Jumat, 12 Mei 2023

Laptopku Sayang Laptopku Melayang

Jari-jemari ku sudah gape untuk memencet keyped pada handphone yang terlampau tidak masa kini. Keyped terasa begitu keras. Hingga perlu di tekan agak keras. Bila ingin memencet satu persatu huruf yang di inginkan.

Sudah lebih dari 10 orang temenku yang sudah ku kirim SMS dengan nada yang sama. Hanya nama dan julukan yang berbeda.

Assalamualikum. Mohon maaf Budi. Saya hendak menjual laptop. Saya lagi kepepet. Harganya murah Cuma 2 juta. Harga Aslinya 4 Juta. Kondisinya masih bagus. Terimakasih. 

Begitu salah satu nada SMS-nya.

Aku menunggu sejenak. Apakah ada respon yang membuat pikiranku agak tenang. Karena sudah hampir 3 bulan cicilan motor SupraX-ku belum kunjung di cicil. Beberapa penagih sudah beberapa kali menyambangi kos-kosanku yang masih berlantai plur alias tanpa keramik. Masalah lain adalah ibuku di kampung sedang membutuhkan bantuan. Profesiku sebagai tenaga pengajar pada sebuah lembaga yang bergerak dalam Bimbingan belajar. Pas-pasan saja. Pas dibutuhkan tidak ada.

Beberapa penagih secara bergantian yang datang kekosanku kemarin. Sudah memberikan intonasi “mengancam” akan “membawa” motorku yang putih merah warnanya. Bila motorku di sita maka langkah kakiku akan terasa pincang jalannya. Karena setiap hari aku gunakan untuk mengajar.

Makanya malam ini. Sambil terus menunggu respon dari teman-teman. Aku sengaja pulang lebih telat di banding teman-teman lain sesama pengajar. Di lembaga bimbingan belajar dengan nama Iltizam. Di tempat inilah aku sekarang terpekur sendirian menatap kursi-kursi kosong, di tinggalkan murid-murid beberapa jam yang lalu. Suasana riang dan ceria beberapa jam yang lalu, berganti dengan kesunyian yang membosankan. Di tambah tidak lagi tidak ada kawan yang bisa di ajak bincang-bincang. Semuanya sudah pada pulang, meneruskan aktivitasnya masing-masing.

Aku duduk sendiri diatas kursi-kursi tempat biasa anak-anak mendengar dan menyimak para kakak-kakak yang sedang memberikan pelajarannya. Sengaja aku matikan lampu ruangan. Sehingga ruangan tampak remang-remang. Hanya ada sinar dari lampu dari ruangan sebelah yang dibiarkan terus menyala sampai pagi. Aku yang memegang kunci sendiri, memungkinkanku bisa lama-lama duduk berdiam diri diantara kursi-kursi itu.

Lebih dari lima menit aku tunggu respon dari teman-teman yang sudah aku SMS. Tapi nada penerima pesan dari handphone tidak masa kini tak besuara sama sekali. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam kurang 15 menit. Menunggu adalah pekerjaan yang membutuhkan energi kesabaran.

Pikiranku sudah mulai buntu. Kepada siapa lagi aku harus minta bantuan. Pikiranku mulai tersentak. Beberapa wali murid yang cukup dekat denganku, mungkin bisa membantu. Aku berharap beberapa dari ibu-ibu yang aku SMS dapat tersentuh dan tergerak hatinya. Mau berempati dengan kesulitan yang kuhadapi. Jari jemari mulai mengatur ulang isi SMS yang hendak ku kirim. Tinggal ganti nama dan sedikit penambahan.

Dari beberapa Ibu-Ibu yang aku SMS hanya satu yang nadanya sedikit berbeda.

“Assalamualaikum. Mohon maaf Ibu Angel. Kira-kira berkenan membeli laptop saya. Saya lagi kepepat bu. Hanya 2 juta saja. Harga aslinya 4 juta. Kondisinya masih bagus. Tapi karena saya masih punya hutang sama ibu, saya kasih harga satu juta saja. Terimakasih.”

Setelah mengetik dan meng-SMS Ibu Angel. Aku kembali duduk di salah satu kursi tempat anak-anak biasa duduk untuk mendengarkan pelajaran dari para kakak-kakak. Suasana sudah sunyi. Aku mematung sendiri seperti hantu penasaran. Hape kembali ku letakkan sambil di Charger agar tidak lowbert.

3 menit kemudian, handpone tidak masa kini berdering dengan nada panggil sederhana. Yang mungkin nadanya tidak ada lagi di HP jenis Blackberry. Sebuah nomor tak ada di buku telephone, tapi sepertinya tidak asing. Yang pastinya nomor rumah, bukan nomor Simpati ataupun IM3.

Aku memencet nada Yes.

“Assalamualaikum…,” Aku mencoba menetralkan suara. Juga perasaan lega bercampur senang. Ternyata ada yang secepat itu merespon “nada” SMS ku yang setengan memohon.

“Waalaikum salam…”. Suaranya langsung ku kenal. Ternyata Bu Angel.

“Salim…, kalau kamu memang lagi butuh uang itu…, kamu datang kesini saja”. Hatiku mulai terenyuh. Kata-katanya begitu ringan dan tulus sekali.

“Salim kamu lagi dimana?.” Ibu Angel kembali bertanya. Ringan dan mengalir seolah-olah tanpa beban. Padahal kalau sudah menyangkut urusan uang biasanya orang akan tampak berbasa-basi, atau menolak dengan secara halus. Aku masih berat hati menerima pertolongannya, karena aku masih punya hutang uang sama Ibu Angel. Tapi rasa itu ku tekan kuat-kuat agar bisa mendapatkan uang malam ini juga. Karena bayangan motor di angkut paksa oleh pihak bersangkutan masih terus berseliweran dalam pikiran. Juga bayangan ibu di kampung, yang mungkin sudah kehabisan beras untuk beberapa hari kedepan.

“Lagi di Iltizam…, Bu Angel?.”

“Datang saja kerumah, Laptopnya di bawa kan?.”

“Ada bu..di bawa, sama kardus-kardusnya. Sebenarnya aku masih sayang sama Laptopku, tapi mau gimana lagi bu..?.” jebol juga pertahananku agar tak curhat  soal Laptop itu.

“Terus bagaimana?, kamu ingin menjual Laptop itu seperti yang ada dalam SMS kan?.”

“Iya Bu…, tapi kalau bisa di gadai…atau…, ya sudah di jual saja bu tidak apa-apa?.”

Kata-kataku mulai tidak karuan. antara senang dan sedih. Ada Buu Angel yang mau membeli Laptopku. Sedihnya Laptop kesayanganku yang masih ku cicil dengan susah payah. Sekarang masih harus mencicil 7 bulan lagi. Laptop itu aku cicil selama 2 tahun atau 24 kali.

“O…, begitu. Ibu matiin dulu ya…, entar ibu telpone lagi.”

“ Baik bu.”

Aku duduk kembali di kursi. Sendirian dan tanpa suara. Rongga dadaku mulai mengembang kembali. Ini adalah salah satu orang yang Engkau gerakkan hatinya. Sebagai perantara untuk mengeluarkan dari kesulitan yang ada. Nada SMS mulai masuk satu persatu. Tapi aku biarka saja. Sekarang aku sedang menunggu telepon dari bu Angel yang mungkin sedang berbicara dengan suaminya. Yang bernama Pak Usman Firdaus.

Jam dinding yang ada di ruangan tempat dimana aku duduk. Detak jarum jam terus bergerak. Kelihatan begitu jelas terdengar. Setiap pergerakannya menandakan akan sebuah perubahan.

Aku hanya menatap sekilas. Sekarang sudah jam 10 malam. Berarti sudah satu jam aku duduk di dalam ruangan tempat aku memberikan les. Jam dinding diatas itu. Seperti menertawakanku atas ketidakmampuanku dalam mengatasi kesulitan yang ada. Aku tidak peduli jam dinding itu yang terus mendetakkan jarum jamnya. Yang semakin meninggalkanku bila tak juga mengimbangi kegesitan gerak jam dinding itu.

Aku mulai jenuh dengan keadaan diriku sendiri. Seakan menyalahkan keadaan. Keadaan yang mengadiliku atas waktu yang terus menggilas ketidakcocokan antara usaha yang ku lakukan dengan kenyataan yang ada. Usaha yang ku lakukan memang belum bis meyisakan ruang “uang” untuk bisa lebih berani menatap calon mertua untuk meminang anaknya. Terbukti sekarang aku harus merelakan Laptop kesayanganku melenggang kangkung berpindah tangan. Sisanya hanya ada semangat untuk bisa memperbaiki keadaan sedikit demi sedikit.

Beberapa menit kemudian, handpone tidak masa kini kembali berdering. Kursi yang ku duduki sepertinya bersorak-sorai, ikut merasakan apa yang ku rasakan. Memang keadaan antara jam dinding dengan kursi seperti tak pernah akur. Kursi yang aku duduki terasa membelaku. Lain halnya dengan jam dinding yang cenderung mengguruiku.

“ Halo…, bu Angel?.” Aku kembali menegaskan suaraku.

“Ya sudah…, tidak apa-apa. Kalau kamu lagi butuh Laptonya. Dan kamu sudah ada duitnya. Kamu boleh ambil Laptopnya.” Perkataan bu Angel telah membuat hatiku semakin terenyuh mendengarnya.

“Terimakasih ya bu…, tapi sepertinya aku tidak bisa nebus. Hutang tahun lalu saja belum di bayar.” Aku menyadari kelemahanku.

“Sudah…, itu bisa di bicarakan lain waktu. Ibu tunggu ya…Salim.?”

“Baik bu…?” terimakasih…aku segera ke rumah.” Begitu mudah Allah menggerakkan hati tiap orang. Batinku membisik.

Aku segera membereskan situasai yang ada. Kardus pembungkus Laptop aku tata ulang. Merapihkan kabel yang ada. Merenung dalam beberapa detik. Setelah rapi aku memantapkan hati untuk melalui semua ini. Aku cium sekali lagi laptop kesayanganku. Sebenarnya aku masih sayang sekali sama Laptop itu. Yang membuat berat melepas Laptop itu adalah, ada begitu banyak impian dan cita-cita yang ku taruh dalam file Laptopku. Sepertinya aku harus menahan diri dan bersabar. Karena tanpa Laptop itu, aku kehilangan jadwal untuk mengetik kalimat demi kalimat. Tapi di sisi lain aku masih punya punya jari jemari yang bisa memegang pena. Dan pikiranku masih bisa memberikan ide-ide brilian yang bisa menghasilkan sebuah karya. Tentunya lewat bimbingan-Nya.

Sekali lagi aku menatap Laptopku. Yang entah sampai kapan aku bisa memiliki kembali. Lalu aku masukan kembali laptop itu dalam tas, beserta kabel-kabelnya. Semuanya sudah kelihatan rapi. Aku bergegas ke rumah Bu Angel yang jarak rumahnya dengan tempat les itu hanya berjarak tak begitu jauh. Sebuah jarak yang biasa di tempuh dengan hitungan menit.

Keluar dari ruangan tempat les. Kedua bahuku sudah menggendong tas berisi laptop. Tangan kiriku memegang kardus pembungkus laptop. Sedangkan tangan kananku memegang kunci. Setelah memastikan tidak ada yang ketinggalan. Sekali lagi aku mengitari ruangan tempat les. Dan kemudian mengunci pintu ruang les. Berjalan menuruni anak tangga, lalu berbelok menuju ke tempat parkiran.

Sekitar parkiran motor sudah sangat sepi, tinggal motorku saja yang terparkir di sana. Hanya ada seorang security yang sedang menonton pertandingan sepakbola. Dari riuh rendah yang terdengar oleh kedua telingaku. Sepertinya pertandingan Liga Primer Inggris yang sedang berlangsung. Security yang sedang serius menonton, tak juga menyadari langkahku yang menuju ke tempat parkiran. Mungkin dia sudah tahu atau pura-pura tidak tahu.

Lampu neon memanjang yang menerangi tempat parkiran itu menjadikan  body motorku kelihatan mengkilat bersih. Padahal sudah seminggu belum di cuci. Hujan mendadak sepertinya sering melanda kota Bandung.

“Aku harus menyelamatkan terlebih dahulu, wahai… Motor Supra X 125. Kalau tidak, pihak Dept Collector akan sangat “ringan tangan” menyeretmu dari kos-kosan. Kamu mungkin menjerit…tapi aku tidak tahu harus bagaimana memberi tahumu. Karena wahai…motor Supra X 125, nasibmu sekarang ada di ujung wasilah Laptop yang sedang ku jinjing di bahuku. Bila kamu mengerti dengan apa yang ku katakan. Berterimakasihlah pada Laptop yang sudah berkorban untuk mu.” Batinku mengucap di iringi kedua bibirku. Hanya Tuhan yang mendengar. Aku seperti orang aneh, mengajak benda bermesin itu untuk berdialog layaknya benda hidup. Karena bagiku. “Laptop dan motor Supra x 125 bagai teman yang bisa di ajak bicara satu sama lain.

Ku pencet starter motorku. Deru khas mesin pabrikan Honda itu sudah menderum. Memanaskan sebentar mesinnya. Bagiku ini adalah penghormatan besar terhadap sebuah mesin. Karena aku sering melihat, di pagi buta. Beberapa pemilik motor yang ingin pergi kerja. Menyalakkan mesin tanpa member ruang kepada mesin untuk memanaskan terlebih dahulu. Lalu dengan tersendat-sendat pemilik motor tetap menjalankannya tanpa memperdulikan mesin yang belum siap betul bergerak. Persiapannya belum sempurna.

Mendengar deru mesin khas Honda. Security yang tadi serius sekali melihat pertandingan bola Liga Primer Inggris. Menoleh ke arahku. Aku hanya melambaikan tangan. Ia pun membalas mengangguk. Seorang security yang sudah lebih dulu kerja di lembaga bimbingan belajar (les) tempatku mengajar. Aku memang sudah tiga tahun kerja di lembaga tersebut. Kedekatan emosional memang ada. Tapi mengenal nama dan sedikit latar belakang kehidupan mereka, membuatku menyadari kalau hidup memang harus saling melengkapi satu sama lain. Aku yang mengajar, securitylah yang menjaga fasilitas yang ada di lembaga bimbingan belajar tersebut. Begitulah harmoni sebuah kehidupan.

Pelan-pelan ku tarik gas. Lalu mulai berjalan menuju pintu keluar. Dengan security yang sedang menonton bola, aku berhenti sebentar di samping security itu. Bertegur sapa sebentar, kebiasaan yang sering aku lakukan menjelang pulang. Ku tarik kembali gas dan menambah kecepatan kecepatan sampai 40 km saja. Suasana yang agak lengang, tak membuat kesulitan untuk menambah kecepatan lagi. Tadi aku lihat sekilas di pos security. Sunderland dan Arsenal sedang bertempur habis-habisan untuk merubah posisi di kelas sementara diantara club-club lain.

Aku sengaja memakai jalur atas Play Over. Agar lebih cepat sampai di tempat Ibu Angel. Karena waktu juga semakin malam. Aku tak ingin menganggu waktu istirahat mereka. Terutama suaminya Ibu Angel yang pastinya sudah sangat kecapean.

Keluar dari Play Over. 10 menit lagi rumah ibu Angel akan bisa ku jumpai. Setelah Play Over itu. Aku membelokkan roda depan motorku. Kemudian melaju kembali memasuki komplek perumahan. Setelah  10 menit berlalu sebuah papan bertuliskan “Perumahan Delima” terpampang jelas. Di sertai lampu kerlap-kerlip berwarna warni. Di dalam komplek inilah Ibu Angel di rumahnya sudah menunggu kedatanganku.

Dalam hitungan tak begitu lama, aku sudah sampai di depan rumah Ibu Angel. Aku mematikan motor. Ku lihat pintu rumah Bu Angel sudah terbuka. Dengan begitu aku tak perlu lagi mengetuk pintu. Turun dari motor aku langsung menggeser pintu garasi yang rodanya bekerja dengan baik. Sebuah perawatan yang maksimal tentunya. Mungkin Bu Angel sudah mendengar suara mesin yang barusan ku matikan tadi. Mungkin mereka sudah siap-siap dengan kedatanganku.

“Assalamualaikum.” Aku tak perlu keras-keras memberi volume pada suaraku.

“Waalaikum salam.” Bu Angel sudah berada di ruang tamu, menyambut sekaligus melihat jelas mimikku yang sudah tak karuan.

“ Ini Bu…kardusnya.” Aku meyerahkan sebuah kardus tempat menyimpan laptop pada pertama aku beli.

“Kok terasa enteng sekali Salim?.” Sambil Bu Angel tersenyum. Aku membiarkan saja Ibu Angel merespon seperti itu. Kedua tangannya sudah mencengkram kardus Laptop itu yang di bungkus plastik. Sebuah plastik yang ada tulisan alamat kantor penjulan Laptop. Umur plastik sudah berumur 17 bulan. Sebuah umur yang cukup lama.   

“ Mari Salim silahkan masuk?.”

“ Baik bu.” Aku mengikuti beberapa langkah Ibu Angel kedalam ruang tamu. Di ruang tamu sudah ada Hasan,  putra kedua dari 3 bersaudara yang sedang belajar.

 Aku langsung membuka tas. Mengeluarkan Laptop. Kemudian meletakkan diatas meja ruang tamu. Tampak hasan memperhatikan dengan seksama apa yang aku lakukan selanjutnya. Tanpa diminta, aku langsung menyalakan Laptop. Sebagai cara untuk membuktikan kalau Laptop itu benar-benar masih berfungsi dengan baik. Adik Hasan yang bernama Mario tampak ingin memegang Laptop secara sembarangan. Ibu Angel langsung menyuruh Mario untuk bersikap lebih baik.

Aku sempat khawatir, karena tadi siang Anti Virus sering muncul pada layar computer. Aku cukup bingung, karena tak begitu mengerti tentang seluk beluk computer dan bagaimana mengatasinya. Terpaksa aku hapus saja Anti Virus itu pada control panel. Aku berharap setelah mengahapus Anti Virus itu tak akan muncul lagi kedalam layar Laptop 14 in.

Ke khawatiranku sirna. Setelah beberapa menit menyalakkan laptop di ruang tamu. Bu Angel memperhatikanku yang sedang mengamati laptopku sambil kupasang dengan mose, agar lebih mudah menggunakan.

“ Laptop ini belum ada 2 tahun. Baru ada 17 bulan bu Angel, tidak ada permainan, juga tidak ada banyak Icon yang ada di Desktop. Aku hanya memakai untuk mengetik saja.” Aku berusaha menjelaskan kondisi Laptopku itu.

“ Oh tidak apa-apa Salim?, tapi kalau buat internet bisa tidak?.”

“ Bisa Bu…, tinggal di pasang modem saja. Soalnya sudah ada aplikasinya.”

Aku mencoba sebisanya, menjelaskan sesuatu yang kadang juga tak mengerti untuk aku jelaskan. Mudah-mudahan Bu Angel mengerti dengan apa yang barusan aku jelaskan.

“Hasan…, Coba kamu ambil modem buat mencoba internetnya.” Hasan yang lagi duduk di depan yang sudah ku nyalakan. Patuh mengikuti perintah Ibu Angel.

Sementara Bu Angel sudah pergi ke sudut ruangan. Dan kembali lagi keruangan tamu. Di saat itu pula Hasan sudah kembali dari kamarnya dengan membawa modem berwarna putih. Bertuliskan merek tertentu.

Hasan dengan tanpa kesulitan meng-Install modem. Hanya dengan hitungan menit, internetpun sudah online. Aku menyuruh Hasan untuk mencoba masuk ke dalam situs jejaring social alias Facebook. Ternyata bisa, kelihatannya Hasan sudah sangat mengerti  tentang dunia install menginstall. Berbanding terbalik dengan diriku yang ketika masih MI, masih sibuk berkutat dengan dunia lumpur persawahan, kebon, ataupun berburu. Zaman memang telah berubah.

Bu Angel sudah kembali ke ruang  tamu.

“Salim ini uangnya,..satu juta kan.” Lembaran uang warna biru telah di sodorkan kepadaku. Aku sempat tercenung dengan sikap Bu Angel yang begitu cepat mengerti kesulitanku. Hatinya seperti sudah menyelami perasaan hatiku yang sedang di rundung masalah.

“Terimakasih ya bu,” aku langsung memasukkan uang itu kedalam saku kananku tanpa perlu menghitung terlebih dahulu. Sesaat aku melihat gerak-gerik Hasan yang sudah asyik dengan internetnya.

“Di hitung dulu Salim, takut kurang duitnya.?” Bu Angel tampak berendah hati, menyuruhku kembali menghitung uang yang sudah berpindah tangan. Mataku sudah mulai berembun. Aku ingin menghempaskan embun di mataku. Tapi aku tahan saja. Agar  tak jadi butiran air hangat.

“Tidak usah bu…, O ya bu, Bapak sudah tahu kan mengenai laptop ini.”

“Sudah Salim, Ibu sudah bicara sama bapak?”. Ibu Angel sudah memperhatikan wajahku yang sudah mulai mendung, sementara kedua mataku  serasa ingi pecah mengeluarkan  air mata. Lagi-lagi aku tahan.

“Bapak Firdaus ada bu Angel?,  Aku ingin mengucapkan terimakasih.”

“ Sebentar ya Salim.” Aku masih berdiri menunggu Bu Angel yang beranjak keruang tengah.

Sesaat kemudian pak Firdaus  sudah keluar menghampiriku. Tangan kananku                                                                          refleks menyalami tangan kanan Pak Firdaus. Badanya yang tinggi langsing membuatku  mendongak ketika mengucapkan terimakasih. Raut wajahnya yang tegas, tapi terasa lembut kalau sudah mengenalnya.

Lalu aku memberitahukan kepada pak Firdaus. Kalau Laptopnya masih bagus. Dan sudah bias untuk Internet. Pak Firdaus  lalu duduk dengan Hasan yang sedang berselancar dengan dunia digital maya.

“Pokoknya kalau Salim butuh lagi Laptopnya. Tinggal ambil saja. Jangan canggung atau malu. Kita sudah seperti keluarga. Karena kakakmu Mba Amy sudah seperti keluargaku sendiri. Memangnya lagi ada masalah apa, sampai kamu menjual Laptop.” Pak Firdaus sudah menatap kedua mataku. Pelan-pelan…, perasaan terharu dan senang. Kembali menyelimuti kedua mataku yang sudah berkaca-kaca dan berembun makin banyak.

“Tidak tahu Pak Firdaus, Ibu di kampung lagi ada masalah apa…, katanya butuh bantuan sekarang”. Pak Firdaus belum tahu sepenuhnya masalahku. Di samping motorku yang sudah menunggak hampir 3 bulan. Keadaan ekonomi di kampung juga sedang tidak baik. Juga seringnya pihak Dept Collector yang menyambangi rumahku di kampong, kalau motor adikku tidak segera di lunasi tunggakannya. Kelihatanya mungkin sederhana. Tapi begitu keluargaku di kampung yang di jajari oleh tetangga yang “aneh” bila sampai mendapati pihak Dealer akan menyita motor adikku. Sebagian tetangga yang aneh akan menertawai keluargaku yang kehilangan sesuatu. Atau akan mengatakan: “alahhh ngga punya duit saja, mau ngridit-ngridit motor segala.” Aku yang sudah tahu bagaimana kondisi tetangga yang tak pernah senang melihat kemajuan dalam keluargaku. Juga karena aku tak bisa berdiam diri mendengar keluargaku dari ujung telephone, bila kejadian itu di sampaikan oleh Ibuku sendiri. Karena biasanya ibu akan menceritakan sedetil mungkin kejadian hidup yang memerihkan batin.

“ O…begitu. Kalau begitu tambahin saja bu.” Pak Firdaus entah kenapa begitu bersikap baik dengan diriku. Apakah sewaktu muda dulu, ia pernah merasakan kegetiran yang sama dengan diriku.

“ Tidak usah Pak Firdaus, ini sudah cukup ko.”  Aku menyela takut hutangku makin banyak. Karena Laptopku tak jadi di jual. Tapi di gadai. Mungkin suatu saat aku bisa menebusnya. Kalau tidak bisa menebusnya. Mudah-mudahan bisa membelinya entah kapan.

“ Oh…, tidak apa-apa, ngga usah sungkan.”

“ Tapi cara ngajar anak-anak,  masih kurang bagus Pak.” Aku bicara jujur jujur sama Pak Firdaus. Agar tidak salah menilai diriku.

“ Wahhh, tidak usah di pikirin. Saya sudah seneng banget. Kamu bisa ngajar dan datang ke rumahku.” Dadaku makin turun naik, aku mulai tak bisa mengusai perasaanku ketika Bu Angel sudah datang, lalu menyodorkan dengan beberapa lembar uang.

“ Ini dari anak-anak.” Bu Angel tampak sudah memperhatikan dan….

“ Tapi ini belum awal bulan bu.” Aku sudah makin tak kuasa menahan air mataku lebih lama. Aku seperti tersetrum sesuatu.

“Tidak apa-apa Salim.” Bu Angel menimpali.

Aku sudah tak kuasa menahan air mata. Dorongan apa yang membuat tangan kananku menyalami tangan kanan Pak Firdaus. Akhirnya air mataku tumpah. Dadaku sesak. Perasaan haru benar-benar menyelimuti jiwaku. Keharuan yang menyelimuti membuatku reflek menyalami Bu Angel. Bu Angel terkesiap sadar yang membuat urung menyambut tangan kananku. Rasa sedih, haru, dan senang membuatku tak sadar dengan apa yang aku lakukan. Bersalaman dengan bukan muhrim adalah sesuatu yang harus aku hindari. Aku sampai lupa dengan prinsip ini.

Aku menerima uang itu dengan lelehan air mata. Di serambi depan sambil menangis, tergugu, tersedu-sedu. Terduduk di kursi jati yang antik. Aku membiarkan perasaanku yang terharu melihat kebaikan Bu Angel dan Pak Firdaus. Bahkan Pak Firdaus sampai mendekapku agar aku tak lagi menangis. Rambut kepalaku di usap  dan di cium. Aku tak tahu lagi bagaimana berterimakasih kepada mereka.

Ada mungkin 2 menit aku tersedu-sedu. Aku cepat-cepat berusaha menguasai diriku agar makin tak pecah tangisanku. Aku berusaha mengendalikan diriku. Berusaha untuk mengendalikan keluguanku yang sedang menangis air mata.

“ Aku malu Pak.” Di sela-sela sesengukan terakhir aku mengucap begitu pada Pak Firdaus.

“Tidak usah malu.” Tangan kiriku masih memegang uang. Yang belum sempat aku masukin ke dalam saku.

Dadaku tak sekuat tadi naik turunnya. Tapi lelehan air mata masih saja tetap mengalir dari sudut mataku. Beberapa kali telapak tanganku mengusap sudut mataku, agar lelehan air mata tak jatuh ke pipi. Aku tak lagi sedang akting atas masalahku sendiri. Mungkin tetangga rumah Bu Angel yang melihatku, mungkin akan terasa lebay atau apalah sebutannya. Tapi yang jelas aku merasa sangat terharu dengan kebaikan dan kedermawanan Bu Angel dan Pak Firdaus. Pikiranku mengajariku bahwa masih banyak orang di Jakarta ini yang masih punya putih hati seperti malaikat. Masih juga ada orang yang tak memikirkan diri sendiri alias egois. Karena aku yakin Tuhan masih ada di dunia ini. Mengeluarkan manusia dari kesulitan-kesulitan yang ada. Janji Tuhan tak pernah ingkar. Setelah peliknya masalah ada kelapangan yang menghampiri.

Tak ingin sedu sedanku di dengar oleh tetangga yang melongok lewat tirai di rumahnya. Maka aku mengontrol sekuat tenaga agar senggukanku mereda. Tak mudah memang menghentikan tangisan yang makin tergugu dari tangisan orang dewasa. Aku menyadari kalau aku masih terlalu lemah dalam menghadapi masalah. Kasihan melihat Bu Angel dan Pak Firdaus terpaku berdiri di sampingku. Aku mohon pamit karena waktu juga semakin malam.

“ Di terima ya uangnya?” Pak Firdaus masih memintaku untuk menerima uangnya. Karena dari tadi uang itu masih aku pegang dengan tangan kiriku.

“ Ya Pak…, terimakasih. Assalamu alaikum.” Aku mencoba meneguhkan diriku dari keharuan yang sedang ku alami.

“ Waalaikum salam.” Keduanya menjawab bersamaan. Kedua putranya Hasan dan Mario tampak mengikuti sampai depan pintu garasi. Tentunya atas perintah Ibu Angel. Satu lagi putranya bernama Faldi  kelihatannya sedang di kamar, mengerjakan tugas-tugas sekolah.

“ Mari Pak…Bu…” Sekali lagi pamitan kepada mereka berdua.

“ Ya silahkan, hati-hati di jalan Salim.”

“ Baik, terimakasih.”

Aku langsung menstater motorku. Perjalanan pulang malam ini ke kosan. Terasa ada yang berbeda. Dadaku lega karena satu masalah minimal bisa teratasi untuk saat ini. Motor tungganganku sengaja ku jalankan pelan-pelan saja, ketika menyisir jalan perumahan. Suasana perumahan sudah sangat sepi. Kehidupan kompleks. Seperti hidup dalam kapsul. Yang terkadang satu sama lain tak begitu kenal. Malah cenderung egois. Tapi tidak untuk rumah Bu Angel. Kalau siang pintunya cenderung terbuka. Menandakan pintunya terbuka untuk siapa saja.

Keluar dari kompleks perumahan, tempat Bu Angel dan Pak Firdaus tinggal. Ku pacu gas motor. Agar lebih kuat tarikannya. Ku biarkan kaca helemku terbuka agar mukaku di belai oleh hembusan angin malam. Aku sudah menanggalkan rasa malu untuk bisa memecahkan permasalahan yang ada. Membuatku kadang bisa menerobos rasa gengsiku untuk bisa melakukan sesuatu  yang bergema di masa yang akan datang.    

  Sambil duduk diatas motor tungganganku, terus merenungi semua per-kejadian yang mengahampiriku. Roda-roda motorku tanpa letih membelah jalanan menuju kosanku, yang letaknya cukup jauh dari tempat kerjaku. Sweater tak begitu tebal masih bias di tembus oleh dinginnya malam. Aku yang sering melihat acara minta tolong pada salah satu stasiun televisi. Sekarang aku benar-benar mengalami kejadian minta  tolong. Dengan begitu aku menyadari kalau apa yang di lihat dan di rasakan oleh orang lain, suatu saat bisa terjadi dalam kehidupanku. Atau kehidupan orang lain. Seringnya mengalami tekanan kesulitan, membuatku menyadari bahwa ada orang lain yang juga sedang mengalami kesulitan dan kesusahan yang sedang ku hadapi. Hanya saja subjek dan objek yang berbeda. Juga seberapa kesulitan yang sedang di hadapi.

Suasana kehidupan di tepi jalan yang sedang ku lalui. Makin lamban, tapi tetap mengabarkan akan kehidupan sejati dari malam-malam yang biasa mereka jalani. Aku biasa memutari arah, menghindari titik-titik keramaian di kota Bandung ini. Aku biasa melewati jalur yang terasa lengan dan lamban dalam melewati malam-malam. Dengan begitu aku bisa menikmati malam dengan perasaan yang terpatri dalam kedamaian berfikir dan merenung dalam kefokusan mengendarai motor di ujung malam tanpa berboncengan.

Aku kadang mengutuk diriku sendiri, di saat melewati tempat yang begitu lengan dan sepi. Tangan kiriku meraba jok belakang. Siapa tahu ada yang suka cita membonceng tanpa izin. Aku kadang senyum sendiri. Melihat kekonyolan yang ku lakukan. Otakku yang terlalu padat di jejali dengan tayangan mistis sewaktu kecil masih melekat keras dalam lengketnya memory otak sampai lulus kuliah.

25 menit aku sampai di kosan. Rasa lega bercampur haru masih meyeruak dalam rongga dadaku. Inilah episode hidup yang harus ku jalani per hembusan nafas. Sampai hembusan terakhir, aku akan terus melewati episode hidup yang terus berpacu dengan ketaataan tiada tara kepada sang pemilik nafas. Dialah Allah yang Maha Pemurah lagi Penyayang. Yang bisa dengan mudah meniupkan perasaan haru bagi tiap hamba yang bisa keluar dari masalah-masalah hidup. Nabi Adam bisa menangis dalam sujud-sujudnya. Aku juga bisa merasakan rasa tangisan itu.       

 Coba ke Majalah Story, kirim ke :
email => story_magazine@yahoo.com
pos => d/a Redaksi Story, Jln. Raya Kedoya Duri no.36 Kebun Jeruk Jakarta 11520Majalah Story

 

 

KURSI GOYANG judul selanjutnya.

Sore sudah semakin senja, tapi Nenekku masih betah untuk lama-lama di kursi goyang kesayangannya. 

Dokumentasi 7 November 2012                                                                                                                                                                                                       

0 Comments:

Posting Komentar