Minggu, 24 September 2023

Kafilah Menggonggong Anjing-Anjing Menjulurkan Lidahnya


Chapter 3

Lukman berjalan menuju sebuah pasar. Ingin membeli sebuah kado pengantin, ia ingin menyenangkan layaknya suami pada umumnya. Tempat yang dirindukan, meski beraroma tai bebek. Meski begitu, pasar rakyat ibarat surga yang menyenangkan, mungkin banyak penipuan disana. Apa yang mesti ditupu, jika Dulu semasa kecil, ia bersama dengan teman-temannya mengais cabe-cabe tak layak jual untuk dikumpulkan dan dijadikan bahan sambel untuk makan malam. Ia tak ingin dejavu seperti yang biasa terjadi jika mental sedang melankolia. Justru dengan ingatan jelas tentang sebuah masa, ia ingin memperjelas kenangan menjadi sebuah kekuatan.

Jalan yang aman dari para mata-mata penguasa hanyalah sebuah gang sempit yang sempat ditutup. Tak ada yang berani melintas meski pintu gang telah menganga lebar. Ingatanya juga melayang pada gang yang sedang dilewatinya, sebuah gang yang mengerikan, dimana telah terjadi pembunuhan yang mengerikan. Tubuh korban dimutilasi dan potongannya disusun menjadi sebuah kata. “PUAS” sebuah kata yang sampai sekarang tak ada yang bisa menerjemakan, meski para ahli bahasa sekalipun.

Gang yang sempit hanya bisa dilewai oleh dua orang berjajar, kedua sisinya diapit oleh tembok-tembok dari gedung perkantoran dan pusat berbelanjaan. Ingatannya tanpa dipanggil lebih dalam, tiba-tiba saja muncul seperti bisul. Sebelum ditembok, gang ini adalah lapangan bola luas yang bisa menampung seluruh anak-anak kecil sekampung, termasuk Lukman. Tempat mengadu laying-layang, pertandingan tarkam yang selalu ribut menjelang maghrib, atau melihat layar tancap dimalam hari dengan mulut sibuk mengunyah kacang rebus.

Kini semuanya serba kaku dan membisu, jalan-jalan tak lagi aman dan menyenangkan, anak-anak bingung mencari tempat bermain.

Selain sempit, gang ini juga selalu dipenuhi air semata kaki. Entah air dari mana, tak peduli hujan atau tidak. Gang ini sangat menjengkelkan sekaligus mengerikan. Orang-orang lebih memutar dari pada harus melewati gang ini, ketika berangkat ke pasar. Lukman tak melakukannya.

Ia berjalan sambil melihat tulisan yang banyak menghiasi tembok sepanjang gang. Isinya macam-macam, ada yang mengutuk, mengumpat, ataupun memaki.

Tulisan itu seperti: Tumpas, tebas, korupsi sampai habis. Lalu ada yang menambahka pada tembok lain, korupsi, kolusi, nephotisme, biang kerok. Dan seterusnya, seperti tak ada tempat penghisap darah.

Mata yang terlatih itu terus menyerap semua tulisan dari tangan-tangan berminyak yang kebanyakan kerja hanya mengandalkan tenaga. Bisa saja mereka menuliskan sambil tersedu-sedu, karena terus saja memikirkan bagaimana nasib bangsa Indonesia setelah ia tiada. Di gantikan oleh anak cucu yang mengais rempah-rempah keadilan dengan cucuran peneyelasan.

Penamaan pengantin dan mencari kado setelah usai resepsi pernikahan agaknya ganjil. Tetapi tidak bagi Lukman, ia justru ingin menghadiahi istrinya dengan kado setelah menikah, entah apa kadonya. Uang tebal juga tak ia genggam, hanya bunyi kepingan uang yang saling beradu pada kantong bajunya. Ia ingin duduk santai di tepi ranjang, sambil menatap punggung istrinya yang sedang menyisir rambutnya yang basah, padahal subuh tadi terlalu dingin.

Sampai di mulut gang, ia melihat tulisan mural yang membuatnya tampak nyaman. “Tulisan itu hasil residu dari bahasa lisan.” Di bawahnya tersemat sebuah nama: Sapardi Djoko Damono. Ia melangkah sambil tersenyum menyebrang jalan raya. Ia menurunkan tudung kepala sampai menyentuh kedua alisnya. Matanya menyisir cepat, siapa tahu ada para serdadu yang tingkahnya aneh. Menyamar sebagai pedagang yang aroma tubuhnya sama sekali berbeda.

Lukman melipat baju dan memasukannya kedalam kantong plastik. Tak berkado, juga tak elegan. Hanya sepasang baju yang dibelinya dengan perasaan bercabang.

“Kau belum tidur,”

“Mana mungkin aku bisa tidur, ini hari yang bahagia, tetapi serdadu itu terus saja membuatmu kecut.”

“Maaf, mungkin ini membuat perasaanmu ringan.” Lukman mengulurkan baju yang dibelinya di pasar tadi pagi.

“Uang dari mana.” Tanya istrinya.

“Seperti biasa, aku memposisikan diri sebagai konsultan hukum.”

“Orang-orang itu masih percaya.”

“Mungkin tidak ada pilihan lagi.”

Lukman meninggalkan istrinya setelah tengah malam. Melepaskan diri dari pelukannya. Menyibak selimut kain hadiah dari seorang teman yang mengaku diriya sebagai pejuang HAM. Seorang teman yang mata kirinya telah dibuat buta oleh hantu menguntitnya sejak lama. Naasnya setelah kejadian itu, temannya dituding sebagai orang bergaya modern, tiap hari dituding sebagai mata lensa.

Kakinya melantur kemana-mana sampai ia berhenti pada warung 24 jam. Penjualnya sedang menikmati secangkir kopi, menyesapya pelan-pelan. Ia menoleh ke arah Lukman.

“Hei penyair duduklah, kubuatkan kau segelas kopi.”

“Andai masih ada Wiro Sableng, mungkin aku bisa taya sesuatu padanya.”

“Kau mau tanya apa Man?”

“Mungkin beliau bisa kuajak untuk demontrasi sambil ia mengacungkan kapak naga geni 212. Atau jurus matahari yang bisa menyilaukan para serdadu, hingga kami bebas bersuara. Setelah itu aku akan bertanya tentang arti kemerdekaan, apakah termasuk dalam jenis hantu.”

“Aku punya bukunya, kau ingin baca.”

“Aku sudah membaca semuanya.”

“Mungkin ini belum.”

Lukman tercengang melihat serial novel yang belum pernah dibacanya. Digengamnya erat-erat dan sebuah teriakan serigala menjalar ke segala arah. Ia mulai membaca halaman demi halaman pertama sambil menikmati gelas-gelas kopi lainnya. Sementara penjualnya sudah mendengkur memimpikan kapak yang sering di idam-idamkanya.

Teriakan serigala berubah menjadi kokok ayam yang saling sahut menyahut. Lukman menuntaskan setengah novel Wiro sableng. Dan ia memutusan untuk kembali ke rumah sambil merapatkan tubuhnya ke sisi istrinya. Untuk sejenak ia seperti terlupakan oleh serdadu yang selalu bernafsu untuk meringkus dirinya.

Lukman terbangun ketika hidungnya mencium aroma kopi seperti yang ada di televisi. Ia berharap istrinya yang membuatkan segelas kopi, bukan mertua seperti yang sudah-sudah.

Ia mengintip dari lubang kunci, halaman rumahnya kini ramai oleh anak-anak yang sedang menonton aksi topeng monyet diiringi musik penuh bulian. Ia tersentak manakala bertubrukan dengan mata si monyet. Si monyet mogok untuk melakukan aksinya. Sang pawang terus saja membentak-bentak si monyet. Tanpa di sadari, ia melihat monyet itu lari lintang pukang meninggalkan pawang yang terengah-engah mengejarnya. Sore hari Lukman mandi di sungai. Ia menyelam sampai ke dasar sungai. Ikan-ikan kecil kocar-kacir dibuatnya. Ia senang karena salah satu temannya menepati janji agar tak membuang limbah ke sungai. Tapi, apakah janji itu akan diturunkan kepada orang yang akan menggantikannya nanti. Malam hari ia kembali ke warung 24 jam. Tak lama ia duduk-duduk di warung. Telinganya seperti mendapati langkah-langkah sepatu yang ia kenal. Sepasang sepatu yang bisa mematahkan jemari kalian. Sepasang sepatu yang tak berbau meski telah berlumuran darah.

0 Comments:

Posting Komentar