Rabu, 12 April 2023

Perjalanan ini baru saja dimulai

Anak perempuan itu memukul-mukul mejanya. Guru di    hadapannya tak ia pedulikan. Pijakan lembut tak juga mempan menyentuh gendang telinganya saja. Tak sampai perasaannya. Mungkin membutuh momen untuk membuatnya tenang dengan ketidakmampuannya membaca.

Dengan badannya ia bisa menipu siapa saja. Mungkin pikirannya tak bisa  ia tipu. Guru di depannya tak begitu ia anggap sebagai mana mestinya, ini hanya contoh, tak perlu risau.

Mungkin karena ia guru baru, jadi tak ia anggap sama sekali. Ia mungkin menghormati guru lamanya yang telah menundukkan "keliarannya" selama ini. Ia ingin mengintimidasi gurunya, sebagai mana ia sering diintimidasi guru lamanya. Sebuah pikiran yang tampak normal. Sebuah dendam yang tak berkesudahan, tapi mungkin terlalu berlebihan.

Semua cerita bisa berawal dari mana saja. Ini hanya cerita, kalian senang dan tertarik, itu biasa. Menganggapnya luar biasa, karena sekolah bukan tempat mencuci segala kebodohan, itu juga biasa. Karena kadang menganggap yang biasa itu tak biasa. Mungkin sekolah hanya menempa, bukan mencipta, biarkan anak-anak berkembang mengasah bakatnya. Kalaupun tak ditemukan bakat apa-apa. Justru itu yang barangkali luar biasa. Karena ia berjalan tanpa memakai selendang kesombongan. Di saat teman-teman yang dulunya berbakat, ia bersedih karena menemukan temannya meringkuk di balik jeruji besi. Atau ia tetap rendah hati, kepada temannya yang berbakat apa saja.

Perjalanan ini baru saja di mulai...

Memasang wajah cemberut di kelas adalah salah satu jurus ampuh yang di pakai anak-anak ketika ia belum bisa meregulasi emosinya. Ia bahkan bisa menjadi super duper ganas pada beberapa kesempatan bila orang dewasa di sekitar terasa menyebalkan.

Cobalah untuk tidak menyapa terlebih dahulu pada anak-anak yang belum percaya pada orang dewasa di dekatnya, itu akan jadi perkara yang membuatnya menjadi lebih sulit untuk mengendalikan diri sendiri.

Perhatikan hari-hari berikutnya apakah tetap pada pendirian bahwa ruang kelas adalah kotak berbahaya yang harus ia hindari dan jangan lupa tengadahkan di penghujung malam pada pemilik alam semesta ini agar bisa mengubah perangai, lalu beralih pada pemahaman dasar tentang kepercayaan pada orang dewasa sekitar. Itu bisa jadi peluang padanya bahwa ada banyak orang dewasa yang bisa dijadikan panutan dan tempat untuk memberikan kepercayaan yang ia jaga selama ini. Dengan catatan semuanya bermuara pada edukasi dan pengoyoman bukan pada didaktis dan intervensi.



Sekolah TANPA Sekolahan

Sekolahan Yang Memanggil Kepekaan

Bagi jiwa yang tidak memiliki hubungan dengan Tuhan-Nya maka ketersediaan nilai kesadaran akan hubungan-Nya, semakin mengecil. Kemuliaan-kemuliaan yang melekat pada setiap jiwa akan mengkerut jika tak terdapat secuil kepekaan dalam pikiran juga dadanya. Ia membiarkan karat mengganggu perjalanan nuraninya. Ia juga tak cepat-cepat mengkoreksi coretan itu dengan lafal-lafal dari langit, melepaskan begitu kehendak yang sempat terbesit dalam pikiran jernih. Ia rela menuangkan segelas gelap yang membutakan langkah-langkahnya, bahkan tongkatpun tak juga memberinya jalan kemudahan. Ia malah mengeratkan ikatan yang telah lama mengungkungnya diam-diam, lalu tanpa disadari muncul benjolan yang menyerap terus menerus kelembutan hingga tak berbekas.


Ketaknormalan yang merajalela tak juga ditanggapi sebagai panggilan Tuhan agar ia lekas-lekas mengoreksi catatan keimanannya. Jika tak sanggup ada pilihan hati yang bisa menyokongnya menjadi detak-detak semangat dan inspirasi bagi manusia lain. Sebagai cipatan-Nya insan menyediakan secuil potensi agar gerak lisan dan jiwanya tak hitam jelaga. Sesekali tisu putih yang berubah menjadi krecek akan terasa nikmat, jika tak disadari keberadaannya.

Yang lain, penggerak roda pikiran menjadi lebih mulus ketika semua fungsi tubuh mengarahkan pada kebahagiaan yang hakiki. Insan menjadi lebih terpanggil pada kenyataan hidup di depan matanya, meski statusnya sebagai insan 'papa' menjadi incaran mulut-mulut yang miskin kasih sayang. Mereka juga butuh pertolongan, tinggal menunggu momen saja.

Malaikat turun ke bumi menyapa sang Nabi terakhir ingin menyampaikan mandat dari Tuhan-Nya. Ia mengatakan "Wahai Nabi tak jauh dari Anda ada seorang "Malang" yang nantinya akan masuk neraka." Setelah selesai ia melesat pergi dari hadapannya.

Lalu lewatlah seorang ibu yang tengah menggendong anaknya yang tak berhenti menangis sebab lapar yang menohok. Wanita "malang" yang bekerja di tengah lumpur kegelapan tengah menggigit sebagian kurmanya. Ia menghentikan gigitannya dan berjalan tergesa-gesa menyambangi si anak dan memberikannya. Malaikat turun dan menjalankan mandatnya bahwa si wanita "malang" itu akan menjadi penghuni surga.

Level keibaan wanita "malang" itu pada level yang membuatnya nasib si wanita berubah seketika, tidak perlu menunggu waktu lama agar takdir si wanita "malang" menjadi takdir yang mulia. Itulah definisi dari insan yang berfilantropi.

Jiwa yang keras jua menjadi titik gelap hingga ia tak bisa menyerap kejadian dari Tuhan. Bahkan Ahli kegiatan langit pun tak bisa membedakan sebuah peristiwa. Ketika banjir melanda dan air sudah menyentuh lututnya, menyentuh dadanya, bahkan ketika air sudah sampai loteng ahli kegiatan langit tetap menolak semua pertolongan manusia. Ketika ia protes dengan Tuhannya. "Mana pertolongan Mu" kata si ahli kegiatan langit. "Aku sudah memberi pertolongan kepadamu sebanyak tiga kali" kata Tuhannya. Hati yang keras telah membuatnya menolak semua kebenaran (pertolongan) dari para penolongnya. (Hanya Tuhan Yang Tahu).

Selasa, 27 Desember 2022

TENTANG UMAR

 7. Insiden Siang Hari

Kedua anak MI itu tampak cemas. Mereka medengar ayahnya kecelakaan. Seorang Ibu memberitahunya ketika mereka muncul di mulut gang.

Mereka bergegas. Ada banyak pertanyaan mengenai kecelakaan itu. Tetapi mereka akan tanya sendiri pada ayahnya.

Lapar yang mereka rasa pelan-pelan menjadi rasa yang tegang berlipat. 

Sampai di rumah tak di dapatinya ayah. "Ia mungkin ada di kebun," Kata sang adik.

"Yuk coba ke sana," ajak sang kakak

Mereka mendapati sang ayah sedang membelah bambu menjadi bilah-bilah. Ada luka di kedua sikutnya, merah, tapi tidak meneteskan darah, mungkin sudah diberi obat merah. 

Kami sudah dekat dengannya, ia masih fokus dengan bilah-bilah bambu. Ia akan membuat pagar kebun, pagar kamar mandi, atau jangan-jangan pesanan tetangga. 

"Yah," ucap sang kakak. 

Ia menoleh tanpa melepaskan golok dan bilah-bilah bambu. Tetapi matanya tak pernah melepaskan pandangannya pada kami. 

"Kalian sudah makan."

"Belum yah."

"Makanlah dulu, ayah tidak apa. Kalian tak perlu khawatir. Nanti ayah menyusul, tanggung dikit lagi."

Mereka kembali ke rumah. Membuka tutup saja, dan melupakan sejenak apa yang terjadi. Tetapi apakah itu mungkin?

***

"Ayah sedang menuruni jalanan aspal. Dari belakang sepeda motor menuburuk sepeda dan menyeret hingga kira-kira sepuluh meter. Ayah berteriak, seperti ingin memberi tahu, sudah cukup kau, tindakan itu membahayakan. Ayah mungkin meracau. Ayah lega, masih bisa berdiri dengan kaki kuat."

Setelah itu ayah kadang memanggil kakak adik. Mulai dari ditimbakan air, mengambil kayu bakar, membuka kaos, dan hal-hal kecil lainnya. 

Untuk saat ini ayah seperti anak kecil yang kehilangan mainan. Merengek untuk dimanja. Sesekali meringkuk dalam selimut. 






Rabu, 14 Desember 2022

Lara-Hari ke 237

Usai bel sekolah, bang Zoro sudah menjemput di depan sekolah.  Aku dan Naura diantarkan bang Zoro menuju lokasi yang kami tuju. Tak lama sebuah mobil jeep hitam arang datang. Naura berdiri memastikan siapa yang muncul. Pintu mobil terbuka, turun seorang gadis memakai baju army, syal melilit di lehernya, dan tas ransel menggelayut di punggungnya.

"Kiera!" Seru Naura. Ia menghambur dan keduanya berpelukan.

"Kakak tidak senang saya datang," kata Kiera.

"Dari mana kau tahu perjalanan ini."

"Sumber yang terpercaya."

"Kau tidak suka dikawal oleh dua putri titanium dari klan bidadari ya," tukas Naura.

"Bukan?"

"Lalu."

"Kalian hampir 'membunuhku' kemarin, keterlaluan sekali, aku tak mau misi ini gagal."

"Kau masih marah." Tanya Naura.

"Kami berdua hanya mengukur seberapa besar kepedulianmu pada kami."

 "Aku tak mengerti jalan pikiran kalian."

"Terimakasih ya Ben."

"Jangan lakukan lagi, bahaya tahu."

"Jadi kakak udah nggak marah nih." Ledek Kiera.

Aku perlu memberi jarak pada pikiranku. Tak lama mereka menawariku berbagai cemilan. Kuambil cemilan dari mereka dan makan tak jauh dari mereka. Kelakuan mereka masih menyisakan rasa dongkol. Apakah semua gadis perlu sedemikian rupa dalam menguji sahabatnya sendiri.

Kami berjalan melintasai jalan beraspal yang di apit persawahan hijau. Kalau malam mungkin tampak menyeramkan. Kanan kiri jalan penerangan terbatas sekali. Kami beristirahat di bawah pohon dadap dan mulai menikmati bekal makan siang tanpa banyak bicara. 

Sebuah angkot datang. 

"Mau kemana kalian," ucap sang sopir. Ia menjulurkan kepalanya. Tubuhnya gempal dan suaranya yang ku kenal. Di mana ya?. Sopir itu menurunkan ujung topinya hingga menutupi setengah wajahnya. 

"Ponpes Cendrawasih," kataku.

"Tempatnya jauh, kalian serius kesana."

"Kami harus ke sana."

Supir itu malah tertawa, tak ada yang lucu. Tubuh gempalnya goyang-goyang. Makin jelas sudah.

"Ares, kupikir kau nggak datang." Aku berseru gembira. Ia mahir juga menyamar.

"Itu bukan gaya saya Ben."

Satu jam telah berlalu. 

"Jika normal, tinggal delapan kilometer lagi kita akan sampai di ponpes cendrawasih." Ares menyodorkan selembar peta ke arahku. Jalanan sangat lengang, seperti desa mati.

Kami berhenti di depan sebuah penginapan. Tak beruntung. Penginapan itu lebih mengerikan dari pada jalanan lengang yang barusan kami lewati. Halaman tak terawat dan banyak gulma tumbuh menjulang menghalangi pandangan. Kami melanjutkan perjalanan.

Kiera terlihat gugup. Naura mulai menghimpun ketenangan yang menurutku terlihat aneh. Pandangannya setajam silet. Bulu kudukku meremang. Kami melewati jalan beraspal hitam yang di jaga hutan lebat tak bertepi. Desau angin lebih menakutkan. Penginapan yang kami cari tak kunjung ketemu.

"Aduh, gawat Ben!"

LARA-hari ke 267


Teriakan itu makin menggores akal sehatku. Suaranya menggema seperti srigala yang terluka. Pilu mencekam. Kedua kakiku kenapa tak mau diajak berkompromi, mana tenaga yang biasa kupacu ketika berlari menyapu setapak dan jalanan berundak-undak. Aku berjalan terhuyung-huyung menghampiri suara itu.

Di ujung jalan setapak menuju hutan terlarang sabuk, Intan tengah memeluk kakaknya yang bersimbah darah. Ia melepaskan pelukannya dan bangkit mendekatiku dengan tubuh gemetar, sorot matanya membuatku semakin gelisah.

"Plak!" pipiku terasa panas. Di susul tamparan kedua dan ketiga. "Kakakku mati!, kenapa kau lama sekali!" katanya sambil menyeka air mata dan darah secara bersamaan. Ia diam mematung, sementara darah terus saja mengucur dari balik batok kepala kakaknya.

"Pergi!" katanya lantang, kedua matanya membesar. Dadanya naik turun. Wajahnya memucat, matanya memutih, senyumnya amat ganjil, dan tiba-tiba ia menyeringai dengan ganas. Tanpa memberiku waktu yang cukup untuk mencerna semua hal, ia sudah menerkamku dan mulai mencabik-cabik batang leherku dengan giginya yang runcing. Ia mulai sesak nafas dan pandangan semakin kabur. Apakah aku akan mati dengan cara seperti ini?

Lalu gelap menyergapku untuk beberapa saat. 

"Ben." Suara itu memantul-mantul di telinga. Tubuhku terasa kaku dan seolah ditarik oleh kekuatan yang melimpah dari kejadian yang mengerikan.

"Ben!" Suara itu kukenal, ia terus memanggil namaku berkali-kali.

Cepat sekali mataku terbuka, mungkin jantungku berdenyut terlalu cepat. "Kau mimpi buruk lagi" kata Ibu pelan dan akrab. Sentuhan tangan Ibuku telah menyelamatkan mimpi buruk yang kerap kali menyiksa.

"Semakin buruk Bu," ucapku lelah.

"Minumlah."

Kutandaskan segelas air putih dari mug di bawah tatapan lampu lima wat. Setiap mimpi buruk tubuhku selalu banjir keringat dan perasaan aneh.

"Mungkin kau perlu menjenguk sahabat lama," ucap Ibu.

______

Pintu garasi berderit pelan dan melangkah masuk menyusuri halaman panti. Kubetulkan sweter merah marun.  Kulihat sebuah bangunan kecil yang cerobong asapnya sedang bekerja keras. Aroma sarapan pagi menebar sepanjang halaman panti.

Langkahku terhenti oleh laku seorang gadis yang tengah memetik bunga Rosela ditemani oleh Suster yang telah kukenal, suter Mari. Ia telah mendampingi Intan sejak ia masuk ke panti rehabilitasi ini. 

Aku memberi isyarat pada Suster Mari.

"Terimakasih suster Mari," 

Intan masih tekun memetik bunga Rosela sampai ia menoleh ke belakang dan memekik keras. Ia bertepuk tangan sambil melompat-lompat sebentar dan memeluk keranjangnya erat. Ia tersenyum selebar papan kayu, matanya juga membesar.

"Apa kabar Tan," sapaku tepat di depan wajahnya yang semakin dekat. Baru beberapa detik di depannya. Matanya sudah berkaca-kaca, mengikilat tak terbendung lagi. 

LARA-hari 227

Ia mendekam sejenak di toilet. Membersihkan tangan dari bau tajam mengkilat. Dinding-dinding itu penuh coretan. Tangan-tangan jahil menulis seenaknya. Vandalisme kah? kurasa tidak, anggap saja ungkapan jujur yang sulit terucap.  Ia pun keluar, keduanya kakinya telanjang. Tapi seperti alam telah memakluminya. 

Katanya,  aura buruk bisa mencengkram erat-erat dalam mimpi buruk. Ujung celananya gombrong. Ia memastikan bukan urin. Ia menggulung lengan baju sampai dua lipatan untuk menutupi warna jelaga. Rambutnya yang gondrong sebahu, Ia kerap membasuh dengan air agar selalu tampak basah. Untuk menutupinya ratusan uban yang bersembunyi di bawah rambut hitamnya.

Di depan pintu kelas yang berjendela. Suara Bu Nurma terdengar nyaring sampai keluar. Kakinya terasa berat melangkat, seperti ada yang menggelayuti manja. Ia mengetuk pintu kelas dan membukanya.

"Silahkan masuk," ucapnya.  Belum genap dua bulan, guru baru ini sudah 'memukulku' bertubi-tubi. Ia pandai sekali "menikam" dari semua penjuru. 

"Maaf terlambat," suaraku tersangkut di tenggorokan, adakah kedondong didalamnya, nanti kuceh ah...

"Dasar pencuri," katanya dengan menurunkan kacamatanya kebawah. Melihat sambil mengintip. Hidungnya yang terawat itu tampak licin. Ini menyebalkan, kau tahu. 

Ia menganggapnya sebagai pencuri, kenapa kata-katanya terlalu tinggi untuk otaknya yang sekarang.

"Sebagai hukumannya kau menyapu halaman sekolah, sampai bersih," 

Jam pelajaran pertama selesai. Ia masih menyapu, ia hanya melihat teman-temannya jajan di kantin. Ia dikejutkan oleh anak baru yang tadi pagi ia temui. 

"Mau dibantu kak." 

Beni menggeleng. 

"Kau bisu ya.

Gadis itu malah tersenyum. Ia malah mengomentari rambutnya yang sebagian beruban. Dan terus saja bicara. 

"Kau tahu, kenapa pelangi tak ada warna hitam"

episode 1

Aku tersenyum.

"Bagaimana kabar Intan."

"Masih sama bang."

Bus Dony Jaya berhenti di depan sekolahku,  MAN I Idolaku. Sebelum turun aku sempatkan untuk tersenyum pada kursi yang selalu didudukinya. Yang duduk di sana, Intan. Teman esempe. Ia gila, tepatnya dibuat gila. Orang-orang tua menuduh para jurik sebagai biang kerok atas tragedi yang menimpanya. Tetapi hanya omongan sampah yang tak perlu kalian dengarkan. Aku punya alasan sendiri, tetapi kerap kali kusimpan. Satu kali mengutarakan kepada orang-orang tua itu, aku dianggapnya gila puluhan kali. 

"Ben!"

"Ya Bang?" rupanya ia memergoki mematung. Lelaki dewasa yang menggotong jasad kakak Intan dengan batok kepala remuk. Sementara darah terus merembes membasahi bajunya dan tanganku. Sejak saat itu Intan tak lagi sama.  

Sebelum turun, bang Zoro memberikanku sebuah kalung unik berbahan kayu. Ia bilang kalau kalung tersebut tergantung di dinding gudang rumahnya sejak ia masih kecil. Kedua orang tuanya telah lupa asal muasal kalung itu.

"Salam buat pamanmu."

"OK bang?"

 

"Sepertinya kau salah seragam? Ucap seorang gadis yang tak ingin kukenal.

Tubuhku meredup dan terasa dingin. Gerbang utama sekolah terkunci rapat. Pak Taro berdiri menantang. Tangannya kebelakang menelangkup. Seperti menggendong mahluk ganjil. Ia terlihat sinis. Tatapannya tajam menusuk. Melingkar di jari tengahnya cincin batu akik asli bandar klawing Purbalingga. Jari jempolnya besar berlemak. 

"Sampai kapan kau akan begini Ben!, terlambat terus."

"Maaf Pak."

Gadis itu tertawa. Baru ini kulihat. Sambil membetulkan tas gendongnya, ia melirikku seperti silet. Gerak-geriknya terlihat berbeda. Atau terlalu pede. Sepatunya keren berlogo terkenal. Terlalu bersih untuk ukuran umum anak MAN Idolaku. Kulitnya seperti tak pernah tergarang matahari.

 

Aku berdiri di halaman sekolah. Bendera merah putih berkibar sambil memeluk tiang. Kami berdua menaikkan tangan setinggi telinga (memberi hormat). Diam-diam ku kenakan kalung pemberian bang Zoro dan menyembunyikannya di balik kerah baju. Razia kelas bisa merebut paksa tanpa pernah kembali.

"Saya Kiera, kamu?" 

Aku diam saja.

Selasa, 20 September 2022

Raksasa Kerdil dari Lorong-Lorong Kota

Bagian Satu


Ia datang dalam kegelapan di wajahnya seolah habis beradu dengan panas. Tetapi bukan itu, ia hadir karena mengganggap segala yang ada pada jangkauannya, itu buruk sekali. Ia mengupas segala perbendaharaan kata hanya untuk menghabisi lawan bicaranya. Kalau mau jujur, mungkin isi kepalanya hanya dipenuhi oleh persona tidak non grata. Ia mewakili pikiran yang melintas bukan pada ukuran tertentu.

Ia mendengus setiap kejadian tidak sesuai pikirannya, mencoba sekuat tenaga agar ide itu lenyap atau dilenyapkan. Lalu ia tangkap kemudian hari sebagai cara untuk menaikkan kekuatan agar dapat membuat kentut paling bau di lorong-lorong tempat ia tinggal. Mustahil kalau yang ia lakukan dapat gagal, karena gagal adalah bukti bahwa ia pernah mencoba bukan tanpa persiapan. Ia bersembunyi di balik evaluasi yang garing dan melenyapkan perbedaan dengan traktiran makan sepanjang ia memimpin. Itu buruk sekali (setidaknya bagi saya).

Bila ada pikiran yang melintas dan ia suka, bukan keluar dari orang yang ia suka. Maka ia akan menangkap dengan caranya sendiri. Sebaiknya ia akan tetap bertahan sementara ide itu terus berkembang. Ia hanya membersihan kotoran hidung, tanpa pernah memperhatikan apa-apa yang sudah tumbuh bersama kotorannya itu.

Satu pagi ia tertawa. Lalu mengeluarkan bau bacin ke lorong tetangganya. Harusnya sesama penghuni lorong, ia tak perlu mengupas jenis bawang-bawangan tanpa pernah membagi aromanya, jika ia terlalu pelit. Lelahnya membuatnya orang di sekitar ikut berpeluh, padahal ia sendirinya yang membuat kelalahan tanpa jeda.

"Kalian manusia brengsek, tak tahu apa-apa. Sejago apapun kalau kalian tak bersitifikat, tak ada gunanya." Ia bergumam atau mendengus. Ia selalu memadukan antara insting pemburu dan kekolotoan para manusia purba.

"Capai, kalau berurusan dengan dia, tak ada habisnya," seloroh peminum kopi yang sedang mengunyah ketan goreng.

" Ia perlu dikikis, paling tidak di palu sehingga keluar reptil nakal yang selalu bersembunyi dibalik kepalanya."

"Bikin perkara saja." 

Jumat, 08 April 2022

ٍSejarah Kirik Busik

1. ٍKirik Busik 

Anak perempuan itu terus saja menempelkan wajahnya ke atas meja, dari pelajaran pertama kimia. Pelajaran yang menyebalkan itu. Kau pasti sepakat kan?, jangan munafik. Ingin saja keluar dari pelajaran itu ketika sepatunya yang sering dipakai tentara terdengar lebih keras dari sering dipakai. Guru Kimia itu sengajakah. Sekarang bukan saatnya membahasa tentang Guru Kimia, yang rambutnya bergelombang, senyumnya meradang. Lebih baik, mari dengarkan anak perempuan yang menunduk kelas, seakan ia ditinggal kenangan keras itu. Anak lelaki pada waktu itu masih tabu untuk menanyakan apakah ia baik-baik saja, bukan tak mau. Kami tak cukup kosa kata untuk memulai percakapan, atau hanya ini perasaan Eng saja.

Pelajaran kedua juga tak kalah menyebalkan, Fisika. Hari senin memang neraka bagi Eng. Ini salah siapa, tak perlu mengira-ngira. Ini kenyataan yang Eng harus hadapi. Jam kedua ini sedikit melegakan, pengampunya wali kelas Eng sendiri, seperti anak ayam di ampu Elang. Serem juga sih.

"Kau kenapa Bita, sakitkah?" Tanya Ibu Wali Kelas. Ia beranjak dari tempat duduk setelah selesai mengabsen.

Ia mendekati Bita yang kepalanya masih lengket dengan meja. Ia mengelus kepalanya seperti putrinya sendiri, apakah ia betul-betul melakukannya. Mungkin Eng hanya kusut masai saja, hingga ia tak sempat membaca perubahan wali kelas akhir-akhir ini.

Ia mengangguk seperti dokter. Ia memberikan ultimatum. Pelan-pelan ada semacam gelembung di dada ini entah apa rasanya. Segera kalian akan tahu, perasaan macam itu. Dan perempuan macam apa yang akan saksikan nantinya.

"Yang dekat dengan rumahnya," Tanya Wali Kelas.

Tema-teman mulai mendengung seperti truk slender, entah apa yang mereka rencanakan.

"Eng bu, ia dekat rumahnya dengannya," salah satu temannya mengusulkan. Di susul teman-teman yang lain. Ini mulai mengusik ketenangan di pagi hari. Tetapi menyenangkan, bisa mengantar gadis semanis itu. Walaupun bau keteknya cukup memusingkan kepala, Ups itu dulu ketika di MI, mungkin sekarang ia agak berbeda. Eng tak pernah lagi mencium bau tubuhnya, atau tak ingin melakukannya.

 Takdir seolah berkata; kau harus mengantarkan gadis itu. Meski itu bukan pilihan yang mudah, tetapi mungkin kau menginginkannya. Aduh, kok bisa begini. 

Huuuuu, gemuruh suara itu mengadukan perihal-perihal picik sebenarnya, dan Eng tak berani melirik barang sejenak pada teman-teman perempuan, apakah itu semacam pengampunan dan Eng juga tak peduli pada urusan-urusan mereka. 

Eng mengekor di belakang ketika mulai keluar dari kelas, Wali Kelas itu tersenyum. Ini hadiah terbaik dari seorang Wali Kelas, apakah Eng dapat menangkapnya. Mungkin ini  hanya kebetulan, kebetulan di hari selasa pukul 9.14 pagi 2000, ah mestinya tak perlu mengingat-ngingat dengan jelas. 

Sepanjang Jalan keduanya terlibat adu mulut hangat, maksudnya pembicaraan. Mereka mesam-mesem pada saat tertentu. Lalu saling pandang beberapa detik, ini menjengkal. Tetapi menyenangkan. 

Ketika mobil angkot oren berhenti dan mereka ingin sama-sama naik. Muncul seorang lelaki berseragam sama dengan yang mereka pakai, mengendarai motor. Ia kakak kelas begitu. Eng sulit mencari kata-kata yang tepat untuk kejadian itu. 

Angkot sudah berhenti. Bita beralih ke kakak kelas dan naik motornya. Meninggalkan Eng yang amat apa ya, sebentar mungkin Cengo, atau apalah. 

Perpisahan yang merobek keakraban mereka sebentar. Lalu Eng naik angkot duduk dipojok, memandangi Bita yang tersenyum lebih merekah dari pada perjalanan tadi. Sejak saat itu, Eng menyebutnya sebagai penjelmaan Kirik Busik, dan itu sejarah panjang kehidupannya.


 

Rabu, 06 April 2022

Soal Sabuk

Satu malam jelang tidur.

"Kenapa tak silat lagi Mas," tanya si Ayah. Tangannya yang kukuh memeluk pinggangnya yang masih ramping.

"Naik sabuknya lama yah," katanya. Tangannya yang mungil meraih tangan ayahnya, lalu mengencangkan lebih erat lagi.

Lalu...

Ayah mendengarkan gerak bibirnya. Ada gurat sedih sempat terlintas. Ada wajah yang ingin berontak, tetapi ia sendiri tak tahu atau belum tahu soal apa yang harus dilakukan. Mungkin berhenti dari latihan adalah bagian dari jawaban.

Ia tak pamit pada pelatih, juga pada ayahnya. Pada pelatih ia seperti ingin melakukan demo atas keberpihakan yang salah. Ini agak lucu, bocah delapan tahun ingin menjungkirbalikan sebuah keadaan. Mesti mungkin saja terjadi, tetapi hal itu adalah awal dari ia mengerti tentang pencapaian.

Ayah mengangguk bukan untuk membenarkan, tetapi telinga ini setiap saat siap mendengarkan keluh kesahmu. Menjawab setiap pertanyaan. Jika ayah tak bisa menjawab, maka Ayah akan menangguhkan beberapa saat, setidaknya bisa mengintip buku, atau kalau tak sempat bisa melayang ke dunia mbah.Yang jelas, kau akan tumbuh seiring dengan waktu yang kau simpulkan sendiri. Maaf jika ayah tak sabar, tetapi paling tidak ayah bisa merobohkan ego yang kerap menunggangi semua hal. Bahkan kebaikan yang kau tawarkan, bisa menjadi petaka bagi Ayah. Bila ayah tak pintar mengolah Ego. Ego akan tetap bercokol meski kelak berpisah pada saat yang memungkinkan

Nama pelatihmu sama dengan nama ayah. Kadang kau menertawakan dan meledek soal nama ayah. Kau tak pernah menggerutu soal nama, adikmu yang kerap mengejek, maksudnya bercanda soal-soal nama, jika ayah kena 'mental' kalian akan tertawa keras. Lalu kembali pada tempat semula.

Soal nama pelatihmu, ayah kira bisa menangkis hujan air mata yang mulai kau tampilkan pada saat-saat tertentu. Itu kemampuan yang mesti kau rawat. Tak apa lelaki menangis, jika itu menenangkan. Soal sabuk, ayah tahu kapan kau menitikkan air mata, kaupun tak bertanya. Ayah mulai menandai, air mata yang kau keluarkan diam-diam, meski hanya berkaca-kaca itu adalah simbol kau akan mengakhiri sesuatu. Begitu simpel, tetapi cukup tegas. Ayah simpati, kau mulai memustuskan sesuatu tanpa campur tangan ayah bunda.

Senin, 28 Maret 2022

DUNG TANG

Kau tahu masa itu sungguh tak ingin nenek lalui lagi. Masa yang membuat nenek tak lagi bisa tidur nyenyak. Kalaupun bisa tidur mimpi-mimpi kerap menjadi lebih nyata dari sebelum-belumnya. Ia seperti mata pedang yang akan menebas siapa yang tak bisa mencegah mimpi buruk. Entah sampai kapan nenek bisa melupakan yang mencekam itu. Bahkan kakekmu itu juga sering menutup pintu rumah ketika suara kodok masih asik bernyanyi. Kakemu menjadi lebih pendiam ketika senja sudah mulai melebarkan sayapnya. Ia membetulkan letak pandangan dan menajamkan pendengaran pada tahap yang melelahkan. Ia tak berguling ke kiri atau ke kanan ketika orang-orang mendengkur dan menyerahkan semua keselamatan pada selimut malam.

Hari itu tiba, siang yang tenang berubah menjadi kegaduhan bercampur kepanikan. Pesawat-pesawat tempur Jepang itu telah menyita sebagian hidup nenek. Padahal sebelumnya raksasa berkulit putih itu sering membiarkan kami untuk merekayasa hidup kami, meski mereka juga tak sama dengan tentara Jepang. Mungkin mereka sedang tak lagi punya uang saku sekedar untuk pergi berjalan-jalan, atau ransuman telah menyita akal sehatnya.

Kami beragam usia bersembunyi dalam lubang-lubang yang kami gali sendiri, masih menutupi kepala mereka dengan daun pisang, semak, bahkan tampah lebar untuk menjemur lada-lada beralih fungsi. Setelah sirene (Dung Tang) dari pesawat hilang, kami mendapati bumbu-bumbu dapur tiba-tiba raib, bahan pokok sebagian lenyap, dan meninggalkan beras-beras berkutu.

Betapa bodohnya kami-kami ini, termasuk nenek. Kau tak perlu mengikuti jejak kami semua. Kau bisa mengubah sendiri nasibmu. Karena pesawat tempur itu kini banyak parkir dan jarang terbang. Sebagiannya bahkan mejeng di museum.