Selasa, 19 September 2023

Chapter 1

"Puncak Prestasi Seorang Guru"

Guru yang 'tepat' atau setidaknya mendekati maksimal dan mengandung banyak kebaikan, banyak keberkahan, saya pikir bukan sekedar memberikan pemahaman yang mumpuni kepada para murid-muridnya. Tetapi bagaimana guru itu memberikan banyak-banyak inspirasi, atau setidaknya  menginspirasi. Bentuknya macam-macam. Jika guru itu memberikan semacam dogma lalu muridnya bisa menangkap wawasan baru, pengetahuan baru. Tidak sekedar memberikan dogma yang kaku, kalimat-kalimat yang terus saja menggurui, meski ia seorang guru. Saya pikir tidak ada orang satupun di dunia ini yang suka diberikan nasihat terus menerus tanpa pernah diberikan kesempatan untuk berbicara. Bahkan sekedar mengungkapkan apa yang menggelisahkan pikirannyapun kelu. 

Di depan kelas, 'dulu', seorang guru berdiri di depan kelas, muridnya diam tidak mau protes, bahkan untuk protes pada pikirannya sendiri. Karena menganggap guru itu maha, mungkin di belahan kelas yang lain ada begitu banyak murid yang mengacungkan tangan mengkonfirmasi sesuatu, menginterupsi sesuatu, sebelum guru itu selesai bicara. Tanggapi saja sejenak, lalu berikan pijakan. Jika tak mampu maka endapkanlah dulu hingga kau menemukan kelamahan sekaligus kekuatan yang bisa kau bangun dengan sempurna. Untuk membangun peradaban konon banyak-banyaklah mendengar. Itu salah duanya. Dan seterunya. 

Ada yang bilang guru itu harus dan bisa menggerakan semua elemen departeman.  Jika tidak semua, ya beberapa departemen saja sudah cukup untuk memajukan bangsa ini, itu kalau kalian setuju. Saya kembalikan kepada jalan pikiran kalian. Saya khawatir itu jadi semacam jargonism, bila kalian tempel besar-besar di atas spanduk lalu berhenti disana. Tanpa pernah berani mengkonfirmasi guru sebagai penggerak bangsa, jika ide yang kalian gulirkan selalu keruh dari hulu ke hilir, atau dari hilir ke hulu. Yang mau kalian gerakan itu apa, jika guru-guru masih cemas memikirkan masa depannya sendiri atas bangsanya sendiri, lalu mereka berubah menjadi buruh pabrik di kelas-kelas. Cepat-cepat pulang karena istri dan keluarga mereka menunggu beras untuk dimasak, itupun kalau kalian sejenak berpikir. 

Ketika Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom atom, yang konon katanya uji coba pertama apakah bom itu bisa meledak atau tidak. Ternyata meledak, hingga seluruh awak pesawat hanya melongo menatap kepulan asap yang membumbung ke angkasa bak cendawan berjamur-jamur. Lalu sekonyong-konyong ada seorang fotografer yang mengabadikan peristiwa memilukan itu. Hingga bisa kalian lihat sampai sekarang, sebagai sebuah bencana atau krisis cara berpikir. Tetapi yang saya mau tekankan adalah; setelah bom meledak seorang prajurit datang menghadap ke kaisar Hirohita, lalu mengatakan; "Jepang sudah kalah." "Kumpulkan seluruh guru yang tersisa, lalu kita bisa bangun 20 tahun kedepan," itu kira-kira skema pembicaraan cerdas yang membuat seluruh jendral yang tersisa tampak kebingungan, tetapi hanya sesaat. Mereka langsung mengumpulkan seluruh guru yang tersisa konon sejumlah 45.000.

Artinya guru itu memang tidak perlu pujian apapun, tetapi sejahterakan mereka dengan cara-cara terhormat. Memang pahlawan yang berjasa, bukan tanpa tanda jasa. Hingga mereka bisa secerdas para pemikir bangsa. Mereka pun bisa menghilangkan kebiasaan buruk yang menempel seperti daki, hingga mereka berani jujur kalau para guru wajib belajar dan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Hingga mereka tidak hanya cerdas secara intelektual, berkah secara ilmu, kuat secara fisik, tetapi juga menjadi garda terdepan dalam penjaga moral bangsa ini. Dan yang penting dari penting-penting lainnya, mereka tidak antipati terhadap 'mahluk' bernama kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Meski terseok-seok atau jalan memutar, jalan lempeng, mereka menatap damai AI.

Karena dari mereka (guru-guru) akan 'lahir' dari rahim mereka anak-anak yang dapat memilah dan memilih untuk ia sendiri dan masa depannya. Bukan untuk "mengencingi" guru mereka sendiri, sebab nihilnya moral yang mereka serap dari gurunya. Atau mereka punya jalan sendiri, karena pilihan dari mereka yang sulit untuk mereka bendung. Jika mereka berani "mengencingi" guru seperti mereka bakar moral yang guru celupkan pada ruh-ruh mereka sejak dini, lalu mereka dapat kekuatan jahat dari mana? apakah dari gurunya, lingkungannya, keluarganya, atau mereka sendiri yang menentukan arah pribadi.

Moral sebagai kekuatan epic menjadi senjata pamungkas setelah inspirasi. Derita-derita yang mereka rasakan sebagai guru, lebur menjadi gumam indah menjelang tidur, meski beras tingga 12 kunyah. Minyak tinggal sekali goreng, dan tempe tahu tinggal satu hari kadaluarsanya, dan mimpi tinggal satu malam. Lalu di ujung tidurnya mereka mimpi indah setelah mendoakan murid-muridnya, bahkan murid yang kalian katakan bandel. Tak lepas dari guru ini, guru yang siap meski Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak. Yang siap mau bukan karena mampu, tetapi tak ingin melihat ruang kosong yang bisa mengkerdilkan pikiran-pikiran cerdas yang sedang tumbuh-tumbuhnya. 

Mungkin saya akan tutup sementara gendu-gendu rasa ini dengan kalimat; "Ada yang lebih cerdas dari guru, ya banyak, banyak sekali, tetapi mereka mungkin tak bisa rebut keberkahan dari seorang guru, jika mereka tulus dan ikhlas," kata seorang penggembala kepada para kerbaunya jelang senja. Ia seorang guru SD honorer yang menggembalakan kerbau-kerbau milik Kepala Sekolah, dan ia selalu menolak undangan makan malam dari putrinya. Lalu putrinya bertanya setelah sekian lama undangannya selalu di tolak. "Aku tidak ingin terjebak oligarkhi" jawabnya. Ia pergi sambil menenteng jatah makam malam. Putri kepala sekolah itu menjeling kepada penggembal. Ia mendengus kesal dan pulang ke rumah. Sementara langit geap disusul silih berganti guruh bersahut-sahutan. Meski hujan tidak lekas turun menyiram bumi. 

0 Comments:

Posting Komentar