Rabu, 08 Mei 2024

Perjalanan Sang Demonstran

Lebih Hina Dari Keledai
Babak 4

Suasana riuh pecah tak terkendali. Mereka datang sebelum perut kami terisi. Dari pagi hanya teh manis yang diminum oleh Lukman dan kawan-kawan sesama demonstran. Ia tak berharap berjumpa dengan temannya yang telah menepati janji. Ia ingin sekali bertemu kepada pemilik pabrik yang selalu berjalan di atas karpet merah. Seringkali berak sembarangan tanpa pernah cebok sekalipun.

Pemiliki pabrik yang pongah itu di nanti-nantikan oleh kaum demonstran setelah sekian purnama. Janjinya sebatas mulut saja, bibirnya selalu mengkilat seperti bergincu. Ia memiliki kedua taring kecil di sela-sela giginya, bukan gingsul tetapi mirip selang penyedot darah.

Yang datang pada para demonstran itu adalah langkah-langkah kaki bersolsepatu besi. Mata-mata mereka meraka merah marah. Bibirnya mengatup tegas. Aroma tubuhnya bermacam-macam, ada yang beraroma bawang, gincu, bubuk mesiu, kemenyan, pesing, miras, dan bahkan amis darah pun ada.

Mereka datang 10 jam setelah kami kelelahan. Mereka singgah untuk makan siang sekaligus mabuk vodka secara membabi buta. Kami telah mengantisipasinya selama berjam-jam. Kami memiliki kekuatan, tetapi tak teroranisir sehingga kekuatan kami hanya pada pukulan pertama saja, untuk selanjutya kami lari kocar-kacir menyelamatkan diri. Meski sudah meminta ampun karena tak tahan dengan injakan dan tendangan dari para serdadu bersolsepatu besi.

Tuan serdadu, pria berkumis raden dalam serial unyil tersenyum bahagia. “orang yang kalian cari ada disini!” teriaknya.

Beberapa serdadu berlari ke arah sumber suara. Dua diantara belari-lari terhuyung sambil tersengal-sengal. Ia memuntahkan seluruh isi perutnya sebelum kembali mengejar teman-temannya.

“Si penyair sudah ketemu, mari kita pesta,” ucap tuan serdadu.

“Kalian tak boleh melukai warga sipil yang tak bersenjata,” ujar Lukman meredam suasana.

“Sudah kasih, jangan ragu-ragu,” perintah tuan serdadu.

Sepatu beralas besi itu mulai bergoyang dan menari liar beringas. Satu dari mereka tertawa menyeringai melihat bibir Lukman yang mulai berdarah.

“Biar aku hisap dulu darahnya,” ucap salah seorang serdadu.

“Jangan disini, banyak wartawan yang mulai mendekat,” seru tuan serdadu.

Tak terdengar lolongan. Hanya tinju-tinju itu yang kian santer melayang terarah ke tubuh Lukman yang kini meringkuk lemah. Ia memegangi tulang rusuk yang telah pindah dari lokasinya.

“Kalian boleh mencincang badanku, tetapi tak bisa meremuk kata-kataku!” tantang Lukman.

Mereka berhenti, mata mereka mencari mata Tuan serdadu. Ia membuang rokoknya dan mulai menggeledah tubuh Lukman yang lemah. Mencari-mencari barag bukti atau mungkin menyelipkan barang bukti.

“Kalian boleh saja injak-injak tulangku, tapi tak bisa merenggut kata-kataku!” tantang Lukman.

Untuk selanjutnya seluruh tubuh Lukman jadi mainan tumit sepatu besi original. Membabi buta dan trengginas.

Di belakang mereka, seorang wartawan mengabadikannya. Tuan serdadu melihatnya. Serdadu yang sedang berpesta itu berhenti dan beralih kepada objek penting lainnya. Merebut kamera atau semacamnya. Serdadu lari seperti kilat bersama Tuannya mengejar si wartawan yang lari bak Chetah, lincah dan cepat

Lukman terbaring lemah. “Kalian boleh saja buat tubuhku hancur, tapi tak bisa kau bungkam kepalan kata-kataku!” teriaknya. Ia terbatuk-batuk dan mencoba mengatur nafasya. Mengembalikan sisa-sisa kekuatannya. Ia terlalu letih untuk berucap.

“Makanya tak usah jadi jagoan, perjuanganmu akan sia-sia saja,” ucap sang istri sambil membaluri tubuhnya bengkak, lebam, dan memar.

“Aku berjuang bukan untukku sendiri, tetapi untuk nama keadilan,” ucap Lukman sambi merintih kesakitan. Ia tak lagi mengenali mana pijitan atau cubitan, dua-duanya telah mati rasa.

“Tak ada keadilan di negeri ini Rok,” tantang istrinya.

“Masih, meski suaranya timbul tenggelam,” jawab Lukman.

“Keadian telah “diperkosa” berulang kali,”

“Sejak kapan kau jadi sinis,”

“Karena aku tak tahu lagi bagaimana bertahan dari kehilangan.”

Temannya yang membuka warung 24 jam datang menjenguk. Ia tampak kecewa, manakala istri Lukman yang membukakan pintu untuknya. Ia memberikan satu kendi manisan yang ia buat sendiri. Ia mengangguk pada istri Lukman dan pulang menjaga warungnya.

Ia memliki satu anak dari istri yang baik, dua atau tiga bulan sekali pulang ke Tegal. Melepas rindu dan kangen dengan masakan ibunya. Opor jantung pisang dengan aroma jahe adalah yang dirindukannya.

Pagi harinya ia membaca Koran kriminal yang dibeli istri atas pesanannya. Ia ingin tahu berita apa yang muncul dari Koran yang mulai kehilangan orientasinya.

Tak ada yang berarti di dalam koran kriminal itu, hanya ada iklan yang terus numpuk pada bagian kolom-kolom. Sesungguhnya kolom itu layak dihuni oleh tulisan sastra atau sains, yang membuat kolom itu semakin berfaedah. Bacaannya bisa menjadi andalan oplan Koran tersebut, meski mungkin tak untung secara keduniaan, kolom itu seperti derat orang-orang berilmu. Karena menurut para agamawan, tak semua yang berilmu itu akan diangkat derajatnya.

Ia menghempaskan Koran itu diatas meja lusuh yang ditemani kertas kerja berisi corat-coret buah pikirannya. Ia merebahkan diri diatas kasur yang sudah lama tak dijemur, mirip pepesan kesed yang sering diinjak.

Salah satu temannya yang menjadi bagian penting dari pabrik tak melacurkan keyakinannya. Tak pernah membuatnya kesepian. Kerap ketika pekerjaan tak mengungkungi mereka, keduanya nampak akur ngobrol hingga larut malam.

Mereka berbicara seperti kereta batuk, kadang cepat-cepat seperti dengungan lebah. Ide tentang memulung barang bekas juga menjadi topik hangat yang selalu mereka bicarakan, hangat dan dalam. Kadang mereka sesunyi kuburan desa, saling diam memberi jarak pada perasaannya masing-masing. Untuk sekarang, mereka tak lagi punya waktu bersama. Kesibukan masing-masing membuatnya tersadar akan minimnya waktu bertemu atau setidaknya bertegur sapa.

Lukman tak mempersoalkan soal persahabatan yang cenderung melawan kebiasaan. Orang-orang yang memikii kemampuan mental terganggu seringkali melebeli sebagai kaum penyuka sesame jenih.

Suatu waktu mereka ditangkap berdua oleh warga karena dianggap menjadi penerus kaum luth, warga hanya mengenal ciri-ciri penyuka sesame. Pengetahuan terbatas soal ciri-ciri orang dengan hanya melihat wajahnya saja, terasa naïf dan bodoh.

Istrinya datang dari kebun belakang membawa hasil panennya. Ia menawarkan buah tomat. Lukman mengmbil tiga buah Tomat dan mengunyahnya satu persatu. Tak hanya yang merah yang dipetik, sudah itu tak direkomendasikan untuk menambahkan gula pasir atau sejenisnya.

“Harusnya para Jendral itu tak perlu memainkan semua peran,” kata istrinya, sambil menyodorkan nasi goreng dengan taburan cabe rawit dimana-mana.

“Mereka bukan ayah atau ibu kita, mereka tak punya tujuan selain ambisi mereka sendiri, orang tua kita tak tahu di bumi mana kita akan terlempar.

Jadi senjata yang mereka pilih juga akan berbeda-beda. Lihat saja siapa yang bisa bertahan,” jawab Lukman.

“Kandunganku sudah semakin besar, mungikin aku akan menjual perhiasan dari ibu.”.

“Tak perlu, besok aku mulai kerja di mebel, jadi pengamplas. Kau fokus saja pada kandunganmu.”

Sore menjelang magrib ia nekat mengunjungi penjara untuk menemui rekannya. Ia memakai Wig yang didapatkan dari penjaga warung, teman sesama nongkrong di malam hari.

Ia membawa sekantong penuh Ubi Cilembu yang susah payah didapatkan dari seorang pedagang yang merasa dirugikan, lantaran pedagang itu telah kehilangan pelanggangnya sebabanya ia libur.

Sipir penjara itu memberinya waktu untuk berbincang-bincang. Tak ada yang istimewa dari tempat yang kami duduki. Hanya kayu memanjang dengan atap dari ilalang. Terdapat meja kecil yang mungkin dipakai sebagai pemantas saja, orang-orang kecil seringkali jauh dari pelayanan. Jika dapat mereka harus tabah mendengarkan makian yang menyakitkan, ditambah dengan mata yang selalu curiga.

Lukman meletakan umbi cilembu diatas meja kayu. Ia menaksir kalau kayunya telah ada, bisa saja sejak Belanda menginjakan kakinya di negeri ini, awalnya hanya berdagang lalu tahu-tahu serdadu datang dengan bedil dan senjata yang terkokang dengan presisi. Ujungnya menjajah dengan dalih yang bermacam-macam, menganggap jajahannya sebagai rumah kedua. Kedengarannya cukup menyebalkan.

“Muka kamu kenapa Rok,” tanya temannya.

“Didatangi oleh tangan-tangan penguasa.”

“Beraninya main keroyokan.”

“Sampai kapan pelarianku berakhir, apakah yang kulakukan teramat salah, hingga penguasa repot-repot mengirimkan serdadu siang dan malam.”

“Meraka saja yang kanak-kanan, mudah tersinggung dan ringan tangan. Mereka lebih hina dari pada keledai, binatang itu terseperosok hanya dua kali.

Sementara para penguasa seringkali mengulangi kesalahan sama, tidak sekali tapi sepanjang kepimpinannya.”

“Mungkin aku akan terbunuh, atau tepatnya dibunuh, titip istriku ya, ia akan melahirkan dalam waktu dekat. Sementara serdadu itu terus saja menguntitku pada jarak yang mencengankan. Mereka bisa hadir dalam sosok yang berbeda-beda. Kadang sebagai pemburu, petani, pedagang, bahkan sebagai babu di rumah tetangga.”

“Panjang umur perjuangan, mungkin kata barusan bisa memberi jarak pada kematian.”

“Apakah di agamamu orang-orangnya menyakini kematian.”

“Tentu saja, ia bagian dari keimanan.”

“Kau tidak akan mati dalam waktu dekat,”

“Kenapa kau yakin sekali, bukankah kematian tak ada yang tahu, begitu yang kutahu dari agamamu.”

“Aku hanya berdoa pada Tuhanku, agar memanjangkan usia temanku, tak lebih.”

Waktu berkunjung habis. Sipir itu cepat-cepat menutup pintu penjara. Lukman memaksa agar sisa ubi cilembu dibagikan kepada penghuni sel lainnya, siapa tahu akan berguna atau memperpanjang nyawa mereka.

Sipir itu terus menatapnya sampai tubuh Lukman hilang dari pandangannya. Ia segera saja meraih HT yang terselip di pinggangnya. Suara percakapannya sampai terdengar oleh Lukman.

Lukman berlari kearah semak-semak yang jalan setapaknya sudah di luar kepala. Ia telah berganti baju petani, sementara bajunya sendiri ia kubur dalam-dalam. Ia melangkah pada jalan setapak yang terasa dingin, padahal sore masih menyisakan hangatnya mentari.

Ketika dirasakannya firasat yang buruk, ia memutuskan untuk turun ke sawah dan mulai mencangkul bongkahan tanah yang keras. Sementara langkah gaduh para serdadu kalah oleh kejelian Lukman dalam menikmati peranannya.

Suasana hening, hanya desau angin sore sejuk yang bisa dirasakan, ia menyudahi peran barunya. Lalu pelan-pelan berjalan menuju ke rumahnya. Siapa serdadu-serdadu itu tengah istirahat di warung 24 jam milik temannya. Sedang bertanya ini dan itu, ia berharap agar kawannya tak tergiur oleh lembaran kaku dan baru. Tentu saja dalam jumlah yang banyak.

Kemiskinan acap kali membuat seseorang goyah dari pendiriannya. Bahkan mungkin keyakinannya. Seseorang yang telah berumur panjang dan larut dalam keyakinannya, bisa saja terjerumus dalam kegagalan dalam mempercayai keyakinannya.

Lukman menyalakan sebatang rokok sisa tadi malam. Meski telah gepeng, tetap saja rokok. Ia merobek rokok itu dan mengambil tembakau, lalu memindahkan pada papir baru yang lebih bersih. Ditambahkannya cengkih, irisan kemenyan, dan wuwur.

Di bawah pohon asem, ia beristirahat sambil menikmati sebatang rokok yang kenikmatannya jarang ia rasakan. Ia membuat huruf-huruf tertentu dari asap rokok yang dihembuskan dengan teknik tertentu. Korek api berbahan dasar besi ringan dengan bensin sebagai pemantiknya ia mainkan berkali-kali.

Ia mendongak ke atas, langit sedang bersih. Ada banyak awan yang merangkai sebuah peristiwa, sebuah sketsa yang tak bisa ditandingi oleh arsetek kawakan. Beroleh ijazah dari perguruan tingga ternama. Mereka hanya berdecak kagum disertai lolongan gelengan kepala. Memang mereka harus banyak-banyak menggeleng dari pada menangguk. Kebanyakan mengangguk akan mematikan saraf kreatifitas. Jika tak secara kasat mata anggukan itu terlihat, agaknya jari kalian bisa mengetik barang sepatah atau dua patah kata arti dari pengingkaran atas sebuah keajegan, keukeuh, atau apalah.

0 Comments:

Posting Komentar