Rabu, 14 Desember 2022

LARA-hari 227

Ia mendekam sejenak di toilet. Membersihkan tangan dari bau tajam mengkilat. Dinding-dinding itu penuh coretan. Tangan-tangan jahil menulis seenaknya. Vandalisme kah? kurasa tidak, anggap saja ungkapan jujur yang sulit terucap.  Ia pun keluar, keduanya kakinya telanjang. Tapi seperti alam telah memakluminya. 

Katanya,  aura buruk bisa mencengkram erat-erat dalam mimpi buruk. Ujung celananya gombrong. Ia memastikan bukan urin. Ia menggulung lengan baju sampai dua lipatan untuk menutupi warna jelaga. Rambutnya yang gondrong sebahu, Ia kerap membasuh dengan air agar selalu tampak basah. Untuk menutupinya ratusan uban yang bersembunyi di bawah rambut hitamnya.

Di depan pintu kelas yang berjendela. Suara Bu Nurma terdengar nyaring sampai keluar. Kakinya terasa berat melangkat, seperti ada yang menggelayuti manja. Ia mengetuk pintu kelas dan membukanya.

"Silahkan masuk," ucapnya.  Belum genap dua bulan, guru baru ini sudah 'memukulku' bertubi-tubi. Ia pandai sekali "menikam" dari semua penjuru. 

"Maaf terlambat," suaraku tersangkut di tenggorokan, adakah kedondong didalamnya, nanti kuceh ah...

"Dasar pencuri," katanya dengan menurunkan kacamatanya kebawah. Melihat sambil mengintip. Hidungnya yang terawat itu tampak licin. Ini menyebalkan, kau tahu. 

Ia menganggapnya sebagai pencuri, kenapa kata-katanya terlalu tinggi untuk otaknya yang sekarang.

"Sebagai hukumannya kau menyapu halaman sekolah, sampai bersih," 

Jam pelajaran pertama selesai. Ia masih menyapu, ia hanya melihat teman-temannya jajan di kantin. Ia dikejutkan oleh anak baru yang tadi pagi ia temui. 

"Mau dibantu kak." 

Beni menggeleng. 

"Kau bisu ya.

Gadis itu malah tersenyum. Ia malah mengomentari rambutnya yang sebagian beruban. Dan terus saja bicara. 

"Kau tahu, kenapa pelangi tak ada warna hitam"

1 komentar:

  1. Ini kisah berlatar di Purbalingga, mengusung konflik yang dekat dengan keseharian, dan juga persahabatan yang hangat. Selamat membaca.

    BalasHapus