Rabu, 13 September 2023

Bonding

Chapter 3

Apakah kita pembuli anak sendiri?

"Kamu masih butuh bantuan ayah," kata si ayah pada satu malam menjelang tidur. Mendapati putrnya yang sering main HP tak bisa dikontrol. Entah itu lewat peringatan atau teguran. Sang ayah akhirnya memakai cara intimidasi, sang ayah berharap apa yang dilakukannya benar. Setidaknya untuk waktu yang dekat. Kalau ada kebenaran dengan pola asuh yang benar tanpa pembully, niscaya ia akan ikuti. Meski dengan rasa yang campur aduk. Antara malu dan butuh. Melihat putranya sendiri makin hari makin bisa melihat situasi. Ia akan mencibir dengan memajukan kedua bibir. Ayah pun terpancing.

"Kau pernah akan digampar oleh seorang tukang, gara-gara bibirmu yang dimonyong-monyongkan tak jelas," ungkap si Ayah. Berharap putranya akan memahami apa yang ia ucapkan. Sebenarnya ia sendiri sudah mengetahui caranya itu salah, tetapi dikepalanya seperti ada iblis yang terus menganggu dan memuntahkan apa yang menjadi gerundelan ketika kata-katanya tak mempan lagi untuk menundukkan putra laki-lakinya. Mungkin ia perlu memanggil dirinya sendiri lebih dalam, agar ia lebih kalem dan percaya akan magic word. Sapaan yang lembut dan teguran yang tidak menurunkan harkat martabat seorang laki-laki, kerap ia lupakan. Laki-laki butuh penghargaan bukan cibiran dan perlakuan seperti bayi yang tidak tahu apa-apa.

Si anak tak menjawab. Tetapi bibirnya komat-kamit memaki sang ayah dengan suara yang tertahan di mulut dan tenggorokan. Si ayah mengetahuinya. Dan ia tak bisa berbuat apa-apa. Kecuali memuntahkan lagi apa-apa yang ada di kepalanya. Sungguh sebuah kepengecutan yang tiada tara. Tetapi ia terpasung dalam dunia sunyi, suram, gelap, ia belum bisa memahami apa yang ada benak putranya.

"Kalau kau tak nyaman dengan ayah. Kau bisa cari ayah yang lain," Si ayah menyerang lagi dengan brutal. Magic World tenggelam lagi dalam luapan emosi yang meledak. Ia makin gelisah. Ia menambahkan nama-nama temannya untuk dijadikan sebagai ayah pengganti. Itu tidak elegan, caranya menegur dengan membungkam seluruh logika putranya. Ayah berharap seorang psikolog, entah terkenal entah tidak. Bisa mmebaca tulisan ini, lalu merespon dengan tulus. Mungkin mereka akan menulis tentang kekolotan seorang ayah yang mendidik anaknya dengan rasa dendam terhadap masa lalunya. Masa lalu sang ayah yang suram, sekiranya tak perlu diwariskan pada anaknya. Berhentilah. Kata seorang psikolog suatu saat nanti. Ayah berharap dapat pelukan atau apapun dari psikolog, bahwa yang kamu lakukan itu bisa benar-tetapi caranya sungguh keterlaluan. Lalu mereka mengajak sang ayah pergi ke kedai kopi untuk sekedar menyesap pahitnya bubuk kopi.

Ayah pun tak sanggup lagi menatapmu. Yang terus berkomat-kamit memaki sang ayah. Ayah pindah ke ruang tamu. Dengan cara bergeser saja. Bukan berjalan, hanya bergeser. Kalian tahu maksudku. Baiklah. Lalu rebahan. Menatap dinding rumah yang mulai retak, padahal cicilan belum genap satu tahun. Mereka para tukang yang begitu hemat, hingga tega mengurangi takaran semen dan seterusnya.

Selanjutnya, ayah tak tahu bagaimana menatapmu ketika malam menjelang tidur. Pungguh ayah terasa nyeri. Syukurlah tangan mungil istri mampu membuat ayah nyaman. Balsem dioleskan ke seluruh punggung. Sambil sesekali tanya jawab.

"Mungkin ayah perlu merantau, agar putra kita siapa tahu bisa lebih dewasa?" tanya sang ayah pada sang istri yang tengah memijatnya.

"Nggak usah yah, itu tambah runyam. Putra kita mungkin akan lebih penurut. Itu karena dia takut sama bunda. Jiwanya lelakinya akan redup. Itu sangat berbahaya. Janganlah merantau, tetaplah bersama mereka. Sampai mereka besar dan bisa melangkah tanpa perlu penerang.

Selanjutnya yang ayah rasakan hanya gelap beserta lalu lintas mimpi yang silih berganti. Ingin ayah catat mimpi-mimpi itu. Setelah bangun. Ayah disibukkan dengan roti bakar, mandi, dan membangunkanmu. Karena bagimu pukul 06.45 sudah terlambat. Dan tak layak untuk masuk kelas.

Ketika bertemu di ruang dapur. "Ayah minta maaf, ayah harus berkata lebih dewasa. Semuanya agar kamu bisa lebih dewasa." Kata ayah. Si anak mengangguk. Mungkin kalimat barusan akan ditertawakan oleh para psikolog, entah. Hanya saja, ayah perlu minta maaf. Ayah masih bodoh dan goblok, untuk urusan-urusan parenting.

0 Comments:

Posting Komentar