Selasa, 12 September 2023

Bonding

Chapter 2


"Maafkan anak saya, saya juga kadang kena omelannya." begitu kata sang Ayah meminta maaf kepada tukang yang kebetulan dapat sikap tidak mengenakkan dari putranya.

Selepas itu anaknya menangis meminta pembelaan. Bahwa ia sering tersenyum sendiri, tak jelas. Sering parkir motor di depan rumahnya. Dan bla-bla-bla. Semua itu membuat putra tak nyaman. Ia memberontak dengan caranya sendiri. Bahwa Etika pada seorang tukang di rumah tetangga perlu di perbaiki. Bagaimana caranya, harus diperbaiki.

Ia menangis di depan rumah di bawah lirikan tukang yang membuatnya ayahnya punya satu misi. Yaitu membuat anaknya tetap kokoh sebagai lelaki. Sebagai ayah tak mungkin membuat kejadian itu memorosotkan mentalnya hingga menjadi rapuh bak kerupuk.

Ada beberapa perilaku yang membuat putrnya. Bahwa ia anak kecil yang tidak bisa menutupi kekesalan pada orang lain, terhadap Etika yang diterapkan oleh ayahnya di rumah. Maka ketika ada orang dewasa yang dengan sengaja merubah aturan di kepalanya, ia pun berontak dengan caranya sendiri. Tetapi orang dewasa di sekitar yang tidak siap dengan anak (jenius) akan menganggapnya sebagai pengganggu. Mereka meminta para orang tua untuk mendidik anaknya lebih keras lagi, agar sikap-sikapnya dapat diterima pada orang dewasa umumnya.

Itu cukup menggelikan. Tetapi berbicara pada orang yang dikepalanya dipenuhi semak belukar, tanpa pernah dikoret oleh sabit, yah seperti gonggongan aning pada bangkai buruan.

"Kalau nggak saya gampar anakmu itu," kata si Tukang, dengan perubahan redaksi yang terdengar agak keterlaluan.

Ayah sepertinya belum siap menerima teguran itu. Tetapi ayah tak mau kau tumbuh sebagai lelaki pengecut yang tak mau tahu soal peristiwa dan tak mau belajar dari kesalahan. Jika terdapat kekeliuran yang orang lain membetulnya dengan cara yang kurang tepat menurutmu, itu masih jauh lebih baik. Dari pada mereka memujimu atau tak enak pada ayahmu, sama saja mereka sedang menjerumuskanmu dalam lembah kesombongan. Merendahkan orang lain dan menolak kebenaran termasuk kesomobongan yang membuat tubuh firaun ditenggelamkan laut ganas. Ayah tak mau kau tumbuh dengan modal seperti itu.

Meski ayah masih pengecut, belum becus menjadi ayah, masih galak pemarah. Setidaknya ada sisipan nilai yang pernah Ayah ajarkan pada saat-saat ayah mungkin sudah lupa. Kau mungkin tak lupa.

Lepas dari itu. Kau tahu, orang-orang seperti itu membuatmu celaka dan memutus semua yang cita-citakan bersama bundamu. Dan ayah tak mau mereka mencelakaimu dengan cara-cara yang ayah sendiri tak tahu kapan mereka mencelakakan. Kau tahu, mereka bisa melakukan apapun tanpa perlu motif, seperti para pembunuh yang menghilangkan nyawa tanpa perlu kompromi dengan nurani. Kalau mau bunuh, bunuh saja, tak perlu aturan ini aturan itu. Sementara ayah sering meninggalkan rumah dari pagi hingga petang baru kembali. Ditambah kau juga ikut ayah bekerja, sementara siapa yang menjaga Bunda dan adik-adikmua. Ayah perlu seratus langkah agar kau, bunda, dan adik-adikmu.

Untuk sementara sikap ayah seperti ini.

0 Comments:

Posting Komentar