalkan pemakaman. Aku, Naura, dan Ares masih berdiri memandangi pusara Kiera. Sementara Pak Alex terlihat diam membeku menatap papan nisan.

Kuharap malaikat akan bersikap baik. Ia tak bisa melawan kematian. Penyakit kanker hanya salah satu penyebab. Takdir sudah berkendak. Siapapun tak bisa menolaknya. Entah ia raja atau rakyat jelata. Kenapa aku jadi sok tahu begini?

Pak Alex berdiri setelah lama jongkok. Senyumnya berhasil mengalahkan kami yang masih naïf untuk mengartikan sebuah kehilangan. Di tinggal pergi seorang sahabat tidaklah mudah.

"Terimakasih sudah menjadi sahabat putri saya."

Kami bertiga pamit dan meninggalkan Pak Alex sendiri.

Kami kembali restoran 54. Sampai di restoran aku masuk kamar mandi untuk memastikan tubuhku bersih dari bau kapur barus. Sejenak menjernihkan dari aroma pekuburan. Lalu keluar dengan baju ganti yang lebih nyaman. Ada yang hilang dan nyeri menusuk tapi tak ingin menggapainya. Aku berharap agar tak kehilangan logika terbaikku.

Kami bekerja di pos masing-masing. Suasana agak kaku. Ibu Mona seperti mengerti tentang suasana berkabung yang menyelimuti perasaan kami masing-masing. Ia menawarkan sesuatu yang menarik, mi kopyor.

Ares mengacungkan tangan melampaui telinganya. Di susul Naura yang tak mungkin menolaknya. Ini jenis makanan yang sulit untuk kami tolak. Kalau kalian menolak mungkin tak bisa tidur semalam suntuk.

Ibu Mona, Naura, dan Ares datang ke dapur secara bergantian. Aku yang melamun tak merasa kehadiran mereka. Selesai mengelap panci dan wajah, aku malah terjebak pada tulisan Kiera yang terus lengket di kepala. Kalimat-kalimatnya terus menerus memanggilku, menawan ingatan. Huruf-hurufnya seolah-olah berputar membentuk perisai yang sulit terpecahkan.

"Kak pangeran kesiangan, kau tahu, pedang yang hebat di tangan orang yang salah hanya akan berubah menjadi tongkat yang rapuh. Sebuah rak kosong lebih baik dari pada mengosongkan hatimu dari perasaan yang tersembunyi."

Mungkin ia menulis ketika menunggu sampai hujan reda di sebuah halte Bancar. Ingatan itu sulit untuk menghilang. Mungkin aku tidak ingin bermain-main dengan kenangan.

"Kau tidak apa Ben," Tanya Naura.

Aku tersenyum.

Suasana cukup sepi. Hanya ada beberapa pelanggan yang sedang menikmati makanan. Ketika kami berempat sedang menikmati mi kopyor. Muncul seorang pengunjung yang membekap mulutnya dengan masker bergambar kura-kura. Tas ransel kecil di punggungnya, sepatu kets, dan berpakaian army.

Ibu Mona menghampirinya. Terlihat dialog singkat. Tangan Bu Mona mengarah kepada kami. Keduanya berjalan bersisian mengarah ke meja kami. "Ben, ada yang mencarimu?" katanya.

Aku meletakan sumpit di atas mangkok. Ares dan Naura juga melakukan hal yang sama. Hening menyergap kami.

Bu Mona memberikan tempat duduk bagi gadis bermasker kura-kura. Ia membungkukan badanya sejenak. Bukan cara khas orang Purbalingga memberi hormat.

"Kau Ben." Tanya gadis di depan kami. Ia masih menyembunyikan sebagian wajanya dibalik maskernya.

"Ya."

Ia menurunkan maskernya dan menyembunyikan di balik kantongnya. Nafasku seperti berhenti berhembus.

Di hadapan kami, ada seorang gadis yang sangat kami kenal selama ini. Tapi tak mungkin, ia sudah meninggal, kuburannya masih merah. Orang sudah mati tak mungkin bangkit lagi.

"Saya Kieri." Begitu gadis di depan kami mengenalkan namanya. Wajahnya sangat mirip dengan Kiera.

"Hantu...!" Teriak Ares, ia hampir terjungkal kebelakang.

Mereka berlarian, panik, bercampur aduk. Tetap setia pada kisah ini. Ini baru prolog.

Kamis, 02 Januari 2025

Di Depan Ka'bah

Semenjak kutinggalkan rumah sore itu, kau gendong cucu pertama sambil melambai tangan 
Sewaktu rambutmu yang masih hitam tergerai setelah lolos dari ikatan
Sementara ayah tersenyum lepas sepulang kerja menuntun sepeda
Lalu waktu menggilas roda putar hingga masa lekas sekali senja

Anakmu telah melepas lelah di bangku kuliah, tak seiris tanah milikmu yang dimakan tuan tanah
Kukira lelah itu menjadi ladang yang barokah berlimpah-limpah
Sejak saat senyum itu mulai berubah tuntutan mengurai kepercayaan diri
Pada jejak kata semasa adu mulut pertahankan kalimat pada dosen ingin menang sendiri

Kututup lembaran-lembaran, pada kata ibu penyelamat hidup anak lelakinya
Lalu mengubah perasaan luka menjadi harap penantian mulia 
Melihat keningmu sujud penuh cita di depan ka’bah yang dijaga
Oleh langit dan bumi, juga doa-doa ikhlas dari mulut-mulut yang lapang dadanya

Pada umur yang singkat ada harap panjang agar sujud panjangmu tak goyah
Hinggap bertahun juga tak apa, asal bersih modal serta jalan berisi rido 
Pada doa berjalin taut berlipat-lipat, agar lengkap menurunkan jumawa
Air mata tumpah pada sujud-sujud panjang yang lama dinanti, pada ka’bah yang jauh

Selasa, 31 Desember 2024

OLIGARKI

Terdengar suara tembakan. DOR! Semua pelari melesat menuju lintasan. Bergerak cepat berlomba menuju garis finis. Penonton yang membludak memenuhi stadion memberi semangat pada jagoannya masing-masing. Otot-otot paha pelari yang terlatih semakin terlihat, latihan bertahun-tahun untuk menjadi yang tercepat dalam beberapa detik saja. Impian semua atlet di dunia manapun.

Nomor punggung sepuluh sudah melesat cepat mendahuli lawan-lawannya. Kecepatan larinya seperti cheetah, pelari tercepat diantara kucing-kucing besar di Afrika sana.

Pada detik yang hampir bersamaan, pelari bernomor punggung tujuh mulai menyusulnya dengan kecepatan yang mengagumkan. Seolah tak punya pusar, lari dan lari. Penonton dibuat kagum oleh penampilannya. Pendukungnya makin bersemangat, mereka berteriak dan bertepuk tangan. Histeris.

Peluh keringat nampak mengkilat menerpa tubuh pelari yang sedang kerasukan, matanya ada yang melotot menahan nyeri menyerang otot paha. Larinya semakin tertinggal.

Yang lain masih memiliki nafas banteng. Semakin sayu matanya semakin ganas larinya. Kini kelompoknya makin terpisah. Satu tertinggal masih berlari sambil menahan nyeri. Hanya darah yang terus mendidih mempertahankan nama baik negaranya. Mereka adalah petarung yang siap mati di medan perang, dengusannya mampu menanggalkan pedang-pedang tajam. Keringat makin bercucuran membuat para pelari seperti di sauna.

Lomba lari seratus metar tingga beberapa puluh meter lagi. Menyisakan dua pelari di barisan pertama. Saling mempertahan kecepatan berlarinya. Garis finis sudah terlihat. Kecepatannnya semakin mengagumkan, siapa yang mencapai garis finis dialah yang terbaik. Harga dirinya dan negaranya menjadi jaminan. Namanya akan menjadi legenda dari setiap pelari terbaik dari segenap penjuru dunia.

Penonton makin histeris manakala pelari nomor tujuh dan sepuluh semakin liar, tidak terkendali, seperti kecepatan mesin, mereka berdua memiliki kecepatan yang nyaris sama. Pelari nomor tujuh melewati garis finis nyaris sama dengan pelari nomor sepuluh. Keduanya merayakan dan sama-sama mengaku sebagai pemenangnya.

“Kita coba tanya wasit lapangan, siapa yang tercepat!” usul pelari nomor sepuluh.

“Siapa takut!” pungkas pelari nomor tujuh.

Keduanya menghadap wasit. Penonton ikut hening. Mereka seperti tahu ada yang sedang diperebutkan. Hanya bisik-bisik kecil lewat mata juga mulut-mulut yang terkatup.

Microphone berdesis, semuanya menahan nafas. “Untuk pemenang lomba lari jarak 100 meter adalah pelari dengan nomor punggung sepuluh,” ucap sang wasit.

Tidak hiruk pikuk seperti lazimnya ada seorang pemenang. Mereka seperti menentang, tetapi bingung bagaimana cara mengungkapkannya. Diam tak bicara sepatah kata.

Pelari nomor tujuh datang menghadap kepada wasit. “atas dasar apa anda!, kenapa dia yang menang! Keputusan salah akan merugikan yang lain, anda tahu itu!” protes pelari nomor punggung tujuh.

“Memang dia yang menang, kau mau apa!” tanya wasit balik. Alisnya makin naik.

“Kasih satu alasan yang logis kenapa dia yang menang!” ucap pelari nomor punggung tujuh, marah.

“Ketika menginjak garis finis, mulutnya terbuka, giginya yang tonggos membuatnya sampai duluan di garis finis. Salah sendiri gigi kau tidak tonggos. Kuharap you paham ya!” jawab sang wasit tajam. Pelari nomor punggung tujuh turun dari podium menggeleng tak percaya.

HAKIM RAKUS

Emir tengah duduk di kursi pesakitan, pandangan matanya menatap seorang hakim yang sedang duduk mengawasinya. Kepalanya menunduk menatap koper yang berisi lempengan-lempengan batu yang ia susun sebelum menjalani sidang. Koper diletakkan dekat dengan kedua kakinya. Kedua tangannya mencengkrem lengan kursi jati warisan zaman kompeni. Emir tengah menghadapi tiga tuntutan.

Pertama, tuntutan dari kakaknya, Aldino. Mobil yang ia pinjem untuk mengantarkan temannya ke kampus apes, kecelakaan. Kakaknya yang superduper pelit menuntutnya dengan ganti rugi seratus juta karena telah menghilangkan dua spion mobilnya.

Kedua, tuntutan dari temannya. Masing-masing menuntut ganti rugi sebesar lima puluh juta. Karena telah membuat anjing termahal sedunia kehilangan ingatan pada tuannya (temannya).

Ketiga, Emir tak sengaja menyenggol temannya hingga masuk got yang menyebabkan Arloji bertahta berlian dari Paris mati total.

Emir sudah mencoba segala cara, tetapi tidak berguna sama sekali. “Ini negeri yang aneh,” batinnya. Ia menatap ke arah hakim yang sudah bersiap-siap membacakan putusannya.

Kopernya ia angkat dan dilitekkan di depan kakinya. Hakim mendelik menatap koper itu. Ia tersenyum senang dan membayangkan bagaimana banyaknya uang yang akan diterimanya. Tanpa berpanjang kata, si Hakim mulai membacakan putusannya.

“Untuk kasus pertama, kakakmu harus membelikan sepeda motor Yamaha YZR-M1 yang pernah dipakai oleh legenda hidup motoGP,Valentino Rossi,” ucap sang Hakim meyakinkan. Aldino terhenyak, wajahnya sepucat salju.

“Kasus kedua dan ketiga, kalian harus memberikan Honda RC212V yang pernah dikendarai oleh Dani Pedrosa. Dan satu lagi, kau harus memberikan honda Ducati Desmosedici, yang pernah dikendarai oleh Casey Stoner,” kata Hakim tegas. Ia mengetuk palu tiga kali, dan kembali menyidang kasus-kasus yang lain. Koper pun berpindah tangan, si Hakim mengedipkan matanya ke arah Emir. Ia berencana akan berlibur ke luar negeri membawa semua anggota keluarga, serta menginap di hotel mewah berbintang tujuh.

Selesai menyidang, si Hakim membuka koper. Matanya membelakak; Jika Tuan Hakim memutuskan tidak adil, akan kubunuh dengan koper ini. Secarik kertas berisi pesan Emir terbaca oleh si Hakim. Tangannya gemetar meraba lempengan batu pipih yang dikiranya uang berlimpah. “Jika aku tak menolongnya, kepalaku sudah berdarah dihantam koper berisi batu-batu ini,” bisiknya lirih. Ia sangat terkejut sembari tersenyum kecut.

Kakaknya tak mampu memberikan apa yang diminta Pak Hakim, ia hanya mampu membelikan motor bebek, Emir merasa senang dan menerimanya. Kedua temannya yang penipu itupun hanya mampu memberikan motor klasik kesayanganya dan motor metik yang baru lunas. Mereka terpaksa memberikan karena tak mau merasakan dinginnya lantai penjara.

Jumat, 27 Desember 2024

Balada Anak Kos

Di warung makan sederhana Andri sedang mengantri menuggu giliran memesan menu makanan. Ia berencana untuk makan di kosan., alias bungkus. Teman-teman satu kosan sudah mudik ke kampung halaman, mengisi waktu liburan.

Di depannya dua gadis sedang memesan makanan.

“Bang bungkus tiga ya?, pakai semur ati, orek tempe, capcay, jangan lupa kasih sambel.”

Aroma semur ati menguar kemana-mana. Begitu juga sambel medok di campur irisan pete. Andri menelan ludahnya sendiri. Dari subuh ia sudah mengelus-elus perutnya, bukan oleh mulas ingin buang air besar.

Abang itu mulai membungkus pesanan gadis itu. “Yang dua menunya apa?” tanya si abang sambil mengikat nasi bungkus itu dengan karet geleng merah. “Yang dua samain aja bang?” jawab gadis itu.

Abangnya membungkus pesanan dalam waktu yang mengagumkan. Semunya diberikan karet gelang merah, tak ada sobekan pada kertas nasi.

“Berapa bang?”

“24 ribu neng?”

Gadis itu membayar dan kemudian bergegas pergi.

“Saya pesan empat bungkus bang,” ucap gadis selanjutnya.

“Pakai apa,” tanya abang warung.

Abang warung sudah menaruh nasi di atas kertas nasi, lalu dibentuk cekung agar nasi tidak tumpah. Tangan kanannya sudah memegang gagang sendok menunggu lauk apa saja yang di pesan oleh sang gadis.

“Pakai lele goreng, sayur nangka, tahu goreng satu, kasih sambel ya bang?”

Si abang mengambil kesemua lauk itu cekatan. Meletakaknnya di atas nasi putih. Lalu membungkus dengan karet gelang kuning.

“Terus,” kata si abang yang sudah siap dengan pesanan kedua.

“Telor balado, orek tempe, capcay, tahu goreng satu, juga sambelnya bang.”

“Dua lagi pakai apa neng.”

“Samain saja bang lauknya.”

Hening sejenak.

“Semunya 32 Neng,” kata si Abang. Si gadis itu pun membayar dan lekas pergi.

Andri menoleh ke belakang. Tak ada orang yang mengantri di belakangnya. Ia menatap berbagai menu yang ada di depannya. Seperti dosen yang melihat mahasiswa presentasi.

Si abang menatapnya. “Pesan berapa?” ucap si abang. Andri kikuk meremas uang kertas yang sedang digenggamnya.

“Satu saja bang,” jawab Andri mantap.

“Pakai apa,” tanya si abang.

“Ini apa bang,” tanya Andri menunjuk menu secara bergantian.

“Sayur nangka, lodeh, capcay, opor, ati, dan lainnya ” jawab si abang agak manyun.

“Kuahnya saja bang, banyakin ya.”

Untuk sejenak si abang tertegun, kedua alisnya mengkerut. Ia menatap Andri cepat-cepat, lalu mengguyur nasi itu dengan kuah sayur nangka, lodeh, opor dan ati. Andri makin kikuk dan memberi intruksi lagi kepad si abang.

“Jangan lupa sambelnya bang.”

Si abang membungkusnya dengan cekatan setelah menambahkan satu sendok sambal. Ia memberikannya kepada Andri.

“Berapa bang?” tanya Andri. Keningnya banjir oleh keringat. Dan ia makin kuat meremas uang kertasnya.

“4000 ribu saja?” jawab si abang.

Ia tampak lega, lalu memberikan uangnya.

“Nih saya kasih gorengan Tahu gratis,” ucap si abang agak meleleh. Gorengan tahu itu tampak gendut dan menggiurkan.

“Terimakasih ya bang?” tutur Andri. Bergegas berbalik ingin keluar dari warung makan. Tak di duga, dua gadis tadi kembali lagi dan tengah duduk mengantri, meraka tersenyum manis padanya. Andri cepat-cepet pergi dari warung makan, menyesal tak sempat membalas senyum dari kedua gadis manis itu.