Sabtu, 23 September 2023

Kafilah Menggonggong Anjing-Anjing Menjulurkan Lidahnya

                                               Chapter 2

Pintu terbuka setelah sebelumnya Lukman mengetuk pintu rumah tiga kali. Ia menunggu beberapa saat, mungkin mereka masih terlelap di sisa pagi yang belum menghangat. Kucing penunggu rumah juga masih tidur-tidur ayam diatas keset menatapku malas.

Sebuah langkah kaki terdengar.Ia menoleh kebelakang siapa tahu anak buah jendral itu berhasil mengendus keberadaanku dengan anjing pelacak penggonggong.

Sebuah langkah kaki terdengar.Ia menoleh kebelakang siapa tahu anak buah jendral itu berhasil mengendus keberadaanku dengan anjing pelacak penggonggong.

Aku menahan nafas, siapa yang akan membukakan pintu untuk pertama kalinya. Kuharap bukan ayah ibunya, atau adik-adiknya. Gagang pintu diputar cepat setelah penghuni rumah mengintip dari balik gorden rumah dan mengenali wajahku.

“Lukman,” katanya pelan.

“Kau punya makanan,” jawabku lebih pelan.

“Masuklah,” katanya. Ia menyela beberapa helai rambut yang menggantung di depan matanya. Mengintip keluar rumah melalui gorden yang ia sibakkan sedikit. Pedagang lontong sayur yang tertangkap oleh kedua matanya. Berhenti di depan rumahnya meski ia tak memesan.

Lukman duduk di sofa panjang coklat, pikirannya kabur entah kemana. Untung ia masih menyimpan alamat rumah yang sekarang ia lihat, kalau tidak ia akan luntang lantug mengukur jalanan seharian. Ada banyak foto yang tertancap di dinding, Lukman menatap satu persatu, nyaris tak ada yang dikenalinya. Kecuali foto wanita yang bermata sipit dengan hidung sedang dan rambut ikal panjang sebahu. Lukman berkenalan dengan wanita di foto itu setahun setelah demonstrasi yang mendebarkan.

Lukman cepat-cepat beralih pandangannya kepada sepiring nasi, sambel kecap dan telur goreng yang membuat perutnya tak lagi merintih-rintih sepanjang malam. Ia merasa darahnya yang telah membeku puluhan jam kembali hangat, sendii-sendi yang tiba-tiba linu seperti terserang rematik kembali bisa bergerak dengan leluasa. Sepanjang malam ia meringkus di kakus bambu yang dibawahnya ikan gurame seperti ingin mengajaknya berbicara. Hanya saja ia tidak menjadi gila karena bercakap-cakap dengan raja ikan air tawar.

Sarapan pagi yang nikmat itu di akhiri dengan tegukan air dari bibir gelas keramik yang kau ulurkan dengan wajah cerah. Gelas itu bergambar naga yang sedang terbang di atas awan dengan mulut berapi. Kaki-kakinya yang kuat dan tajam itu mengangkat seorang putri bermahkota tandur kerbau.

“Seandaianya Naga itu ada, aku ingin juga dicengkram olehnya dan dibawa entah kemana, menjadi santapan anak-anaknya juga tak sesal, dari pada menjadi ekperimen para prajurit yang menganggapku sebagai orang membawa penyakit bagi negeri ini,” ucap Lukman

“Sakit itu akan lenyap manakala kita menutup mata untuk waktu yang lama. Bagaimana kabar keluargamu?”

“Semoga sehat, sekarang kau berkacamata,” jawab Lukman, ia mengalihkan perhatiannya pada fota yang tergantung di dinding.

“Sebuah kebutuhan.” Jawab wanita itu, sambil tersenyum manis.

“Aku iri kepadamu, orasi dimana-mana tetap nyenyak tidur di rumah sendiri.”

“Siapa bilang, saat ini hanya aku yang tahu, sekarang rencanamu kemana,” Tanya wanita itu sambil menyeruput teh jumput yang masih mengepulkan asap.

“Kau bertanya tetapi tentu saja kau tahu jawabannya.”

Lukman pamit kepada pemilik rambut ikal sebahu, ia mungkin tak menganggu anggota keluarga yang lain terbangun disela-sela rasa kantuk. Ia harus pergi lagi dan pergi agar para prajurit yang mengemban tugas tak dapat mengendusnya dalam waktu cepat, pekerjaan mengulur waktu bukan sesuatu yang mudah dilakukan.

Ia tidak ingin budinya berubah menjadi air yang mendinginkan semangat melakoni drama sebagai pesakitan bagi para penguasa. Ia ingin mengetuk pintu itu lagi, sebuah pintu yang telah mengobarkan api semangat di tengah pelarian yang tak berujung. Akan datang saatnya nanti pintu itu ia ketuk lagi dalam kondisi yang berbeda bukan sebagai buronan di tengah kakap yang berdansa di pagi hari sambil barbeque di halaman rumah bersama tikud-tikus gendut berkepala botak.

Lukman merapatkan jaketnya yang telah berumur panjang hadiah dari kawan sesama demonstran. Ia merasa agak terlindungi dari cibiran, sebab ada logo negara asing menempel di jaket jin belel beraroma rupa-rupa. Tetapi penguasa itu apakah mau mempertimbangkan ketika melihat Lukman berjaket berlogo negara asing, apakah mereka segan lalu mengundurkan penangkapannya dalam tempo lama. Setidaknya ada jatuh tempo sebelum para penguasa betul-betul membuatnya tak bisa kemana-mana.

Menjelang dini hari Lukman mengikuti langkah-langkah orang gila menuju tempat persembunyiannya, sampai di tempat tujuan segala aroma menyeruak ke segala penjura. Lukman tidur di atas bangku panjang licin yang beraroma kemenyan beratap langit, ia tersenyum manakala memejamkan matanya, tubuhnya yang ringkih di sapu oleh angin dari semak-semak tinggi yang menjadi benteng sebuah rumah kosong yang amburadul seperti terkena rudal.

Lukman tak memperdulikan segala tingkah polah tawa yang berderai-derai dari sudut ruangan gelap dan beberapa benda jatuh. Orang-orang gila itu sudah terlelap dalam dengkuran panjang yang kasar. Ia menganggap derai tawa sebagai sebuah sambutan selamat datang baginya yang telah menjadi penghuni baru dan membuat suasana lebih hangat.

0 Comments:

Posting Komentar