Rabu, 14 Desember 2022

Lara-Hari ke 237

Usai bel sekolah, bang Zoro sudah menjemput di depan sekolah.  Aku dan Naura diantarkan bang Zoro menuju lokasi yang kami tuju. Tak lama sebuah mobil jeep hitam arang datang. Naura berdiri memastikan siapa yang muncul. Pintu mobil terbuka, turun seorang gadis memakai baju army, syal melilit di lehernya, dan tas ransel menggelayut di punggungnya.

"Kiera!" Seru Naura. Ia menghambur dan keduanya berpelukan.

"Kakak tidak senang saya datang," kata Kiera.

"Dari mana kau tahu perjalanan ini."

"Sumber yang terpercaya."

"Kau tidak suka dikawal oleh dua putri titanium dari klan bidadari ya," tukas Naura.

"Bukan?"

"Lalu."

"Kalian hampir 'membunuhku' kemarin, keterlaluan sekali, aku tak mau misi ini gagal."

"Kau masih marah." Tanya Naura.

"Kami berdua hanya mengukur seberapa besar kepedulianmu pada kami."

 "Aku tak mengerti jalan pikiran kalian."

"Terimakasih ya Ben."

"Jangan lakukan lagi, bahaya tahu."

"Jadi kakak udah nggak marah nih." Ledek Kiera.

Aku perlu memberi jarak pada pikiranku. Tak lama mereka menawariku berbagai cemilan. Kuambil cemilan dari mereka dan makan tak jauh dari mereka. Kelakuan mereka masih menyisakan rasa dongkol. Apakah semua gadis perlu sedemikian rupa dalam menguji sahabatnya sendiri.

Kami berjalan melintasai jalan beraspal yang di apit persawahan hijau. Kalau malam mungkin tampak menyeramkan. Kanan kiri jalan penerangan terbatas sekali. Kami beristirahat di bawah pohon dadap dan mulai menikmati bekal makan siang tanpa banyak bicara. 

Sebuah angkot datang. 

"Mau kemana kalian," ucap sang sopir. Ia menjulurkan kepalanya. Tubuhnya gempal dan suaranya yang ku kenal. Di mana ya?. Sopir itu menurunkan ujung topinya hingga menutupi setengah wajahnya. 

"Ponpes Cendrawasih," kataku.

"Tempatnya jauh, kalian serius kesana."

"Kami harus ke sana."

Supir itu malah tertawa, tak ada yang lucu. Tubuh gempalnya goyang-goyang. Makin jelas sudah.

"Ares, kupikir kau nggak datang." Aku berseru gembira. Ia mahir juga menyamar.

"Itu bukan gaya saya Ben."

Satu jam telah berlalu. 

"Jika normal, tinggal delapan kilometer lagi kita akan sampai di ponpes cendrawasih." Ares menyodorkan selembar peta ke arahku. Jalanan sangat lengang, seperti desa mati.

Kami berhenti di depan sebuah penginapan. Tak beruntung. Penginapan itu lebih mengerikan dari pada jalanan lengang yang barusan kami lewati. Halaman tak terawat dan banyak gulma tumbuh menjulang menghalangi pandangan. Kami melanjutkan perjalanan.

Kiera terlihat gugup. Naura mulai menghimpun ketenangan yang menurutku terlihat aneh. Pandangannya setajam silet. Bulu kudukku meremang. Kami melewati jalan beraspal hitam yang di jaga hutan lebat tak bertepi. Desau angin lebih menakutkan. Penginapan yang kami cari tak kunjung ketemu.

"Aduh, gawat Ben!"

"Kenapa Res!"

"Kita tersesat!"

Kiera tiba-tiba berteriak. Wajah Naura menegang. Suara nyalak anjing buruk rupa mengejar angkot. Ukurannya tinggi besar dan wajahnya seperti bonek terbakar. Mereka berlima dalam kerumunan yang solid.

"Res kau bisa lebih cepat!, teriakku.

"Kita lihat saja!"

Tangan kanan Ares menekan sebuah tombol. Ares menyeringai ke arahku. Sebuah benda kecil muncul diantara kedua kakinya. Bertuliskan NOSE. Sebuah tulisan yang pernah ku lihat di film laga. Suara anjing menyalak galak tak bosan mengejar. Mereka makin beringas dan ganas. Mungkin kami telah mengganggu musim kawin meraka. Ares menekan tombol NOSE dengan jempol hobbitnya.

"Semua pegangan!" teriak Ares.

Jantungku berdenyut lebih kencang. Ares komat-kamit merapalkan sesuatu, terdengar kalimat langit yang dilafalkan tanpa intonasi. Angkot hitam kerbau melaju kencang. Anjing-anjing kelabu itu tertinggal jauh. Dalam hitungan menit anjing-anjing menyebalkan itu kembali mengejar. Seringainya makin memuakkan. Air liur berjatuhan di atas aspal. Lidahnya menjulur meledek. Matanya selegam arang sate. Manurut orang tua, Anjing itu diberi nasihat atau tidak, ia tetap saja menjulurkan lidah. Dasar Anjing.

"Kau bisa lakukan seperti yang tadi," tanya Kiera.

“Ada satu cara agar kita bisa kabur dari mereka!, sekarang kau naik ke kap. Ada tiga tombol warna!, warna merah, hijau, dan kuning. Warna merah untuk keluarin parasut!, cepat Ben!”

"Ya!"

Aku keluar melalui jendela. Susah payah naik ke atas kap mobil. Sejak kapan Ares melengkapi angkotnya dengan alat-alat canggih. Ia ternyata tidak hanya jago main basket. Kedua kakiku gemetar sibuk merangkak di atas angkot. Lajunya kencang tapi tetap terkejar oleh anjing-anjing itu. Seekor Anjing mulai mendekati bemper belakang mobil. Gonggongannya sukses membuatku merinding. Ku tekan tombol merah cepat-cepat. Bukan parasut, tetapi potongan-potongan daging berbentuk dadu meluncur cepat ke arah mereka. Sekarang mereka sibuk mengunyah daging gratis sambil mendengus rakus.

"Katanya terbang!, kau bohong ya!"

"Sorry!, lupa!, bukan merah!, tapi kuning!."

Aku masih duduk di atas kap angkot. Semak-semak di kanan kiri makin rebah. Pohon-pohon besar dan rapat. Cahaya matahari tak sudi menyambangi ujung rerumputan. Suasana langka seperti ini patutnya untuk kontemplasi. Didampingi burung-burung berkicau bersahutan memadu kasih. Ditingkahi suara monyet besar yang sedang birahi. Memuncaki libido yang terkekang puluhan hari. Mereka mungkin sedang kawin, atau sedang bertengkar berebut makanan.

Anjing-anjing berwajah boneka terbakar itu memberi jeda barang sejenak. Di antara mereka mungkin sedang sakit gigi, atau tak boleh menyentuh daging untuk sementara waktu.

Padang safana menyambut kami setelah terjebak dalam hutan yang epik. Ilalang tampak selalu tinggi. Penginapan belum tampak juga. Rasa udara safana mengurangi ketegangan. Sambil duduk bersila, kupandangi safana yang beraroma jamur. Aku hampir terjungkal kebelakang, secara mendadak Ares sudah menekan gas mobil kuat-kuat.

"Ada apa lagi Res!"

"Harimau mengejar!, juga para Singa!"

Aku tak menyangka Harimau dan Singa bisa akur memburu kami. Apakah mereka sudah memiliki kesepakatan-kesepakatan.

"Apa salah kita Res!"

"Mungkin mereka sedang pedekate!"

"Ngaco!" 

Hembusan angin menampar-nampar. Membuat mataku berair. Kupegangi kuat-kuat salah satu besi pegangan. Ares makin terobesesi dengan kecepatan mobilnya. Angkot mendatangi salah satu bukit yang cukup tinggi. Sampai di titik yang kritis. Angkot lompat dan meluncur tajam terseret gravitasi. Ku pukul tombol kuning. Seperti sulap, sebuah parasut keluar secara otomatis membentuk payung besar. Di antara roda belakang muncul baling-baling yang berputar cepat. Dalam detik yang menegangkan angkot berhasil terbang melayang. Ku lihat Harimau berhenti diam, mungkin takjub. Harimau manyun di tempat, mungkin tak jadi naik angkot. Aku berteriak senang sekaligus sedih. Selama hidup tak pernah kulihat hewan dengan mimik paling menyentuh.

Angkot terbang membumbung tinggi mengangkangi hutan, lembah, dan padang rumput. Dua puluh dua menit kami mengudara di atas hutan. Dari atas angkot ini, segala hal yang di bawah tampak lebih mudah. Kalian menyangka itu pasti mustahil, tetapi bagi orang yang berusaha keras dan kreatif tidak akan sulit untuk mengubah angkot biasa menjadi angkot terbang. Aku mesti menyanjung tinggi tentang kemampuan modifikasi kendaraan yang dimilikinya.

Aku terbelalak, merinding bulu roma. Duduk di atas angkot sambil 'menikmati' pemandangan. Sampai pada satu kesempatan, kulihat sebuah bangunan mirip kastil, berwarna biru, berdiri megah di atas padang yang luas. Dipeluk hutan-hutan yang rimbun dan asri. Terlihat orang-orang "aneh" yang tampak memanggul karung-karung besar dan kecil.

"Lihat!, ada bangunan biru di bawah!"

Naura dan Kiera menjulurkan kepalanya. Melihat ke bawah. "Wah!, keren!" Seru Kiera.

"Kita harus kesana kapan-kapan," usul Naura.

"Pasti," sambutku.

Lima berlalu, bangunan mirip kastil tak lagi terlihat. Hutan lebat telah menghilangkan keindahan kastil itu.

"Ada penginapan di bawah!"

"Kita turun Ben!" Teriak Ares sambil menjulurkan kepalanya.

Angkot mendarat. Kuharap semua ini hanya mimpi. 

"Kau lama sekali di atas, kau tidak kencing di celana kan?" Komentar Ares.

"Aku tak selemah itu!"

Ares tertawa. Beberapa orang keluar dari penginapan. Melihat pemandangan yang langka. Kami seperti outlander. Beberapa dari mereka mengambil 'kodak' yang bersuara legend.

Mereka saling berbisik satu sama lain. Ada yang mengangguk, menggeleng, dan menggumankan sesuatu. Mungkin kami dianggap mahluk aneh yang turun mendadak dari langit.

Seorang laki-laki dewasa berwajah X-Man menyambut kami. Mengklaim dirinya sebagai pemilik penginapan. Pak Ahmad namanya. Mengenakan pakaian cowboy lengkap dengan syal dan topi lebar. Di pinggangnya terselip sebuah senter panjang klasik.

"Ada yang bisa saya bantu anak muda."

"Ada kamar kosong Pak."

Kami berkemas membawa tas caril ke kamar masing-masing. Beberapa dari penghuni penginapan masih terlihat penasaran dengan angkot milik Ares. Secara tak terduga, parasut dan baling-baling kembali ke tempat yang tersembunyi. Ares terlihat senang dengan kerumunan orang-orang itu.

Para penghuni terlihat bersiap meninggalkan penginapan untuk berburu. Senapan angin dan alat perburuan lainnya tampak menempel pada tubuh mereka. Mereka pergi dengan berkelompok, lengkap dengan anjing-anjing pemburu. Mereka tampak lebih bersahabat.

Ku buka sebuah peta di atas meja panjang. Ketiga temanku langsung berkumpul.

"Ada yang tahu posisi kita dimana?" tanyaku.

"Banyak yang berubah sekarang Ben," jawab Ares. 

"Kita tanya sama pemilik penginapan ini, siapa tahu?" usul Naura.

"Permisi Pak, bapak bisa membaca peta ini?" aku mengawali pembicaraan.

Ia  diam sejenak mengawasi jalur dan simbol yang ada di dalam peta. Matanya menerawang jauh. Desahan nafas panjang terdengar. Ia berdiri menatap jauh kedepan. 

"Kalian mau kemana."

"Ponpes Cendrawasih," jawabku.

Kami kembali ke penginapan. Diskusi dengan pemilik penginapan membuat kami semangat. 

Aku duduk di serambi penginapan. Lampu neon panjang di kerubungi ratusan laron. Tokek dan cicak cukup menjulurkan lidahnya cepat-cepat. Para pemburu pulang dari perburuannya. Mereka mungkin sudah memiliki izin berburu. Seekor rusa jantan berwarna coklat di panggul melintang kaku. Ada bekas sayatan di lehernya.

Salah satu pemburu menganggukkan kepala ke arahku. Akupun membalasnya. Ia menggunakan masker burung hantu. Di lehernya menggelantung sebuah wolkman. Ketika membuka maskernya ada luka sayatan di pipinya. Badannya terlihat kencang, ototnya tampak menonjol. Ia berjalan mendekatiku. Ia mengamati kalung yang ku pakai. Matanya tajam tak berkedip seolah menemukan barang langka yang telah lama hilang. Dari jarak sedekat ini ia akan memukulku dengan mudah. Pisau pendek terselip diantara ikat pinggangnya. Tubuhnya beraroma pandan.

"Darimana kau dapatkan kalabubu itu." Ia menunjuk ke leherku.

"Oh, maksudmu kalung ini," tanyaku penasaran.

"Iya."

"Oh, ini dapat dari seorang teman, kenapa?"

"Dulu, kalung itu semacam kebanggaan setiap lelaki di Nias Selatan yang ingin jadi prajurit. Namanya kalabubu, kalung yang terbuat dari kayu istimewa. Hadiah "berdarah" bagi prajurit yang naik pangkat, dengan cara memburu kepala manusia, lalu tengkoraknya di gantung di osale sebagai hiasan. Setelah itu mereka mendapatkan kesempatan menikahi gadis pujaannya."

Aku terperanjat mendengar penjelasnnya.

"Osale itu apa," tanyaku.

"Mungkin semacam rumah panggung yang luas. Ujian lainnya setelah menjadi prajurit adalah melompati susunan batu setinggi 1,7 meter, itu bukan perkara mudah, karena prajurit Nias rata-rata bertubuh pendek. Kau bisa bayangkan itu." Jelasnya. Aku mengangguk-angguk saja, mencoba memahami.

Pemuda itu lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam kaos dalamnya. "Kita punya kalung yang sama. Oh ya, nanti malam ada acara panggang daging rusa, kau dan teman-temanmu bergabunglah."

Ku anggukan kepala,dan membungkukkan badan sedikit.

Malam semakin larut. Burung hantu mulai bersuara. Aku masuk kamar mendapati Ares dalam dengkuran yang teratur. Kuputuskan untuk keluar untuk mencoba daging rusa panggang bersama pemuda tadi. Ku harap ia tidak basa-basi. Aku berpapasan dengan Naura setelah keluar dari kamar. Ia memakai sweter lengan panjang. Bersepatu kets hitam. Kedua telapak tangannya ia masukan ke dalam saku.

"Kau mau kemana Ben."

"Gabung sama anak-anak pemburu, mereka berhasil membawa pulang seekor rusa besar. Kalian juga di undang."

Ia menatapku dingin. Pandangan matanya betul-betul meruntuhkan. Khas seorang sekar kedaton.

Kami berjalan menuju tempat kongkow para pemburu yang sedang memanggang sebagain daging rusa. Bau gurih menyergap hidungku. Tajam dan menggugah selera. Pemilik penginapan  juga hadir. Ia menjadi semacam penanda kemeriahan acara ini. Pemuda tadi menyambut kami ramah. Wolkman masih menggelayut manja di lehernya.

Lima setengah menit Ares datang. Keduanya matanya masih memerah. Rasa lapar telah membangungkan tidurnya. Kami mencoba akrab satu sama lain. Kiera datang dan menoleh ke berbagai sisi. Naura melambaikan tangan ke arahnya. Keramaian tiba-tiba senyap. Seperti orong-orong yang tiba-tiba berhenti bersuara karena kaget. Ia mengenakan baju hangat panjang, mirip seperti blazer. Bersepatu bot hingga nyaris menutupi lututnya.

"Kalian pemburu, bukan pria hidung belang. Kalau kalian menggunakan "pelana" bukan pada tempatnya. Lihat saja, istri atau ibu kalian akan membuat kalian mengggigil tidur di luar sepanjang musim salju." Ucap pemilik penginapan. Ia lantas duduk dan mengeluarkan pisau pendek, memotong apel merah yang tiba-tiba muncul.

Aku ingin tenang. Wedang jahe ku seruput pelan-pelan. Daging rusa panggang akhirnya dibagikan dalam nampan-nampan kecil. Kami mulai mengunyahnya pelan-pelan. Ini seperti makan daging kelinci yang empuk dan kenyal. Lengkap dengan sambel kecap berisi irisan cabe dan bawang merah. 
 

 

0 Comments:

Posting Komentar