Rabu, 20 September 2023

Kafilah Menggonggong Anjing-Anjing Menjulurkan Lidahnya

Chapter 1

Lukman berdiri di sudut ruangan bersama puluhan orang dari berbagai desa. Bajunya telah lengket. Mereka sedang mendengarkan khotbah dari pria kota. Setiap berbicara kumisnya ikut bergoyang-goyang melambai naik turun. Ini menimbulkan efek perisai agar orang-orang tak berperkara dengannya. Hidungnya bulat seperti jambu merah. Ia kerap mengulang cerita tentang bayi-bayi perempuan yang di sunat. Mereka kaum yang tinggal di daerah yang membuat kuliat kalian bisa menghitam hanya beberapa jam saja, katanya. Seorang dari mereka datang terlambat membawa anak perempuan yang tertidur dalam pelukannya. 

Lukman mencatat kedatangan wanita dalam secarik kertas yang semakin sulit dikendalikan, kertasnya sudah bercampur keringat yang muncul dari telapak tangan. Ia memunculkan suatu saat dalam bentuk lain yang terasa lembut dan nyaman. Ketika diskusi tengah memuncak beberapa orang berseragam penguasa datang marah-marah. Mereka memaki kami yang tak memakai masker. Salah seorang dari mereka bahkan menendang salah satu kursi hingga membuat salah seorang perempuan yang sedang menyusui terjungkal kebelakang.

Salah seorang pria berseragam penguasa tengah menodongkan senjata tepat di keningnya, membuat lelaki itu duduk kembali di kursinya. Satu persatu membubarkan diri. Pria berseragam penguasa lainnya menghentikan langkah Lukman. Ia tak menggubris peringatan keras dari pria-pria berseragam. Lukman malah berlari kencang mencoba meninggalkan gedung dari tanah liat yang unik. Ia terus berlari sampai kedua kakinya terjerembab dan masuk lubang tanah yang berlantai lunak. Sekelilingnya menghitam, tangannya meraba. Jemarinya menyentuh permukaan lembut yang terasa lebar. Ia pun menariknya sampai menutupi kepalanya. 

Teriakan dari pria berseragam terus meneriakinya. Salah seorang pria masuk ke lubang tanah yang ruangannya menghitam. Tubuh Lukman menggigil, ketika selimutnya di tarik-tarik secara tergopoh-gopoh. Kalimatnya terasa panas di telinga: Namamu ditelevisi….” Kalimat itu mendengung-dengung di kepala. Istrinya terus mengulang kata itu secara sporadis. 

Lukman tertidur cukup lama, sampai kedua telinganya menangkap kemarahan dari seorang pria berseragam dengan pangkat tinggi. Dadanya bergemuruh ingin membungkam mulut yang setiap pagi dijejali oleh roti tawar selai pisang. Namanya yang terus menerus disebut-sebut membuat kebenciannya terhadap negerinya makin memuncak. Ia pikir dengan tidur lagi bisa menyembuhkan luka pikirannya karena kebebasan bicaranya telah dipasung hingga ia menjadi buronan yang perlu dilenyapkan. 

Ia curiga kalau cara terbaik untuk menghentikan sebuah perbedaan adalah dengan cara melenyapkan. Ini pola pikir syetan, ungkap Lukman yang tak pernah keluar dari mulutnya untuk sementara waktu. Kemarahan pria berseragam tingkat tinggi itu meluapkan kemarahannya ditelevisi, di siarkan secara langsung tanpa terpotong iklan dan perkataan MC, yang telinganya telah diteriaki oleh orang yang berkuasa. Lukman terbangun setelah mimpinya terganggu oleh suara tukang getuk yang menjajakan jualannya dengan memutar musik memekakkan telinga. 

Sebuah lagu dangdut yang mengalun sebagai isyarat pada pelanggannya bahwa menu kali ini tidak mengecewakan. Lukman membuang slimut tipis yang terbuat dari jarit coklat, dijahit menyerupai selimut pada umumnya. Membiarkan kedua kakinya menjuntai kebawah dan membiarkannya berayun-ayun sejenak. Ia memandang langit-langit rumah yang mulai dihuni oleh laba-laba kaki panjang ayah. Mengucek kedua matanya yang lengket dan menyisakan satu mata yang selalu merah akibat kekerasan penguasa, mengusap rambutnya yang kriting dan mengecep lidahnya yang dipaksa untuk mengecap makanan yang sama berhari-hari. 

Ia memasang telinga kalau jendral yang meneriaki namanya berkali dengan wajah merah padam bara. Mengucungkan jari telunjuknya ke arah kamera awak media yang segar wajahnya, bak dapat segudang durian yang jatuh dari truk berjalan endut-endutan. Ternyata yang didengarnya hanyalan iklan shampo, bumbu dapur, pembalut, dan obat sakit kepala. Ia pun beranjak dari tempat tidur dan berjalan di atas lantai semen kasar dan mengintip ruang tamu dari balik gorden lusuh berbau macam-macam, karena terkadang beralih fungsi menjadi lap tangan sehabis makan.

Ia mengambil handuk yang menggantung di balik pintu kamar, menyampirnya ke bahu dan berjalan cepat menuju kamar mandi. “Namamu ditelivisi….” Ucap sang istri sambil menyetrika baju. “Kekejaman kemanusian ternyata mudah sekali terendus oleh istriku.” Kata Lukman sambil menutup pintu kamar mandi. Lukman keluar dari kamar mandi dengan memakai baju berwarna kuning terang tanpa mengganti celana, ia berjalan ke belakang rumah yang segar. Banyak tumbuhan apotik tumbuh disana, dari mulai jahe, kunyit, lengkuas, jahe merah, kencur, panegoang, dan sebagainya. Lalu ia menjemur handuk dan berjalan ke ruang dapur. Ibu mertuanya telah meletakkan segelas kopi pahit. Seperti yang sudah menjadi kebiasaan sang ibu mertua meletakkan di sudut meja kayu panjang itu, dalam posisi yang gampang diambil. 

Ia menyeruput sedikit dan membunyikan suara puas, dan menggelangkan kepalanya. Matanya menombak foto pernikahannya yang makin buram. Bingkai dari gleges membuatnya semakin tak solid, digeser sedikit foto itu akan keluar amburadul. Lukman berpapasan dengan istrinya ketika keluar dari ruang dapur dan menghirup sabun batangan dari balik tubuhnya. “Wanginya…” ledak Lukman. “Kita semua panik Mas!, namamu disebut-sebut oleh jendral itu.” ucap sang istri meletakan baju yang telah licin kedalam lemari satu persatu.

“Tentu saja takut, tetapi aku harus berani. Dan aku tidak meninggalkan apapun kepada kalian kecuali api yang terus membara sepanjang nafas di kandung hayat.” Jawab Lukman.

0 Comments:

Posting Komentar