Selasa, 19 September 2023

API TEKAD SEORANG GUR

BABAK 1

"Puncak Prestasi Seorang Guru"

Guru yang 'tepat' atau setidaknya mendekati maksimal dan mengandung banyak kebaikan, banyak keberkahan, saya pikir bukan sekedar memberikan pemahaman yang mumpuni kepada para murid-muridnya. Tetapi bagaimana guru itu memberikan banyak-banyak inspirasi, atau setidaknya  menginspirasi. Bentuknya macam-macam. Jika guru itu memberikan semacam dogma lalu muridnya bisa menangkap wawasan baru, pengetahuan baru. Tidak sekedar memberikan dogma yang kaku, kalimat-kalimat yang terus saja menggurui, meski ia seorang guru. Saya pikir tidak ada orang satupun di dunia ini yang suka diberikan nasihat terus menerus tanpa pernah diberikan kesempatan untuk berbicara. Bahkan sekedar mengungkapkan apa yang menggelisahkan pikirannyapun kelu. 

Di depan kelas, 'dulu', seorang guru berdiri di depan kelas, muridnya diam tidak mau protes, bahkan untuk protes pada pikirannya sendiri. Karena menganggap guru itu maha, mungkin di belahan kelas yang lain ada begitu banyak murid yang mengacungkan tangan mengkonfirmasi sesuatu, menginterupsi sesuatu, sebelum guru itu selesai bicara. Tanggapi saja sejenak, lalu berikan pijakan. Jika tak mampu maka endapkanlah dulu hingga kau menemukan kelamahan sekaligus kekuatan yang bisa kau bangun dengan sempurna. Untuk membangun peradaban konon banyak-banyaklah mendengar. Itu salah duanya. Dan seterunya. 

Ada yang bilang guru itu harus dan bisa menggerakan semua elemen departeman.  Jika tidak semua, ya beberapa departemen saja sudah cukup untuk memajukan bangsa ini, itu kalau kalian setuju. Saya kembalikan kepada jalan pikiran kalian. Saya khawatir itu jadi semacam jargonism, bila kalian tempel besar-besar di atas spanduk lalu berhenti disana. Tanpa pernah berani mengkonfirmasi guru sebagai penggerak bangsa, jika ide yang kalian gulirkan selalu keruh dari hulu ke hilir, atau dari hilir ke hulu. Yang mau kalian gerakan itu apa, jika guru-guru masih cemas memikirkan masa depannya sendiri atas bangsanya sendiri, lalu mereka berubah menjadi buruh pabrik di kelas-kelas. Cepat-cepat pulang karena istri dan keluarga mereka menunggu beras untuk dimasak, itupun kalau kalian sejenak berpikir. 

Ketika Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom atom, yang konon katanya uji coba pertama apakah bom itu bisa meledak atau tidak. Ternyata meledak, hingga seluruh awak pesawat hanya melongo menatap kepulan asap yang membumbung ke angkasa bak cendawan berjamur-jamur. Lalu sekonyong-konyong ada seorang fotografer yang mengabadikan peristiwa memilukan itu. Hingga bisa kalian lihat sampai sekarang, sebagai sebuah bencana atau krisis cara berpikir. Tetapi yang saya mau tekankan adalah; setelah bom meledak seorang prajurit datang menghadap ke kaisar Hirohita, lalu mengatakan; "Jepang sudah kalah." "Kumpulkan seluruh guru yang tersisa, lalu kita bisa bangun 20 tahun kedepan," itu kira-kira skema pembicaraan cerdas yang membuat seluruh jendral yang tersisa tampak kebingungan, tetapi hanya sesaat. Mereka langsung mengumpulkan seluruh guru yang tersisa konon sejumlah 45.000.

Artinya guru itu memang tidak perlu pujian apapun, tetapi sejahterakan mereka dengan cara-cara terhormat. Memang pahlawan yang berjasa, bukan tanpa tanda jasa. Hingga mereka bisa secerdas para pemikir bangsa. Mereka pun bisa menghilangkan kebiasaan buruk yang menempel seperti daki, hingga mereka berani jujur kalau para guru wajib belajar dan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Hingga mereka tidak hanya cerdas secara intelektual, berkah secara ilmu, kuat secara fisik, tetapi juga menjadi garda terdepan dalam penjaga moral bangsa ini. Dan yang penting dari penting-penting lainnya, mereka tidak antipati terhadap 'mahluk' bernama kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Meski terseok-seok atau jalan memutar, jalan lempeng, mereka menatap damai AI.

Karena dari mereka (guru-guru) akan 'lahir' dari rahim mereka anak-anak yang dapat memilah dan memilih untuk ia sendiri dan masa depannya. Bukan untuk "mengencingi" guru mereka sendiri, sebab nihilnya moral yang mereka serap dari gurunya. Atau mereka punya jalan sendiri, karena pilihan dari mereka yang sulit untuk mereka bendung. Jika mereka berani "mengencingi" guru seperti mereka bakar moral yang guru celupkan pada ruh-ruh mereka sejak dini, lalu mereka dapat kekuatan jahat dari mana? apakah dari gurunya, lingkungannya, keluarganya, atau mereka sendiri yang menentukan arah pribadi.

Moral sebagai kekuatan epic menjadi senjata pamungkas setelah inspirasi. Derita-derita yang mereka rasakan sebagai guru, lebur menjadi gumam indah menjelang tidur, meski beras tingga 12 kunyah. Minyak tinggal sekali goreng, dan tempe tahu tinggal satu hari kadaluarsanya, dan mimpi tinggal satu malam. Lalu di ujung tidurnya mereka mimpi indah setelah mendoakan murid-muridnya, bahkan murid yang kalian katakan bandel. Tak lepas dari guru ini, guru yang siap meski Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak. Yang siap mau bukan karena mampu, tetapi tak ingin melihat ruang kosong yang bisa mengkerdilkan pikiran-pikiran cerdas yang sedang tumbuh-tumbuhnya. 

Mungkin saya akan tutup sementara gendu-gendu rasa ini dengan kalimat; "Ada yang lebih cerdas dari guru, ya banyak, banyak sekali, tetapi mereka mungkin tak bisa rebut keberkahan dari seorang guru, jika mereka tulus dan ikhlas," kata seorang penggembala kepada para kerbaunya jelang senja. Ia seorang guru SD honorer yang menggembalakan kerbau-kerbau milik Kepala Sekolah, dan ia selalu menolak undangan makan malam dari putrinya. Lalu putrinya bertanya setelah sekian lama undangannya selalu di tolak. "Aku tidak ingin terjebak oligarkhi" jawabnya. Ia pergi sambil menenteng jatah makam malam. Putri kepala sekolah itu menjeling kepada penggembal. Ia mendengus kesal dan pulang ke rumah. Sementara langit geap disusul silih berganti guruh bersahut-sahutan. Meski hujan tidak lekas turun menyiram bumi. 

Bonding

Chapter 4

Melihat Anak-Anak Dari Sudut Pandang Orang Dewasa

"Bahagian dulu dong ayah," ucap sang anak pada ayah yang memunculkan satu ide. Boleh tidak untuk pergi merantau ke luar negeri. Agar gaji ayahnya bisa mencapai sekian puluh juta. sang anak bisa melontarkan kalimat seperti itu, kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi apapun juga. Ia memang nurani jujur sehingga bisa merontokkan tembok mental seorang lelaki dewasa.

Sang ayah rupanya bisa memperoleh kalimat seperti dari hasil diskusi yang setara. Kalimat sederhana dengan intonasi yang rendah, tanpa motiv apapun. Seperti yang lalu-lalu, sang ayah biasanya menggunakan kalimat bernada tinggi dengan bahasa tubuh seorang coboi. Yang bisa mematahkan kalimat apapun yang disampaikan oleh mulut mungil tanpa bau. Kalian orang dewasa yang kadang bau mulutnya saja sudah busuk, lalu kata-kata yang keluar dari mulutmu lebih busuk dari apapun.

Rupanya yang seperti itu bisa jadi terjadi di rumah-rumah kalian yang bertabur marmer sabagai lantai, dan dinding bertabur foto-foto hasil prestasi kalian yang mentereng dari berbagai pelatihan, seminar, pembicara, atau sekedar peserta pelatihan.

Rabu, 13 September 2023

Bonding

Chapter 3

Apakah kita pembuli anak sendiri?

"Kamu masih butuh bantuan ayah," kata si ayah pada satu malam menjelang tidur. Mendapati putrnya yang sering main HP tak bisa dikontrol. Entah itu lewat peringatan atau teguran. Sang ayah akhirnya memakai cara intimidasi, sang ayah berharap apa yang dilakukannya benar. Setidaknya untuk waktu yang dekat. Kalau ada kebenaran dengan pola asuh yang benar tanpa pembully, niscaya ia akan ikuti. Meski dengan rasa yang campur aduk. Antara malu dan butuh. Melihat putranya sendiri makin hari makin bisa melihat situasi. Ia akan mencibir dengan memajukan kedua bibir. Ayah pun terpancing.

"Kau pernah akan digampar oleh seorang tukang, gara-gara bibirmu yang dimonyong-monyongkan tak jelas," ungkap si Ayah. Berharap putranya akan memahami apa yang ia ucapkan. Sebenarnya ia sendiri sudah mengetahui caranya itu salah, tetapi dikepalanya seperti ada iblis yang terus menganggu dan memuntahkan apa yang menjadi gerundelan ketika kata-katanya tak mempan lagi untuk menundukkan putra laki-lakinya. Mungkin ia perlu memanggil dirinya sendiri lebih dalam, agar ia lebih kalem dan percaya akan magic word. Sapaan yang lembut dan teguran yang tidak menurunkan harkat martabat seorang laki-laki, kerap ia lupakan. Laki-laki butuh penghargaan bukan cibiran dan perlakuan seperti bayi yang tidak tahu apa-apa.

Si anak tak menjawab. Tetapi bibirnya komat-kamit memaki sang ayah dengan suara yang tertahan di mulut dan tenggorokan. Si ayah mengetahuinya. Dan ia tak bisa berbuat apa-apa. Kecuali memuntahkan lagi apa-apa yang ada di kepalanya. Sungguh sebuah kepengecutan yang tiada tara. Tetapi ia terpasung dalam dunia sunyi, suram, gelap, ia belum bisa memahami apa yang ada benak putranya.

"Kalau kau tak nyaman dengan ayah. Kau bisa cari ayah yang lain," Si ayah menyerang lagi dengan brutal. Magic World tenggelam lagi dalam luapan emosi yang meledak. Ia makin gelisah. Ia menambahkan nama-nama temannya untuk dijadikan sebagai ayah pengganti. Itu tidak elegan, caranya menegur dengan membungkam seluruh logika putranya. Ayah berharap seorang psikolog, entah terkenal entah tidak. Bisa mmebaca tulisan ini, lalu merespon dengan tulus. Mungkin mereka akan menulis tentang kekolotan seorang ayah yang mendidik anaknya dengan rasa dendam terhadap masa lalunya. Masa lalu sang ayah yang suram, sekiranya tak perlu diwariskan pada anaknya. Berhentilah. Kata seorang psikolog suatu saat nanti. Ayah berharap dapat pelukan atau apapun dari psikolog, bahwa yang kamu lakukan itu bisa benar-tetapi caranya sungguh keterlaluan. Lalu mereka mengajak sang ayah pergi ke kedai kopi untuk sekedar menyesap pahitnya bubuk kopi.

Ayah pun tak sanggup lagi menatapmu. Yang terus berkomat-kamit memaki sang ayah. Ayah pindah ke ruang tamu. Dengan cara bergeser saja. Bukan berjalan, hanya bergeser. Kalian tahu maksudku. Baiklah. Lalu rebahan. Menatap dinding rumah yang mulai retak, padahal cicilan belum genap satu tahun. Mereka para tukang yang begitu hemat, hingga tega mengurangi takaran semen dan seterusnya.

Selanjutnya, ayah tak tahu bagaimana menatapmu ketika malam menjelang tidur. Pungguh ayah terasa nyeri. Syukurlah tangan mungil istri mampu membuat ayah nyaman. Balsem dioleskan ke seluruh punggung. Sambil sesekali tanya jawab.

"Mungkin ayah perlu merantau, agar putra kita siapa tahu bisa lebih dewasa?" tanya sang ayah pada sang istri yang tengah memijatnya.

"Nggak usah yah, itu tambah runyam. Putra kita mungkin akan lebih penurut. Itu karena dia takut sama bunda. Jiwanya lelakinya akan redup. Itu sangat berbahaya. Janganlah merantau, tetaplah bersama mereka. Sampai mereka besar dan bisa melangkah tanpa perlu penerang.

Selanjutnya yang ayah rasakan hanya gelap beserta lalu lintas mimpi yang silih berganti. Ingin ayah catat mimpi-mimpi itu. Setelah bangun. Ayah disibukkan dengan roti bakar, mandi, dan membangunkanmu. Karena bagimu pukul 06.45 sudah terlambat. Dan tak layak untuk masuk kelas.

Ketika bertemu di ruang dapur. "Ayah minta maaf, ayah harus berkata lebih dewasa. Semuanya agar kamu bisa lebih dewasa." Kata ayah. Si anak mengangguk. Mungkin kalimat barusan akan ditertawakan oleh para psikolog, entah. Hanya saja, ayah perlu minta maaf. Ayah masih bodoh dan goblok, untuk urusan-urusan parenting.

Selasa, 12 September 2023

Bonding

Chapter 2


"Maafkan anak saya, saya juga kadang kena omelannya." begitu kata sang Ayah meminta maaf kepada tukang yang kebetulan dapat sikap tidak mengenakkan dari putranya.

Selepas itu anaknya menangis meminta pembelaan. Bahwa ia sering tersenyum sendiri, tak jelas. Sering parkir motor di depan rumahnya. Dan bla-bla-bla. Semua itu membuat putra tak nyaman. Ia memberontak dengan caranya sendiri. Bahwa Etika pada seorang tukang di rumah tetangga perlu di perbaiki. Bagaimana caranya, harus diperbaiki.

Ia menangis di depan rumah di bawah lirikan tukang yang membuatnya ayahnya punya satu misi. Yaitu membuat anaknya tetap kokoh sebagai lelaki. Sebagai ayah tak mungkin membuat kejadian itu memorosotkan mentalnya hingga menjadi rapuh bak kerupuk.

Ada beberapa perilaku yang membuat putrnya. Bahwa ia anak kecil yang tidak bisa menutupi kekesalan pada orang lain, terhadap Etika yang diterapkan oleh ayahnya di rumah. Maka ketika ada orang dewasa yang dengan sengaja merubah aturan di kepalanya, ia pun berontak dengan caranya sendiri. Tetapi orang dewasa di sekitar yang tidak siap dengan anak (jenius) akan menganggapnya sebagai pengganggu. Mereka meminta para orang tua untuk mendidik anaknya lebih keras lagi, agar sikap-sikapnya dapat diterima pada orang dewasa umumnya.

Itu cukup menggelikan. Tetapi berbicara pada orang yang dikepalanya dipenuhi semak belukar, tanpa pernah dikoret oleh sabit, yah seperti gonggongan aning pada bangkai buruan.

"Kalau nggak saya gampar anakmu itu," kata si Tukang, dengan perubahan redaksi yang terdengar agak keterlaluan.

Ayah sepertinya belum siap menerima teguran itu. Tetapi ayah tak mau kau tumbuh sebagai lelaki pengecut yang tak mau tahu soal peristiwa dan tak mau belajar dari kesalahan. Jika terdapat kekeliuran yang orang lain membetulnya dengan cara yang kurang tepat menurutmu, itu masih jauh lebih baik. Dari pada mereka memujimu atau tak enak pada ayahmu, sama saja mereka sedang menjerumuskanmu dalam lembah kesombongan. Merendahkan orang lain dan menolak kebenaran termasuk kesomobongan yang membuat tubuh firaun ditenggelamkan laut ganas. Ayah tak mau kau tumbuh dengan modal seperti itu.

Meski ayah masih pengecut, belum becus menjadi ayah, masih galak pemarah. Setidaknya ada sisipan nilai yang pernah Ayah ajarkan pada saat-saat ayah mungkin sudah lupa. Kau mungkin tak lupa.

Lepas dari itu. Kau tahu, orang-orang seperti itu membuatmu celaka dan memutus semua yang cita-citakan bersama bundamu. Dan ayah tak mau mereka mencelakaimu dengan cara-cara yang ayah sendiri tak tahu kapan mereka mencelakakan. Kau tahu, mereka bisa melakukan apapun tanpa perlu motif, seperti para pembunuh yang menghilangkan nyawa tanpa perlu kompromi dengan nurani. Kalau mau bunuh, bunuh saja, tak perlu aturan ini aturan itu. Sementara ayah sering meninggalkan rumah dari pagi hingga petang baru kembali. Ditambah kau juga ikut ayah bekerja, sementara siapa yang menjaga Bunda dan adik-adikmua. Ayah perlu seratus langkah agar kau, bunda, dan adik-adikmu.

Untuk sementara sikap ayah seperti ini.

Selasa, 25 Juli 2023

Minggu, 14 Mei 2023

Fase 1

Juli 1949

Perkenalan ini memang tak begitu mulus, mungkin hanya maaf yang kami ulurkan. Semua butuh awalan, dan aku baru memulainya.

Kisah ini baru akan di mulai.

Bayi itu menangis histeris. Ibunya di samping panik, tangannya gemetar membalut pinggang bayi itu dengan handuk basah. Lingkar pinggang bayi itu tak sengaja tersiram air panas, alhasil sepekan kemudian lingkar pinggar bayi itu membentuk warna hitam. Ibu sang bayi tak henti-henti berdoa agar kesembuhan menyambangi putranya. Begitu juga sang ayah.

Tiga setengah bulan telah berlalu. Bayi itu tersenyum kembali. Ayah dan Ibunya bahagia mendapati putranya yang sembuh. Jejak air panas membentuk lingkaran hitam selebar 2 cm. Sejak saat itu orang tuanya memanggilnya dengan Kendit Polang.

Bu Besari dan Pak Marta mengundang kerabat keluarga memberi konfirmasi atas bayinya yang semakin sehat dan lucu. Senyum mengembang tak henti dari Bu Besari dan Pak Marta. Handai tolan dan sanak famili memberikan selamat.

Kendit Polang semakin tumbuh besar. Hitungan tahun terasa cepat. Waktu berlomba dengan aneka macam peristiwa. Kendit Polang tumbuh dengan otot yang mengagumkan. Postur tubuh tak terlalu tinggi. Cara jalannya seperti bebek, hidungnya paruh beo, bergigi kelinci, dan rambutnya tebal berombak. 

 

Fase Anak

"Pindah sekolah belum tentu bisa menyelesaikan masalah,"Ucap sang ayah menenangkan.

"Nggak!, pokoknya pindah, kenapa nggak ia naik kelas empat saja." Pekik sang anak.

"Kalau kamu nggak nyaman bicara saja."

"Nggak, ia penginya ngajak ribut terus, malas banget yah,"

Perdebatan itu membuktikan bahwa dunia anak tak sebanding dengan apa-apa yang bisa kalian tebak secara mudah. Mereka cenderung menghadapi persoalan dengan bekal dari rumah. Bila ia dibesarkan dengan cercaan fisik maka ia sedang mengembangkan diri dengan bahasa tubuh yang berisi intimidasi. Terutama pada anak-anak yang bisa ia kendalikan dengan remote controlnya. Ia memegang kendali penuh atas apa-apa yang berlalu di bawah usianya. Ia sendiri belum bisa membawa diri dalam peraasaan-perasaan tabu yang seyogyanya dimiliki. Seperti kasih sayang atau semacamnya.

Ia sendiri menangis sesenggukan: "Kamu senang, jika teman-teman menyayangimu" ucap salah seorang dewasa. Anak yang sering di labeli sebagai pembully di sekolahnya, seperti vampire yang mencoba menantang pikuk. Ia sibuk menggigiti jarinya (mungkin untuk menangkan kekalutannya). Rupanya ia punya mimpi-mimpi buruk yang tak bisa ia halangi. Ia mungkin bisa menghindari, tetapi dengan cara apa. Ia masih teramat kecil untuk memikul tanggug jawab besar, seperti anak-anak pada umumnya.

Ia mungkin ingin bercanda sewajarnya, tapi ia tak mengetahui atau belum mengetahui bagaimana memulai sebuah pembicaraan. Ia mungkin kebingungan sendiri mengenai tata letak pertemanan dan bagaimana membuka sebuah pembicaraan. Ia mungkin baru satu cara yaitu yaitu kontak fisik dengan tipe yang sama dengannya. Masalahnya pesannya tak terbaca dengan baik. Ia sendiri mungkin masih bingung cara berekspresi, karena dirumahnya ekspresi adalah aib yang mesti dijauhi, seperti koreng.

Ini menyedihkan tetapi ada hal yang bisa kalian nikmati sebagai para ayah. Kalian bisa menikmati dari sudut pandang yang lain. Meski kadang jangkauan itu terlalu jauh, hingga sulit untuk mengenali jenis pendekatan apa yang sedang mereka pakai. Mereka seolah punya komunikasi yang enggan diketahui oleh orang dewasa. Bahkan diantara mereka yang menjadi korban bully seringkali sulit untuk berkomunikasi dengan selayaknya, tak coba untuk menyelaraskan apa yang ada dalam kepala lalu diverbalkan secara berurutan. Setidaknya seperti harapan orang dewasa di sekitar, tetapi masih jauh dari kenyataan. Ia mesti diajak dialog dari hati-hati (kata agamawan) agar semua unek-unek tentang ketidaknyamanan dengan teman sebangku menjadi cair dan hangat.

Beri ruang pada mereka agar apa-apa yang luput bisa kalian dekati secara wajar. Bukan 'nasib' sang pembully yang sering kalian 'kutuki' sebagai anak antisosial dan yang dekat dengannya. Jangan lupa mereka masih anak-anak yang perlu pendampingan yang eduparenting. Dari sana mereka merasa mencintai dan tidak mencoba membunuh kehangatan dengan membully sebagai bentuk pelampiasan. Percayalah bahwa tidak ada anak yang ingin membully, mereka mungkin masih mencari bagaimana sebaiknya berkomunikasi. Soal nanti, ia bilang anak nakal, nggak bisa diatur, dan bla-bla-bla. Itu urusan nanti, yang penting keberadaannya mampu mengundang 'perhatian' orang dewasa. Apakah itu benar? atau ini bahasan lain.

Yang dikuatkan lagi-lagi adalah objeknya (korban). Agar ia bisa berbicara pada subjek (pembully) bahwa apa yang dilakukan tidak memberikan rasa aman, mungkin saja berbahaya. Soal diterima atau tidak, itu urusan waktu. Biarlah waktu yang mendewasakannya, setidaknya itu, jika kalian belum/tidak menyepakati. Ketika dipikir-pikir, keduanya harus dikuatkan. Bahwa keyakinan untuk memulai yang baik adalah sebuah keniscayaan. Keduanya yang masih anak-anak, yang menakjubkan dan perjalanan masa depan masih jauh. Pendampingan yang tepat adalah salah satu keniscayaan. Bagi mereka yang jadi pembully dan korban bully.

Fase adalah lumbung mental yang mereka mesti lewati. Jika Fase itu terlewati, mereka bisa menjadi sahabat yang baik. Karena mereka mudah untuk berkomunikasi setelah sekian lama tersendat. Satu lebih hati-hati, sementara yang lain terlalu agresif tanpa pernah bisa mengerem tindakannya.

Bisa jadi mereka mengambil katering kelas bersama sambil ngobrol ringan, setelah mereka beradu argumen masing-masing. Setelah beberapa puluh menit yang lalu mengambil peran sebagai pembully dan korban, tanpa pernah mereka maui. Orang dewasa memberikan arah agar mereka jalan tanpa gelap, dan tetap memperhatikan eduparenting yang seluas-luasnya. Mestiah kalian sering-sering membersihkan kacamata agar pandangan kalian tetap jernih dan tan menebak-nebak arah mata angin.

Fase memang penting dalam kehidupan si anak. Ia bisa memberikan dampak yang baik atau buruk. Baik, jika ananda bisa menerimanya sebagai peralihan dari sebuah kanak-kanak. Artinya ia akan cepat lupa terhadap apa yang diterima dan dirasakan. Dan kemudian si anak bisa menjadi lebih mawas diri, tumbuh regulasi emosi, atau lebih kuat mental. Buruk, jika ia trauma dengan apa yang diterima atau dirasakan. Dampaknya si anak akan 'melampiaskan' rasa tertekan pada orang-orang terdekat. Yang lain misalnya, si anak tak mudah menerima kawan baru. Bahkan cenderung melakukan perlawananan terhadap lingkungan yang ada (keluarga). Kira-kira begitu sobat parenting.

Jumat, 12 Mei 2023

Air Mata Terakhir

mata yang sembab beroleh kesedihan

oleh cara-cara alam sosial mengunggahnya
kesedihan yang mendarah-darah oleh amarah
meski hanya tatapan sesaat

kata yang kuat perkasa
meski lari sekuat tenaga
jalan lari loncat tak pernah tahu
yang jantan betina luluh lantak

terbujur sudah tak bernyawa
meninggalkan sejuta kenang
walau habis gelap berkesudahan
jalan tertutup tuk sementara waktu

Frans Chu-Eng

Frans Chu-Eng adalah salah satu murid SMU Negeri Harapan, Jakarta. Hoby naik kuda delman, umur 17 tahun, sedang mondar-mandir tak karuan di tepi jalan sendirian mirip Tom yang kesel sama Jery. Bentar-bentar ia ngliat jam di hape yang nada deringnya ayam betina sedang berkokok. Sudah jam 06: 45 tapi ia belum juga dapat menyetop bus ataupun angkot yang lewat di depannya. Ia  mondar –mandir  kaya mandor nungguin gajian dari bos yang pelit.

Frans bukan berangkat kesiangan tapi sengaja nungguin ke tiga sahabat karibnya yang biasa naik bus atau angkutan umum bareng-bareng. Frans sudah sampai di halte jam 6 pagi. Rambutnya sudah klimis mirip para pejabat bermobil mewah. Tas cangklongnya mirip tukang kridit  tahun 70-an. Frans anti dengan minyak rambut modern yang bermerk. Sebelum berangkat ke sekolah rambut tebalnya ia olesi dengan air dari bonggol pisang yang ia kumpulkan semalam. Frans ingin hidup dengan cara-cara yang alami. Kebiasaan ini sering mendapat tegoran dari teman-temannya, tapi frans menganggap teguran itu sebagai bahan ujian. Frans mungkin salah asuh mengenai konsep Go Green.

Bukan hanya panik karena merasa akan telat sampai sekolah,  Frans ternyata pagi ini begitu tidak beruntung. Sejak dari jam 6 pagi ia nungguin ke tiga sahabat yang begitu lucu-lucu dan sedikit norak. Tahu-tahu ketiga sahabatnya lewat di depannya dengan nebeng motor temannya masing-masing. Frans jadi pusing sendirian kaya gangsing mau kalah. Ke tiga sahabatnya bukannya pasang wajah melas tapi malah meledeknya dengan dada-dada alas artis Hollywood. Lalu menjulurkan lidahnya masing-masing. Frans yang mau marah kembali senyum. Daya imajinasinya langsung keluar ke tiganya mirip sepupunya serigala yang kelaparan.

Ketiga sahabatnya yang bernama Baim, Bama, dan Mona sudah berlalu dari harapannya. Frans masih suka tak peda kalau naik angkot atau bus sendirian. Baginya kaya sapi hendak di sembelih di idul Adha. Pernah Frans di pelototin gadis di depannya. Frans langsung ciut nyalinya. Kaya bocah SD kehilangan duit Gopean. Bahkan Frans pernah nyasar jauh dari sekolahan karena bengong naik bus sendirian.  

Berapa kali angkutan umum, atau bus langganannya ia cuekin. Frans tak habis pikir kenapa ke tiga sahabatnya itu pergi meninggalkan dirinya sendirian. Frans merasa bersalah karena menggagap mereka bertiga sudah mulai bosan dengan dirinya. Frans meras ada yang salah dengan penampilannya, ia memelototi dari ujung sepatu hingga mengusap-usap rambutnya sendiri. “Jangan-jangan karena minyak rambut gue nie...”. ucap   Frans lirih.  

Hape di sakunya bergetar, sementara jarum jam menunjukkan jam 7 kurang 10 menit.  
  “ Sory Frans gue duluan ya..., lue belum mandi ya..., kok tampangya kucel banget. Mandi sana pake kembang 7 rupa. Terus pake tanah jangan lupa. Hati-hati jangan sampai salah pilih tanah, ntar ada kembang pasirnya. He-he-he.” 

Laptopku Sayang Laptopku Melayang

Jari-jemari ku sudah gape untuk memencet keyped pada handphone yang terlampau tidak masa kini. Keyped terasa begitu keras. Hingga perlu di tekan agak keras. Bila ingin memencet satu persatu huruf yang di inginkan.

Sudah lebih dari 10 orang temenku yang sudah ku kirim SMS dengan nada yang sama. Hanya nama dan julukan yang berbeda.

Assalamualikum. Mohon maaf Budi. Saya hendak menjual laptop. Saya lagi kepepet. Harganya murah Cuma 2 juta. Harga Aslinya 4 Juta. Kondisinya masih bagus. Terimakasih. 

Begitu salah satu nada SMS-nya.

Aku menunggu sejenak. Apakah ada respon yang membuat pikiranku agak tenang. Karena sudah hampir 3 bulan cicilan motor SupraX-ku belum kunjung di cicil. Beberapa penagih sudah beberapa kali menyambangi kos-kosanku yang masih berlantai plur alias tanpa keramik. Masalah lain adalah ibuku di kampung sedang membutuhkan bantuan. Profesiku sebagai tenaga pengajar pada sebuah lembaga yang bergerak dalam Bimbingan belajar. Pas-pasan saja. Pas dibutuhkan tidak ada.

Beberapa penagih secara bergantian yang datang kekosanku kemarin. Sudah memberikan intonasi “mengancam” akan “membawa” motorku yang putih merah warnanya. Bila motorku di sita maka langkah kakiku akan terasa pincang jalannya. Karena setiap hari aku gunakan untuk mengajar.

Makanya malam ini. Sambil terus menunggu respon dari teman-teman. Aku sengaja pulang lebih telat di banding teman-teman lain sesama pengajar. Di lembaga bimbingan belajar dengan nama Iltizam. Di tempat inilah aku sekarang terpekur sendirian menatap kursi-kursi kosong, di tinggalkan murid-murid beberapa jam yang lalu. Suasana riang dan ceria beberapa jam yang lalu, berganti dengan kesunyian yang membosankan. Di tambah tidak lagi tidak ada kawan yang bisa di ajak bincang-bincang. Semuanya sudah pada pulang, meneruskan aktivitasnya masing-masing.

Aku duduk sendiri diatas kursi-kursi tempat biasa anak-anak mendengar dan menyimak para kakak-kakak yang sedang memberikan pelajarannya. Sengaja aku matikan lampu ruangan. Sehingga ruangan tampak remang-remang. Hanya ada sinar dari lampu dari ruangan sebelah yang dibiarkan terus menyala sampai pagi. Aku yang memegang kunci sendiri, memungkinkanku bisa lama-lama duduk berdiam diri diantara kursi-kursi itu.

Lebih dari lima menit aku tunggu respon dari teman-teman yang sudah aku SMS. Tapi nada penerima pesan dari handphone tidak masa kini tak besuara sama sekali. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam kurang 15 menit. Menunggu adalah pekerjaan yang membutuhkan energi kesabaran.

Pikiranku sudah mulai buntu. Kepada siapa lagi aku harus minta bantuan. Pikiranku mulai tersentak. Beberapa wali murid yang cukup dekat denganku, mungkin bisa membantu. Aku berharap beberapa dari ibu-ibu yang aku SMS dapat tersentuh dan tergerak hatinya. Mau berempati dengan kesulitan yang kuhadapi. Jari jemari mulai mengatur ulang isi SMS yang hendak ku kirim. Tinggal ganti nama dan sedikit penambahan.

Kamis, 11 Mei 2023

GUGUR PAHLAWAN TUK NAMA

anak muda berperangai lembut berbibir tebal hitam jelaga

memagut bendera merah putih terseok-seok sepanjang jalan

ditinggalkannya adipati sulanjari tengah sibuk menghalau serdadu-serdadu belanda

berdagang menjadi menjajah entah sampai kapan menahan rintik rintih

 

kedua lututnya bergetar hebat melawan limbung sejak siang mendera

menggigit bibir sendiri hingga sunyi menyembunyikan dari kejaran langkah-langkah marah

sementara darah dari terus mengucur dari balik leher

 

sementara siang masih gagah ia limbung mata mengunang

serdadu belanda meninggalkan sebatang bayonet dalam-dalam

 

tusukan dalam pada leher menyisakan kemudian kaligondang

darah tertumpah memenuhi celah tanah berongga meninggalkan tanah sempor

pun darah itu mendidih gemercek mewariskan brecek

pada titik yang gelap ia gugur mulia di tepi sungai klawing