Jumat, 27 Desember 2024

Hikayat Penjaga Wartel

Seorang penjaga wartel sedang istirahat. Nama wartel itu, wartel mawar. Ia membalik sebuah tulisan: TUTUP. Duduk ia di beranda depan. Air dari got kecil menyambutnya. Kadang bau kadang tidak. Di depan wartel banyak kontrakan kecil yang di huni dari beragam suku. Mulai dari Batak, jawa, sumatera, sunda, dan seterusnya. Mereka sering mampir ke wartel pada waktu-waktu mendesak.

Saat istirahat, penjaga wartel membuka cemilan. Minum beberapa teguk dari air kemasan dan makan camilan. Di samping tempat duduknya tergeletak cemilan lain, seperti kripik, kue, marning, dan seterusnya yang dibelinya dari warung sebelah.

Seorang anak kecil usia 5 tahunan datang mendekatinya. Lalu duduk disampingnya sambil terus melihat ke arah penjaga wartel. Kedunya sudah sering bertemu, tetapi kesempatan untuk duduk bersama, bisa dihitung jari.

“Kamu sudah mandi belum?” tanya penjaga wartel sambil menyesap air yang tidak sehat untuk ginjal, jika sering-sering.

Anak kecil itu mengangguk. Ibunya dari seberang berkata. Suara cukup lantang. Tetapi masih bisa ditoleransi.

“Jangan ganggu Omnya, dia lagi istirahat,” ucap ibunya dalam bahasa sunda. Lalu si Ibu kembali lagi dengan cucian menggunung.

Anak kecil itu mengangguk-angguk menggemaskan.

“Lucu banget sih kamu,” ucap penjaga wartel.

Anak kecil itu tertawa. Lalu kedua matanya langsung fokus pada sepotong kue yang terbungkus plastik bening. Dan ia tak berhenti menatap.

“Kamu mau kue ini?” ucap penjaga wartel.

Anak kecil itu hanya tersenyum. Tetapi matanya tetap pada kue yang terbungkus plastik bergambar daun salak. Dan ia tersenyum lagi.

“Mau nggak?” tanyanya lagi.

Pesan Ayah

“Dari tadi saya perhatikan kau hanya mondar-mandir. Mungkin saya bisa bantu mencarikan atau memilih kain yang ingin kau beli?, saran Ibu pemilik Toko.

“Ayah menyuruhku mencari kain, tetapi aku tak mengerti bagaimana corak dan warnanya,” jawab Anton. Tas ransel yang menggelayut dipunggungnya masih menempel sekarang ia turunkan.

Anak itu mengeluarkan beberapa lembar amplop cokelat. Aroma kue bolu muncul dari balik amplop. Ia terus menukar antara amplop satu dengan yang lain. Si Ibu tampak gemes melihat Anton yang sudah sepuluh menit mampir di tokonya.

“Aku lupa pada amplop mana kutaruh tulisan itu? ucapnya sambil tersenyum. Senyum agak ganjil dan tatapan matanya terasa jauh.

“O, kira-kira amlop mana surat itu berada?” ucap si Ibu sambil menggeledah tiga amplop coklat.

“Aku tidak tahu Bu?, mungkin yang ini Bu?” ucap Anton sambil tersenyum disertai gumam tak jelas dan tawa yang tertahan. Ia kesulitan untuk kontak mata dengan Ibu pemilik toko.

RUMAH MASA DEPAN

Badrun salah seorang tukang (ahli) bangunan sedang menunggu Pak Lebay, Bosnya. Ia telah menyelesaikan satu bangunan rumah bersama anak buahnya. Tak lama Pak Lebay. Mereka duduk-duduk di sofa ruang tamu. Udara sekeliling masih mengeluarkan aroma cat.

“Bagaimana kabarmu Drun, sudah lama nggak ketemu,” tanya Pak Lebay.

“Baik Pak, rumah juga sudah siap huni,” jawab Badrun bangga.

Pak Lebay tersenyum. Badrun bungah.

Pak Lebay beranjak berdiri. Mulai melihat-lihat hasil pekerjaan Badrun. Ia mulai dari ruang tamu.

“Kenapa kau pasang keramik warna-warni.”

“Karena melambang hati yang gembira, semua yang Pak Lebay lihat nanti adalah berdasarkan filosofi kehidupan.”

“OK.” Pak Lebay mulai berkeliling.

Ia tertegun melihat sebuah pipa bening transparan yang terpasang di sepanjang dinding lantai atas ke lantai bawah yang nanti berahir di septik tank.

“Ini adalah filosofi keterbukaan di mana masing-masing dari kita manusia punya kekurangan dan kelebihan, jadi tak perlu sombong.”

Pak Lebay manggut-manggut. Ia tersenyum melihat kasur yang dibuat persis peti mati.

“Sebagai manusia biasa kita wajib untuk terus instropeksi diri agar kelak manusia bisa menjadi lebih baik.”

Pak Lebay mau turun dari lantai dua. Dan satu-satunya jalan agar sampai ke lantai bawah dengan prosotan. Secara otomatis anak tangga itu akan menarik diri seperti seekor ular yang gagal mematuk mangsa. Ia pun turun sambil melewati akuarium ikan yang terbuat dari pipa-pipa transparan yang terpasang melilit sepanjang ruangan.

Kamar-kamar juga terlihat membingungkan. Di hiasi oleh bermaca-macam terompet. Hingga para penghuni bisa bangun tanpa perlu weker. Terompet-terompet itu bisa bunyi secara otomatis.

Pak lebay geleng-geleng kepala. Ketika ingin menyalakan lampu tak ada satupun saklar yang terpasang di dinding.

“Bagaimana lampu-lampu itu bisa menyala Drun.”

“Menyalakan lampu tamu dengan tepukan tangan. Lampu kampar berdehem. Lampu kamar mandi batuk. Lampu dapur bersin. Lampu luar dengan hentakan kaki tiga kali.”

“O,” Gelengan kepalanya makin sering.

Pak Lebay keluar, tiba-tiba pintu tertutup sendiri.

“Jangan khawatir Pak, tinggal bersiul tiga kali, maka pintu dapat terbuka kembali.”

“Semua ini apa tidak berlebihan dan akan merepotkan penghununinya Drun?”

“Saya jamin tidak Pak, semua sudah saya perhitungkan. Bahkan untuk menyiram Tinja ketika BAB pun mudah sekali, tinggal menepuk dinding tiga kali. Sudah saya siapkan buku petunjuk bagi konsumen yang ingin membeli rumah ini.”

“Hanya dapur yang terlihat normal,” tutur Pak Lebay.

“Simbol kejujuran Pak,” jawab Badrun mantap.

Pak Lebay mengangguk-angguk. Mereka duduk kembali di ruang tamu.

“Begini Drun, kedatangan bapak ke sini adalah untuk menginformasikan...” Badrun memotong ucapan Pak Lebay.

“Ada yang beli ya Pak!”

“Bukan..., rumah yang kamu bangun ini adalah hadiah khusus buat kamu.”

“Buatku Pak!”

Pak Lebay mangangguk. Badrun tak percaya, tubuhnya tiba-tiba kaku, mengejang, dan ia mulai menangis. Pak Lebay menepuk bahunya. Ia pamit untuk pulang. Membiarkan salah satu anak buah terbaiknya menangis keras di ujung sofa.

Kamis, 26 Desember 2024

PLEASE DON’T JUDGE A BOOK BY ITS COVER

Sebagai Ketua DKM, Pak Sarno harus ambil keputusan. Melihat jamaah yang mulai gelisah. Timer yang dipasang untuk menunjukkan waktu iqomat sudah tak berbunyi. Ini sudah melebihi waktu yang ditentukan. Tetapi imam yang biasa bertugas tak kunjung datang.

”Bagaimana kalau Pak Sarno saja,” tanya seorang jamaah.

“Ngawur bacaanku masih blepotan,” jawabnya. “Diantara kalian apakah ada yang bisa jadi imam, bacaannya tartil, dan tahu rukun-rukun sholat?” sambung Ketua DKM.

Hanya gumaman dan suara saling melempar kesempatan. Bahu-bahu mereka beberapa kali ada yang mendorong. Rupanya di antara mereka ada yang terlihat cocok jadi imam.

Pak Sarno memeriksa HP nya. Ia mengeja nafas. Tak ada pesan balasan dari sang imam. Ia pun menatap jamaah satu persatu.

“Kau Bardi, kudengar kau dari pesantren ya, ayo maju, jadi imam!”

“Maaf Pak, memang saya mondok, tetapi waktu itu saya kena DO.”

Beberapa dari jamaah cekikikan. Wajahnya kaku menahan tawa. Pak Sarno mengelus jenggotnya yang mulai beruban.

“Kiamat sudah dekat nih,” ucapnya lirih.

“Kenapa Pak mules,” tanya jamaah lain. Ia mungkin perlu dibawa ke dokter THT.

“Ah tidak, akhir-akhir banyak kejadian yang tak lumrah,” ungkap Pak Sarno. Ia keluar dari Mushola dan berdiri di serambi. Menanti sang imam yang tak ada kabar.

Salah seorang jamaah menyusulnya.

“Sholat Isya sepuluh menit lagi, saya mohon Pak Sarno jadi imam,” pintanya. Suara-suara sepakat juga terdengar dari dalam.

“Baiklah, ini yang terakhir,” tutur Pak Sarno. Ia pun balik badan. Baru satu langkah suara sepeda motor berhenti di depan Mushola.

Seorang pria bergamis putih, tinggi, bersorban hitam, berjenggot panjang, berjalan menuju ke mushola dan langsung masuk kedalam.

“Apakah anda penggantinya,” tanya Pak Sarno.

“Ia mengangguk.”

Jamaah sudah lurus dan barisan sudah rapi. Bahu ketemu bahu. Pria bergamis sekarang berdiri di tempat imam dan menatap mereka satu-persatu. Pria itu mengerling ke arah Pak Sarno. Ia kaget bukan main.

Pria bergamis mengucapkan takbir. Surat Al Fatihah dilantukan. Suaranya cukup merdu. Jamaah mulai tenang setelah tadi kasak-kusuk. “Suaranya lebih bagus dari imam yang biasa,” bisik satu orang yang belum takbir ke jamah lain. Dan pada kalimat “wa lad-dollin”, lalu jamaah menjawab. “Aaamiiin.” Tanpa diduga tanpa disangka. Pria bergamis itu menoleh kebelakang menatap jamaah sejenak.

“Kompak ni yee!” ucap pria bergamis lantang.

Jamaah yang tadi khusuk mulai gelisah. Diantara mereka bahkan yang mulai menurunkan tangannya. Membatalkan diri, tapi masih dalam barisan. Pak Sarno yang persis di belakang imam yang paling shock.

“Apa yang kau lakukan hah!” Teriak Pak Sarno.

Ia malah menyentuh dagu Pak Sarno dengan cepat. Pak Sarno kaget dan tak sempat mengelak.

“Ih..., kamu cucok deh,” ungkapnya. Dan ia tertawa nyaring.

Cepat-cepat ia keluar dari pengimaman dengan menyibak jamaah. Jamaah hanya saling pandang manakala pria bergamis itu keluar dan menyalakan motor.

“Siapa tadi Pak Sarno,” ucap salah seorang jamaah.

Pak Sarno menggeleng. Jamaah lain pun membatalkan diri. Tak ada yang inisiatif untuk maju kedepan. Semua dilanda kepanikan. Azan Isya pun berkumandang. Sang imam yang biasa datang sempoyongan dengan wajah babak belur. Jamaah menyambutnya. Pak Sarno memapahnya.

“Hati-hati,” ucap sang Imam sebelum ia ambruk pingsan.

API TEKAD SEORANG GURU

BABAK 3

Seorang guru tengah mendampingi kepulangan siswa. Kepalanya dipenuhi oleh hal-hal yang sifatnya pengamanan. Anak-anak yang didampingi setelah pulang sekolah, memiliki kebutuhan untuk bermain. Saat itu gerimis masih menyisakan rintik-rintik satu dua. Basah, lantai tempat bermain yang sudah didesain mirip wahana bersih dari kotoran kaki dan kucing yang sering merepotkan pekerja kebersihan, tetapi jika ikhlas akan jadi cahaya pada saat terbujur kaku di pembaringan.

Dari lantai atas seorang pemilik gedung tengah mengawasi situasi setelah hujan. Kedua matanya menangkap guru yang tengah mondar-mandir mendampingi anak-anak ditingkahi gelak tawa lepas, tanpa memikirkan apakah nanti merepotkan sang guru, ketika dirinya terlalu lama mainnya, atau orang tuanya sedikit berempati pada guru tersebut higga tak mau menunda-nunda untuk menjemput ananda tanpa mengisi kepalanya, dengan lauk pauk alasan.

Bukan bermaksud untuk merepotkan orang tua, tetapi setidaknya meminta jatah untuk menyadari bahwa kebutuhan guru selanjutnya adalah bentuk pendampingan lain, misalnya menyiapkan pekerjaan lain yang berkaitan dengan peserta didik, ya mereka (para mereka) sedang melakukan siklus pertarungan moral yang terus diacung-acungkan, agar etika yang mereka benamkan di alam bawah sadar anak-anak, tak cepat-cepat menguap begitu saja ketika langkah pertama di ruang tamu. 

Lalu pada malam hari menjelang tidur, guru berusaha mencuri waktunya sekadar helaian nafas untuk memikirkan apa yang akan dilakukan besok bersama kelasnya, jika beruntung kalian akan didoakan lewat sujud-sujud panjang-pendek sambil menahan nafas dan istighfar berulang kali atas kata-kata bernada entah, pada ujung helaian kalian akan didoakan segenap jiwa raga tanpa memerdulikan apakah kalian sudah memberikan kenyamanan atau tidak.  

Bagi seorang guru pengabdiannya adalah seberapa besar ia menggenapkan setiap titah jejak seorang guru. Kalau kecewa, itu tidak mungkin. Guru berangakat dari titah seorang "nabi" yang bergerak mengajak dan menunjukan, titah seorang guru bergerak pada lautan niat yang terus menerus diperbaharui tanpa lelah untuk lillah setiap detak jantung.  Jadi seorang guru berpikir ngeluh pun harusnya jauh-jauh, apalagi untuk terpuruk pada kekecewaan berlapis. Yang dipakai oleh guru adalah standarnya pencipta alam semesta, hingga debu-debu ketakpuasaan selalu ada yang menyingkirkan oleh niat bijak bestari pada nilai adiluhung yang terus dijaga oleh api tekad seorang guru. Sebuah prinsip yang tak boleh ditawar. 


Orang tua yang memanfaatkan kebajikan seorang guru yang rela menunda pekerjaan pribadinya, dan mengutamakan anaknya yang membutuhkan bantuan lebih saat kepulangan sekolah sudah melewati batas tunggu. Mestilah menjadi bijak mandiri, pada posisi yang sedang dibicarakan, jika guru yang menyingkarkan jauh-jauh perasaan keluh lelah dan menerima jenis pendampingan yang berjam-jam hingga ia sulit bergerak lantaran anak muridnya tak kunjung dijemput atau memaksanya pulang lewat tatapan orang tua yang sudah mengerti bagaimana "beban" kerja yang sudah mulai berjalan Argonya ketika pukul 07.00 tiba. Tanpa memandang jauh kedalam, bahwa waktu didik di sekolah sudah selesai, kini tiba giliran orang tua melanjutkan apa yang sedang dititahkan oleh sekolah pada orang rumah. Maka menjemput adalah kegiatan sakral, karena ada estafeta dialektikta moral, karakter, juga sebaris tauhid, tengah dilanjutkan pada ketika mereka keluar dari gerbang sekolah.

Meski guru tak perlu menyudutkan dirinya agar dihormati dengan pedang pora sekalipun, tetapi penghargaan setara bukan menjilat adalah jenis kehangatan lain yang tengah dibangun oleh dua pendidik besar antara guru dan orang tua. 'Spesies' guru adalah mahluk yang keberadaannya ada pada ananta, hingga posisinya jangan pernah menyulitkan peradaban yang sedang dibangun bersama-sama. Atau setidaknya tidak meruntuhkan secara mudah apa-apa yang sudah dbangun atas nama karakter dengan susah setengah hidup diperjuangkan.

Kalau engkau mampu memasuki medan pertempuran dengan biaya tinggi, karena prestise yang sedang kalian bangun di tempat baru, orang-orang baru, dan identitas baru. Maka lembutlah pada perang sebelumnya yang kau titipkan anak-anakmu dengan biaya yang mencicil hingga selesai masa perang dan engkau meninggalkan sejumlah tagihan yang menyulitkan pemangku kebijakan untuk menjalankan sistem keuangan dan kesejahteraan guru pada tiap lini masa tanpa pernah memotong sesenpun. Medan perang seperti ini perlulah kau renung-renung barang sejenak, ketika jelang tidur atau ketika masa rehat nikmat ditemani secangkir kopi ternama dan roti yang jarang dijual di warung-warung kopi umumnya. Agar nantinya namamu tetap harum meski jejakmu sulit untuk dijangkau, atau setidaknya engkau memberikan lokasi terkini, agar kami bisa bersikap.

Jika seorang guru yang dulu pernah diberi "beban" untuk mendampingi anak mendengar bahwa kau meninggalkan tagihan, tetapi ditempat lain kau bisa melunasi kontan pembayaran tanpa pernah sekali untuk berhutang, jika posisinya seperti itu, mohon kami diberikan pencerahan agar tidak timbul praduga-praduga heran bercampur takjub. Mungkin ratusan juta kau bisa sodorkan tanpa pernah ragu pada lembaga baru, sementara kami disini berjibaku untuk mengatur keuangan agar bisa melunasi gaji guru yang nggak boleh ditunda-tunda. Ini perkara pelik yang mestinya duduk bareng menghadapi hal ini, tetapi kau meninggalkan begitu saja tanpa pernah memberikan jeda atas hubungan yang pernah mesra-mesra dibangun. Kau memaksudkan apa, apakah karena kau tahu medan perang yang kau buat bisa kau lucuti peralatan alat perang tanpa pernah berperang, atau disana banyak malaikat tak bersayap yang selalu bertasbih jika mendengarmu memasukan anak-anakmu ke medan perang dibekali senjata canggih dan membayar lunas di muka, lalu tak perlu repot-repot untuk melakukan i'tikad baik.

Cekap semanten. Jika tak mencukupkan untuk memberikan pernyataan terakhir, marilah sejenak untuk mengisi ulang perlengkapan isi kepala, membenahi tutur cakap, membereskan nilai-nilai yang semakin berceceran, memberikan wadah luas agar adonan yang sudah ada tak begitu saja dibuang, lalu mengisinya dengan baru tetapi tetap bergizi nilai pandang hidup, meski para pendatang baru silih berganti dengan mata jernih jujur siap untuk dibikin adonan dengan minyak karakter, polesan gizi pijakan epistimologi, Etika, Logika, bisa juga metafisika. Yang lain bisa dicurahkan pada sesi lain.

Jumat, 23 Agustus 2024

BONA

Mobil kijang yang kukendarai berhenti di depan rumah sakit ibu dan anak Vitalaya. Aku datang bukan untuk menjenguk teman yang melahirkan. Tetapi, aku datang karena telepon dari Bona. Perempuan perkasa dari Bogor. Ia salah seorang perawat di rumah sakit ini. Sejam yang lalu ia mengabarkan bahwa pernikahan tak bisa lagi dipertahankan. Mendadak setelah hampir setahun kami tak bertemu.“Kita harus cerai, titik tak ada koma!” begitu obrolan terakhir di ujung telepon sebelum mati. Dan bagaimana ia mendapatkan nomor HPku dengan mudah setelah seringkali berganti-ganti, aku tak tahu.

Bona, perempuan kulit putih, dan ia tak mau di sebut bule. Kami bertemu setahun yang lalu di DPR (di bawah pohon rindang) UIN Ciputat. Ia memakai gaun lembut dengan jilbab lebar. Seekor ular jatuh persis di samping tempat duduknya. Ia lari ke arahku dan bla-bla-bla. Kami berkenalan. Tiga bulan kemudian kami menikah. Bulan keempat kami berpisah, tepatnya ia melarikan diri dari rumahku. Mencoreng wajah kedua orang tua, terutama ayahku. Ia hanya meletakkan sepucuk surat di atas meja kamar. Isinya satu kata-MAAF.

Lama kumenunggu di halaman rumah sakit. Hampir dua jam. Kuputuskan untuk hengkang dari tempat terkutuk ini.

“Tunggu!

Aku menoleh ke arah suara. Seorang perempuan yang kukenal. Jantungku hampir copot. Kini ia makin cantik. Di belakangnya seorang anak kecil berjalan tertatih-tatih sambil mencengkram tangan kanan Bona. Wajahnya mengingatkanku pada seseorang, tetapi siapa. Aku masih dilanda kaget bertemu dengannya.

“Apa kabar,” tanyanya.

“Kabar baik,” jawabku.

Lalu Bona mengulurkan amplop coklat.

Kubuka, membacanya sebentar lalu menatap Bona tajam.

“Kenapa kau lakukan ini padaku, apa salahku!” Teriakku. Rahangku sampai sakit. Dan kedua kakiku melemah.

“Kau tak punya salah sama sekali, kau laki-laki yang nyaris sempurna.” Jawab Bona tenang. Sementara anak kecil di dekatnya takut dan bersembunyi di belakang punggung Bona.

“Lalu!, kenapa kau gugat aku. Salahku apa hah!”

“Maaf.” Jawab Bona datar.

“Bukan itu jawabannya!, aku ingin sebuah penjelasan!”

Bona menarik lembut anak kecil kehadapannya.

“Ini alasannya,” ucap Bona.

“Ini anak kita bukan Bon,” suaraku agak melunak melihat wajahnya mengingatkan seseorang.

“Tepatnya anak saya, bukan anakmu. Ini anak ayahmu. Lelaki bejat yang kau sering bangga-banggakan di setiap ceramahmu yang tak terhitung. Ia tak lebih dari seorang bajingan tua. Selalu sembunyi di balik jubah dan sorban.” Ucapnya dingin.

Tubuhku kejang, nafasku berat. Kepalaku teramat pening seperti kena godam. Pandanganku gelap dan tubuhku tumbang menghajar aspal. Kuharap malaikat maut cepat-cepat mencabut nyawaku dan juga ayahku.

Bogor- ‎Kamis, ‎28 ‎Desember ‎2023, ‏‎08.20.40

Rabu, 08 Mei 2024

Perjalanan Sang Demonstran

Lebih Hina Dari Keledai
Babak 4

Suasana riuh pecah tak terkendali. Mereka datang sebelum perut kami terisi. Dari pagi hanya teh manis yang diminum oleh Lukman dan kawan-kawan sesama demonstran. Ia tak berharap berjumpa dengan temannya yang telah menepati janji. Ia ingin sekali bertemu kepada pemilik pabrik yang selalu berjalan di atas karpet merah. Seringkali berak sembarangan tanpa pernah cebok sekalipun.

Pemiliki pabrik yang pongah itu di nanti-nantikan oleh kaum demonstran setelah sekian purnama. Janjinya sebatas mulut saja, bibirnya selalu mengkilat seperti bergincu. Ia memiliki kedua taring kecil di sela-sela giginya, bukan gingsul tetapi mirip selang penyedot darah.

Yang datang pada para demonstran itu adalah langkah-langkah kaki bersolsepatu besi. Mata-mata mereka meraka merah marah. Bibirnya mengatup tegas. Aroma tubuhnya bermacam-macam, ada yang beraroma bawang, gincu, bubuk mesiu, kemenyan, pesing, miras, dan bahkan amis darah pun ada.

Mereka datang 10 jam setelah kami kelelahan. Mereka singgah untuk makan siang sekaligus mabuk vodka secara membabi buta. Kami telah mengantisipasinya selama berjam-jam. Kami memiliki kekuatan, tetapi tak teroranisir sehingga kekuatan kami hanya pada pukulan pertama saja, untuk selanjutya kami lari kocar-kacir menyelamatkan diri. Meski sudah meminta ampun karena tak tahan dengan injakan dan tendangan dari para serdadu bersolsepatu besi.

Tuan serdadu, pria berkumis raden dalam serial unyil tersenyum bahagia. “orang yang kalian cari ada disini!” teriaknya.

Beberapa serdadu berlari ke arah sumber suara. Dua diantara belari-lari terhuyung sambil tersengal-sengal. Ia memuntahkan seluruh isi perutnya sebelum kembali mengejar teman-temannya.

“Si penyair sudah ketemu, mari kita pesta,” ucap tuan serdadu.

“Kalian tak boleh melukai warga sipil yang tak bersenjata,” ujar Lukman meredam suasana.

“Sudah kasih, jangan ragu-ragu,” perintah tuan serdadu.

Sepatu beralas besi itu mulai bergoyang dan menari liar beringas. Satu dari mereka tertawa menyeringai melihat bibir Lukman yang mulai berdarah.

“Biar aku hisap dulu darahnya,” ucap salah seorang serdadu.

“Jangan disini, banyak wartawan yang mulai mendekat,” seru tuan serdadu.

Tak terdengar lolongan. Hanya tinju-tinju itu yang kian santer melayang terarah ke tubuh Lukman yang kini meringkuk lemah. Ia memegangi tulang rusuk yang telah pindah dari lokasinya.

“Kalian boleh mencincang badanku, tetapi tak bisa meremuk kata-kataku!” tantang Lukman.

Mereka berhenti, mata mereka mencari mata Tuan serdadu. Ia membuang rokoknya dan mulai menggeledah tubuh Lukman yang lemah. Mencari-mencari barag bukti atau mungkin menyelipkan barang bukti.

“Kalian boleh saja injak-injak tulangku, tapi tak bisa merenggut kata-kataku!” tantang Lukman.

Untuk selanjutnya seluruh tubuh Lukman jadi mainan tumit sepatu besi original. Membabi buta dan trengginas.

Di belakang mereka, seorang wartawan mengabadikannya. Tuan serdadu melihatnya. Serdadu yang sedang berpesta itu berhenti dan beralih kepada objek penting lainnya. Merebut kamera atau semacamnya. Serdadu lari seperti kilat bersama Tuannya mengejar si wartawan yang lari bak Chetah, lincah dan cepat

Lukman terbaring lemah. “Kalian boleh saja buat tubuhku hancur, tapi tak bisa kau bungkam kepalan kata-kataku!” teriaknya. Ia terbatuk-batuk dan mencoba mengatur nafasya. Mengembalikan sisa-sisa kekuatannya. Ia terlalu letih untuk berucap.

“Makanya tak usah jadi jagoan, perjuanganmu akan sia-sia saja,” ucap sang istri sambil membaluri tubuhnya bengkak, lebam, dan memar.

“Aku berjuang bukan untukku sendiri, tetapi untuk nama keadilan,” ucap Lukman sambi merintih kesakitan. Ia tak lagi mengenali mana pijitan atau cubitan, dua-duanya telah mati rasa.

“Tak ada keadilan di negeri ini Rok,” tantang istrinya.

“Masih, meski suaranya timbul tenggelam,” jawab Lukman.

“Keadian telah “diperkosa” berulang kali,”

“Sejak kapan kau jadi sinis,”

“Karena aku tak tahu lagi bagaimana bertahan dari kehilangan.”

Temannya yang membuka warung 24 jam datang menjenguk. Ia tampak kecewa, manakala istri Lukman yang membukakan pintu untuknya. Ia memberikan satu kendi manisan yang ia buat sendiri. Ia mengangguk pada istri Lukman dan pulang menjaga warungnya.

Ia memliki satu anak dari istri yang baik, dua atau tiga bulan sekali pulang ke Tegal. Melepas rindu dan kangen dengan masakan ibunya. Opor jantung pisang dengan aroma jahe adalah yang dirindukannya.

Pagi harinya ia membaca Koran kriminal yang dibeli istri atas pesanannya. Ia ingin tahu berita apa yang muncul dari Koran yang mulai kehilangan orientasinya.

Tak ada yang berarti di dalam koran kriminal itu, hanya ada iklan yang terus numpuk pada bagian kolom-kolom. Sesungguhnya kolom itu layak dihuni oleh tulisan sastra atau sains, yang membuat kolom itu semakin berfaedah. Bacaannya bisa menjadi andalan oplan Koran tersebut, meski mungkin tak untung secara keduniaan, kolom itu seperti derat orang-orang berilmu. Karena menurut para agamawan, tak semua yang berilmu itu akan diangkat derajatnya.

Ia menghempaskan Koran itu diatas meja lusuh yang ditemani kertas kerja berisi corat-coret buah pikirannya. Ia merebahkan diri diatas kasur yang sudah lama tak dijemur, mirip pepesan kesed yang sering diinjak.

Salah satu temannya yang menjadi bagian penting dari pabrik tak melacurkan keyakinannya. Tak pernah membuatnya kesepian. Kerap ketika pekerjaan tak mengungkungi mereka, keduanya nampak akur ngobrol hingga larut malam.

Mereka berbicara seperti kereta batuk, kadang cepat-cepat seperti dengungan lebah. Ide tentang memulung barang bekas juga menjadi topik hangat yang selalu mereka bicarakan, hangat dan dalam. Kadang mereka sesunyi kuburan desa, saling diam memberi jarak pada perasaannya masing-masing. Untuk sekarang, mereka tak lagi punya waktu bersama. Kesibukan masing-masing membuatnya tersadar akan minimnya waktu bertemu atau setidaknya bertegur sapa.

Lukman tak mempersoalkan soal persahabatan yang cenderung melawan kebiasaan. Orang-orang yang memikii kemampuan mental terganggu seringkali melebeli sebagai kaum penyuka sesame jenih.

Suatu waktu mereka ditangkap berdua oleh warga karena dianggap menjadi penerus kaum luth, warga hanya mengenal ciri-ciri penyuka sesame. Pengetahuan terbatas soal ciri-ciri orang dengan hanya melihat wajahnya saja, terasa naïf dan bodoh.

Istrinya datang dari kebun belakang membawa hasil panennya. Ia menawarkan buah tomat. Lukman mengmbil tiga buah Tomat dan mengunyahnya satu persatu. Tak hanya yang merah yang dipetik, sudah itu tak direkomendasikan untuk menambahkan gula pasir atau sejenisnya.

“Harusnya para Jendral itu tak perlu memainkan semua peran,” kata istrinya, sambil menyodorkan nasi goreng dengan taburan cabe rawit dimana-mana.

“Mereka bukan ayah atau ibu kita, mereka tak punya tujuan selain ambisi mereka sendiri, orang tua kita tak tahu di bumi mana kita akan terlempar.

Jadi senjata yang mereka pilih juga akan berbeda-beda. Lihat saja siapa yang bisa bertahan,” jawab Lukman.

“Kandunganku sudah semakin besar, mungikin aku akan menjual perhiasan dari ibu.”.

“Tak perlu, besok aku mulai kerja di mebel, jadi pengamplas. Kau fokus saja pada kandunganmu.”

Sore menjelang magrib ia nekat mengunjungi penjara untuk menemui rekannya. Ia memakai Wig yang didapatkan dari penjaga warung, teman sesama nongkrong di malam hari.

Ia membawa sekantong penuh Ubi Cilembu yang susah payah didapatkan dari seorang pedagang yang merasa dirugikan, lantaran pedagang itu telah kehilangan pelanggangnya sebabanya ia libur.

Sipir penjara itu memberinya waktu untuk berbincang-bincang. Tak ada yang istimewa dari tempat yang kami duduki. Hanya kayu memanjang dengan atap dari ilalang. Terdapat meja kecil yang mungkin dipakai sebagai pemantas saja, orang-orang kecil seringkali jauh dari pelayanan. Jika dapat mereka harus tabah mendengarkan makian yang menyakitkan, ditambah dengan mata yang selalu curiga.

Lukman meletakan umbi cilembu diatas meja kayu. Ia menaksir kalau kayunya telah ada, bisa saja sejak Belanda menginjakan kakinya di negeri ini, awalnya hanya berdagang lalu tahu-tahu serdadu datang dengan bedil dan senjata yang terkokang dengan presisi. Ujungnya menjajah dengan dalih yang bermacam-macam, menganggap jajahannya sebagai rumah kedua. Kedengarannya cukup menyebalkan.

“Muka kamu kenapa Rok,” tanya temannya.

“Didatangi oleh tangan-tangan penguasa.”

“Beraninya main keroyokan.”

“Sampai kapan pelarianku berakhir, apakah yang kulakukan teramat salah, hingga penguasa repot-repot mengirimkan serdadu siang dan malam.”

“Meraka saja yang kanak-kanan, mudah tersinggung dan ringan tangan. Mereka lebih hina dari pada keledai, binatang itu terseperosok hanya dua kali.

Sementara para penguasa seringkali mengulangi kesalahan sama, tidak sekali tapi sepanjang kepimpinannya.”

“Mungkin aku akan terbunuh, atau tepatnya dibunuh, titip istriku ya, ia akan melahirkan dalam waktu dekat. Sementara serdadu itu terus saja menguntitku pada jarak yang mencengankan. Mereka bisa hadir dalam sosok yang berbeda-beda. Kadang sebagai pemburu, petani, pedagang, bahkan sebagai babu di rumah tetangga.”

“Panjang umur perjuangan, mungkin kata barusan bisa memberi jarak pada kematian.”

“Apakah di agamamu orang-orangnya menyakini kematian.”

“Tentu saja, ia bagian dari keimanan.”

“Kau tidak akan mati dalam waktu dekat,”

“Kenapa kau yakin sekali, bukankah kematian tak ada yang tahu, begitu yang kutahu dari agamamu.”

“Aku hanya berdoa pada Tuhanku, agar memanjangkan usia temanku, tak lebih.”

Waktu berkunjung habis. Sipir itu cepat-cepat menutup pintu penjara. Lukman memaksa agar sisa ubi cilembu dibagikan kepada penghuni sel lainnya, siapa tahu akan berguna atau memperpanjang nyawa mereka.

Sipir itu terus menatapnya sampai tubuh Lukman hilang dari pandangannya. Ia segera saja meraih HT yang terselip di pinggangnya. Suara percakapannya sampai terdengar oleh Lukman.

Lukman berlari kearah semak-semak yang jalan setapaknya sudah di luar kepala. Ia telah berganti baju petani, sementara bajunya sendiri ia kubur dalam-dalam. Ia melangkah pada jalan setapak yang terasa dingin, padahal sore masih menyisakan hangatnya mentari.

Ketika dirasakannya firasat yang buruk, ia memutuskan untuk turun ke sawah dan mulai mencangkul bongkahan tanah yang keras. Sementara langkah gaduh para serdadu kalah oleh kejelian Lukman dalam menikmati peranannya.

Suasana hening, hanya desau angin sore sejuk yang bisa dirasakan, ia menyudahi peran barunya. Lalu pelan-pelan berjalan menuju ke rumahnya. Siapa serdadu-serdadu itu tengah istirahat di warung 24 jam milik temannya. Sedang bertanya ini dan itu, ia berharap agar kawannya tak tergiur oleh lembaran kaku dan baru. Tentu saja dalam jumlah yang banyak.

Kemiskinan acap kali membuat seseorang goyah dari pendiriannya. Bahkan mungkin keyakinannya. Seseorang yang telah berumur panjang dan larut dalam keyakinannya, bisa saja terjerumus dalam kegagalan dalam mempercayai keyakinannya.

Lukman menyalakan sebatang rokok sisa tadi malam. Meski telah gepeng, tetap saja rokok. Ia merobek rokok itu dan mengambil tembakau, lalu memindahkan pada papir baru yang lebih bersih. Ditambahkannya cengkih, irisan kemenyan, dan wuwur.

Di bawah pohon asem, ia beristirahat sambil menikmati sebatang rokok yang kenikmatannya jarang ia rasakan. Ia membuat huruf-huruf tertentu dari asap rokok yang dihembuskan dengan teknik tertentu. Korek api berbahan dasar besi ringan dengan bensin sebagai pemantiknya ia mainkan berkali-kali.

Ia mendongak ke atas, langit sedang bersih. Ada banyak awan yang merangkai sebuah peristiwa, sebuah sketsa yang tak bisa ditandingi oleh arsetek kawakan. Beroleh ijazah dari perguruan tingga ternama. Mereka hanya berdecak kagum disertai lolongan gelengan kepala. Memang mereka harus banyak-banyak menggeleng dari pada menangguk. Kebanyakan mengangguk akan mematikan saraf kreatifitas. Jika tak secara kasat mata anggukan itu terlihat, agaknya jari kalian bisa mengetik barang sepatah atau dua patah kata arti dari pengingkaran atas sebuah keajegan, keukeuh, atau apalah.

Rabu, 04 Oktober 2023

API TEKAD SEORANG GURU

BABAK 2

"Guru itu perlu ditakuti atau disegani sih?

Jadi, saya mulai dengan kalimat seperti ini; "guru itu perlu ditakuti atau disegani", yang semestinya ditanyakan sedekat apa siswa memberikan respon kepada guru, ketika ada hal-hal di luar kesepakatan. Ketika kau puas dengan wajah-wajah siswa seperti tertimpa tekanan besar lewat sorot matanya yang tampak menguar bak telur.

Mata sapi yang meleleh. Ada baiknya kalian periksa lagi kebiasaan kalian ketika memberikan ilmu. Apakah kau memulai dengan perangkat ditubuhmu yang maha segala-galanya, lalu kau tumpahkan semua jenis pengetahuanmu sampai-sampai kau tidak lagi bisa membedakan jenis air muka pada peserta didikmu. Mungkin mereka tetap saja 'cerah' karena tak ingin dapat PR tambahan sebagai sarana 'penghukuman' yang menurutmu layak diterapkan. Atau situasi kelas mirip kuburan hingga mereka untuk menggerakan jari saja butuh keberanian luar biasa. Apalagi untuk minta izin untuk  kencing di kamar mandi, selalu kau curigai. Mestinya kau sedikit memberi ruang pada mereka, yang membutuhkan penjelasan atas sikap-sikapmu yang begitu menakutkan dengan cara yang bisa mereka pahami. Melalui apa saja, dialogkah, pertanyaan ringan seputar kehidupannya, habis lulus mau kemana, dan seterusnya. Tetapi catatan ini selalu didasari atas perjuangan yang membuat siswa didik memiliki ketegasan sikap tidak mudah goyah, apalagi pengikut setia klan tanpa pernah mengkritisi keberadaan dirinya. 

Setidaknya kau perlu mengubah struktur niatmu yang menggupal menutupi amiqdala berkerak dan berdaki. Lalu kau tumbuhkan daya nalar anak-anak dengan 'semaunya' sendiri. Meski kau berkutat-kutat pada buku paket, tetapi kau perlu menjentikkan jemari agar kau tak kaku menerima perubahan dan perkembangan anak yang tak bisa kau jejali dengan ilmu-ilmu langka yang peroleh bertapa bertahun-tahun di bawah meja diknas (itu tidak masalah, jika kau mau membuka diri).

Ada apa sebenarnya ini, hingga kau tak bisa meramu segala jenis pembaharuan yang ada di dalam kurikulum diknas, hingga kau begitu bangga membawa buku paket dan merasa sudah cukup dengannya. Lalu kau dikelas bertindak sebagai 'aparatur negara' yang punya kawasan tak terbatas. Jika apa yang kau sampaikan tak bisa diserap oleh kepala siswa dan kau berharap mereka bisa mengaktifkan secepat yang kau kira. Hingga kau tak pernah menyalahkan diri sendiri tentang apa-apa yang kau telah berikan selama ratusan jam di depan siswa dengan modal yang sama. Ini agak menggelikan, di luar sana banya orang yang pintar tetapi tidak menyandang predikat sebagai guru, guru semestisnya tetap belajar, meski mahaguru tersemat padanya puluhan tahun silam. 

Kau mungkin pernah 'membentaknya' berhari lewat gerakan yang kau sendiri tak menyadari. Mungkin mereka akan mengingatnya sepanjang mereka masih bernafas. Sejenak menoleh pada kanan kirimu apakah kau sudah menyebrangkan jalan bagi anak-anak sesuai dengan apa yang mereka butuhkan, bukan apa yang telah kau berikan. Ini Zaman dimana hal-hal yang kau anggap sudah cukup (ilmu dan turunannya) untuk peserta didik, sejatinya mereka baru mulai menyerap (warm up) lalu kau tiba-tiba berhenti di tengah jalan, tanpa kau merasa hilang beban.

Kalau kau merasa senang ditakuti oleh siswa, seluruh instruksi mereka jalankan tanpa pernah sedikitpun mereka berniat makar untuk protes, adakalanya kau mungkin perlu mengambil jeda sejenak. Lalu kau mungkis bisa 'mengutuki' diri sendiri secara keras jika kau peduli pada siswa-siswa, kemudian kau mulai menata arah agar mereka punya jarak yang fitrah. Kau tahu segala sesuatu hendaknya dimulai dengan ftrah, dorongan diri yang tak perlu kau koprek-koprek terus menerus sampai mereka bosan. Kau bisa memilih jalan lain, yang sekiranya dapat menumbuhkan apa yang mereka sudah lalukan selama bertahun-tahun di sekolah. 

Lalu tiba-tiba mereka keluar dari sekolah tak mengantongi apapun. Ketika di sekolah yang baru mereka mulai lagi dari awal. Jika modal di kantong mereka, memerlukan usaha untuk amati tiru modifiksi (kata mas-mas motivator) hingga mereka tidak tertegun-tegun terhadap apa yang mereka yakini begitu saja pudar di bangku kelas yang baru. Ini cukup memilukan, atau menyedihkan.

Jalan mereka saja sudah memutar, ada tahapan yang mereka lakukan. "Didiklah anakmu sesuai zamannya," begitu pepatah lama yang masih menjadi jargon dalam ilmu pengasuhan. Meski orang mulia yang memberi pepatah itu telah dipanggil lebih awal oleh Allah. Kau tentunya iri dengan hal ini. Ada wilayah jariyah yang terus mengalir sampai terompet itu dibunyikan dan manusia buru-buru bangkit dari dalam kuburnya.

"Apa perlu otot-otot yang kaku, wajah yang keras, sorot mata mengancam, lalu kau buru-buru mengaku sebagi guru yang telah memberikan kewajiban sebagai mana mestinya." Jawabannya, Bisa jadi. Tetapi apakah kau sudah memberikan hak-hak siswa tanpa pernah mencoba mengurangi barang seditikpun. Mereka perlu doa, didoakan dalam sujud-sujud panjangmu, agar mereka memiliki nafas panjang untuk terus memperharui (memperbaiki) apa yang kurang dan lemah. Bahkan mereka perlu memahami apa kekuatan mereka hingga bisa meningkatkan tanpa pernah kalian sadari. Meski wajah kalian masih menjadi momok yang terus diperbincangkan sampai kalian  wafat.

Kedekatan yang kalian bangun dengan siswa bukan pada tataran layaknya orang tua dulu. Bukan juga kedekatan yang kalau "sabda" sebagai seorang guru, isinya mereka harus setuju. Lalu untuk apa mereka "bersekolah, sekolah" sudahi penderitaan mereka jika kalian masih saja mengadopsi metode yang tak pernah kalian singgung untuk menerima perubahan, keterbukaan, kehangatan percakapan, dan hal-hal yang kalian anggap masih 'mistis'.Yang membuat kesulitan untuk meningkatan kemampuan dalam mendidik siswa-siswi di sekolah. 

Keakraban (sebagai warga kelas satu (guru) kepada warga kelas dua (murid)) itu jika kalian mau memikirkan apa yang saya tulis. Tidak perlulah (kelas satu lebih baik dari kelas dua, tetapi keduanya saling bersinergi dengan baik). Kalau kata mas-mas motivator kalian bisa berelaborasi dengan tekun dan ramah, terbuka, dan saling menjaga jarak. Sebagai guru atau sebagai murid. Keduanya memiliki batasan. Panggilah guru seperti layaknya seorang guru, bukan nama dan seterusnya, hingga ruang guru dan murid tetap terlihat harmoni. Setidaknya ini menjadi plihan melihat anak-anak kita mulai sulit untuk menatap diri sendiri dan mudah sekali tersulut. Meski ada jutaan lain yang tetap bisa memposisikan. Kita berharap. 

Minggu, 24 September 2023

PERJALANAN SANG DEMONSTRAN

BABAK 3

Kado Pengantin

Lukman berjalan menuju sebuah pasar. Ingin membeli sebuah kado pengantin, ia ingin menyenangkan layaknya suami pada umumnya. Tempat yang dirindukan, meski beraroma tai bebek. Meski begitu, pasar rakyat ibarat surga yang menyenangkan, mungkin banyak penipuan disana. Apa yang mesti ditupu, jika Dulu semasa kecil, ia bersama dengan teman-temannya mengais cabe-cabe tak layak jual untuk dikumpulkan dan dijadikan bahan sambel untuk makan malam. Ia tak ingin dejavu seperti yang biasa terjadi jika mental sedang melankolia. Justru dengan ingatan jelas tentang sebuah masa, ia ingin memperjelas kenangan menjadi sebuah kekuatan.

Jalan yang aman dari para mata-mata penguasa hanyalah sebuah gang sempit yang sempat ditutup. Tak ada yang berani melintas meski pintu gang telah menganga lebar. Ingatanya juga melayang pada gang yang sedang dilewatinya, sebuah gang yang mengerikan, dimana telah terjadi pembunuhan yang mengerikan. Tubuh korban dimutilasi dan potongannya disusun menjadi sebuah kata. “PUAS” sebuah kata yang sampai sekarang tak ada yang bisa menerjemakan, meski para ahli bahasa sekalipun.

Gang yang sempit hanya bisa dilewai oleh dua orang berjajar, kedua sisinya diapit oleh tembok-tembok dari gedung perkantoran dan pusat berbelanjaan. Ingatannya tanpa dipanggil lebih dalam, tiba-tiba saja muncul seperti bisul. Sebelum ditembok, gang ini adalah lapangan bola luas yang bisa menampung seluruh anak-anak kecil sekampung, termasuk Lukman. Tempat mengadu laying-layang, pertandingan tarkam yang selalu ribut menjelang maghrib, atau melihat layar tancap dimalam hari dengan mulut sibuk mengunyah kacang rebus.

Kini semuanya serba kaku dan membisu, jalan-jalan tak lagi aman dan menyenangkan, anak-anak bingung mencari tempat bermain.

Selain sempit, gang ini juga selalu dipenuhi air semata kaki. Entah air dari mana, tak peduli hujan atau tidak. Gang ini sangat menjengkelkan sekaligus mengerikan. Orang-orang lebih memutar dari pada harus melewati gang ini, ketika berangkat ke pasar. Lukman tak melakukannya.

Ia berjalan sambil melihat tulisan yang banyak menghiasi tembok sepanjang gang. Isinya macam-macam, ada yang mengutuk, mengumpat, ataupun memaki.

Tulisan itu seperti: Tumpas, tebas, korupsi sampai habis. Lalu ada yang menambahka pada tembok lain, korupsi, kolusi, nephotisme, biang kerok. Dan seterusnya, seperti tak ada tempat penghisap darah.

Mata yang terlatih itu terus menyerap semua tulisan dari tangan-tangan berminyak yang kebanyakan kerja hanya mengandalkan tenaga. Bisa saja mereka menuliskan sambil tersedu-sedu, karena terus saja memikirkan bagaimana nasib bangsa Indonesia setelah ia tiada. Di gantikan oleh anak cucu yang mengais rempah-rempah keadilan dengan cucuran peneyelasan.

Penamaan pengantin dan mencari kado setelah usai resepsi pernikahan agaknya ganjil. Tetapi tidak bagi Lukman, ia justru ingin menghadiahi istrinya dengan kado setelah menikah, entah apa kadonya. Uang tebal juga tak ia genggam, hanya bunyi kepingan uang yang saling beradu pada kantong bajunya. Ia ingin duduk santai di tepi ranjang, sambil menatap punggung istrinya yang sedang menyisir rambutnya yang basah, padahal subuh tadi terlalu dingin.

Sampai di mulut gang, ia melihat tulisan mural yang membuatnya tampak nyaman. “Tulisan itu hasil residu dari bahasa lisan.” Di bawahnya tersemat sebuah nama: Sapardi Djoko Damono. Ia melangkah sambil tersenyum menyebrang jalan raya. Ia menurunkan tudung kepala sampai menyentuh kedua alisnya. Matanya menyisir cepat, siapa tahu ada para serdadu yang tingkahnya aneh. Menyamar sebagai pedagang yang aroma tubuhnya sama sekali berbeda.

Lukman melipat baju dan memasukannya kedalam kantong plastik. Tak berkado, juga tak elegan. Hanya sepasang baju yang dibelinya dengan perasaan bercabang.

“Kau belum tidur,”

“Mana mungkin aku bisa tidur, ini hari yang bahagia, tetapi serdadu itu terus saja membuatmu kecut.”

“Maaf, mungkin ini membuat perasaanmu ringan.” Lukman mengulurkan baju yang dibelinya di pasar tadi pagi.

“Uang dari mana.” Tanya istrinya.

“Seperti biasa, aku memposisikan diri sebagai konsultan hukum.”

“Orang-orang itu masih percaya.”

“Mungkin tidak ada pilihan lagi.”

Lukman meninggalkan istrinya setelah tengah malam. Melepaskan diri dari pelukannya. Menyibak selimut kain hadiah dari seorang teman yang mengaku diriya sebagai pejuang HAM. Seorang teman yang mata kirinya telah dibuat buta oleh hantu menguntitnya sejak lama. Naasnya setelah kejadian itu, temannya dituding sebagai orang bergaya modern, tiap hari dituding sebagai mata lensa.

Kakinya melantur kemana-mana sampai ia berhenti pada warung 24 jam. Penjualnya sedang menikmati secangkir kopi, menyesapya pelan-pelan. Ia menoleh ke arah Lukman.

“Hei penyair duduklah, kubuatkan kau segelas kopi.”

“Andai masih ada Wiro Sableng, mungkin aku bisa taya sesuatu padanya.”

“Kau mau tanya apa Man?”

“Mungkin beliau bisa kuajak untuk demontrasi sambil ia mengacungkan kapak naga geni 212. Atau jurus matahari yang bisa menyilaukan para serdadu, hingga kami bebas bersuara. Setelah itu aku akan bertanya tentang arti kemerdekaan, apakah termasuk dalam jenis hantu.”

“Aku punya bukunya, kau ingin baca.”

“Aku sudah membaca semuanya.”

“Mungkin ini belum.”

Lukman tercengang melihat serial novel yang belum pernah dibacanya. Digengamnya erat-erat dan sebuah teriakan serigala menjalar ke segala arah. Ia mulai membaca halaman demi halaman pertama sambil menikmati gelas-gelas kopi lainnya. Sementara penjualnya sudah mendengkur memimpikan kapak yang sering di idam-idamkanya.

Teriakan serigala berubah menjadi kokok ayam yang saling sahut menyahut. Lukman menuntaskan setengah novel Wiro sableng. Dan ia memutusan untuk kembali ke rumah sambil merapatkan tubuhnya ke sisi istrinya. Untuk sejenak ia seperti terlupakan oleh serdadu yang selalu bernafsu untuk meringkus dirinya.

Lukman terbangun ketika hidungnya mencium aroma kopi seperti yang ada di televisi. Ia berharap istrinya yang membuatkan segelas kopi, bukan mertua seperti yang sudah-sudah.

Ia mengintip dari lubang kunci, halaman rumahnya kini ramai oleh anak-anak yang sedang menonton aksi topeng monyet diiringi musik penuh bulian. Ia tersentak manakala bertubrukan dengan mata si monyet. Si monyet mogok untuk melakukan aksinya. Sang pawang terus saja membentak-bentak si monyet. Tanpa di sadari, ia melihat monyet itu lari lintang pukang meninggalkan pawang yang terengah-engah mengejarnya. Sore hari Lukman mandi di sungai. Ia menyelam sampai ke dasar sungai. Ikan-ikan kecil kocar-kacir dibuatnya. Ia senang karena salah satu temannya menepati janji agar tak membuang limbah ke sungai. Tapi, apakah janji itu akan diturunkan kepada orang yang akan menggantikannya nanti. Malam hari ia kembali ke warung 24 jam. Tak lama ia duduk-duduk di warung. Telinganya seperti mendapati langkah-langkah sepatu yang ia kenal. Sepasang sepatu yang bisa mematahkan jemari kalian. Sepasang sepatu yang tak berbau meski telah berlumuran darah.

Sabtu, 23 September 2023

Perjalanan Sang Demonstran

BABAK 2
 Naga

Pintu terbuka setelah sebelumnya Lukman mengetuk pintu rumah tiga kali. Ia menunggu beberapa saat, mungkin mereka masih terlelap di sisa pagi yang belum menghangat. Kucing penunggu rumah juga masih tidur-tidur ayam diatas keset menatapku malas.

Sebuah langkah kaki terdengar.Ia menoleh kebelakang siapa tahu anak buah jendral itu berhasil mengendus keberadaanku dengan anjing pelacak penggonggong.

Sebuah langkah kaki terdengar.Ia menoleh kebelakang siapa tahu anak buah jendral itu berhasil mengendus keberadaanku dengan anjing pelacak penggonggong.

Aku menahan nafas, siapa yang akan membukakan pintu untuk pertama kalinya. Kuharap bukan ayah ibunya, atau adik-adiknya. Gagang pintu diputar cepat setelah penghuni rumah mengintip dari balik gorden rumah dan mengenali wajahku.

“Lukman,” katanya pelan.

“Kau punya makanan,” jawabku lebih pelan.

“Masuklah,” katanya. Ia menyela beberapa helai rambut yang menggantung di depan matanya. Mengintip keluar rumah melalui gorden yang ia sibakkan sedikit. Pedagang lontong sayur yang tertangkap oleh kedua matanya. Berhenti di depan rumahnya meski ia tak memesan.

Lukman duduk di sofa panjang coklat, pikirannya kabur entah kemana. Untung ia masih menyimpan alamat rumah yang sekarang ia lihat, kalau tidak ia akan luntang lantug mengukur jalanan seharian. Ada banyak foto yang tertancap di dinding, Lukman menatap satu persatu, nyaris tak ada yang dikenalinya. Kecuali foto wanita yang bermata sipit dengan hidung sedang dan rambut ikal panjang sebahu. Lukman berkenalan dengan wanita di foto itu setahun setelah demonstrasi yang mendebarkan.

Lukman cepat-cepat beralih pandangannya kepada sepiring nasi, sambel kecap dan telur goreng yang membuat perutnya tak lagi merintih-rintih sepanjang malam. Ia merasa darahnya yang telah membeku puluhan jam kembali hangat, sendii-sendi yang tiba-tiba linu seperti terserang rematik kembali bisa bergerak dengan leluasa. Sepanjang malam ia meringkus di kakus bambu yang dibawahnya ikan gurame seperti ingin mengajaknya berbicara. Hanya saja ia tidak menjadi gila karena bercakap-cakap dengan raja ikan air tawar.

Sarapan pagi yang nikmat itu di akhiri dengan tegukan air dari bibir gelas keramik yang kau ulurkan dengan wajah cerah. Gelas itu bergambar naga yang sedang terbang di atas awan dengan mulut berapi. Kaki-kakinya yang kuat dan tajam itu mengangkat seorang putri bermahkota tandur kerbau.

“Seandaianya Naga itu ada, aku ingin juga dicengkram olehnya dan dibawa entah kemana, menjadi santapan anak-anaknya juga tak sesal, dari pada menjadi ekperimen para prajurit yang menganggapku sebagai orang membawa penyakit bagi negeri ini,” ucap Lukman

“Sakit itu akan lenyap manakala kita menutup mata untuk waktu yang lama. Bagaimana kabar keluargamu?”

“Semoga sehat, sekarang kau berkacamata,” jawab Lukman, ia mengalihkan perhatiannya pada fota yang tergantung di dinding.

“Sebuah kebutuhan.” Jawab wanita itu, sambil tersenyum manis.

“Aku iri kepadamu, orasi dimana-mana tetap nyenyak tidur di rumah sendiri.”

“Siapa bilang, saat ini hanya aku yang tahu, sekarang rencanamu kemana,” Tanya wanita itu sambil menyeruput teh jumput yang masih mengepulkan asap.

“Kau bertanya tetapi tentu saja kau tahu jawabannya.”

Lukman pamit kepada pemilik rambut ikal sebahu, ia mungkin tak menganggu anggota keluarga yang lain terbangun disela-sela rasa kantuk. Ia harus pergi lagi dan pergi agar para prajurit yang mengemban tugas tak dapat mengendusnya dalam waktu cepat, pekerjaan mengulur waktu bukan sesuatu yang mudah dilakukan.

Ia tidak ingin budinya berubah menjadi air yang mendinginkan semangat melakoni drama sebagai pesakitan bagi para penguasa. Ia ingin mengetuk pintu itu lagi, sebuah pintu yang telah mengobarkan api semangat di tengah pelarian yang tak berujung. Akan datang saatnya nanti pintu itu ia ketuk lagi dalam kondisi yang berbeda bukan sebagai buronan di tengah kakap yang berdansa di pagi hari sambil barbeque di halaman rumah bersama tikud-tikus gendut berkepala botak.

Lukman merapatkan jaketnya yang telah berumur panjang hadiah dari kawan sesama demonstran. Ia merasa agak terlindungi dari cibiran, sebab ada logo negara asing menempel di jaket jin belel beraroma rupa-rupa. Tetapi penguasa itu apakah mau mempertimbangkan ketika melihat Lukman berjaket berlogo negara asing, apakah mereka segan lalu mengundurkan penangkapannya dalam tempo lama. Setidaknya ada jatuh tempo sebelum para penguasa betul-betul membuatnya tak bisa kemana-mana.

Menjelang dini hari Lukman mengikuti langkah-langkah orang gila menuju tempat persembunyiannya, sampai di tempat tujuan segala aroma menyeruak ke segala penjura. Lukman tidur di atas bangku panjang licin yang beraroma kemenyan beratap langit, ia tersenyum manakala memejamkan matanya, tubuhnya yang ringkih di sapu oleh angin dari semak-semak tinggi yang menjadi benteng sebuah rumah kosong yang amburadul seperti terkena rudal.

Lukman tak memperdulikan segala tingkah polah tawa yang berderai-derai dari sudut ruangan gelap dan beberapa benda jatuh. Orang-orang gila itu sudah terlelap dalam dengkuran panjang yang kasar. Ia menganggap derai tawa sebagai sebuah sambutan selamat datang baginya yang telah menjadi penghuni baru dan membuat suasana lebih hangat.

Rabu, 20 September 2023

Perjalanan Sang Demonstran

BABAK 1
Namamu Ada Di Televisi

Lukman berdiri di sudut ruangan bersama puluhan orang dari berbagai desa. Bajunya telah lengket. Mereka sedang mendengarkan khotbah dari pria kota. Setiap berbicara kumisnya ikut bergoyang-goyang melambai naik turun. Ini menimbulkan efek perisai agar orang-orang tak berperkara dengannya. Hidungnya bulat seperti jambu merah. Ia kerap mengulang cerita tentang bayi-bayi perempuan yang di sunat. Mereka kaum yang tinggal di daerah yang membuat kuliat kalian bisa menghitam hanya beberapa jam saja, katanya. Seorang dari mereka datang terlambat membawa anak perempuan yang tertidur dalam pelukannya. 

Lukman mencatat kedatangan wanita dalam secarik kertas yang semakin sulit dikendalikan, kertasnya sudah bercampur keringat yang muncul dari telapak tangan. Ia memunculkan suatu saat dalam bentuk lain yang terasa lembut dan nyaman. Ketika diskusi tengah memuncak beberapa orang berseragam penguasa datang marah-marah. Mereka memaki kami yang tak memakai masker. Salah seorang dari mereka bahkan menendang salah satu kursi hingga membuat salah seorang perempuan yang sedang menyusui terjungkal kebelakang.

Salah seorang pria berseragam penguasa tengah menodongkan senjata tepat di keningnya, membuat lelaki itu duduk kembali di kursinya. Satu persatu membubarkan diri. Pria berseragam penguasa lainnya menghentikan langkah Lukman. Ia tak menggubris peringatan keras dari pria-pria berseragam. Lukman malah berlari kencang mencoba meninggalkan gedung dari tanah liat yang unik. Ia terus berlari sampai kedua kakinya terjerembab dan masuk lubang tanah yang berlantai lunak. Sekelilingnya menghitam, tangannya meraba. Jemarinya menyentuh permukaan lembut yang terasa lebar. Ia pun menariknya sampai menutupi kepalanya. 

Teriakan dari pria berseragam terus meneriakinya. Salah seorang pria masuk ke lubang tanah yang ruangannya menghitam. Tubuh Lukman menggigil, ketika selimutnya di tarik-tarik secara tergopoh-gopoh. Kalimatnya terasa panas di telinga: Namamu ditelevisi….” Kalimat itu mendengung-dengung di kepala. Istrinya terus mengulang kata itu secara sporadis. 

Lukman tertidur cukup lama, sampai kedua telinganya menangkap kemarahan dari seorang pria berseragam dengan pangkat tinggi. Dadanya bergemuruh ingin membungkam mulut yang setiap pagi dijejali oleh roti tawar selai pisang. Namanya yang terus menerus disebut-sebut membuat kebenciannya terhadap negerinya makin memuncak. Ia pikir dengan tidur lagi bisa menyembuhkan luka pikirannya karena kebebasan bicaranya telah dipasung hingga ia menjadi buronan yang perlu dilenyapkan. 

Ia curiga kalau cara terbaik untuk menghentikan sebuah perbedaan adalah dengan cara melenyapkan. Ini pola pikir syetan, ungkap Lukman yang tak pernah keluar dari mulutnya untuk sementara waktu. Kemarahan pria berseragam tingkat tinggi itu meluapkan kemarahannya ditelevisi, di siarkan secara langsung tanpa terpotong iklan dan perkataan MC, yang telinganya telah diteriaki oleh orang yang berkuasa. Lukman terbangun setelah mimpinya terganggu oleh suara tukang getuk yang menjajakan jualannya dengan memutar musik memekakkan telinga. 

Sebuah lagu dangdut yang mengalun sebagai isyarat pada pelanggannya bahwa menu kali ini tidak mengecewakan. Lukman membuang slimut tipis yang terbuat dari jarit coklat, dijahit menyerupai selimut pada umumnya. Membiarkan kedua kakinya menjuntai kebawah dan membiarkannya berayun-ayun sejenak. Ia memandang langit-langit rumah yang mulai dihuni oleh laba-laba kaki panjang ayah. Mengucek kedua matanya yang lengket dan menyisakan satu mata yang selalu merah akibat kekerasan penguasa, mengusap rambutnya yang kriting dan mengecep lidahnya yang dipaksa untuk mengecap makanan yang sama berhari-hari. 

Ia memasang telinga kalau jendral yang meneriaki namanya berkali dengan wajah merah padam bara. Mengucungkan jari telunjuknya ke arah kamera awak media yang segar wajahnya, bak dapat segudang durian yang jatuh dari truk berjalan endut-endutan. Ternyata yang didengarnya hanyalan iklan shampo, bumbu dapur, pembalut, dan obat sakit kepala. Ia pun beranjak dari tempat tidur dan berjalan di atas lantai semen kasar dan mengintip ruang tamu dari balik gorden lusuh berbau macam-macam, karena terkadang beralih fungsi menjadi lap tangan sehabis makan.

Ia mengambil handuk yang menggantung di balik pintu kamar, menyampirnya ke bahu dan berjalan cepat menuju kamar mandi. “Namamu ditelivisi….” Ucap sang istri sambil menyetrika baju. “Kekejaman kemanusian ternyata mudah sekali terendus oleh istriku.” Kata Lukman sambil menutup pintu kamar mandi. Lukman keluar dari kamar mandi dengan memakai baju berwarna kuning terang tanpa mengganti celana, ia berjalan ke belakang rumah yang segar. Banyak tumbuhan apotik tumbuh disana, dari mulai jahe, kunyit, lengkuas, jahe merah, kencur, panegoang, dan sebagainya. Lalu ia menjemur handuk dan berjalan ke ruang dapur. Ibu mertuanya telah meletakkan segelas kopi pahit. Seperti yang sudah menjadi kebiasaan sang ibu mertua meletakkan di sudut meja kayu panjang itu, dalam posisi yang gampang diambil. 

Ia menyeruput sedikit dan membunyikan suara puas, dan menggelangkan kepalanya. Matanya menombak foto pernikahannya yang makin buram. Bingkai dari gleges membuatnya semakin tak solid, digeser sedikit foto itu akan keluar amburadul. Lukman berpapasan dengan istrinya ketika keluar dari ruang dapur dan menghirup sabun batangan dari balik tubuhnya. “Wanginya…” ledak Lukman. “Kita semua panik Mas!, namamu disebut-sebut oleh jendral itu.” ucap sang istri meletakan baju yang telah licin kedalam lemari satu persatu.

“Tentu saja takut, tetapi aku harus berani. Dan aku tidak meninggalkan apapun kepada kalian kecuali api yang terus membara sepanjang nafas di kandung hayat.” Jawab Lukman.